tag:blogger.com,1999:blog-67174511951960127352024-03-19T04:58:34.930-07:00communicareCommunicare adalah blog yang dimaksudkan menjadi ruang diskusi bagi masalah sosial budaya, utamanya komunikasi dan media.communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.comBlogger40125tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-36913205651726659792017-05-22T04:48:00.001-07:002017-05-22T04:48:54.637-07:00GERAKAN ANTI HOAX DI INDONESIA: DARI MANA, MAU KE MANA? <div class="MsoNormal">
<br /></div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhC1zTW3wRgw2PUX33QCgka2egH7q9kXUjMK9l2WPjnE1wk-Oh4fksadzAtPGezz6EPRx0UOWkz5XwIia4MkUW5l18aw4NbkDXzYp7j-KOM254PeAzyjO9n7D7L9Lalo7wgq3aFkKFqVugo/s1600/POSTER+LOS+CIHAPIT.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhC1zTW3wRgw2PUX33QCgka2egH7q9kXUjMK9l2WPjnE1wk-Oh4fksadzAtPGezz6EPRx0UOWkz5XwIia4MkUW5l18aw4NbkDXzYp7j-KOM254PeAzyjO9n7D7L9Lalo7wgq3aFkKFqVugo/s320/POSTER+LOS+CIHAPIT.jpg" width="213" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Memperingati Harkitnas 2017</td></tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">8 Januari 2017, Gerakan
Anti <i>Hoax</i> dideklarasikan secara
serempak di 5 kota besar di Pulau Jawa. Bandung turut berpartisipasi bersama
Jakarta, Semarang, Surabaya dan Temanggung, dengan mendeklarasikan Piagam
Masyarakat Bandung Anti <i>Hoax</i>. Kini, lima setengah bulan setelah deklarasi serempak itu dikumandangkan, sudah sampai di mana
Gerakan Anti <i>Hoax</i> Indonesia? Sudahkah
berhasil meredakan produksi dan sebaran <i>hoax</i>
yang bikin rusuh media sosial? Sudahkah berhasil menyambung tali silaturahmi, atau
relasi kekerabatan yang retak selepas berantem gegara <i>hoax</i>? Sudahkah, seperti harapan teman-teman, membuat Facebook jadi
asyik dan menyenangkan kembali seperti dahulu?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Tulisan ini bermaksud meninjau
perjalanan gerakan anti <i>hoax</i>
Indonesia, mencermati respons-respons yang muncul terhadap gerakan tersebut,
sekaligus mencoba menilai secara objektif maupun subjektif apakah kita sudah
berhasil keluar dari pusaran <i>hoax</i>
yang melelahkan itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Dinamika Isu <i>Hoax</i>
<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Saya kira saya tak perlu
lagi membahas sejarah <i>hoax</i> yang
berkepanjangan. Hoax itu sudah jadi santapan sehari-hari, sudah tidak aneh
lagi. Ijinkan saya bercerita saja tentang apa yang terjadi pasca Gerakan Anti <i>Hoax</i> dideklarasikan. Cerita ini saya
ramu berdasarkan diskusi-diskusi dengan beberapa sahabat lain dan
aktivis-aktivis media sosial lainnya, serta observasi yang saya lakukan pada situasi di sekeliling saya--offline dan online. Begini hasil amatan saya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<b><i><span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Pertama</span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">, secara umum media massa menginformasikan dan
membingkai Deklarasi Anti <i>Hoax</i>
sebagai gerakan positif. Tentu saja, ada unsur <i>proximity </i>antara <i>hoax</i> dan
media massa. Media massa yang sehat pastilah sudah lama terganggu dengan adanya
<i>hoax</i>. Mereka juga tidak menutup mata
terhadap keluhan masyarakat, serta menguatirkan dampak melemahnya <i>trust </i>publik terhadap pers. Di sisi lain, media massa mencium isu ini
sebagai sesuatu yang bernilai berita tinggi. Para aktivis gerakan anti <i>hoax</i> bukan orang kemarin sore dalam
menyelenggarakan event. Mereka menggandeng tokoh-tokoh penting, mulai dari
togatoma, pejabat publik, termasuk selebritis dan figur publik lainnya. <i>Magnitude</i> liputan terhadap topik
deklarasi anti <i>hoax</i> pun membesar
dengan keterlibatan tokoh-tokoh tersebut. Hal ini berlangsung berhari-hari,
sehingga isu anti <i>hoax</i> terus-menerus
muncul.<o:p></o:p></span></div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJXtzYfzyxNBxySH8KeXzGgdbfswY8QBoAtd_u1mJ0qXdowZkPI2s9Qltf08aGlNDtFC2fB0Pg_W1mnk-V8eABzIj9bCZ79fs-fj7Dx2QyiEKLV2THFPyw4Kd7TrKwawoP-a8x2QC_x1nS/s1600/Me_Los+Tjihapit_Harkitnas+2017.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJXtzYfzyxNBxySH8KeXzGgdbfswY8QBoAtd_u1mJ0qXdowZkPI2s9Qltf08aGlNDtFC2fB0Pg_W1mnk-V8eABzIj9bCZ79fs-fj7Dx2QyiEKLV2THFPyw4Kd7TrKwawoP-a8x2QC_x1nS/s320/Me_Los+Tjihapit_Harkitnas+2017.jpg" width="213" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Merefleksikan Gerakan Anti Hoax</td></tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal">
<b><i><span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Kedua</span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">, jika media
massa merespons positif Deklarasi Anti <i>Hoax</i>,
bagaimana dengan masyarakat? Bagaimana dengan netizen? Nah ini lain lagi
ceritanya. Di berbagai panggung, sambutan masyarakat cukup meriah, kehadiran
komunitas-komunitas sebagai pendukung Deklarasi Anti <i>Hoax</i> telah berperan penting dalam melibatkan warga. Isu anti <i>hoax</i>
menjadi isu yang <i>mainstream</i>—semua
satu suara: menyepakati bahaya <i>hoax</i>. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Dinamika sesungguhnya
baru terlihat di media sosial. Mas Ismail Fahmi, founder Drone Emprit, pada
bulan Maret 2017 berbagi pada para peserta Talk Show Tech Talk di Habibie Center ihwal pergerakan isu anti <i>hoax</i> dari hari ke hari selama dua-tiga
minggu paska Deklarasi di ranah Twitter. Paparannya sungguh menarik. Sehari
setelah gerakan anti <i>hoax</i>
dideklarasikan, media sosial masih adem ayem. Pada umumnya netizen merespons
positif. Dua – tiga hari setelah gerakan anti <i>hoax</i> diluncurkan, mulai bermunculan opini negatif yang trennya kian
membesar. Pelakunya sih itu-itu saja, yaitu akun-akun penyebar provokasi yang
dikutip banyak media dan diretweet oleh <i>follower</i>nya. Mereka menyebut gerakan Anti
Hoax ditunggangi oleh tokoh-tokoh tertentu, sebagai sarana kampanye politik.
Tudingan ini sangat manjur karena menjadi semacam ‘turnback’ bagi gerakan anti <i>hoax</i>. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Selaku salah satu
inisiator gerakan anti <i>hoax</i> di
Bandung, saya merasakan betul dampak dari <i>turnback
</i>gerakan anti <i>hoax</i> saat dibingkai menjadi
kampanye politik. Gerakan moral dituduh menjadi kampanye politik, ah, jahatnya
kalian, kawan. <i>Turnback</i> terhadap
gerakan anti <i>hoax</i> di Bandung bahkan
dilakukan oleh kalangan akademisi, kolega sesama dosen komunikasi. Sebagaimana
mereka lebih percaya pada <i>hoax</i>
ketimbang fakta (yang selalu dituding hasil konspirasi atau rekayasa),
mereka juga mencap gerakan anti <i>hoax</i>
sebagai ‘<i>hoax</i> yang lain lagi’. Mereka
seakan mendapatkan amunisi dari beberapa pemikir (atau filsuf?) seperti Rocky
Gerung yang dilontarkan dalam sebuah program <i>talk show--</i>pendapatnya berseberangan dengan gerakan anti <i>hoax</i>. Jangan salah, pada situasi seperti ini, gerakan anti <i>hoax</i> juga dicap sebagai gerakan anti
Islam dan anti UU Pers—sebuah isu yang akhirnya hilang dengan sendirinya karena Dewan
Pers ternyata mendukung Gerakan Anti <i>Hoax</i>
dan turut mengampanyekan serta mengedukasi masyarakat agar tidak termakan <i>hoax</i>. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Namun demikian, ada
fenomena yang menarik. <i>Black campaign</i>
terhadap gerakan anti <i>hoax</i> terjadi di
mana-mana. Tetapi, sebarannya bisa dilokalisir dan diminimalkan, berkat
hadirnya sejumlah pihak yang berupaya menetralisir <i>hoax</i> dengan memberikan penjelasan ihwal fakta yang sesungguhnya
terjadi. Kami menyebut mereka sebagai <i>hoaxbusters.
</i>Para <i>hoax</i>buster ini, biarpun
sedikit sekali jumlahnya, namun terbukti efektif di minggu-minggu pertama.
Mereka inilah yang membantu ‘menyeimbangkan kembali’ situasi yang tadinya
mendiskreditkan Gerakan Anti <i>Hoax</i>. <o:p></o:p></span></div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAaG-3ZVGG0ObGzSIhoZSlW74tKHmtHbZMglK1SMUXrYw8gyZn_J92xzARjNAxFNOZ23geaWSeY1HXbLBf9-HChLhmYtmldlRbtKYVLGa9jIJNceYJIHjOl8tFna9DhusdSUIQnHmd6b5d/s1600/Jangan+kalah+dengan+penyebar+hoax.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAaG-3ZVGG0ObGzSIhoZSlW74tKHmtHbZMglK1SMUXrYw8gyZn_J92xzARjNAxFNOZ23geaWSeY1HXbLBf9-HChLhmYtmldlRbtKYVLGa9jIJNceYJIHjOl8tFna9DhusdSUIQnHmd6b5d/s320/Jangan+kalah+dengan+penyebar+hoax.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ngomongin tentang Hoax itu harus ngotot!</td></tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal">
<b><i><span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Ketiga</span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">, terlepas dari pro-kontra yang terjadi, Gerakan Anti <i>Hoax</i> mulai
melembaga di berbagai organisasi. Pemerintahan
menggeliat. Mulai dari institusi kemiliteran sampai PKK mulai menyentuh dan
membicarakan <i>hoax</i>. Demikian pula
dengan organisasi-organisasi keagamaan dengan organ-organ mereka. Misalnya
saja, NUtizen dan Muhammadiyah. Berbagai komunitas, baik yang bersentuhan langsung dengan isu
literasi atau tidak, mulai mengangkat isu <i>hoax</i>
dalam berbagai diskusi. Mereka prihatin dan ingin tahu lebih banyak lagi. Beberapa profesi
malah membentuk satgas anti <i>hoax</i>
tersendiri, karena merasa sering dijadikan sasaran <i>hoax</i>. Ada komunitas dokter, komunitas pilot, komunitas guru, dan
lain-lain. Ini pertanda bagus. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Apakah <i>hoax</i> sudah berhasil diatasi? Sayangnya,
belum. Situasi Indonesia yang dinyatakan ‘darurat <i>hoax</i>’ 5.5 bulan silam, dalam penilaian saya sekarang ini masih
belum berubah. Artinya, masih tetap darurat. Deklarasi Anti <i>Hoax</i> ternyata lebih tepat dimaknai
sebagai momentum memunculkan kewaspadaan terhadap <i>hoax</i>. Setelah biangnya ketahuan, terkaget-kagetlah kita karena
berhadapan dengan berbagai macam jenis <i>hoax</i>—mulai
dari framing, disinformasi, misinformasi, satir yang gagal dipahami, dan
sebagainya. Kita juga meratap-ratap gegara berhadapan dengan strategi sebaran <i>hoax</i> yang masif, serta berkenalan dengan
<i>the so called cyber army</i> dan <i>Anonymous</i> <b>KW13 </b>yang masya Allah, nggak mutu banget. Yang paling epik, kita akhirnya berhadapan dengan berbagai manusia yang
mengharamkan ini itu, <b>kecuali <i>hoax</i></b>. Bebal, tapi <i>keukeuh</i>-nya tingkat dewa. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Bolehlah dibilang kalau sekarang ini kita berada dalam medan perang yang
sudah dibuka objeknya, tentaranya, panglimanya, senjatanya, dan strategi
serangannya. Namun terlalu dini untuk menyatakan siapa menang siapa kalah. Yang bisa
dipastikan, kita kini berada dalam sebuah <i>equilibrium</i>
baru, di mana kita harus bersiap-siap untuk ‘berperang’ di level berikutnya.
Bukan bermaksud menakut-nakuti. Tetapi, hukum game di mana-mana sama saja: jika
levelnya lebih tinggi, maka permainannya otomatis jadi lebih sadis. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Refleksi Situasi Mendatang <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Bagi saya, <i>hoax</i> itu virus. Yang mengerikan dari
virus itu terkadang bukan inangnya (yang melemah sendiri dalam siklus waktu tertentu), atau sumbernya. Tetapi area sebarannya dan
dampak sebaran virus tersebut. Belajar dari dunia medis, pada saat virus
mewabah, tindakan yang diambil adalah (1) melokalisir virus untuk mencegah
penyebarannya, (2) menetralisir atau mematikan virus, dan (3) melakukan vaksinasi.
Berdasarkan analogi ini, maka solusi yang dirumuskan untuk mengatasi <i>hoax</i> adalah:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Symbol; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-fareast-font-family: Symbol;">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; line-height: normal;"> 1. </span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Mencetak
sebanyak-banyaknya <i>hoax</i>buster untuk
mencegah sebaran <i>hoax</i>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Symbol; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-fareast-font-family: Symbol;">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; line-height: normal;"> 2. </span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Membuat pusat
verifikasi fakta, aplikasi, <i>clearinghouse,</i>
atau apalah sebagai rujukan orang untuk mengecek kebenaran informasi atau
menetralisir <i>hoax</i>. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Symbol; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-fareast-font-family: Symbol;">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; line-height: normal;"> 3. </span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Menanamkan
kompetensi literasi digital pada masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1yRoYLbK1iapM8y5tQqs-z1lfnPVjqUrMoBQV9uAnyY37ABF_Qq0d0eIowiQUc3E5hzYSvc7MvC7LGPZjfc9vaRuMHhOQ9c0Q_CocVba4yGDgg_fVAku_bw_V3XJKFCmw7Kqy63lykSw7/s1600/Suasana+Diskusi+di+Los+Cihapit.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1yRoYLbK1iapM8y5tQqs-z1lfnPVjqUrMoBQV9uAnyY37ABF_Qq0d0eIowiQUc3E5hzYSvc7MvC7LGPZjfc9vaRuMHhOQ9c0Q_CocVba4yGDgg_fVAku_bw_V3XJKFCmw7Kqy63lykSw7/s320/Suasana+Diskusi+di+Los+Cihapit.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Suasana Diskusi yang Hangat di Los Tjihapit</td></tr>
</tbody></table>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Symbol; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-fareast-font-family: Symbol;">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; line-height: normal;"> 4. </span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Creative Campaign
(Online & Offline)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Symbol; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-fareast-font-family: Symbol;">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; line-height: normal;"> 5. </span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Membuka
networking, berjejaring atas dasar solidaritas dan common interest.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Symbol; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-fareast-font-family: Symbol;">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; line-height: normal;"> 6. </span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Mengadakan rembug
nasional untuk meruntuhkan sekat-sekat echo chamber.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Symbol; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-family: Symbol; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-fareast-font-family: Symbol;">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; line-height: normal;"> 7. </span></span><!--[endif]--><span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Dan lain-lain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Jika ditanya ke arah mana
gerakan anti <i>hoax</i> kita sekarang ini,
jawabannya bagi saya sederhana saja. Gerakan ini bertitiktolak dari
keprihatinan akan parahnya <i>hoax</i> yang
dipercaya begitu saja. Itu sebabnya, gerakan Anti <i>Hoax</i> pada dasarnya adalah gerakan moral yang fokusnya pada <i>character building. </i>Arahnya tidak
berubah, yaitu pada pencerdasan bangsa. Inilah awal dan akhirnya Gerakan Anti <i>Hoax</i>. Cuma, kalau dulu, dengan naifnya saya berpikir
bahwa gerakan anti <i>hoax</i> telah membuka
sebuah pintu, lantas kita tinggal menata dan mengisi ruangnya saja. Sekarang, saya merasa
pintu yang telah dibuka mengantarkan kita pada pintu lain yang harus dicapai
dengan mendaki puluhan anak tangga. Begitu pintu dibuka, ada hantu-hantu bergentayangan yang tak rela zona nyamannya diganggu, sehingga mengobarkan permusuhan dan berusaha merebut medan dengan segala cara.<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Serem? Lama-lama, nggak juga sih. <i>Hoax</i> itu bagaimanapun adalah sebuah
permainan. Kalau mau menang ya harus bisa mengendalikan permainan. Jangan malah
terpancing dengan permainan orang lain. Selebihnya adalah persoalan menjaga
kewarasan, meningkatkan kecerdasan, dan memelihara stamina dan kesehatan agar
mampu ‘menangkis’ <i>hoax</i>. Jelas semua
ini tidak mudah, apalagi di tengah masyarakat
yang <i>baperan </i>dan <i>emosian</i> seperti di Indonesia. Biarpun demikian, tetap harus ada yang memulai dan meneruskan gerakan ini. Anda,
saya, mereka. KITA.</span></div>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4xjHaFEIoz0K645QH9Q5MHcHnI6G3FKfQ36RMuH11We88TEBr2kGTbQ9Yz2H_WGUV5mwUZyayKvG6trdcznYZqcVaK6Q1DwVRTbtkJZM5xptyi6TEc-qC74dUDLBp-q-h7cXUaU4Url1j/s1600/Salam+Anti+Hoax+dari+Komunitas+Los+Cihapit.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4xjHaFEIoz0K645QH9Q5MHcHnI6G3FKfQ36RMuH11We88TEBr2kGTbQ9Yz2H_WGUV5mwUZyayKvG6trdcznYZqcVaK6Q1DwVRTbtkJZM5xptyi6TEc-qC74dUDLBp-q-h7cXUaU4Url1j/s320/Salam+Anti+Hoax+dari+Komunitas+Los+Cihapit.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Setiap orang wajib menjadi HOAXBUSTER!</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
<br />
<span style="font-family: "Times New Roman",serif; font-size: 14.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"><o:p></o:p></span>communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-69007242402481969922012-12-25T03:40:00.005-08:002012-12-25T03:40:35.577-08:00Media Literacy<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 39.0pt; mso-list: l2 level2 lfo3; tab-stops: list 39.0pt left 405.0pt; text-align: justify; text-indent: -21.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><b><i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">I.1.<span style="font-size: 7pt; font-style: normal; font-weight: normal; line-height: normal;">
</span></span></i></b><!--[endif]--><b><i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Media Literacy<o:p></o:p></span></i></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Media
literacy </span></i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">dikonsepkan sebagai <i>“...the ability to access,
analyse, evaluate and create messages across a variety of contexts </i>(Livingstone,
2003)<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="FootnoteCharacters"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="AF" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: AF; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a>.”
Wikipedia, <i>the free encyclopedia, </i>menyebutkan bahwa <i>media literacy </i>adalah
ketrampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan
telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan yang
berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan
mengapa demikian.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Konsep <i>media
literacy </i>pertama kali diperkirakan muncul pada tahun 1980an, dan kini telah
menjadi standar topik kajian di sekolah-sekolah berbagai negara. Secara logis
dapat dipahami, konsep ini tidak muncul dari kalangan media, melainkan dari
para aktivis dan akademisi yang peduli dengan dampak buruk media massa yang
dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan kapitalis hingga menafikan kepentingan
publik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Pemikiran
sejumlah tokoh komunikasi-filosof terkemuka memicu lahirnya konsep <i>media
literacy. </i>Sonia Livingstone (2004) mencatat sosok-sosok seperti teorisi
komunikasi Kanada Marshall McLuhan<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="FootnoteCharacters"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="AF" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: AF; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></a>,
ahli linguistik Kritis Amerika Noam Chomsky<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="FootnoteCharacters"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="AF" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: AF; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></a>,
filosof Prancis Jean Baudrillard<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="FootnoteCharacters"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="AF" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: AF; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></a>,
kritikus komunikasi Amerika Serikat Neil Postman<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="FootnoteCharacters"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="AF" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: AF; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[5]</span></span><!--[endif]--></span></a>,
dan perintis <i>media education </i>Amerika: Renee Hobbs<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="FootnoteCharacters"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="AF" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: AF; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[6]</span></span><!--[endif]--></span></a>.
Landasan teoritis <i>media literacy </i>sendiri bersumber dari tradisi
pemikiran Kiri, yang berkembang dalam <i>cultural studies </i>(<i>Leftist
Cultural Studies</i>)<i>. </i>Seperti
diungkapkan Livingstone (2004), <i>media literacy </i>adalah “... <i>a synthesizer
of media education projects dating back to 1920s ... act as an umbrella term
for teaching practices that make students aware of the construct of mass media</i>.”
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Media
literacy </span></i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">kerap disalahkaprahkan dengan <i>media education. </i>Sesungguhnya,
<i>media literacy </i>perlu dibedakan pengertiannya dari <i>media
education. Media literacy </i>bukanlah <i>media
education, </i>kendati yang terakhir ini kerap menjadi bagian dari yang
pertama. <i>Media education </i>memandang
media dalam fungsi yang senantiasa positif, yaitu sebagai <i>a site of pleasure</i>—dalam
berbagai bentuk. Sedangkan <i>media
literacy </i>yang memakai pendekatan <i>inocculationist </i>berupaya
memproteksi anak-anak dari apa yang dipersepsi sebagai efek buruk media massa.
Penggunaan media dan produk media sebagai bagian dari proses belajar mengajar,
misalnya mempelajari cara memproduksi film independen atau menggunakan
suratkabar sebagai sumber penelusuran data, tergolong dalam <i>media education.
</i>Adapun <i>media literacy </i>bergerak lebih jauh dari itu. Dengan
pendekatan yang lebih kritis, <i>media literacy</i> tidak hanya mempelajari
segi-segi produksi, tetapi juga mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa
muncul akibat kekuatan media. <i>Media
literacy </i>mengajari publik memanfaatkan media secara kritis dan bijak. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 39.0pt; mso-list: l2 level2 lfo3; tab-stops: list 39.0pt left 405.0pt; text-align: justify; text-indent: -21.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><b><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">I.2.<span style="font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;">
</span></span></b><!--[endif]--><b><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Media Literacy—Melek Media dengan
Pendekatan Inokulasi<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Keprihatinan
terhadap dominasi media dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya bukan cuma
monopoli negara-negara berkembang yang tengah mengalami <i>booming </i>sektor
media—baik sebagai sektor publik maupun sektor bisnis-industri. Negara-negara
maju yang memiliki interaksi historis cukup panjang dan intens dengan media pun
ternyata juga menghadapi permasalahan serupa.
Sama dengan permasalahan kita, kehadiran media massa dalam pasar
kapitalisme neoliberal menciptakan ancaman bagi nilai-nilai multikultural yang
hendak disosialisasikan, dan menjebak media hanya pada <i>content </i>yang
itu-itu saja: memanjakan selera (rendah) penonton, untuk menjaga pundi-pundi
pemodal media. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<b><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">1.2.1.
Pendekatan Inokulasi sebagai Landasan Penerapan <i>Media Literacy<o:p></o:p></i></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Dalam
visi ideal filosof Juergen Habermas, media dalam sistem yang demokratis
semestinya berfungsi sebagai arena ruang publik. Yang dimaksud dengan ruang
publik adalah wilayah di mana seluruh anggota masyarakat dapat berinteraksi,
bertukar pikiran, dan berdebat tentang masalah-masalah publik, tanpa perlu
merisaukan intervensi penguasa politik dan/atau ekonomi (Sudibyo, 2004:70).
Potensi demokrasi tercipta dalam ruang publik.
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Masalahnya,
media sama sekali bukan ruang hampa. Media adalah ajang kontestasi antara
pelbagai kepentingan yang berusaha merebut ruang publik, menghegemoni publik.
Hal ini diilustrasikan oleh Anthony Giddens dalam <i>Structuration Theory, </i>yang
mengandaikan adanya baku sodok (<i>interplay</i>) antara struktur dan <i>agent </i>dalam
proses konstruksi ruang sosial. Ini terlihat dalam fenomena media ketika
berhadapan dengan kekuatan politis negara dan kekuatan ekonomi pasar. Ketika
media dikuasai oleh <i>state regulation, </i>media gagal menciptakan ruang
publik. <i>State regulation </i>mendefinisikan kerangka informasi dalam bingkai
yang dilegitimasi oleh negara. Hal yang sama juga terjadi ketika media dikuasai
oleh kekuatan ekonomi kapitalis. Media, tatkala berhadapan publik, menjadikan
publik sebagai komoditas alih-alih melayani kepentingan publik. Hal sedemikian
tidak bisa diterima karena dalam kerangka etiknya, media massa mengemban fungsi
sosial-politik di samping fungsi ekonomi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Mengatasi
hal ini, penting kiranya menyimak pendapat Richard Falk (1995). Falk dalam
bukunya <i>On Humane Government: Toward A New Global Politics </i>mengidentifikasi
tiga kekuatan besar dalam era globalisasi: <i>state, market </i>dan <i>civil. </i>Apabila
<i>market </i>dan <i>state </i>bersatu menghadapi <i>civil society, </i>akan
terbentuk <i>inhuman governance. </i>Maka, agar terbentuk pemerintahan yang <i>humane
governance, civil society </i>harus bekerjasama dengan <i>market </i>(Lie,
2004). Kendati demikian, berbicara pasal <i>market </i>media massa di
Indonesia, nyata terlihat bahwa jual-beli yang terjadi belum berlangsung dalam
proses yang memberikan <i>win-win solution. </i>Dalam pasar media massa saat
ini, yang ditandai dengan melemahnya kekuatan <i>state, </i>maka pihak yang
senantiasa diuntungkan adalah media massa, sementara publik tetap saja
dieksploitasi, dikomodifikasi, dijual ke pengiklan dengan harga mahal. Sebagai
balasan atas nilai jualnya, publik tidak disuguhi oleh acara yang mencerdaskan,
tapi lebih banyak diberi pilihan sensasionalitas yang hanya mengumbar emosi
sesaat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Menghadapi
dunia media massa Indonesia saat ini yang cenderung menyajikan isi tidak
berbobot, solusi yang ditawarkan adalah <i>media literacy </i>dengan pendekatan
inokulasi. Inokulasi merupakan salah satu pendekatan komunikasi yang populer.
Asumsinya, jika akan berhadapan dengan pesan-pesan (persuasif) media, khalayak
perlu diinokulasi—diberi suntikan imunitas tertentu. Dengan demikian, khalayak
tidak akan jatuh menjadi korban ‘virus’ media massa. Inokulasi merupakan sebuah
tindakan intervensi untuk melindungi seseorang dari bahaya tertentu. Dalam hal
ini, media massa-lah yang dianggap sebagai sumber bahaya tersebut. Begitu lahir, atau begitu mengenal media,
seyogyanya manusia harus langsung diberi suntikan imunitas sebagai antivirus
menghadapi ‘virus’ media. Dengan demikian, mereka tidak akan terkena ‘penyakit’
alias efek negatif media.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Apabila
virus yang dimaksud dalam analogi ini adalah media massa, maka antivirusnya
adalah sebuah konsep yang akan dieksplorasi dalam tulisan ini, yaitu <i>media
literacy.<o:p></o:p></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<b><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">1.2.2.
Konsep dan Operasionalisasi <i>Media Literacy <o:p></o:p></i></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Media
literacy </span></i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">dikonsepkan sebagai <i>“...the ability to access,
analyse, evaluate and create messages across a variety of contexts </i>(Livingstone,
2003)<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span class="FootnoteCharacters"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="AF" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: AF; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[7]</span></span><!--[endif]--></span></a>.”
Wikipedia, <i>the free encyclopedia, </i>menyebutkan bahwa <i>media literacy </i>adalah
ketrampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan
telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan yang
berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan
mengapa demikian. Dalam suatu
masyarakat media<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="FootnoteCharacters"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="AF" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: AF; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[8]</span></span><!--[endif]--></span></a>,
di mana kontak dengan media menjadi sesuatu yang esensial dan tak terhindarkan,
<i>media literacy </i>adalah sebuah ketrampilan yang diperlukan oleh
warganegara guna berinteraksi dengan layak dengan media, dan menggunakannya
dengan rasa percaya diri.
Ketrampilan-ketrampilan ini sesungguhnya memang dianggap penting bagi
siapa saja. Namun target utama <i>media literacy </i>adalah kaum muda yang
berada dalam proses peneguhan mental dan fisik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Dalam
maknanya yang paling luas, <i>literacy </i>(keberaksaraan) termasuk kemampuan
untuk ‘membaca’ dan ‘menulis’ dengan trampil dalam pelbagai bentuk-bentuk
pesan, terutama menimbang dominasi media elektronik berbasis citra. Secara sederhana, <i>media literacy </i>termasuk
ketrampilan-ketrampilan <i>literacy </i>yang diperluas pada seluruh bentuk
pesan, termasuk menulis dan membaca, berbicara dan menyimak, menonton secara
kritis, dan kemampuan untuk menulis sendiri pesan-pesan dengan menggunakan
pelbagai teknologi. <i>Media literacy </i>bukanlah subyek yang baru, dan juga
bukan sekadar tentang televisi, namun merupakan <i>literacy </i>bagi masyarakat
informasi. <i>Media literacy </i>adalah semacam <i>code of conduct </i>bagi masyarakat
di Era Informasi. Konsep ini dijabarkan dalam tiga kriteria:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt left 405.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">1.<span style="font-size: 7pt; font-style: normal; line-height: normal;"> </span></span></i><!--[endif]--><i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Ability
to subjectively read and comprehend media content </span></i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">(kecakapan untuk
membaca dan memahami isi media secara subjektif), meliputi:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 39.0pt; mso-list: l0 level2 lfo1; tab-stops: list 39.0pt left 405.0pt; text-align: justify; text-indent: -21.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">1.1.<span style="font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><!--[endif]--><i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Ability
to understand the various characteristics of media conveying information </span></i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">(kecakapan
untuk memahami ragam karakteristik media dalam menyampaikan informasi).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 39.0pt; mso-list: l0 level2 lfo1; tab-stops: list 39.0pt left 405.0pt; text-align: justify; text-indent: -21.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">1.2.<span style="font-size: 7pt; font-style: normal; line-height: normal;"> </span></span></i><!--[endif]--><i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Ability
to analyze, evaluate, and ciritically examine in a social context, and select
information conveyed by media </span></i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">(kecakapan untuk menganalisis,
mengevaluasi, dan secara kritis memeriksa media dalam sebuah konteks sosial,
serta memilih informasi yang disampaikan oleh media)<i>.<o:p></o:p></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt left 405.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">2.<span style="font-size: 7pt; font-style: normal; line-height: normal;"> </span></span></i><!--[endif]--><i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Ability
to access and use media </span></i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">(kecakapan untuk mengakses dan
menggunakan media): <i>ability to select, operate and actively make use of
media apparatus </i>(kecakapan untuk menyeleksi, mengoperasikan, dan secara
aktif memanfaatkan perangkat-perangkat media).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 36.0pt left 405.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">3.<span style="font-size: 7pt; font-style: normal; line-height: normal;"> </span></span></i><!--[endif]--><i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Ability
to communicate through the media, especially an interactive communication
ability </span></i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">(kecakapan untuk berkomunikasi melalui media, khususnya
suatu kecakapan komunikasi interaktif): <i>ability to express one’s own ideas
through media in a way that the recipient can understand </i>(kecakapan untuk
mengekspresikan gagasan-gagasan pribadi melalui media dengan suatu cara yang
dapat dipahami oleh penerima pesan).<o:p></o:p></span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; tab-stops: 405.0pt; text-align: right;">
<span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">(<i>The Study Group, </i>2002)<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="FootnoteCharacters"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="AF" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: AF; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[9]</span></span><!--[endif]--></span></a>
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Meninjau operasionalisasi konsep di atas, tampak jelas
bahwa ketrampilan-ketrampilan yang dijabarkan sesungguhnya diarahkan untuk
membuat manusia tidak gamang berhadapan dengan media, tidak menganggap media
adalah segalanya, tidak tunduk di depan media, dan karena itu, dapat
memanfaatkan media sesuai dengan keperluannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Sebagai sebuah payung untuk memahami politik pengemasan
isi media, <i>media literacy </i>memiliki konsep-konsep dasar sbb.:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; mso-list: l1 level1 lfo2; tab-stops: list 36.0pt left 405.0pt; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">1.<span style="font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><!--[endif]--><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Semua media, pada dasarnya,
adalah konstruksi. Media tidak
menampilkan refleksi sederhana dari realitas eksternal. Media menampilkan
konstruksi yang diatur secara rumit berdasarkan pengambilan keputusan atas
pelbagai kebijakan dan pilihan yang sangat luas. <i>Media literacy </i>bermaksud
melakukan dekonstruksi atas konstruksi ini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; mso-list: l1 level1 lfo2; tab-stops: list 36.0pt left 405.0pt; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">2.<span style="font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><!--[endif]--><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Media mengonstruksi
realitas. Bagian terbesar dari <i>media
literacy, </i>karena itu, bukanlah ditujukan untuk mempelajari aspek produksi
media, melainkan untuk memperlihatkan pada kita bagaimana media melakukan
proses konstruksi realitas, sehingga kita bisa
mengenali <i>preconstruction reality </i>(realitas yang belum
dikonstruksi). <i>Media literacy </i>bermaksud menanamkan kesadaran bahwa
medialah yang selama ini telah mengonstruksi realitas kita, bukan kita sendiri.
Karena itu, <i>media literacy </i>bertujuan mengembalikan kuasa konstruksi
realitas itu pada kita sendiri selaku publik atau khalayak media.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; mso-list: l1 level1 lfo2; tab-stops: list 36.0pt left 405.0pt; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">3.<span style="font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><!--[endif]--><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Khalayak menegosiasikan makna
dalam media. Setiap orang memberikan makna yang berbeda pada apa yang
diperolehnya dari media. Setuju, tidak setuju, tidak berpendapat, semua adalah
bagian dari proses negosiasi khalayak pada media didasarkan latar belakang
kultural, keluarga, preferensi sikap dan nilai, faktor gender, dan sebagainya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; mso-list: l1 level1 lfo2; tab-stops: list 36.0pt left 405.0pt; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">4.<span style="font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><!--[endif]--><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Media memiliki
implikasi-implikasi komersial. <i>Media literacy, </i>karena itu, memasukkan
kesadaran akan ‘dasar ekonomi produksi media massa dan bagaimana hal itu
berimplikasi pada isi, teknik, serta distribusi.’ Produksi media adalah sebuah
bisnis yang bertujuan akhir mengumpulkan kapital sebanyak-banyaknya. <i>Media
literacy </i>menginvestigasi pertanyaan seputar kepemilikan, kontrol, dan
efek-efek terkait. Bukan pada efek media semata, tapi pada sosiologi media,
yaitu kekuatan sosial-politik-ekonomi yang menentukan isi media. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; mso-list: l1 level1 lfo2; tab-stops: list 36.0pt left 405.0pt; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">5.<span style="font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><!--[endif]--><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Media berisi pesan-pesan
bersifat ideologis dengan nilai-nilai tertentu. Tidak ada media yang netral.
Semua produk media dalam taraf tertentu melakukan promosi—untuk dirinya sendiri
maupun untuk menawarkan gaya hidup tertentu. Ini meliputi iklan-iklan produk
atas nama kesejahteraan hidup—<i>a good life—</i>di balik bayang-bayang
konsumerisme, penguatan stereotip domestikasi peran perempuan demi
mempertahankan <i>status quo </i>budaya patriarkis, atau peneguhan peran politis dan ideologi
partai tertentu yang mengatasnamakan pesan-pesan ‘kebangsaan’ dan nilai-nilai
‘patriotisme.’ <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; mso-list: l1 level1 lfo2; tab-stops: list 36.0pt left 405.0pt; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">6.<span style="font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><!--[endif]--><i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Media memiliki implikasi
sosial politik. </span></i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Media adalah ajang kontestasi kekuatan sosial politik masyarakat. Media
punya kekuatan yang bisa mengarahkan opini publik pada isu-isu tertentu.
Misalnya, menggiring opini publik pada kandidat presiden tertentu melalui <i>polling
</i>SMS, atau melibatkan partisipasi publik pada isu hak-hak sipil global
seperti epidemi AIDS, kelaparan di Dunia Ketiga, sampai pada pemberantasan
terorisme internasional.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; mso-list: l1 level1 lfo2; tab-stops: list 36.0pt left 405.0pt; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">7.<span style="font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><!--[endif]--><i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Bentuk dan isi berkaitan erat
dengan media.</span></i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;"> Setiap media, seperti dinyatakan McLuhan,
memiliki tatabahasa tersendiri dan mengodifikasikan realitas dalam cara-cara
yang unik. Media bisa melaporkan peristiwa serupa, namun kemasan pesannya
berbeda-beda. Maka, dengan sendirinya, impresi atas kemasan pesan itupun akan
berbeda-beda.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; mso-list: l1 level1 lfo2; tab-stops: list 36.0pt left 405.0pt; text-indent: -18.0pt;">
<!--[if !supportLists]--><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">8.<span style="font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><!--[endif]--><i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Setiap medium memiliki bentuk
estetik yang unik. </span></i><span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Ekspresi keindahan setiap media berbeda-beda, dan kita dimungkinkan untuk
menikmati semuanya, kendati kesan dan preferensi orang akan berbeda-beda hingga
efeknya pun tak sama. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; tab-stops: 405.0pt; text-align: justify;">
<span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: AF;">Prinsip-prinsip
ini harus dicakup dalam upaya mengimplementasikan <i>media literacy, </i>entah
itu<i> </i>dalam ranah publik secara informal maupun dalam ranah <i>cultural
maintenance </i>secara formal yang diwujudkan melalui lembaga-lembaga
pendidikan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="AF" style="font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: AF;">(Penggalan dari karya tulis LKTI Fikom Unisba 2005 “Media Literacy: Solusi
Mendidik Masyarakat Cerdas di Era Informasi”, Santi Indra Astuti. Hanya untuk
kepentingan pengajaran mata kuliah Filsafat Komunikasi).</span></div>
<div>
<!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<!--[endif]-->
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="AF">Dari sekian banyak definisi <i>media
literacy, </i>inilah definisi yang secara formal dianggap paling mewakili
maksud dan tujuan konsep tersebut. Definisi ini adalah hasil dari konferensi
yang disponsori oleh the Aspen Institute pada tahun 1992. Sedikit berbeda dari
konsep Livingstone, namun mengandung makna dan semangat yang kurang lebih
serupa, hasil konferensi ini menyatakan bahwa <i>media literacy </i>adalah <i>“…
the ability to access, analyze, evaluate and produce ommunication in variety of
forms </i>(Hobbs, 2003).<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="AF">
Agak sulit menyebut McLuhan sebagai seorang ahli komunikasi semata. Pada
dasarnya, dirinya mencakup mosaik keseluruhan disiplin ilmu yang mengarah pada
konstruksi dunia di masa depan yang tak lepas dari kepungan media. Proposisi
McLuhan yang mendunia, tentang dunia yang disatukan oleh media elektronik
menjadi <i>global village, </i>serta kekuatan media sebagai eksistensi dari
komunikasi itu sendiri—<i>medium is the message—</i>menyejajarkan dirinya
dengan para futurolog lain. <o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn3">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="AF">
Sebagai ahli linguistik, nama Noam Chomsky mulai diperhitungkan publik
internasional ketika mengeluarkan teori <i>Language and Mind. </i>Kini
menyibukkan diri sebagai aktivis dan periset media yang gencar mengadvokasi
publik seputar agenda tersembunyi Pemerintah AS yang secara ideologis
ditampilkan oleh media massa AS. Noam Chomsky kemungkinan saat ini menjadi
sosok yang paling dibenci Kabinet Bush, karena mengungkap cacat-cacat media dan
intervensi pemerintah dalam wacana media AS.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn4">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="AF">
Filosof posmodernis Prancis. Teori Baudrillard yang paling banyak dikutip untuk
wacana-wacana posmodernis adalah <i>Simulacra, </i>yang mengandaikan realitas
dalam dunia yang dikuasai media saat ini bagaikan lapisan-lapisan simulacra
yang terdiri dari <i>floating images—</i>citra simbolik yang mengapung terlepas
dari realitas aslinya. Baudrillard mengisitilahkannya sebagai <i>hyperreality—</i>hiperrealitas.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn5">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[5]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="AF">
Spesialisasinya adalah <i>media ecologist.</i> Bukunya yang mendunia adalah <i>Amusing
Ourselves to Death, </i>sebuah ironi bagi masyarakat kita yang menghibur diri
sampai mati di depan televisi.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn6">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[6]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="AF">
Renee Hobbs adalah aktivis <i>media literacy. </i>Tulisannya dapat dibaca di
pelbagai situs <i>media literacy. <o:p></o:p></i></span></div>
</div>
<div id="ftn7">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[7]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="AF">Dari sekian banyak definisi <i>media
literacy, </i>inilah definisi yang secara formal dianggap paling mewakili
maksud dan tujuan konsep tersebut. Definisi ini adalah hasil dari konferensi
yang disponsori oleh the Aspen Institute pada tahun 1992. Sedikit berbeda dari
konsep Livingstone, namun mengandung makna dan semangat yang kurang lebih
serupa, hasil konferensi ini menyatakan bahwa <i>media literacy </i>adalah <i>“…
the ability to access, analyze, evaluate and produce ommunication in variety of
forms </i>(Hobbs, 2003).<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn8">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[8]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="AF">
Menarik sekali mengamati pelbagai istilah yang diberikan oleh para aktivis <i>media
literacy </i>untuk dunia saat ini. Mereka tidak saja mengadopsi gagasan para
futurology yang mengajukan konsep <i>the age of Information </i>dengan
‘masyarakat informasi’ sebagai ikonnya. Istilah lain untuk menggambarkan dunia
masa kini adalah <i>media society </i>dan <i>media-saturated environment—</i>sebuah
lingkungan yang jenuh dengan media. Baca <i>Teaching Media Society: Yo! Are You
Hip to This?</i> yang ditulis oleh Rene Hobbs</span><i><span lang="EN-US"> <o:p></o:p></span></i></div>
</div>
<div id="ftn9">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///G:/BLOG/Media%20Literacy.doc#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="FootnoteCharacters"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: AR-SA;">[9]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="EN-US"> Definisi
operasional ini bersumber dari kajian The Study Group, lengkapnya adalah the
Study Group on Young People and Media Literacy in the Field of
Broadcasting, sebuah kelompok kajian
yang diprakarsai oleh Kementerian Pos dan Telekomunikasi (MPT) Jepang. Kelompok
ini diketuai oleh Junichi Hamada, Dekan Sekolah Tinggi Kajian-Kajian Informasi
Interdisiplin, bagian dari Insiatif Antarfakultas dalam Kajian-Kajian Informasi
di Universitas Tokyo sejak November 1992.</span></div>
</div>
</div>
communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-47443541032722671382012-12-25T03:31:00.001-08:002012-12-25T03:31:53.133-08:00Kita, Media, Dan Anak-Anak<br />
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;">
<span lang="EN-US" style="font-size: 13.5pt;">Anak-anak masa kini hidup dalam
kepungan media. Mereka menghabiskan waktu 6.5 jam sehari dengan media. Senin
hingga Jumat. Pada saat weekend, jumlahnya semakin meningkat. Dari keseluruhan
waktu yang dihabiskan di depan media, seperempatnya dihabiskan anak-anak muda
di depan lebih dari satu media (misalnya, membaca teks sekaligus mendengarkan
music). Karena itu, kalau jam dobel ini dijumlahkan, maka total waktu yang
dihabiskan di depan media jumlahnya 8.5 jam!</span><span style="font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;">
<span lang="EN-US" style="font-size: 13.5pt;">Lantas, media apa saja yang
‘menyentuh’ mereka? TV dan musik adalah yang paling utama. Dalam soal nonton
TV, anak-anak kita menghabiskan waktu sepanjang 3.5 jam, atau nyaris empat jam
kalau ditambah dengan video dan DVD. 1 jam 44 menit rata-rata untuk menyimak
music, entah itu melalui radio, MP3 player, atau handphone. Satu jam rata-rata
di depan computer untuk mengerjakan sesuatu yang<span class="apple-converted-space"> </span><b>bukan</b><span class="apple-converted-space"> </span>pekerjaan rumah, sekitar sejam lagi
untuk main game! Membaca hanya dapat porsi 43 menit saja sehari—di luar
sekolah.</span><span style="font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;">
<span lang="EN-US" style="font-size: 13.5pt;">Oke. Kalau rata-rata waktu anak
habis untuk bersentuhan dengan media, maka, berapa lama waktu yang dihabiskan
anak untuk bersekolah? Data UNICEF (1997, diperbaharui 2007) memperlihatkan,
jumlah jam sekolah tidak lebih dari 1100 jam per tahun. Sementara, jumlah jam
menonton TV dua kali lipatnya. Bisakah Anda bayangkan betapa<span class="apple-converted-space"> </span><i>njomplang</i>nya kebiasaan
bersekolah dengan kebiasaan bermedia?</span><span style="font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;">
<span lang="EN-US" style="font-size: 13.5pt;">Sekarang, mari kita bandingkan
dengan aktivitas anak lainnya. Kalau 6.5 jam sudah dihabiskan untuk media, maka
2 seperempat jam rata-rata dihabiskan untuk<span class="apple-converted-space"> </span><i>hanging
out<span class="apple-converted-space"> </span></i>dengan orangtua, nyaris
1.5 jam untuk aktivitas fisik sehari-hari, 50 menit atau di bawah satu jam
untuk mengerjakan pekerjaan rumah, dan cukup 32 menit saja untuk membantu
pekerjaan rumah sehari-hari.</span><span style="font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;">
<span lang="EN-US" style="font-size: 13.5pt;">Lantas, apa yang disaksikan anak di
media? Apa yang mereka dapatkan di sana? Saya persilakan Anda mengecek sendiri
lagu-lagu yang beredar di sekitar anak-anak, film yang mereka tonton,
acara-acara yang ada di layar kaca, game-game yang mereka mainkan, situs-situs
internet yang berpotensi mereka akses, sampai ke film kartun yang mereka
gemari. Berapa banyak yang diperuntukkan buat anak? Berapa banyak yang
mendidik? Berapa banyak yang dipenuhi adegan kekerasan? Berapa banyak unsur
humor dan komedinya, yang memang cocok buat mereka? Berapa banyak yang bersih
dari unsur-unsur bernuansa erotisme dan sensualitas? Berapa banyak iklan yang
sudah mendidik mereka—anak-anak kita—sebagai calon konsumen di masa depan?</span><span style="font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;">
<span lang="EN-US" style="font-size: 13.5pt;">Bapak dan Ibu yang saya sayangi,
apakah fakta-fakta dan temuan-temuan tersebut meresahkan Anda? Kalau ya, dan
saya harapkan memang jawabannya adalah YA, maka, kita perlu duduk bersama untuk
mendiskusikan permasalahan tersebut, serta mencari jalan keluarnya. <span class="apple-converted-space"> </span>Media massa memang menyumbangkan
kemajuan yang sangat bernilai, tiada tara. Informasi, pendidikan, berita,
hiburan… semua itu sungguh luarbiasa. Tetapi, media juga ‘mencabut’ hal-hal
yang dulunya menyatukan kita dan menghias masa kecil kita dengan nilai-nilai
dan kenangan yang indah: makan bersama di ruang makan, liburan dan beraktivitas
di alam bebas,<span class="apple-converted-space"> </span><i>ngobrol<span class="apple-converted-space"> </span></i>dan<span class="apple-converted-space"> </span><i>curhat,<span class="apple-converted-space"> </span></i>menyanyikan lagu-lagu daerah, lagu
nasional, lagu anak-anak, main pasaran dan masak-masakan, mengobrak-abrik dapur
dan kebun dengan tanah dan lumpur—sebuah kreativitas yang luarbiasa …</span><span style="font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;">
<span lang="EN-US" style="font-size: 13.5pt;">Layaknya koin berkeping dua: ada
yang positif, ada yang negatif. Demikian pula yang namanya media. Yang positif
tentu perlu kita pertahankan. Yang negatif, harus ditinggalkan. Tapi, positif
itu yang bagaimana? Negatif itu seperti apa? Dan, bagaimanamengajari anak-anak
kita agar meninggalkan yang negatif demi yang positif? Nah, itulah inti dari<span class="apple-converted-space"> </span><i>media literacy</i>—sebuah skill
atau keterampilan untuk menggunakan media semaksimal mungkin guna mencerdaskan
kita, mengangkat harkat dan martabat kita, bukannya untuk membodohi kita, dan
meninabobokkan serta mencekoki kita (pun anak-anak kita) dengan kandungan atau
isi media yang buruk dan tidak edukatif.</span><span style="font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;">
<span lang="EN-US" style="font-size: 13.5pt;">Media literacy, dalam praktiknya,
membekali audiens atau khalayak media agar:</span><span style="font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-indent: -18.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: '', sans-serif, '', serif; font-size: 13.5pt;">•</span><span lang="EN-US" style="font-size: 7pt;"> <span class="apple-converted-space"> </span></span><span lang="AF" style="font-size: 13.5pt;">Dapat menyeleksi jenis dan isi media
yang dikonsumsi—sesuai dengan usia dan kebutuhannya.</span><span style="font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-indent: -18.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: '', sans-serif, '', serif; font-size: 13.5pt;">•</span><span lang="EN-US" style="font-size: 7pt;"> <span class="apple-converted-space"> </span></span><span lang="AF" style="font-size: 13.5pt;">Dapat mengatur kapan waktu mengonsumsi
media dan membatasi jumlah jamnya.</span><span style="font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-indent: -18.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: '', sans-serif, '', serif; font-size: 13.5pt;">•</span><span lang="EN-US" style="font-size: 7pt;"> <span class="apple-converted-space"> </span></span><span lang="AF" style="font-size: 13.5pt;">Dapat memahami dan mengapresiasi isi
pesan yang dikonsumsi.</span><span style="font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-indent: -18.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: '', sans-serif, '', serif; font-size: 13.5pt;">•</span><span lang="EN-US" style="font-size: 7pt;"> <span class="apple-converted-space"> </span></span><span lang="AF" style="font-size: 13.5pt;">Dapat mengambil manfaat dari isi media
yang dikonsumsi.</span><span style="font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm; text-indent: -18.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: '', sans-serif, '', serif; font-size: 13.5pt;">•</span><span lang="EN-US" style="font-size: 7pt;"> <span class="apple-converted-space"> </span></span><span lang="AF" style="font-size: 13.5pt;">Tidak mudah terkena dampak negatif.</span><span style="font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;">
<span lang="EN-US" style="font-size: 13.5pt;">Media literacy hakikatnya
diperkenalkan sejak manusia bersentuhan dengan media. Berhadapan dengan media
tidak cukup hanya punya kemampuan untuk<span class="apple-converted-space"> </span><i>turning
off dan turning on,<span class="apple-converted-space"> </span></i>alias
menghidupkan dan menyalakan medianya saja. Tanpa kemampuan media literacy, kita
tidak lebih menjadi budak media, budak remote control, dan lebih gawat lagi,
korban efek negative media.</span><span style="font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;">
<span lang="EN-US" style="font-size: 13.5pt;">Orangtua jaman sekarang memiliki
tantangan berat. Demikian pula sekolah, lingkungan, masyarakat, kementerian
pendidikan, dan Negara pada umumnya. Anak-anak kita akan menjadi digital
natives yang sehari-harinya tidak akan pernah lepas berhadapan dengan media.
Menjadi tugas kita semua untuk memahami bagaimana media berfungsi semestinya
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita dapat memandu putera-putera kita,
dan menyiapkannya menjadi orang yang bertanggungjawab dengan media yang
dipegangnya. Untuk itu, kita tidak harus tahu bagaimana cara merakit computer,
memperbaiki HP, mengetahui lalu lintas protocol internet, dan sebagainya.
TIDAK. Yang harus kita lakukan adalah memahami media literacy, dan
menerapkannya untuk anak-anak kita di rumah, di sekolah, di manapun…. (000)</span><span style="font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin: 0cm;">
<span lang="EN-US" style="font-size: 13.5pt;">*Artikel ini dipublikasikan dalam
buletin Semipalar, 2011</span><span style="font-size: 13.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<br /></div>
communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-80927103011129647882012-12-25T03:09:00.001-08:002012-12-25T03:09:54.271-08:00KITA, MEDIA, DAN KONSTRUKSI REALITAS <br />
<h4>
<br /></h4>
<h1 style="line-height: 150%;">
<span lang="SQ">A. Tentang Sosialisasi dan
Konstruksi Realitas </span></h1>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Persepsi manusia terhadap segala
sesuatu yang berlangsung di sekitar dirinya dibangun dari kesadaran akan adanya
nilai-nilai yang memandu manusia untuk mendefinisikan realitas kultural. Kita
memahami sesuatu, melekatkan makna pada peristiwa tertentu, dan berusaha
menjalani realitas keseharian kita, berdasarkan nilai-nilai yang kita
yakini—entah itu disadari atau tidak disadari. Proses penanaman nilai –kerap
diistilahkan sebagai sosialisasi—berlangsung dalam berbagai tahap kehidupan,
melalui berbagai proses. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Pada tahapan <i>early
socialization, </i>umumnya anak mempelajari nilai dari keluarga dan teladan
perilaku yang diberikan oleh orangtuanya. Ketika memasuki tahapan remaja,
lingkungan sekolah dan pertemanan yang lebih luas mulai melakukan peran
sosialisasi nilai terhadap individu, yang kemungkinan berbeda dengan
nilai-nilai keluarga. Pada tahapan dewasa, seiring dengan membesarnya lingkar
pergaulan dan interaksi, individu pun akan mendapatkan sosialisasi nilai dari
lingkungan masyarakat yang lebih luas lagi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Sebagai
bagian dari unit yang lebih besar—entah itu keluarga, teman-teman, atau
masyarakat, individu tidak pernah bisa melepaskan diri dari sosialisasi nilai-nilai
yang berlangsung dalam ruang sosial. Banyak nilai yang diadopsi, diadaptasi,
kemungkinan bahkan ditolak. Namun proses negosiasi nilai senantiasa berlangsung
secara konstruktif—dan selalu ada nilai yang pada akhirnya melekat pada
individu tersebut. Nilai yang ditolak atau disingkirkan akan diganti dengan
nilai lain yang diterima. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Ada
banyak nilai yang disosialisasikan pada individu. Sebagai bagian dari keluarga,
individu mendapatkan sosialisasi norma-norma keluarga. Misalnya, hormat pada
orangtua, tidak boleh nakal pada adik, pamit keluar rumah, atau menaati jam-jam
tertentu berdasarkan peraturan keluarga.
Sebagai bagian dari lingkungan pertemanan, individu mendapatkan
sosialisasi nilai-nilai seperti kesetiakawanan. Dari lingkungan kerja individu
mendapatkan sosialisasi nilai seperti kedisiplinan dan kerja keras. Sebagai
warga negara dan warga bangsa, individu mendapatkan sosialisasi nilai-nilai
nasionalisme. Sedangkan sebagai bagian dari umat suatu agama, individu
mendapatkan sosialisasi <i>basic values, </i>atau nilai-nilai dasar, yang
diyakini sebagai jalan kebenaran untuk memandu manusia menjalani kehidupannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Sosialisasi
nilai tidak terbatas pada unit-unit sosial di atas. Seiring dengan
berkembangnya kompleksitas struktur masyarakat, muncul pula pelbagai pranata
tempat individu melembagakan diri secara sadar maupun tak sadar, menjadi bagian
dari komunitas lembaga tersebut. Pranata atau lembaga tersebut, langsung maupun
tak langsung, turut berperan menyosialisasikan nilai. Misalnya saja, sebagai bagian
dari pranata pendidikan, individu mendapatkan sosialisasi nilai di sekitar etos
moral dan pembelajaran. Sebagai bagian dari kelompok hobi tertentu, katakanlah
kelompok pehobi memancing, individu mendapatkan sosialisasi nilai yang
merefleksikan aktivitas kelompok memancing, seperti kesabaran dan ketekunan.
Sebagai bagian dari khalayak media, individu pun akan mendapatkan sosialisasi
nilai-nilai dari program-program yang disajikan oleh media massa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Kompleksnya
struktur masyarakat dewasa ini mengakibatkan banyak persinggungan terjadi dalam
proses transfer atau sosialisasi nilai. Demikianlah maka kita bisa melihat
bagaimana pranata pendidikan tidak saja menjadi sarana untuk menyosialisasikan
nilai-nilai pendidikan saja, tetapi juga menjadi sarana untuk menyosialisasikan
nilai-nilai nasionalisme dan <i>family values. </i>Dari sektor media,
menguatnya peran dan dominasi media massa dalam pelbagai bidang kehidupan
masyarakat menyebabkan media massa juga berperan penting sebagai sarana
sosialisasi nilai-nilai –di luar nilai-nilai media itu sendiri. Media melakukan
tugas ini dalam kerangka perannya sebagai pelapor realitas, atau cerminan
realitas.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Nanti dulu,
melaporkan realitas? Benarkah media melaporkan realitas <i>an sich—</i>realitas
apa adanya, sebenar-benarnya terjadi? Mari kita lihat bagaimana konsep dan
kaitan antara media dan realitas. Selanjutnya, mari kita periksa adagium bahwa
‘media adalah cermin realitas.’<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<h1 style="line-height: 150%;">
<span lang="SQ">B. Tentang realitas</span></h1>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Hal pertama yang harus diingat
dalam memahami teori-teori terkait dengan media dan konstruksi realitas adalah
memahami apa yang disebut dengan ‘realitas.’
Dalam paradigma konstruktivisme, realitas tidak dipandang sebagai
sesuatu yang sudah ada sebagaimana adanya. Realitas dibentuk, realitas
merupakan hasil konstruksi individu-individu dalam proses sosial. Pandangan ini
berseberangan dengan pengertian realitas dalam paradigma positivisme yang
mengandaikan bahwa realitas bersifat terberi—<i>is given, </i>sehingga tinggal
diterima begitu saja oleh manusia, atau dieksplorasi oleh manusia. Dalam
pandangan konstruktivisme, realitas dipandang sebagai hasil campur tangan
manusia. Ini artinya, manusia dinyatakan sebagai sosok aktif yang membentuk
realitas.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 150%;">
<span lang="SQ"> Pertanyaannya, sejauhmana manusia
punya kuasa untuk membentuk realitas? Apakah manusia benar-benar ‘otonom’ atau
merdeka dalam membentuk realitasnya sendiri? Kenyataan menunjukkan, tidak semua
manusia memiliki kuasa otonom terhadap dirinya sendiri. Ketika kita menyaksikan
belasan remaja ikut bunuh diri bersama Kurt Cobain—kita melihat betapa kuatnya
pengaruh bintang Nirvana itu dalam membentuk realitas penggemarnya. Ketika kita
merasa sulit membedakan gadis-gadis yang lalu lalang di mal-mal—wangi, berambut
panjang, legam dan lurus, berkulit seputih susu, bertubuh ramping, dan
berbusana ketat memperlihatkan pusar—kita sedang menjadi saksi kuatnya budaya
pop membentuk selera berbusana khalayaknya. Ketika kita terbengong-bengong
menonton kekejaman aksi massa menghakimi
pelaku kriminalitas, lantas menjadi ketakutan akan kenyataan betapa
mengerikannya dunia ini, tidak salah lagi, kita tengah mengonstruksi realitas
kita berdasarkan apa yang kita peroleh dari media massa.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<h1 style="line-height: 150%;">
<span lang="SQ">C. Media sebagai refleksi realitas:
sebuah klaim yang problematik!</span></h1>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Saat ini, kita hidup dalam sebuah
tatanan masyarakat yang tak bisa lagi dilepaskan dari keberadaan media. Media menjadi ikon abad ini, didewa-dewakan
sebagai solusi bagi semua permasalahan—jangan lupa, abad ini dinobatkan sebagai
the age of information and communication! Tak sekadar menjadi medium informasi,
alias penyampai informasi. Media, lebih jauh lagi bahkan dinobatkan oleh
Marshall McLuhan, seorang teoritisi komunikasi asal Kanada, sebagai <i>the
extension of men—</i>perpanjangan tangan dan indria manusia. Media disebut-sebut berhasil mengalahkan
ruang dan waktu, lewat kecepatan transfer informasi dan daya jangkau yang tidak
terbatas. Demikianlah maka media memasuki ruang kehidupan manusia, membantu
manusia memahami apa yang terjadi di belahan dunia lain, dengan melaporkan
realitas-realitas yang terjadi di luar jangkauan fisik manusia. Media menjadi
cermin realitas, merefleksikannya dan melaporkannya—setidaknya, itulah peran
(baca: dalih!) yang dinyatakan oleh para pekerja media, terutama ketika
dihadapkan pada kritik seputar muatan informasi yang dinilai tidak bermutu. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 18pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 18pt;">Lepas
dari kajian efek yang sangat meyakini dampak media, lepas dari kajian analisis
isi yang mempersoalkan pesan prososial dan antisosial dalam muatan media,
kalangan konstruksionis begitu yakin akan kekuatan media massa dalam membentuk
realitas manusia. Pendapat ini bertitik tolak dari kenyataan bahwa media massa
telah menempati posisi yang begitu sentral dalam kehidupan manusia—sejak dini
dalam kehidupannya! Sebuah studi di Israel terhadap pemahaman anak-anak seputar
pesan-pesan dalam serial Teletubbies memperlihatkan, interaksi yang dilandasi
aspek kesadaran terhadap kehadiran media telah dimulai sejak anak-anak bahkan
sejak mereka berusia 3 tahun (Giles, 2003)! </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Bagi kaum
konstruksionis (atau konstruktivis), media tidak sekadar melaporkan realitas.
Media juga aktif mengonstruksi realitas. Hasil penelitian Gerbner ihwal <i>media
violence </i>yang melahirkan teori Kultivasi mengilustrasikan kenyataan
tersebut secara gamblang. Dengan meneliti penonton televisi (dengan berbagai
perilaku terkait dengan penggunaan media) ketika berhadapan dengan tayangan
televisi yang lebih banyak didominasi kekerasan, Gerbner dan timnya menemukan
bahwa kalangan pecandu televisi (<i>heavy viewer</i>) menganggap realitas yang
ditampilkan di media tidak ubahnya realitas dunia nyata. Kelompok yang
menyaksikan televisi setidaknya 3-4 jam sehari secara teratur itu bahkan lebih
jauh menyatakan perlunya mempersenjatai diri di ruang publik. Berdasarkan
tayangan televisi yang mereka tonton, mereka menganggap bahwa dunia saat ini
jauh lebih buruk daripada beberapa tahun sebelumnya, bahwa keamanan mereka di
ruang publik sangat terancam dengan tingginya angka-angka kejahatan, bahwa
perang terjadi di mana-mana. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Atas hasil
tersebut, maka disimpulkan bahwa media memiliki kekuatan untuk membius dan
menampilkan <i>secondhand reality. </i>Khalayak yang menganggap realitas media <i>sama
</i>dengan realitas dunia nyata melupakan kenyataan bahwa media melakukan
proses seleksi informasi berlapis-lapis secara ketat sebelum menyajikannya ke
hadapan khalayak. Seleksi tersebut didasari oleh berbagai pertimbangan, mulai
dari pertimbangan atas norma kultural dalam lingkungan sosial, pertimbangan
ideologis organisasi media, hingga
pemenuhan kebutuhan khalayak. Namun, lebih sering, pertimbangan produksi dan distribusi
produk kultural di media dilandasi oleh motif menangguk keuntungan
sebesar-besarnya. Inilah, misalnya, yang terjadi pada stasiun televisi ketika
menayangkan program-program tertentu. Dalam industri televisi dewasa ini,
penayangan program semacam itu lebih
didasari oleh motif kuat untuk menjaring keuntungan besar dengan
memenangkan perang <i>rating </i>dalam industri media (televisi). Parahnya
lagi, penelitian Gerbner yang dilakukan terus tiap tahun hingga saat ini
memperlihatkan bahwa media berhasil mengkultivasi (menanamkan) realitas pilihan
media ke benak pemirsa. Inilah yang menyebabkan khalayak mengaburkan batas
antara realitas media dan realitas nyata, serta gagal mengambil jarak kritis
dengan media. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Penelitian
Gerbner bisa diperdebatkan dari berbagai sisi, terutama ketika dikaitkan dengan
efek media yang sangat <i>powerful. </i> Argumen yang menentang asumsi kultivasi
menunjuk sejumlah faktor lain yang berperan dalam mengonstruksi realitas
seseorang, misalnya institusi pendidikan, lingkungan budaya, dan peran
keluarga. Sisi personal manusia selaku individu sendiri juga sangat kompleks,
dan terbukti mampu memberi kontribusi signifikan dalam pengambilan keputusan.
Jadi, demikian dinyatakan argumentasi tersebut, naif kiranya kalau para periset
hanya menyalahkan media sebagai biang keladi munculnya realitas tandingan yang
kebetulan bercorak negatif. Argumentasi ini bisa diterima, sampai pada taraf
tertentu. Namun, memercayai bahwa media benar-benar melaporkan realitas yang
terjadi di masyarakat juga sangat-sangat naif.
Bagaimanapun, kita hidup di tengah masyarakat yang dikepung oleh media
massa. Tidak mungkin kenyataan tersebut tidak memiliki pengaruh apapun! Media
sedikit banyak punya andil untuk mengonstruksi realitas khalayaknya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<h1 style="line-height: 150%;">
<br /></h1>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Berger, Peter & Luckmann, Thomas. 1966. <i>The Social
Construction of Reality. </i>Garden City, NY: Doubleday.<i> <o:p></o:p></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Gergen, Mary & Gergen, Kenneth J. 2003. <i>Social
Construction: A Reader. </i>Thousand Oaks, London: SAGE.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Giles, David. 2003. <i>Media Psychology. </i>Mahwah, NJ: LEA.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Perry, David K. 2002. <i>Theory and Research in Mass
Communication. </i>Mahwah, NJ: LEA. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" />
</span>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<b><span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">LAMPIRAN. </span></b><b><span lang="SQ" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Tentang film dan poin-poin diskusi<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Untuk melengkapi materi ini,
disajikan tiga buah film yang bisa memperlihatkan bagaimana praktik konstruksi
realitas dilakukan oleh media, serta bagaimana khalayak media terjebak ke dalam
konstruksi realitas bikinan media (dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan). Film pertama, <i>Wag the Dog, </i>memperlihatkan bagaimana
realitas dikonstruksi untuk kepentingan politik hingga menimbulkan hiruk-pikuk
sirkus media televisi. Film kedua, <i>Sometimes in April, </i>memperlihatkan
bagaimana radio sebagai medium komunikasi massa turut serta menguatkan
stereotip yang memicu genosida nan tragis di Rwanda. Sementara film ketiga, <i>Shattered
Glass, </i>sesungguhnya mengangkat isu tentang celah-celah dalam sistem
verifikasi data yang berusaha menjaga kesakralan fakta-fakta jurnalistik. Namun, untuk kepentingan diskusi materi ini,
dalam film itu kita bisa melihat bagaimana praktik konstruksi realitas juga
dilakukan oleh para jurnalis-jurnalis media yang mengaku berpedoman pada kode
etik jurnalistik... <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;"> Usai
menyaksikan film, cobalah Anda eksplorasi pertanyaan-pertanyaan dan isu-isu
berikut ini (yang disampaikan dalam diskusi):<o:p></o:p></span></div>
<ol start="1" style="margin-top: 0cm;" type="1">
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="SQ" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Perhatikan
bagaimana masing-masing media massa beroperasi untuk membentuk realitas
yang akan disajikan pada khalayaknya. Dengan cara apa media melakukannya? <o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="SQ" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Apakah
realitas (yang ditampilkan) media sama dengan realitas yang sesungguhnya?
Dapatkah Anda membaca realitas yang tidak ditampilkan media, atau yang
mereka tutup-tutupi? Apa motivasi di balik penciptaan realitas semu
tersebut? Siapa yang punya kepentingan untuk menciptakan realitas
tersebut?<i><o:p></o:p></i></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="SQ" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Coba
amati bagaimana masyarakat atau khalayak media menyerap realitas yang
ditampilkan media. Apakah mereka memercayainya? Apakah mereka
meragukannya? Apakah mereka mendiskusikannya? Andai realitas yang
ditampilkan media belum tentu sama dengan realitas sesungguhnya, maka,
apakah manusia selaku khalayak media punya kuasa untuk mengonstruksi
realitasnya sendiri secara otonom? Apakah media sendiri, dalam menyeleksi
dan menampilkan realitas, juga punya kuasa otonom untuk mendefinisikan
realitas tersebut? Pihak mana—berdasarkan film yang Anda tonton—yang
benar-benar punya kuasa utuh untuk mendefinisikan realitas bagi pihak
lain?<i><o:p></o:p></i></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="SQ" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Bagaimana
Anda, selaku khalayak media yang tak luput dari pengaruh konstruksi
realitas media, menyikapi kenyataan tersebut? Cobalah berefleksi pada diri
Anda sendiri, apakah Anda merupakan subjek yang otonom terhadap diri Anda,
atau termasuk dalam kelompok massa yang terjebak dalam realitas bentukan
media? <i><o:p></o:p></i></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="SQ" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Gagasan
bahwa diri kita kemungkinan tak lebih dari boneka-boneka yang diciptakan
dan digerakkan oleh media demi kepentingan pasar, cukup mengerikan karena
menghilangkan eksistensi kita sebagai individu yang rasional dan merdeka.
Tapi, dalam situasi seperti sekarang ini, mungkinkan kita melepaskan diri
dari konstruksi realitas media? Bagaimana caranya?<i><o:p></o:p></i></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="SQ" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; line-height: 150%;">Gagasan
bahwa realitas yang kita hadapi begitu berlapis-lapis, hingga belum tentu
merupakan realitas nan sesungguhnya juga agak-agak mengerikan. Bagaimana menemukan realitas sejati itu?
Bagaimana membedakan (realitas) yang benar dan mana yang salah? Apakah
sesungguhnya kebenaran itu? <i><o:p></o:p></i></span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 150%;">Selamat menonton (untuk yang
sudah pernah menonton, selamat nonton lagi...), selamat berdiskusi, dan
terimakasih telah sudi berpartisipasi dalam acara ini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<br /></div>
<div>
<!--[if !supportFootnotes]-->____________________________________<br clear="all" />
<br /><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;">
<a href="" name="_ftn1"></a></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<span lang="SQ" style="font-size: 10.5pt;"><a href="file:///G:/BLOG/Media%20dan%20Konstruksi%20Realitas.doc#_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="text-decoration: initial;"><span style="color: windowtext; font-family: "Arial","sans-serif"; text-decoration: none; text-underline: none;">[*]</span></span></span></a></span><span class="apple-converted-space"><span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 10.5pt;"> </span></span><span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 10.5pt;">Materi
ini merupakan pengantar untuk acara diskusi dan pemutaran film untuk mata
kuliah Filsafat Komunikasi Fikom Unisba kelas C, D, E, Desember 2006.
Terimakasih penulis haturkan kepada Tarlen Handayani selaku pengelola Common
Room yang telah memberikan ruang dan kesempatan untuk melaksanakan diskusi
ini. <span class="apple-converted-space"> </span>Terimakasih juga
kepada seluruh peserta diskusi dan acara nonton bersama ini yang telah
meluangkan waktu untuk menghadiri acara ini. <span class="apple-converted-space"> </span>Untuk saran-saran, masukan, kritik,
maupun hal-hal lain yang bisa didiskusikan dan dieksplorasi terkait dengan
materi ini, silakan kontak penulis melalui e-mail<span class="apple-converted-space"> </span><a href="mailto:dyaning2001@yahoo.com">dyaning2001@yahoo.com</a><span class="apple-converted-space"> </span>atau<span class="apple-converted-space"> </span><a href="mailto:santi_fikom_unisba@yahoo.com">santi_fikom_unisba@yahoo.com</a>.<u1:p></u1:p></span><span lang="SQ" style="font-size: 10.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
<h3 style="text-align: start;">
<a href="" name="_ftn2"></a><span lang="SQ" style="font-size: 10.5pt;"><a href="file:///G:/BLOG/Media%20dan%20Konstruksi%20Realitas.doc#_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="text-decoration: initial;"><span style="color: windowtext; font-family: "Arial","sans-serif"; text-decoration: none; text-underline: none;">[†]</span></span></span></a></span><span lang="SQ" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 10.5pt;">Penulis
adalah dosen mata kuliah Filsafat Komunikasi dan Metode Penelitian Komunikasi
di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, bidang kajian Ilmu
Jurnalistik. </span><span lang="SQ" style="font-size: 10.5pt;"><o:p></o:p></span></h3>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<br /></div>
<br />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<br /></div>
</div>
<div id="ftn2">
</div>
</div>
communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-63621002884600353892008-09-04T11:45:00.000-07:002008-09-04T11:50:33.813-07:00POPEYE (BUKAN) SAHABAT KITA<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOVBqpga18mB6TsJd28VO_mOVUxP-fNZyfdpEJk_syxxshWuycI8Q9giDw2NgjHA_eUyP4OYH6sGZciTY72Wh9dORRE67CDogvUliB4PFs16f3gjkawnEjh0dZhCtZ_j_dffxY76Kmg_ZC/s1600-h/Irondale+Cafe.JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5242240435966511634" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOVBqpga18mB6TsJd28VO_mOVUxP-fNZyfdpEJk_syxxshWuycI8Q9giDw2NgjHA_eUyP4OYH6sGZciTY72Wh9dORRE67CDogvUliB4PFs16f3gjkawnEjh0dZhCtZ_j_dffxY76Kmg_ZC/s200/Irondale+Cafe.JPG" border="0" /></a><br /><div>Kita dibesarkan dengan bujukan ini. “Mau jadi sekuat Popeye? Makan bayam ya.” Bayam memang mengandung zat besi. Dan bayam adalah makanan kesukaan Popeye, rahasia kekuatan supernya. Maka, bertahun lamanya kita hidup dalam lingkaran mitos: bayam mengandung zat besi—makan sayur bayam bikin kita sekuat Popeye. Siapa nyana, serial kartun Popeye divonis berbahaya oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), 19 Agustus lalu. Yang berbahaya bukan saja adegan kekerasan dalam serial tersebut, tetapi juga penggambaran relasi antara laki-laki dan perempuan yang dimunculkan oleh karakter-karakter utama Popeye. Duh, ada apa dengan Popeye?<br /><br />Kontroversi Popeye<br />Popeye selama ini dipuji-puji sebagai film yang banyak mengandung nilai positif. Pertama, soal makan bayam itu. Popeye mempromosikan manfaat sayur. Ibu-ibu yang memiliki balita merasa terbantu dengan adanya serial Popeye, karena mereka jadi punya alat untuk membujuk balitanya yang susah makan sayur. Kedua, Popeye menawarkan nilai-nilai heroisme: membela si lemah, melawan musuh yang zalim. Popeye berani, tidak kenal takut. Simbol heroisme ini semakin kental dengan seragam Popeye—seorang pelaut.<br />Tetapi, ternyata ada data dan tafsiran lain menyangkut Popeye, bayam, dan heroismenya. Popeye diciptakan oleh Elzie Crisler Segar pada tahun 1929—awalnya sebagai komik strip di harian King Features. Pada tahun 1933, dimulailah debut Popeye dalam dunia motion pictures. Popularitas Popeye terus bertahan hingga 1957. Masa-masa ketika Popeye berjaya, adalah masa-masa Amerika mengalami depresi, sekaligus perang dunia. Pengetatan ekonomi berlangsung di mana-mana. Ketika Perang Dunia II berlangsung, sumberdaya termasuk sumber pangan banyak diarahkan untuk keperluan perang. Daging, ikan, telur, dan lain-lain. Rakyat di dalam negeri, hanya mendapatkan ‘sisa’-nya. Ya, bayam itu. Serial Popeye membantu ‘membujuk’ rakyat Amerika agar mau ‘berkorban’ demi ‘kepentingan negara’. Popeye menjadi semacam alat propaganda pemerintah AS pada jamannya, agar rakyat tidak mengomel karena kekurangan makanan (berprotein). Tidak apa-apa makan bayam terus-terusan. Toh Popeye bisa jadi superhero karena makan bayam.<br />Mengapa bayam yang dipilih? Pertama, bayam mudah tumbuh di mana-mana, dan bisa dipanen dengan cepat. Kedua, mengutip hasil penelitian tahun-tahun itu, bayam disimpulkan memiliki kandungan zat besi paling tinggi dibanding sayuran lainnya. Maka, bayam dipilih untuk merepresentasikan kekuatan super. Belakangan, data itu ternyata salah. Kandungan zat besi bayam sama saja dengan sayur lainnya!<br /><br />Kekerasan dan Relasi yang Mencemaskan<br />Kita terbahak-bahak melihat Popeye, kita terhibur dengan tingkah polah Popeye dan teman-temannya. Melalui Popeye, kita mendapatkan model tentang bagaimana semestinya seorang pahlawan berperan, bagaimana biang keladi kejahatan mesti ditumpas. Tapi, di sisi lain, Popeye membawa nilai-nilai yang cukup mencemaskan. Salah satunya adalah kandungan kekerasan yang cukup dominan.<br />Kekerasan muncul akibat konflik, dan konflik diperlukan untuk memamerkan kedigjayaan Popeye. Kalau tidak ada pertempuran dan baku hantam, bagaimana Popeye bisa tampak heroik? Popeye butuh panggung untuk mempertontonkan kekuatannya. Dan panggung itu adalah panggung kekerasan. Kekerasan menjadi jalan untuk menuntaskan masalah. Itulah salah satu yang diajarkan Popeye.<br />Bukankah setiap cerita butuh konflik? Konflik dapat memperlihatkan kontras antara baik dan buruk, serta memperlihatkan model perilaku yang diizinkan, atau sebaliknya. Benar. Tetapi, pelajaran macam apa yang bisa ditarik dari film berdurasi 20 menitan, di mana sebagian besar isinya adalah baku hantam dan kekerasan? Dalam salah satu episode Popeye, pelaku kekerasan bahkan karakter keponakan Olive, masih kecil dan imut-imut, tapi sangat keji. Ia mengerjai Popeye yang diminta Olive menjaga keponakannya. Intensitas kekerasan yang dilakukan si kecil ini cukup menyeramkan. Popeye dipanah, diseterika, dijepitkan ke pintu, ditusuk, dipukuli. Semua itu dilakukan si kecil dengan penuh suka cita—kekerasan menjadi hiburan baginya. Sementara Olive pergi shopping, pulang tertawa-tawa melihat Popeye babak belur dihajar keponakannya. Kita, penonton, begitu terhibur melihat kejadian itu. Bahkan, anak-anak diajak untuk menyaksikannya! Meminjam istilah Gerbner, begitulah cara kekerasan dikultivasi, atau ditanamkan ke dalam benak anak-anak. Begitulah anak belajar tentang norma dan dunianya—meminjam asumsi Social Learning Theory dari Albert F. Bandura.<br />Popeye juga mengandung ‘kekerasan’ relasi. Lihatlah bagaimana Olive pasangan Popeye (kadang istri, kadang pacar), bermanis-manis ketika Popeye ada. Kemudian, ketika Popeye pergi, adegan yang sama selalu berulang. Ada orang ketiga yang datang, siapa lagi kalau bukan Brutus (dalam naskah aslinya ternyata bernama Bluto). Entah siapa yang mulai duluan. Kadang-kadang Olive yang kegenitan menggoda Brutus. Seringnya sih Brutus, yang kalau sudah lelah menggoda, dicuekin, lantas menculik Olive. Bagi beberapa pihak, tindakan Brutus bukan sekadar penculikan, tetapi juga bisa ‘dibaca’ sebagai upaya pemerkosaan dan pemaksaan kehendak. Olive menjerit-jerit, Popeye datang dengan kekuatan supernya. Dan, ketika Popeye baku hantam dengan Brutus, maka Olive tertawa kegirangan, berseru-seru agar jagoannya menghajar lawan lebih keras lagi. Begitulah wujud relasi, aksi kekerasan, dan pelecehan yang dicemaskan KPI serta para aktivis melek media terhadap Popeye.<br /><br />Pentingnya Media Literacy<br />Peringatan KPI tentang Popeye yang harus diwaspadai, bersama sederet acara lain untuk anak, membuat kita terhenyak. Penelusuran dan ‘pembacaan aktif’ terhadap Popeye membuat kita lebih tertegun lagi. Maka, apakah yang dapat dimaknai dari semua ini?<br />Pertama, penonton harus lebih kritis dan lebih waspada menghadapi muatan media. Apa yang tampaknya aman ternyata tidak demikian halnya. Program anak-anak juga tidak bisa dikatakan sepenuhnya bebas dari unsur-unsur yang tidak mendidik. Manakala nilai-nilai negatif dan antisosial lebih banyak atau lebih dominan daripada nilai positif dan prososialnya, maka sebuah program ‘layak’ dijauhi demi kepentingan penonton-penonton belia. Inilah tantangan yang terutama dihadapi orangtua, guru, serta pihak-pihak yang terkait dengan perkembangan anak.<br />Kedua, pemaknaan memang merupakan masalah yang subjektif. Setiap keluarga, setiap kepala, punya ruang makna dan membangun konstruksi makna yang berbeda-beda. Karena itu, apa yang tampaknya keras bagi satu pihak, belum tentu demikian halnya bagi yang lain. Kendati demikian, dalam memilihkan program aman untuk anak, kepentingan anak harus dijadikan sebagai acuan. Jangan jadikan kepentingan dan kepala orang dewasa sebagai rujukan utama. Sesuatu yang tidak bermasalah bagi orang dewasa, bisa jadi hal yang gawat buat anak-anak. Tentu saja, tidak pada tempatnya juga menjadi ekstrim dan anti-media. Tetapi, mengajarkan sesuatu ada tahapannya. Dan orangtua manapun tentu tidak ingin ‘kekerasan’ mampir secara vulgar ke dalam ruang keluarganya.<br />Ketiga, peringatan KPI terhadap acara TV yang bermasalah hendaknya menjadi momentum untuk menggencarkan media literacy di lingkungan kita. Media literacy, alias melek media, adalah kemampuan untuk berhadapan dengan media secara bijak. Persisnya, kemampuan untuk mengakses media, mengapresiasi pesan-pesan media, mengkritisi media, dan memanfaatkan muatan media demi kepentingan peningkatan kualitas kehidupan. Kita tidak bicara televisi saja, tapi juga semua media yang mengelilingi kita. Radio, buku, film, Internet, termasuk media hiburan elektronik seperti videogame. Seyogyanya, setiap orang yang berinteraksi dengan media, dibekali dengan skill media literacy, sehingga kehadiran media dan program-program yang dibawanya tidak membawa dampak negatif bagi dirinya mau pun lingkungannya.<br /><br />Dimuat di HU Kompas Edisi Jawa Barat, Kamis 4 September 2008, rubrik Riungan subtitle Tontonan Anak.</div>communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-59682925657042794142008-08-20T11:47:00.001-07:002008-08-20T11:50:13.894-07:00Media Literacy, upaya membangun masyarakat kritis media13 Mei 2008, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meminta masyarakat untuk mewaspadai 10 program acara yang dianggap bermasalah yang ditayangkan sembilan stasiun TV swasta nasional Indonesia. Program bermasalah itu adalah “Cinta Bunga” (SCTV), “Dangdut Mania Dadakan 2” (TPI), “Extravaganza” (TransTV), “Jelita” (RCTI), “Mask Rider Blade” (ANTV), “Mister Bego” (ANTV), “Namaku Mentari” (RCTI), “Rubiah” (TPI), “Si Entong” (TPI), dan “Super Seleb Show” (Indosiar). Untuk keduakalinya, 9 Juli lalu, KPI kembali mengumumkan 4 mata acara TV yang bermasalah. “Extravaganza” masih mendapat rapor merah karena untuk kedua kalinya masuk dalam daftar tersebut, diikuti komedi situasi “Suami-Suami Takut Istri”, kartun “One Piece” dan “Ngelenong Nyok”.<br /><br />Apanya yang bermasalah? Macam-macam. Mulai dari sinetron yang mengumbar kekerasan fisik, kontes-kontesan yang menampilkan kekerasan verbal dalam bentuk ejekan melecehkan, sinetron anak yang mencampuradukkan ajaran agama dengan unsur mistik, sketsa komedi yang menampilkan lelucon berbau seks nan vulgar. Banyak program yang penayangannya tidak tepat waktu. Nyaris semua program bahkan tidak menampilkan klasifikasi acara sesuai dengan usia yang direkomendasikan bagi penontonnya.<br /><br />Kita semua tahu ini, dan sudah sering keprihatinan akan dampak buruk TV menjadi bahan obrolan di antara kita. Sayang sekali, sebagian besar stasiun TV menanggapi pengumuman ini sambil lalu. Bahkan, General Manager Produksi PT Global Informasi Bermutu (Global TV) Irwan Hendarmin menyatakan, masyarakat memang gandrung pada acara-acara yang dibumbui kekerasan, kemewahan, dan mimpi harapan. Ya ampun, memangnya kita ini sebodoh dan sebiadab itu?<br /><br />Pentingnya Media Literacy<br />Berharap pada stasiun TV agar memperbaiki tayangannya kelihatannya merupakan hal yang mustahil. Ada masalah rating, bisnis, dan terutama, kehendak untuk menjaring profit sebanyak mungkin. Maka, pilihan yang realistis adalah membekali penonton dengan keterampilan media literacy atau melek media.<br /><br />Memiliki keterampilan media literacy, berarti: (1) Dapat menyeleksi jenis dan isi media yang dikonsumsi—sesuai dengan usia dan kebutuhannya; (2) Dapat mengatur kapan waktu mengonsumsi media dan membatasi jumlah jamnya; (3) Dapat memahami dan mengapresiasi isi pesan yang dikonsumsi; (4) Dapat mengambil manfaat dari isi media yang dikonsumsi (Potter, 2007). Tujuan utamanya adalah agar khalayak media tidak mudah terkena dampak negatif.<br /><br />Aktivitas media literacy dapat diwujudkan dengan banyak cara. Di rumah, misalnya, orangtua dapat menerapkan media literacy dengan mengatur jadwal menonton televisi (cukup 2 jam saja sehari!), menyeleksi tayangan yang aman ditonton anak, dan lebih penting lagi, mendampingi anak menonton TV sambil mendiskusikan baik buruknya acara dan nilai-nilai yang bisa diteladani dari sebuah program. Di sekolah, guru dapat membantu dengan menyisipkan muatan media literacy dalam pelajaran sekolah. Beberapa inovasi kreatif yang dicapai oleh teman-teman guru sangat mengejutkan dan luarbiasa menarik. Supriyadi, seorang guru matematika SD di Malang, menyisipkan pendidikan media literacy dengan meminta anak-anak menghitung jarak aman menonton TV di dalam ruangan. Soal ini diikuti dengan pelajaran persentase—anak diminta menghitung persentase waktu yang dihabiskan untuk menonton TV dalam sehari!<br /><br />Gerakan media literacy akan semakin sukses jika didukung oleh lingkungan sekitar. Beberapa wilayah di Jokja, Malang, Klaten, dan Solo memberlakukan aturan yang mewajibkan orangtua mematikan TV pada saat ujian sekolah. Tindakan ini tidak sia-sia, prestasi belajar anak meningkat pesat, nilai rapor tidak mengecewakan, angka kelulusan sangat menggembirakan. Beberapa dukuh Sleman dan Turi, di kawasan Jokja, hingga kini masih memberlakukan jam wajib belajar, yang berlangsung selepas maghrib hingga pukul 20.00. Dalam rentang waktu sekitar dua jam, setiap rumahtangga dihimbau agar mematikan televisi, sehingga anak bisa berkonsentrasi penuh untuk belajar. Orangtua, kalau tidak mendampingi anak belajar, diajak untuk bersosialisasi. Kalau masih ada yang nekad menyalakan TV di jam-jam tersebut, tetangga, atau aparat dukuh akan mengingatkan. Sungguh masyarakat yang sehat dan aman!<br /><br /><br />Hari Tanpa TV<br />Belakangan ini, mulai muncul upaya untuk menggiatkan media literacy dalam aksi berlingkup nasional. Sejak 2006, sejumlah aktivis media literacy mengadakan aksi Hari Tanpa TV (Turn Off TV Day). Aksi ini diwujudkan dengan himbauan untuk mematikan TV selama sehari pada hari yang dipilih sebagai Hari Tanpa TV, kemudian menggantikan nonton TV dengan kegiatan edukatif lain. Misalnya, bermain, berkebun, membaca buku, rekreasi ke luar rumah, bahkan memasak bersama keluarga!<br /><br />Aksi ini punya makna ganda. Pertama, menyadarkan publik bahwa menonton TV itu tidak wajib, melainkan sebuah pilihan. Jadi, kalau tidak ada acara yang bagus dan aman ditonton, jangan ragu untuk mematikan televisi! Ganti saja dengan kegiatan lain yang bermanfaat. Kedua, aksi ini menjadi semacam sarana pengungkapan pesan kepada industri TV khususnya, dan bisnis media lain pada umumnya, agar lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang tidak mau lagi disuguhi program-program tak bermutu. Sesungguhnya, media tidak takut pada apapun. Yang mereka takutkan hanyalah khalayak sebagai konsumen program mereka. Bila khalayak minta produk ditarik atau diganti, apalagi sampai memboikot bersama, maka dengan segera produsen—dalam hal ini adalah stasiun televisi—akan segera melakukan perubahan.<br /><br />Banyak orang mengelirukan kegiatan media literacy sebagai gerakan anti media. Aksi Hari Tanpa TV (Turn Off TV Day) atau Pekan Tanpa TV (Turn Off TV Week) bahkan sering dicap sebagai gerakan anti-televisi. Salah. Aktivitas semacam ini pada dasarnya adalah mengembalikan fungsi media sebagai sumber belajar yang bermanfaat. Jadi, dalam aksi semacam ini, bukan hanya program TV yang buruk saja yang dihimbau agar tidak ditonton. Program TV yang bagus akan direkomendasikan agar ditonton.<br /><br />It takes a village to raise a child, tutur Hillary Clinton. Membesarkan anak adalah tugas warga sekampung. Maka, dalam kaitannya dengan media literacy, semua harus berperan aktif guna menciptakan lingkungan yang aman bagi anak, dan bebas dari pengaruh buruk media. Hari Tanpa TV 2008 akan jatuh pada hari Minggu, 20 Juli 2008. Masih tersedia cukup waktu, lho, untuk merencanakan apa yang akan dilakukan bersama keluarga guna mengisi waktu ketika TV tidak dinyalakan seharian selama hari itu! (000)<br /><br /><br /><br />Dimuat di HU Pikiran Rakyat, 9 Juli 2008communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-11378388881323743432008-08-20T11:47:00.000-07:002008-08-20T11:49:12.064-07:00Media Literacy, upaya membangun masyarakat kritis media13 Mei 2008, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meminta masyarakat untuk mewaspadai 10 program acara yang dianggap bermasalah yang ditayangkan sembilan stasiun TV swasta nasional Indonesia. Program bermasalah itu adalah “Cinta Bunga” (SCTV), “Dangdut Mania Dadakan 2” (TPI), “Extravaganza” (TransTV), “Jelita” (RCTI), “Mask Rider Blade” (ANTV), “Mister Bego” (ANTV), “Namaku Mentari” (RCTI), “Rubiah” (TPI), “Si Entong” (TPI), dan “Super Seleb Show” (Indosiar). Untuk keduakalinya, 9 Juli lalu, KPI kembali mengumumkan 4 mata acara TV yang bermasalah. “Extravaganza” masih mendapat rapor merah karena untuk kedua kalinya masuk dalam daftar tersebut, diikuti komedi situasi “Suami-Suami Takut Istri”, kartun “One Piece” dan “Ngelenong Nyok”.<br /><br />Apanya yang bermasalah? Macam-macam. Mulai dari sinetron yang mengumbar kekerasan fisik, kontes-kontesan yang menampilkan kekerasan verbal dalam bentuk ejekan melecehkan, sinetron anak yang mencampuradukkan ajaran agama dengan unsur mistik, sketsa komedi yang menampilkan lelucon berbau seks nan vulgar. Banyak program yang penayangannya tidak tepat waktu. Nyaris semua program bahkan tidak menampilkan klasifikasi acara sesuai dengan usia yang direkomendasikan bagi penontonnya.<br /><br />Kita semua tahu ini, dan sudah sering keprihatinan akan dampak buruk TV menjadi bahan obrolan di antara kita. Sayang sekali, sebagian besar stasiun TV menanggapi pengumuman ini sambil lalu. Bahkan, General Manager Produksi PT Global Informasi Bermutu (Global TV) Irwan Hendarmin menyatakan, masyarakat memang gandrung pada acara-acara yang dibumbui kekerasan, kemewahan, dan mimpi harapan. Ya ampun, memangnya kita ini sebodoh dan sebiadab itu?<br /><br />Pentingnya Media Literacy<br />Berharap pada stasiun TV agar memperbaiki tayangannya kelihatannya merupakan hal yang mustahil. Ada masalah rating, bisnis, dan terutama, kehendak untuk menjaring profit sebanyak mungkin. Maka, pilihan yang realistis adalah membekali penonton dengan keterampilan media literacy atau melek media.<br /><br />Memiliki keterampilan media literacy, berarti: (1) Dapat menyeleksi jenis dan isi media yang dikonsumsi—sesuai dengan usia dan kebutuhannya; (2) Dapat mengatur kapan waktu mengonsumsi media dan membatasi jumlah jamnya; (3) Dapat memahami dan mengapresiasi isi pesan yang dikonsumsi; (4) Dapat mengambil manfaat dari isi media yang dikonsumsi (Potter, 2007). Tujuan utamanya adalah agar khalayak media tidak mudah terkena dampak negatif.<br /><br />Aktivitas media literacy dapat diwujudkan dengan banyak cara. Di rumah, misalnya, orangtua dapat menerapkan media literacy dengan mengatur jadwal menonton televisi (cukup 2 jam saja sehari!), menyeleksi tayangan yang aman ditonton anak, dan lebih penting lagi, mendampingi anak menonton TV sambil mendiskusikan baik buruknya acara dan nilai-nilai yang bisa diteladani dari sebuah program. Di sekolah, guru dapat membantu dengan menyisipkan muatan media literacy dalam pelajaran sekolah. Beberapa inovasi kreatif yang dicapai oleh teman-teman guru sangat mengejutkan dan luarbiasa menarik. Supriyadi, seorang guru matematika SD di Malang, menyisipkan pendidikan media literacy dengan meminta anak-anak menghitung jarak aman menonton TV di dalam ruangan. Soal ini diikuti dengan pelajaran persentase—anak diminta menghitung persentase waktu yang dihabiskan untuk menonton TV dalam sehari!<br /><br />Gerakan media literacy akan semakin sukses jika didukung oleh lingkungan sekitar. Beberapa wilayah di Jokja, Malang, Klaten, dan Solo memberlakukan aturan yang mewajibkan orangtua mematikan TV pada saat ujian sekolah. Tindakan ini tidak sia-sia, prestasi belajar anak meningkat pesat, nilai rapor tidak mengecewakan, angka kelulusan sangat menggembirakan. Beberapa dukuh Sleman dan Turi, di kawasan Jokja, hingga kini masih memberlakukan jam wajib belajar, yang berlangsung selepas maghrib hingga pukul 20.00. Dalam rentang waktu sekitar dua jam, setiap rumahtangga dihimbau agar mematikan televisi, sehingga anak bisa berkonsentrasi penuh untuk belajar. Orangtua, kalau tidak mendampingi anak belajar, diajak untuk bersosialisasi. Kalau masih ada yang nekad menyalakan TV di jam-jam tersebut, tetangga, atau aparat dukuh akan mengingatkan. Sungguh masyarakat yang sehat dan aman!<br /><br /><br />Hari Tanpa TV<br />Belakangan ini, mulai muncul upaya untuk menggiatkan media literacy dalam aksi berlingkup nasional. Sejak 2006, sejumlah aktivis media literacy mengadakan aksi Hari Tanpa TV (Turn Off TV Day). Aksi ini diwujudkan dengan himbauan untuk mematikan TV selama sehari pada hari yang dipilih sebagai Hari Tanpa TV, kemudian menggantikan nonton TV dengan kegiatan edukatif lain. Misalnya, bermain, berkebun, membaca buku, rekreasi ke luar rumah, bahkan memasak bersama keluarga!<br /><br />Aksi ini punya makna ganda. Pertama, menyadarkan publik bahwa menonton TV itu tidak wajib, melainkan sebuah pilihan. Jadi, kalau tidak ada acara yang bagus dan aman ditonton, jangan ragu untuk mematikan televisi! Ganti saja dengan kegiatan lain yang bermanfaat. Kedua, aksi ini menjadi semacam sarana pengungkapan pesan kepada industri TV khususnya, dan bisnis media lain pada umumnya, agar lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang tidak mau lagi disuguhi program-program tak bermutu. Sesungguhnya, media tidak takut pada apapun. Yang mereka takutkan hanyalah khalayak sebagai konsumen program mereka. Bila khalayak minta produk ditarik atau diganti, apalagi sampai memboikot bersama, maka dengan segera produsen—dalam hal ini adalah stasiun televisi—akan segera melakukan perubahan.<br /><br />Banyak orang mengelirukan kegiatan media literacy sebagai gerakan anti media. Aksi Hari Tanpa TV (Turn Off TV Day) atau Pekan Tanpa TV (Turn Off TV Week) bahkan sering dicap sebagai gerakan anti-televisi. Salah. Aktivitas semacam ini pada dasarnya adalah mengembalikan fungsi media sebagai sumber belajar yang bermanfaat. Jadi, dalam aksi semacam ini, bukan hanya program TV yang buruk saja yang dihimbau agar tidak ditonton. Program TV yang bagus akan direkomendasikan agar ditonton.<br /><br />It takes a village to raise a child, tutur Hillary Clinton. Membesarkan anak adalah tugas warga sekampung. Maka, dalam kaitannya dengan media literacy, semua harus berperan aktif guna menciptakan lingkungan yang aman bagi anak, dan bebas dari pengaruh buruk media. Hari Tanpa TV 2008 akan jatuh pada hari Minggu, 20 Juli 2008. Masih tersedia cukup waktu, lho, untuk merencanakan apa yang akan dilakukan bersama keluarga guna mengisi waktu ketika TV tidak dinyalakan seharian selama hari itu! (000)<br /><br />Dimuat di HU Pikiran Rakyat, 9 Juli 2008communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-82161455896066027322008-08-20T11:41:00.000-07:002008-08-20T11:43:53.601-07:00MENGGAGAS MEDIA LITERACY BERBASIS KAMPUSIndustri TV, tak pelak lagi, merupakan salah satu yang paling berkembang saat ini. Modalnya memang besar, tetapi peluang pendapatannya—terlebih lewat iklan—sungguh menggiurkan. Tak heran jika banyak pihak berminat untuk menerjuni bisnis ini. Sayangnya, maraknya stasiun TV, banyaknya program yang disajikan, dan berjubelnya lulusan studi komunikasi di tempat ini, tidak berbanding lurus dengan kualitas program yang ditawarkan.<br /><br />Sudah dua kali Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dalam kurun waktu Mei-Juli 2008, mengeluarkan daftar program TV bermasalah yang mesti diwaspadai oleh masyarakat. Beberapa program populer, dari berbagai jenis, masuk dalam kategori tersebut. Sinetron “Cinta Bunga” (SCTV), sketsa komedi “Extravaganza” (Trans), kontes “Super Seleb Show” (Indosiar), misalnya, adalah program-program yang ratingnya tinggi, namun mendapat rapor merah KPI. Bahkan, program anak pun tak luput dari teguran KPI. Serial “Si Entong”, misalnya, mengandung unsur penyesatan agama dengan mistik. Serial “Namaku Mentari” menanamkan nilai-nilai yang berbahaya, seperti ‘menghalalkan pencurian’ dengan alasan akan diganti ketika ‘sudah kaya’.<br /><br />Data ini memang mengejutkan masyarakat, apalagi yang tingkat media literacy atau melek medianya masih rendah, seperti khalayak media di Indonesia. Semestinya, data ini juga melecut studi ilmu komunikasi, yang bejibun banyaknya di tanah air. Sudah begitu banyak lulusan studi ilmu komunikasi yang dihasilkan, dan sebagian besar berkutat di media. Namun, mengapa wajah TV justru semakin tidak ramah pada penontonnya? Mengapa gejala ‘kekerasan media’ justru kian banyak terjadi ketika studi ilmu komunikasi booming? Kemana saja lulusan studi komunikasi, dan, apa saja sih sesungguhnya yang diajarkan di program studi ini selain kemampuan memproduksi acara dan mengoperasionalkan alat?<br /><br />Media Literacy Sebagai Solusi<br />Seperti Dewa Janus dalam mitologi Yunani, media pada dasarnya memiliki dua wajah: positif dan negatif. Dalam bentuknya yang positif, media menjadi sumber informasi dan pembelajaran yang bermanfaat. Dalam bentuknya yang negatif, media menjadi semacam Kotak Pandora yang mengekspos khalayak pada ‘penyakit-penyakit baru’: kecanduan nonton, bias realitas, penanaman nilai-nilai buruk, dan sebagainya. Tantangan hidup di zaman serba media seperti sekarang ini adalah bagaimana memanfaatkan media sebaik-baiknya, dan terhindar dari pengaruh buruk media. Inilah media literacy—ihwal bagaimana bersiasat menghadapi media secara cerdas dan kritis.<br /><br />Media literacy merupakan semacam skill untuk mengakses, memilih, memilah, mengkritisi, dan memanfaatkan media sesuai dengan kebutuhannya. Jika diandaikan media saat ini tengah menjadi virus, maka media literacy akan menjadi antivirusnya. Berbekal kemampuan media literacy, masyarakat dapat terhindar dari efek negatif media.<br /><br />Idealnya, media literacy diajarkan sejak manusia berhadapan dengan media. Sehingga, dampak buruk media dapat dicegah sedari dini. Itu sebabnya, gerakan media literacy meluas ke banyak lapisan. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, media literacy menjadi tanggungjawab badan regulasi penyiaran/media massa dan departemen yang mengurusi informasi, komunikasi, dan media massa. Jepang dan Kanada mengambil langkah yang lebih serius: memasukkan media literacy sebagai bagian dari kurikulum wajib sekolah dasar dan menengah. Untuk menjaga misi media literacy, Kanada bahkan mengeluarkan kebijakan sertifikasi khusus bagi trainer media literacy. Yang jelas, nyaris di setiap negara, media literacy menjadi isu Departemen Pendidikan.<br />Media Literacy berbasis kampus<br />Program studi ilmu komunikasi sesungguhnya bukan hanya lembaga yang mengajarkan seluk-beluk komunikasi. Lebih dari itu, program studi ilmu komunikasi adalah gudangnya sumberdaya manusia yang menguasai isu-isu komunikasi—termasuk, mestinya, memahami isu media literacy. Karena itu, inisiatif menggagas media literacy wajar kiranya jika diharapkan muncul dari kalangan kampus komunikasi.<br /><br />Media literacy berbasis kampus bisa diwujudkan dalam banyak cara. Misalnya, menggagas muatan media literacy dalam kurikulum. Bentuknya bisa terintegrasi ke dalam mata kuliah, menjadi sisipan mata kuliah yang relevan. Cara ini ditempuh oleh sejumlah perguruan tinggi. Atau, media literacy dijadikan mata kuliah tersendiri.<br /><br />Perubahan atau modifikasi kurikulum memang tidak mudah. Ini masalah struktural yang prosedurnya sangat birokratis. Tetapi, ada ruang muatan lokal dalam bangun kurikulum yang bisa disiasati. Capaiannya memang berbeda. Jika media literacy menjadi sisipan, yang bisa diberikan sebatas pemahaman dasar yang relevan dengan mata kuliah induknya. Jika dijadikan mata kuliah tersendiri, media literacy bisa dieksplorasi lebih komprehensif, mencakup teori dan—yang lebih penting—terjun langsung dalam aktivitas media literacy.<br /><br />Memasukkan media literacy ke dalam struktur kurikulum akan menambah legitimasi formal bagi muatan media literacy. Namun, jika pun ini tidak memungkinkan, media literacy bisa dijadikan salah satu alternatif Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Lewat kegiatan ekstrakampus semacam ini, mahasiswa diajak untuk mencermati persoalan riil dalam interaksi antara masyarakat awam dengan media yang powerful. Mereka belajar menjadi peka terhadap masalah lingkungan, dan menambah pengalaman dengan terjun langsung ke tengah masyarakat untuk membangun skill media literacy di tengah publik. Manfaatnya bukan hanya pada masyarakat, tetapi juga pada dirinya sendiri. Dengan menjadi aktivis media literacy, mahasiswa mendapat kesempatan untuk menerapkan hal-hal terbaik yang mereka peroleh dari masa belajarnya di program studi ilmu komunikasi.<br /><br />Bagi para dosen sendiri, muatan media literacy dapat saling menunjang dengan unsur-unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pertama, advokasi media literacy dapat dimasukkan dalam area pengabdian masyarakat yang merupakan salah satu pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kedua, kegiatan ini dapat ditunjang oleh dharma lainnya, yaitu riset atau penelitian, dalam bentuk kajian media sebagai bagian mediawatch.<br /><br />Kesimpulannya, sesungguhnya ada banyak pintu masuk untuk menggagas aktivitas media literacy berbasis kampus. Semuanya kini tinggal berpulang pada program studi ilmu komunikasi sendiri dan civitas academica-nya. Setelah selama ini membangun komitmen setia pada industri media massa dengan melatih tenaga kerja trampil, bersediakah kini studi komunikasi memberikan komitmen nyata pada masyarakat lewat advokasi media literacy? Apabila himbauan ini tidak bersambut, sayang sekali. Jangan-jangan, yang harus disadarkan terlebih dulu ihwal pentingnya media literacy bukanlah masyarakat. Melainkan, seperti dinyatakan penyair-cum-pengamat sosial Hikmat Gumelar, justru kalangan civitas academica studi komunikasi sendiri... (000)<br /><br />Dimuat di HU Pikiran Rakyat, 9 Juli 2008communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-85915571045243572922007-12-26T22:43:00.000-08:002007-12-26T22:47:47.404-08:00Daulat Publik di Abad InformasiDAULAT PUBLIK DI ABAD INFORMASI<br />Santi Indra Astuti<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br />(Dimuat di HU Pikiran Rakyat, 27 Desember 2007)<br /><br />Sejak 1927, majalah TIME memilih tokoh-tokoh paling berpengaruh di dunia. Man of the Year, atau Person of the Year. Yang pernah terpilih adalah nama-nama besar seperti Martin Luther King, Jr. (1964), Ayatollah Khomeini (1979) sampai Bono, Bill dan Melinda Gates (2005). Tapi, tahun 2006, dalam edisi yang semestinya menampilkan Person of the Year, TIME tidak memasang foto siapapun. Pada sampulnya, hanya terpajang foto seperangkat komputer putih, dengan kata YOU tertulis di monitornya.<br /><br />YOU. Anda. Itulah Person of the Year 2007. Bukan presiden, bukan aktivis, bukan artis. Bukan siapapun. Tokoh penting alias tokoh kunci tahun 2007 adalah kita semua. Publik, khalayak, rakyat, komunitas, masyarakat, orang-orang kebanyakan. Sejak kapan orang biasa (ordinary people) menjadi orang penting (important people)? Jawabannya, sejak tumbuhnya kesadaran bahwa publik bukan lagi khalayak yang bodoh, kosong, dan mengambang. Publik adalah kekuatan, atau wujud kuasa itu sendiri. Publik adalah khalayak yang (semestinya) berdaya.<br /><br />Banjir Informasi, Kejenuhan Informasi<br />Dalam konteks Masyarakat Informasi, tahun ini memang harus dimaknai sebagai tahun khalayak. Inilah tahun milik publik. Saat dimana kedaulatan informasi mestinya dikembalikan pada publik. Mengapa publik, atau khalayak, yang menjadi kunci Masyarakat Informasi? Mengapa bukannya pemimpin-pemimpin politik, atau para penguasa teknologi? Nah, mari kita tengok sejenak ‘sejarah’ Masyarakat Informasi. Istilah ini ramai didengungkan pada tahun 80-an, ketika para futurolog seperti Alvin Toeffler, John C. Naisbitt, sampai Francis Fukuyama, meramalkan transformasi Masyarakat Industri menjadi Masyarakat Informasi. Masyarakat Informasi, mengutip definisi Melody (1990) dalam McQuail (1992), adalah masyarakat yang bergantung pada jejaring informasi dan komunikasi elektronik, serta mengalokasikan sebagian besar sumberdayanya bagi aktivitas-aktivitas informasi dan komunikasi. Masyarakat Informasi adalah masyarakat berbasis data digital. Artinya, perikehidupannya dioperasikan lewat pertukaran data digital.<br /><br />Janji Masyarakat Informasi adalah membebaskan umat manusia dari kesengsaraan, lewat peningkatan kesejahteraan dan demokratisasi yang dicapai berkat pemanfaatan teknologi informasi. Pertukaran informasi secara bebas diyakini sebagai kunci kemajuan. Tak heran jika seluruh dunia berupaya mengejar ketertinggalan teknologi lewat proyek-proyek digitalisasi seperti e-government, e-learning, e-banking, segala macam e-revolution. Media massa berkonvergensi, membuka pelbagai saluran informasi, dan membombardir khalayak dengan (sensasi) informasi berlimpah-ruah.<br /><br />Sayangnya, limpahan informasi tak kunjung mencerdaskan khalayak. Konvergensi media memang membuka pasar industri yang ramai. Tapi keuntungannya lebih banyak dinikmati oleh para pelaku pasar. Maraknya media massa tidak dibarengi dengan isi yang mendidik. Kunci-kunci akses teknologi tetap dipegang oleh penguasa-penguasa teknologi, yang berkolaborasi dengan aktor-aktor politik dan ekonomi pasar. Lantas, bagaimana mungkin kita bisa bicara soal demokratisasi, kesetaraan, dan pemerataan kesejahteraan?<br /><br />Maka, pada era ini, kita dipusingkan oleh banjir informasi, perdebatan berlarut seputar hak penguasaan frekuensi, perebutan ranah publik, komodifikasi khalayak, sentralisasi dan censorship, information security, serta penciptaan pasar yang dikendalikan oleh instrumen-instrumen seperti rating. Sementara, khalayak ditinggalkan sendirian, dibiarkan terseret-seret banjir informasi hingga mencapai titik kejenuhan informasi—information saturated. Publik, dalam situasi seperti ini, hanya diposisikan sebagai khalayak pasif. Publik tak lebih dari konsumen, yang habis-habisan dieksploitasi oleh pasar media mau pun bisnis informasi.<br /><br />Melek Informasi<br />Ilustrasi tadi memberi kita pelajaran berharga. Masyarakat Informasi mustahil terwujud andai tidak dibarengi dengan pembekalan information literacy (melek informasi) kepada publik. Informasi yang melimpah sesungguhnya bisa menjadi sumberdaya yang bermanfaat, andai publik cukup melek informasi. Melek informasi, berarti bisa mengakses sumber-sumber informasi, bisa menyeleksi informasi sesuai kebutuhannya, bisa menganalisis informasi secara kritis, dan bisa mengelola informasi. Tanpa bekal melek informasi, publik hanya menjadi bulan-bulanan pasar dan penguasa teknologi informasi.<br /><br />Information literacy dapat dijabarkan setidaknya dalam dua aspek: literacy of Information Technology (IT literacy) dan media literacy. Mengapa IT literacy penting? Tidak ada gunanya melakukan percepatan teknologi atau menyelenggarakan proyek digitalisasi yang mahal, ketika khalayak tidak tahu mau dibawa kemana dengan teknologi tersebut. Mengapa media literacy itu penting? Tidak ada gunanya membuka saluran media massa, dan membombardir khalayak dengan media, ketika ujung-ujungnya publik hanya disuguhi program atau content yang tidak mencerdaskan. Maaf-maaf saja, proyek e-government, e-learning, e-banking, dan lain-lain, akhirnya tak lebih dari otomatisasi perkantoran saja, yang keuntungannya dinikmati oleh makelar proyek dan distributor perangkat elektronik. Sementara, hasil akhirnya sendiri hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.<br /><br />Sejumlah langkah kini harus dilakukan untuk memberdayakan khalayak agar melek informasi. Pertama, strategi decentring atau pemecahan konsentrasi kekuasaan pada simpul-simpul yang lebih kecil. Dalam konteks Masyarakat Informasi, decentring harus diterjemahkan sebagai pemecahan konsentrasi penguasaan teknologi informasi, yang saat ini hanya terpusat pada lokus-lokus tertentu. Peran pemerintah dalam hal diperlukan sebagai regulator atau fasilitator yang bijak dan berpihak pada publik, tidak egois menghamba pada kepentingan ideologis atau kepentingan pasar. Peran lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga diperlukan, sebagai jembatan penghubung antara pusat-pusat kekuasaan dengan publik.<br /><br />Adalah suatu indikasi yang baik, jika pemerintah via Depkominfo kini bisa duduk bersama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), guna mendiskusikan langkah-langkah menjadikan frekuensi sebagai ranah publik. Sesungguhnya, ini merupakan upaya decentring untuk memecah konsentrasi penguasaan ranah penyiaran, yang tadinya hanya berada di tangan pemerintah. Proyek Koran Masuk Desa, pengadaan Internet bagi wilayah pedesaan, atau pendirian pusat-pusat informasi masyarakat di tingkat RW juga bisa dibaca sebagai strategi decentring. Tujuannya tidak lain menjadikan teknologi informasi dan pertukaran informasi tak cuma terfokus di kota-kota besar. Namun, bisa dinikmati hingga ke sentra-sentra masyarakat terkecil. Decentring tidak sekadar membuka akses, tapi juga membuka ruang-ruang partisipatori. Informasi yang lazimnya bersifat top down (dari pusat ke pinggiran) kini bisa diseimbangkan dengan alur bottom-up (dari bawah ke atas).<br /><br />Tapi, decentring saja tidak cukup. Strategi kedua yang harus dilakukan adalah memberdayakan publik lewat pendidikan melek media dan melek informasi. Menempatkan komputer di desa-desa, mengembangkan jaringan internet sampai tingkat RW, tapi tidak dibarengi dengan pendidikan, pelatihan, dan pendampingan mengenai cara memanfaatkannya, sungguh-sungguh merupakan tindakan yang tidak bertanggungjawab. Berapa banyak komputer dan perangkat instalasi Internet yang teronggok tanpa guna di rumah-rumah pemuka desa, atau ketua-ketua RW, gara-gara masyarakat tidak tahu cara menggunakannya? Perlu dilakukan pendataan menyangkut komunitas mana yang memang memerlukannya. Bila komunitas belum membutuhkan teknologi komputer dan Internet, serta tidak punya daya dukung, semisal listrik yang memadai, tentu tidak perlu dipaksakan. Mereka bisa diberdayakan melalui perangkat informasi lain. Itu pun kalau informasi memang diyakini sebagai kunci kemajuan masyarakat. Mengembangkan radio komunitas, mendirikan perpustakaan gratis, atau memberdayakan majelis taklim sebagai pusat pertukaran informasi masyarakat, misalnya, bisa menjadi upaya alternatif untuk membuat masyarakat melek informasi dan melek media.<br /><br />Dalam konteks media literacy dan information literacy, hal-ihwal apa yang mesti ditransfer pada publik? Pertama-tama adalah pengenalan mengenai jenis-jenis informasi dan media informasi. Selanjutnya, mendampingi publik agar bisa memproduksi sendiri informasi yang dibutuhkan. Dengan cara ini, publik tidak sekadar mampu menyeleksi informasi sesuai dengan kebutuhannya, tetapi juga bisa memelihara content dan mengelola medianya sendiri. Inilah sesungguhnya esensi demokratisasi informasi—publik yang berdaya menjadi produsen, sekaligus konsumen informasi!<br /><br />Strategi ketiga adalah mengembangkan jejaring advokasi media dan informasi. Jejaring ini penting untuk menguatkan publik, menjamin akses agar senantiasa terbuka ke segala pihak, termasuk melakukan kontrol bersama untuk menjaga agar wahana informasi dan komunikasi tidak lagi dikuasai secara sepihak—oleh siapapun. Stakeholder yang bisa dilibatkan meliputi kalangan pendidik dan akademisi, praktisi atau profesional-profesional media, teknokrat dan industrialis, publik pada umumnya, biro-biro pemerintah, lembaga legislatif, organisasi non pemerintah atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ringkasnya, siapapun yang memiliki concern pada isu pemberdayaan publik, media literacy, information literacy, dan IT literacy.<br /><br />Dari aspek teknologi, semua ini dimungkinkan berkat berkembangnya teknologi open source, personal-based-technology, dan user-friendly-gadget. Tapi, yang tak kalah penting, hendaknya seluruh strategi pemberdayaan publik dilakukan seiring sejalan. Bukan jamannya lagi menjalankan kebijakan parsial, atau setengah-setengah, karena hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu (dan biasanya bukan publik!). Pada dasarnya, yang mesti dilakukan adalah pekerjaan mahabesar, yaitu menegakkan atau merekonstruksi kedaulatan publik di ranah informasi.<br /><br />Nah, kembali pada YOU yang dinobatkan sebagai Person of The Year 2006. Mau tahu apa alasan TIME menempatkan Anda semua, kita, sebagai sosok berpengaruh tahun 2006? TIME menulis, “YOU control the Information Age”. Pada kitalah, terletak kendali atas Abad Informasi. Maka, sangat beralasan untuk menjadikan daulat informasi di tangan publik sebagai isu Abad Informasi di tahun-tahun mendatang (000).<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Santi Indra Astuti. Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi UNISBA, Bidang Kajian Jurnalistik. Pegiat Bandung School of Communication Studies (BASCOMMS).communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-26259384794870317172007-12-01T21:00:00.001-08:002007-12-01T21:02:59.993-08:00CITIZEN JOURNALISM: RAME-RAME JADI WARTAWANCITIZEN JOURNALISM: SEBUAH FENOMENA<br />Santi Indra Astuti<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br /><br />Benar sekali apa yang dikatakan oleh Steve Outing dalam tulisannya “The 11 Layers of Citizen Journalism”, istilah citizen journalism saat ini menjadi one of the hottest buzzword dalam dunia jurnalistik. Rasanya ketinggalan jaman kalau sampai ketinggalan kata-kata ini. Citizen journalism diucapkan oleh siapapun yang mengamati perkembangan media, baik mereka yang berada di lingkaran dalam media seperti para praktisi, kru dan pemilik media, mau pun mereka yang berada di luar media, seperti para pengamat media. Kurang gaul, rasanya, kalau sampai ketinggalan isu ini.<br /><br />Bagi yang sudah lama mencermati dinamika dunia jurnalistik dari esensinya yang paling dalam, citizen journalism sebenarnya cuma masalah beda-beda istilah. Spiritnya tetap sama dengan public journalism atau civic journalism yang terkenal pada tahun 80-an. Yaitu, perkara bagaimana menjadikan jurnalisme bukan lagi sebuah ranah yang semata-mata dikuasai oleh para jurnalis. Dikuasai dalam arti diproduksi, dikelola, dan disebarluaskan oleh institusi media, atas nama bisnis ataupun kepentingan politis.<br /><br />Lantas, apa bedanya fenomena public journalism dengan rame-rame soal citizen journalism sekarang ini? Ada. Perbedaannya, menurut saya, terletak pada kemajuan teknologi media sehingga semangat partisipatoris yang melibatkan publik dalam mendefinisikan isu semakin terakomodasi. Selain itu, kemajuan teknologi media membuat akses publik untuk memasuki ranah jurnalistik semakin terbuka. Semangatnya, sekali lagi, tetap sama. Yaitu, mendekatkan jurnalisme pada publiknya. Bedanya, open source di masa sekarang semakin niscaya saja, ketika teknologi media kian berkembang.<br /><br /><br />Mendefinisikan citizen journalism<br />Pada dasarnya, tidak ada yang berubah dari kegiatan jurnalisme yang didefinisikan seputar aktivitas mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan berita. Citizen journalism pada dasarnya melibatkan kegiatan seperti itu. Hanya saja, kalau dalam pemaknaan jurnalisme konvensional (tiba-tiba saja menjadi jurnalisme old school setelah citizen journalism muncul), yang melakukan aktivitas tersebut adalah wartawan, kini publik juga bisa ikut serta melakukan hal-hal yang biasa dilakukan wartawan di lembaga media. Karena itu, Shayne Bowman dan Chris Willis lantas mendefinisikan citizen journalism sebagai ‘...the act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and information”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a>.<br />Ada beberapa istilah yang dikaitkan dengan konsep citizen journalism.<br />Public journalism, advocacy journalism, participatory journalism, participatory media<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a>, open source reporting, distributed journalism, citizens media, advocacy journalism, grassroot journalism, sampai we-media. Civic journalism, menurut Wikipedia, bukan citizen journalism karena dilakukan oleh wartawan walau pun semangatnya tetap senada dengan public journalism, yaitu (lebih) mengabdi pada publik dengan mengangkat isu-isu publik. Citizen journalism adalah bentuk spesifik dari citizen media dengan content yang berasal dari publik. Di Indonesia, istilah yang dimunculkan untuk citizen journalism adalah jurnalisme partisipatoris atau jurnalisme warga.<br />J.D. Lasica, dalam Online Journalism Review (2003)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a>, mengategorikan media citizen journalism ke dalam 5 tipe:<br />1. Audience participation (seperti komenter user yang diattach pada kisah-kisah berita, blog-blog pribadi, foto, atau video footage yang diambil dari handycam pribadi, atau berita lokal yang ditulis oleh anggota komunitas).<br />2. Situs web berita atau informasi independen (Consumer Reports, Drudge Report).<br />3. Situs berita partisipatoris murni (OhmyNews).<br />4. Situs media kolaboratif (Slashdot, Kuro5hin).<br />5. Bentuk lain dari media ‘tipis’ (mailing list, newsletter e-mail).<br />6. Situs penyiaran pribadi (situs penyiaran video, seperti KenRadio).<br />Ada dua hal setidaknya yang memunculkan corak citizen journalism seperti sekarang ini. Pertama, komitmen pada suara-suara publik. Kedua, kemajuan teknologi yang mengubah lansekap modus komunikasi. Sejarah citizen journalism sendiri bisa dilacak sejak konsep public journalism dilontarkan oleh beberapa penggagas, seperti Jay Rosen, Pew Research Center, dan Poynter Institute. Bersama Wichita News, Eagle, Kansas, para penggagas citizen journalism mencobakan konsep public journalism dengan membentuk panel diskusi bagi publik guna mengidentifikasi isu-isu yang dianggap penting bagi publik. Berdasarkan identifikasi tersebut, liputan kemudian disusun.<br />Public journalism acap dikaitkan dengan konsep advocacy journalism karena beberapa media bergerak lebih jauh tidak saja dengan mengangkat isu, tetapi juga mengadvokasikan isu hingga menjadi sebuah ‘produk’ atau ‘aksi’—mengegolkan undang-undang, menambah taman-taman kota, membuka kelas-kelas untuk kelompok minoritas, membentuk government watch, mendirikan komisi pengawas kampanye calon walikota, dan lain-lain. Public atau citizen journalism juga dikaitkan dengan hyperlocalism karena komitmennya yang sangat luarbiasa pada isu-isu lokal, yang ‘kecil-kecil’ (untuk ukuran media mainstream), sehingga luput dari liputan media mainstream.<br />Public journalism dengan model seperti ini mendasarkan sebagian besar inisiatif dari lembaga media. Kemajuan teknologi dan ketidakterbatasan yang ditawarkan oleh Internet membuat inisiatif semacam itu dapat dimunculkan dari konsumen atau khalayak. Implikasinya cukup banyak, tidak sekadar mempertajam aspek partisipatoris dan isu yang diangkat.<br />Citizen journalism: Isu dan Implikasi<br />Saya termasuk yang meyakini bahwa kemajuan teknologi (komunikasi) mengubah lansekap atau ruang-ruang sosial kita. Perkembangan citizen journalism belakangan ini menakjubkan buat saya—yang dibesarkan dalam tradisi old school journalism—karena mengundang sejumlah implikasi yang tidak kecil. Beberapa di antaranya, yang teramati oleh saya, adalah sbb.<br />1. Open source reporting: perubahan modus pengumpulan berita. Wartawan tidak menjadi satu-satunya pengumpul informasi. Tetapi, wartawan dalam konteks tertentu juga harus ‘bersaing’ dengan khalayak, yang menyediakan firsthand reporting dari lapangan.<br />2. Perubahan modus pengelolaan berita. Tidak hanya mengandalkan open source reporting, media kini tidak lagi menjadi satu-satunya pengelola berita, tetapi juga harus bersaing dengan situs-situs pribadi yang didirikan oleh warga demi kepentingan publik sebagai pelaku citizen journalism.<br />3. Mengaburnya batas produsen dan konsumen berita. Media yang lazimnya memosisikan diri sebagai produsen berita, kini juga menjadi konsumen berita dengan mengutip berita-berita dari situs-situs warga. Demikian pula sebaliknya. Khalayak yang lazimnya diposisikan sebagai konsumen berita, dalam lingkup citizen journalism menjadi produsen berita yang content-nya diakses pula oleh media-media mainstream. Oh my God, duniaaa....<br />4. Poin 1-2-3 memperlihatkan khalayak sebagai partisipan aktif dalam memproduksi, mengkreasi, mau pun mendiseminasi berita dan informasi. Pada gilirannya faktor ini memunculkan ‘a new balance of power’—distribusi kekuasaan yang baru. Ancaman power yang baru (kalau mau disebut sebagai ancaman) bagi institusi pers bukan berasal dari pemerintah dan ideologi, atau sesama kompetitor, tetapi dari khalayak atau konsumen yang biasanya mereka layani!<br />5. Isu profesionalisme: apakah setiap pelaku citizen journalism bisa disebut wartawan? Kenyataannya, citizen journalism mengangkat slogan everybody could be a journalist! Apakah blogger bisa disebut sebagai the real journalist?<br />6. Isu etika: apakah setiap pelaku citizen journalism perlu mematuhi standar-standar jurnalisme yang berlaku di kalangan wartawan selama ini sehingga produknya bisa disebut sebagai karya jurnalistik? Kita bicara soal kaidah jurnalistik yang selama ini diajarkan pada para wartawan—mungkinkah kaidah itu masih berlaku? Lazimnya, yang acap disentuh dalam wacana kaidah jurnalistik adalah soal objektivitas pemberitaan, dan kredibilitas wartawan/media.<br />7. Isu regulasi: perlukah adanya regulasi bagi pelaku citizen journalism? Kaitannya dengan etika, profesionalisme, komersialiasi, dan mutu content.<br />8. Isu ekonomi: munculnya situs-situs pelaku citizen journalism yang ramai dikunjungi menimbulkan konsekuensi ekonomi, yaitu pemasang iklan, yang jumlahnya tidak sedikit. Pers, menurut Jay Rosen pada dasarnya adalah media franchise atau public service franchise in journalism. Kalau citizen media kini muncul dan juga bermain dalam ranah komersial, ini hanya merupakan konsekuensi ‘the enlarging of media franchise’. Isu ekonomi juga mengundang perdebatan lain. Kalau tadinya para kontributor citizen journalism memasukkan beritanya secara sukarela, kini mulai muncul perbincangan bagaimana seharusnya membayar mereka. Ada bayaran, tentu ada standar yang harus dipatuhi sesuai bayarannya. Akhirnya, ini mengundang masuknya isu profesionalisme—sesuatu yang dalam konteks tertentu akhirnya malah ‘berlawanan’ dengan semangat citizen journalism.<br />9. Bagaimana nasib the old school journalism di masa depan dengan munculnya citizen journalism? Apakah tradisi old school journalism akan tetap bertahan di masa depan?<br />Itulah beberapa isu yang akan selalu diangkat dan didiskusikan dalam seminar mana pun yang berbicara ihwal citizen journalism.<br />Citizen journalism di Indonesia<br />Saya mulai mengamati fenomena public journalism di pertengahan 1990-an. Satu hal yang menggelitik saya adalah apakah konsep development journalism atau jurnalisme pembangunan yang diajarkan dalam kurikulum studi jurnalistik tahun 1980-1995an (saya adalah salah satu produknya!) merupakan wujud public journalism? Saya putuskan, TIDAK. Pertama, aspek partisipatorinya tidak nyata. Isu tetap diputuskan oleh media yang bersangkutan (acap atas ‘restu’ Departemen Penerangan)—walau slogan pembangunan, di manapun, selalu menyatakan mengabdikan diri pada kepentingan publik. Kedua, ideologi jurnalisme pembangunan pada dasarnya adalah ideologi komunikasi pembangunan yang sudah bangkrut di tahun 80-an (dibangkrutkan oleh para penggagasnya sendiri seperti Everett M. Rogers), karena dianggap terlalu ideologis, utopis, dan totaliter.<br />Saya tertarik mengamati geliat citizen journalism di Indonesia lewat diskusi dengan teman-teman aktivis soal open source reporting yang tampaknya senada betul dengan tulisan-tulisan Pepih Nugraha di harian Kompas, yang mengangkat hal-ihwal participatory journalism. Saya mengikuti Indonesiasatu.net yang memproklamirkan diri sebagai jurnalisme warga. Undangannya untuk menjenguk situs ini meyakinkan, tampilannya tergarap dengan baik (walau updatingnya lambat), ada profil warga teladan, tapi jujur saja saya kecewa karena tidak menemukan sesuatu yang berbeda dengan harian lain. Ini seperti membaca berita lokal dari koran lokal yang bisa diakses lewat online media lokal, tanpa situs ini perlu memproklamirkan diri sebagai (sosok) pengusung jurnalisme warga. Hyperlocalism yang saya bayangkan bukan seperti ini. Begitu banyak berita gado-gado tanpa struktur gagasan yang jelas, tanpa memperlihatkan pada pengunjung situsnya ini sebenarnya mau dibawa ke mana. Ini murni open source reporting, tapi saya bertanya-tanya, apa ini wujud citizen journalism (alih-alih citizen reporting)?<br />Pesta Blogger Indonesia semakin menguatkan seruan citizen journalism. Menjamurnya blog di mana-mana memang fenomena luarbiasa (13.000 blog didirikan setiap hari!). Tapi, ketika mengunjungi beberapa blog yang katanya banyak di-hit, saya hanya mendapatkan curhat-curhat personal tanpa melihat apa pentingnya ini bagi publik? (Walau, jujur saja, saya menikmati curhat personal itu). Atau, isu publik macam apa yang mestinya bisa dimaknai dari curhat personal tersebut? Saya beranggapan, blog memang membuka kemungkinan open source reporting, menjamurnya blog dan blogger adalah kondisi yang kondusif untuk memunculkan citizen journalism, tapi sekadar ngeblog saja tidak cukup untuk diberi predikat sudah ber-citizen journalism. Citizen journalism, dengan kata lain, is not that easy!<br />Sehari setelah Pesta Blogger Indonesia usai, Harian Republika mengumumkan lewat iklan besar-besaran akan menjadikan medianya sebagai pengusung jurnalisme warga dengan mengundang partisipasi warga lewat ruang yang disediakan bagi mereka untuk sejumlah isu: laporan utama, laporan traveling, sampai berbagi resep. Sejauh ini saya lihat berbagi resep-lah yang menjadi wujud jurnalisme warga di Republika. Penulis resepnya jadi jurnalis, dan Ibu saya emoh ikut-ikutan karena tidak tahan dengan predikat ‘jurnalis warga’ lewat resepnya. “Saya emoh jadi wartawan! Apalagi karena resep saya,” kata Ibu saya. “Berbagi resep ya berbagi resep ajalah, kenapa mesti jadi karya jurnalistik?” kata teman ngerumpi saya. “Sejak kapan resep masakan jadi berita jurnalisme warga?” ini kata rekan yang lebih serius, hehe.... Buat Republika, ini taktik bagus buat enlarging audience—dan enlarging outreach. Mudah-mudahan dampaknya bagus pada sirkulasi dan iklan. Namun untuk menyebut ini sebagai wujud citizen journalism, saya masih risi, terus-terang saja. Saya lebih suka menyebutnya sebagai open access.<br />Dari beberapa fenomena tadi, saya belajar banyak hal. Salah satunya adalah soal isu. Saya belajar dari situ bahwa untuk masuk dalam dunia citizen journalism, tampaknya yang mesti dibawa bukan sekadar kemampuan standar pelaporan dan penyusunan berita ala 5W + 1 H. Tapi juga persoalan bagaimana menjadikan isu ‘the public becomes personal, the personal becomes public’. Tanpa itu, saya pikir, publik cuma mendapatkan sederetan informasi tanpa makna. Sebuah situs citizen journalism menjadi milik citizen, milik publik, kalau banyak pengunjungnya. Maka, pengelola citizen journalism harus mampu memelihara kandungan situsnya, dan mengundang partisipasi publik, untuk membuka diskusi dalam frame yang jelas (soal mutu, bolehlah diperdebatkan). Tanpa semua ini, situs sebagus apapun, dan sebombastis apapun slogan jurnalismenya, hanya menjadi situs yang sunyi—diisi, ditonton, dikeploki oleh pengelolanya sendiri. Sayang, karena resources yang begitu potensial, jadi tersia-sia.<br />Bagaimanapun, saya gembira dengan fenomena baru dan tantangan serius yang dimunculkan oleh citizen journalism. Saya kira efeknya akan baik buat keduanya, baik bagi publik maupun bagi media mainstream. Sebagaimana sistem pers kuat dibingkai dan dipengaruhi oleh local culture, saya juga percaya, wujud citizen journalism sendiri pada akhirnya akan bervariasi sesuai dengan local culture komunitas yang mengusungnya. Nah, rame-rame jadi citizen journalist? Mengapa tidak? (000)<br />Rujukan<br />Outing, Steve. The 11 Layers of Citizen Journalism. <a href="http://www.poynter.org/content/content_view.asp?id=83126">http://www.poynter.org/content/content_view.asp?id=83126</a>. Tanggal akses terakhir 13 November 2007, pk. 10.12.<br />Rosen, Jay. Blogger vs. Journalism. Poynter Institute Proceedings. mobcasting.blogspot.com/2005/01/jay-rosen-why-bloggers-vs-journalists.html - 16k. Tanggal akses terakhir 28 November 2007, pk. 16.53.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Disampaikan dalam seminar “Rame-rame Jadi Wartawan”. Balaikota Bandung, 1 Desember 2007. Kontak penulis: <a href="mailto:dyaning2001@yahoo.com">dyaning2001@yahoo.com</a>., <a href="http://www.communicare-santi.blogspot.com/">www.communicare-santi.blogspot.com</a>.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Dikutip dari laporan seminal We Media: How Audiences are Shaping the Future of News and Information.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Participatory Media is media of, by, and for the people where for the first time the producers, editors and consumers of information are the same. (Citizen Journalism iTalk, tanggal akses terakhir 29 November 2007, pk. 22.32).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Lagi-lagi dikutip dari Wikipediacommunicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-8938205388358436022007-11-28T19:57:00.000-08:002007-11-28T19:58:25.372-08:00Membunuh RatingDimuat dalam Kolom Fokus Pikiran Rakyat, Minggu 25 November 2007<br /><br /><span style="font-family:trebuchet ms;"><strong>(Lagi-lagi) Soal ”Rating”</strong></span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;"><strong>Oleh Santi Indra Astuti<br /></strong></span><br />Intan selamanya tidak akan pernah mati, Rado juga, apalagi Superman. Yang bisa membunuh mereka bukan bibi yang culas, mertua yang galak, atau alien bersenjatakan Kryptonite. Hanya satu yang bisa membunuh mereka semua, serempak dan seketika, rating.<br />Adalah rating yang selama ini menjadi penentu hidup matinya sebuah program di televisi. Rating mengukur banyaknya pemirsa yang menyaksikan sebuah program pada satu waktu. Besaran lain, audience share, mengukur peta banyaknya pemirsa di berbagai stasiun televisi pada satu periode tertentu. Rating dan audience share bersama-sama mengukur kekuatan sebuah program televisi dibandingkan dengan program lainnya. Keduanya menjadi parameter yang menentukan nilai tukar, alias harga iklan sebuah program di televisi.<br />Rating tidak mengukur kualitas sebuah program, tetapi melulu menguantifikasi nilai tukarnya. Dengan cara ini, rating mendatangkan pemasukan bagi stasiun televisi.<br />Sialnya, karena tidak mengukur kualitas program, maka tengok macam apa sampah-sampah yang memenuhi layar kaca kita. Sinetron-sinetron yang mengajarkan konsumtivisme dan penyelesaian masalah dengan kekerasan. Infotainment yang membuka ruang-ruang privat dan mengeksposnya pada publik. Liputan kriminalitas berdarah-darah yang menumpulkan kepekaan terhadap kemanusiaan. Begitulah, ketika dikritik, stasiun televisi berdalih, program ini rating-nya tinggi, mencerminkan selera pemirsa. Walhasil, tak heran jika banyak pihak memprotes rating. Rating dianggap sebagai bagian dari projek pembodohan bangsa yang dilakukan televisi.<br />Dalam episode Padamu Negeri di Metro TV minggu ini, bertema ”Televisi Sebagai Guru Bangsa”, masalah rating kembali diwacanakan. Pertanyaannya adalah, setujukah jika rating digunakan sebagai parameter untuk mengukur kesuksesan program. Para aktivis media jelas-jelas menjawab tidak. Lucunya, jawaban kalangan industri juga didominasi oleh opsi tidak. Jawaban ini menarik karena memperlihatkan perubahan paradigma kalangan industri yang selama ini begitu mendewakan rating. Mereka mulai mempertanyakan validitas rating--apakah rating memang benar-benar mengukur selera pemirsa? Ini pertanyaan yang bagus karena bisa mengawali wacana tentang mengapa kita harus lagi-lagi menyoal rating.<br />Setidaknya ada 3 hal yang menjadi alasan mengapa rating tidak bisa dipercaya. Pertama, isu metodologis. Rating diukur dengan pendekatan kuantitatif, yang melulu mengukur besaran orang yang menonton, bukan pendapat mengenai mutu acara. Sampel responden juga dipertanyakan, apakah mewakili kuantitas dan karakteristik populasinya? Soal lokasi pemilihan sampel juga dilontarkan. Apakah sampel memang mencerminkan kelompok masyarakat dengan pelbagai variasinya? Jangan-jangan, yang diukur segmen tertentu saja. Alasan kedua berkenaan dengan isu reliabilitas yang terkait erat dengan tingkat keterpercayaan. Hasil rating AGB Nielsen selama ini memang melewati proses audit. Namun, auditnya bersifat internal. Tidak ada proses eksternal-audit yang dilakukan oleh lembaga independen yang berkualitas terhadap klaim-klaim riset AGB Nielsen. Kredibilitas dan akuntabilitas hasil rating, karena itu, layak dipermasalahkan. Alasan ketiga berfokus pada kenyataan bahwa AGB Nielsen adalah satu-satunya lembaga rating yang beroperasi di Indonesia. Tidak ada lembaga lain yang menjadi pembanding. Lantas, bagaimana publik mau percaya terhadap rating tersebut? AGB Nielsen dalam kondisi ini jelas bisa main klaim sendiri--seperti yang dilakukan selama ini--dan bersama stasun televisi plus biro iklan. Mereka mencekoki publik yang tidak melek media dengan ideologi rating di atas segalanya.<br />Menjadi berita yang menggembirakan jika kalangan industri kini mulai mempertanyakan keabsahan penghitungan rating. Lebih menggembirakan lagi jika pertanyaan tersebut dilandasi kehendak untuk menyehatkan televisi kita, bukan mencari metode lebih canggih untuk memeras profit dengan mengorbankan selera pemirsa. Pemerintah semestinya tidak tinggal diam. Wajibkan lembaga rating yang ada untuk menjalani audit eksternal secara rutin. Daripada sibuk berebut wewenang dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), akan lebih baik jika pemerintah via Menkominfo berinisiatif merangkul akademisi dan aktivis media untuk menyusun rating tandingan, lewat board of program review atau forum panel yang mengukur kualitas program melalui pendekatan alternatif, seperti metode kualitatif.***<br /> Penulis, Research and Development - Bandung School of Communication Studies (Bascomms), dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba.communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-10616707844614707212007-11-28T19:52:00.000-08:002007-11-28T19:56:52.129-08:00Blog (bukan) Penanda Jurnalisme Warga?Wawancara Kampus PR dengan Santi Indra Astuti<br /><br />“The audience become the authors” (Trevor Barr, Profesor dari Swinburne University of Technology Australia)<br /><br />PERTANYAAN itu tepat kiranya menggambarkan fenomena perilaku masyarakat terhadap informasi saat ini. Masyarakat bukan hanya bertindak sebagai pembaca berita, tapi mereka juga bisa menjadi penulis berita itu sendiri.<br />Fenomena seperti itu kian marak, ketika teknologi informasi, seperti internet, mulai diperkenalkan. Internet mempermudah masyarakat dunia menyalurkan informasi berupa data dalam berbagai format; teks, suara, dan gambar. Internet pun kian menghilangkan kesan eksklusifnya dengan menghadirkan situs-situs gratis. Kehadirannya membuat geliat masyarakat terhadap penyajian informasi semakin besar.<br />Fenomena tentang masyarakat memproduksi berita seperti ini menyandang istilah sebagai era citizen journalism atau “jurnalisme warga”. Kadang, terdengar juga istilah public journalism atau partisipatory journalism.<br />Istilah jurnalisme warga merupakan sebuah semangat ideal tentang hak masyarakat terhadap informasi. Pada saat penyajian informasi hanya dimiliki oleh modal-modal besar industri (media massa mainstream--red.), sebagian khalayak mulai menemukan ketidakpuasan terhadap industri media massa. Rasa tidak puas itu, kadang terkait dengan kredo jurnalisme tentang objektivitas, independensi awak media, sudut pandang isu, serta wacana etika di balik produk-produk jurnalisme “konvensional”.<br />Rasa tidak puas juga terjadi karena perhatian media massa industri hanya terkait pada isu-isu sensasional terkait kepentingan segelintir elite. Mereka seolah melupakan isu-isu masyarakat yang berada di tingkat lokal.<br />Sementara ini, umumnya pendapat ahli tentang latar belakang munculnya jurnalisme warga, tidak berbeda jauh. Namun, perbedaan terminologi serta kosakata turunan lainnya tentang fenomena tersebut, kian bermunculan. Ruang perdebatan (diskursus) terkait fenomena jurnalisme warga ini, masih terbuka luas.<br />Kampus memperbincangkan seputar perdebatan itu, dengan seorang pengkaji komunikasi dari Universitas Islam Bandung (Unisba), Santi Indra Astuti. Dosen yang telah menerjemahkan sebuah buku karya Truman Capote berjudul In Cold Blood ini, juga aktif di sebuah lembaga studi, Bandung School of Communication Studies (Bascomms).<br />Berikut kutipan wawancara Kampus dengan kawan dosen ini pada Sabtu (26/10) bertempat di Tobucil Jln. Aceh No 56, Bandung.<br />Seperti apakah latar belakang kemunculan “citizen journalism “di dunia?<br />Sepanjang sejarah yang saya ketahui di PEW Research Center, Pointer Institute maupun dari penjelasan Prof. Jay Rosen dari New York University, kemunculan jurnalisme warga ini sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap praktik jurnalisme “tradisional”.<br />Ada yang memberi batasannya dengan memberikan kriteria perbedaan dengan praktik jurnalisme tradisional di beberapa titik. Salah satu yang paling penting adalah ketika sudah tidak ada pembedaan pada taraf produsen dan konsumen. Gerakan ini juga muncul, dilandasi oleh adanya kesan bahwa pers umum hanya meliput isu-isu sensasional. Di sisi lain, isu-isu lokal tidak terangkat. Ya, kalau kita mau pakai analisis politik ekonomi, jelas ada masalah advertising di dalamnya. Jadi, yang membuka pendefinisian citizen journalism itu dibuka dari bawah ke atas. Jurnalisme mengambil sumber bisa dari mana saja. Isinya juga bisa dibuat oleh siapa saja.<br />Jika ini dianggap sebuah gerakan, apakah kelahiran era “citizen journalism muncul” sebagai gerakan alternatif saja?<br />Soal citizen journalism ini, awalnya muncul sebagai media alternatif. Tapi karena mendapat sambutan dari berbagai pihak, ya geliatnya bukan sekadar alternatif. Bagusnya buat masyarakat umum adalah, jurnalisme menjadi sebuah bidang yang tidak lagi monopolistik dan eksklusif.<br />Ketika muncul di Amerika, gerakan ini bisa mendapat tempat karena nuansa demokratik yang juga tinggi. Isu-isu tentang first amandement, menyangkut tentang kebebasan berekspresi, dan isu antimonopoli, menimbulkan gerakan yang besar.<br />Perlu dipahami, bahwa kehadirannya bukan sekadar pemanfaatan teknologi. Ia juga membuka sebuah sistem ekologi media yang baru. Ekologi media tradisional itu dibangun lewat sumber yang searah dan industri media yang sangat monolotik. Industri ini akhirnya menjadi sebuah “kerajaan” yang susah dimasuki oleh orang yang bukan di wilayah profesi jurnalistik. Ekologi media secara sederhana itu, ditentukan oleh pola representasi, distribusi, produksi, dan konsumsi.<br />Pada jurnalisme tradisional, kita lihat dari produksinya, dikuasai media. Dengan gramatika yang ditentukan oleh si pemilik media. Distribusi dan konsumsinya juga ditentukan. Walaupun khalayak punya kewenangan memilih berita, tapi mereka sudah dikerangkeng dalam satu tata cara konsumsi tertentu. Representasi tentu berdasarkan bahasa yang ditentukan oleh kredo-kredo journalisme yang juga ditentukan oleh media itu sendiri.<br />Ketika masuk pada kerangka jurnalisme warga, distribusi tidak lagi bisa dipegang oleh pemilik media, tapi oleh siapa saja yang bisa memegang rantai-rantai distribusi. Dalam kerangka produksi, semua orang bisa membuat beritanya sendiri. Produsen bisa menjadi konsumen dan sebaliknya, misalnya, coba lihat beberapa blog yang menjadi incaran media mainstream.<br />Dengan latar belakang seperti itu, lantas sebenarnya apakah yang menjadi definisi “citizen journalism” itu sendiri?<br />Pada sebuah diskusi yang saya ikuti dan dihadiri oleh Jay Rosen, ia menolak memberikan definisi citizen journalism. Dia tidak mau memberikan itu, agar masyarakat juga mau memunculkan debat publik dan terus mencari tahu. Karena semangatnya itu, sebanyak-banyaknya orang bisa mendapatkan akses informasi, pemberitaan, terhadap dunia jurnalisme. Orang bertanya yang benar yang mana? Semangatnya ada open source, diskursus publik, dan tidak hanya meletakkan fondasi kebenaran hanya pada institusi tertentu saja.<br />Jadi tidak ada definisi yang pas?<br />Tidak ada.<br />Kalau begitu bagaimana dengan kritik yang muncul, misalnya, etika, akurasi, pertanggungjawaban isi, objektivitas, dan lain-lain yang terkait prinsip jurnalisme?<br />Kita lihat satu per satu. Objektivitas, siapa yang bisa mengklaim objektivitas saat ini. Sebelum citizen journalism, pertanyaan tentang objektivitas pers itu sudah ada, dan diperdebatkan secara luas. Misalnya, ketika muncul new journalism pada era 1960-an, ketika tokoh-tokohnya seperti Truman Capote yang menilai objektivitas adalah sesuatu yang absurd dan tidak mungkin dalam dunia jurnalistik.<br />Kritik kedua tentang akurasi. Akurasi yang diajarkan itu kan tentang kaidah 5W+1H? Nah, sepanjang itu sudah tercapai, lalu apa lagi? Justru, pertanyaan akurasi itu dibalikkan pada si wartawan sendiri. Siapakah yang mengalami kejadian pertama kali? Apakah wartawan berada di urutan pertama, kedua, atau ketiga?<br />Lalu tentang etika, apakah terkait dengan tanggung jawab dan moralitas atau masalah teknis saja? Semangat open source memang membuka wacana lalu, mendekonstruksi struktur formasi gramatik dan sebagainya. Pada akhirnya, semua akan diserahkan pada khalayak sendiri. Mereka yang akan menilai sumber informasi yang seperti apa yang sesuai dengan keinginan mereka. Intinya adalah tidak ada yang menguasai khalayak.<br />Aktivis citizen journalism sebenarnya memiliki kesempatan melakukan check and recheck fakta. Kesempatan orang memberi pandangan dari segala sisi. Sebenarnya, ada beberapa prinsip yang bisa disebut citizen journalism. Pertama, adalah membuka perdebatan publik. Zaman tahun 1980-an contohnya, koran The Wichita Eagle Kansas, Amerika Serikat, membuat isu pemilihan wali kota dengan Focus Group Discussion bersama komunitas masyarakat. Saat isu didapat dari publik, lalu dilemparkan ke publik itu lagi. Menurut Rosen, diskusi itu bertujuan menghasilkan kebijakan baru atau malah tidak ada kebijakan baru yang muncul.<br />Apakah banyaknya “blog” merupakan situasi kemunculan “citizen journalism”?<br />Banyaknya blog itu tidak memunculkan situasi citizen journalism. Tergantung komitmen terhadap publik itu. Model citizen journalism itu akan sangat bervariasi, tergantung dari kultur masing-masing negara. Beberapa pengamat citizen journalism dengan pengamat blogger menentukan situasi jurnalisme warga berdasarkan intensitas dan kontinuitas untuk membuka ruang perdebatan itu.<br />Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?<br />Itu dia, saya kok belum lihat. Ini mungkin keterbatasan saya. Mungkin Anda sendiri bisa melihatnya, jika prinsipnya seperti di atas.<br />Di tingkat mahasiswa bagaimana tentang isu ini?<br />Jangankan itu, isu tentang jurnalisme tradisional yang baik dan benar saja, belum maksimal. Seperti misalnya pengertian tentang objektivitas dan subjektivitas media, masih selalu muncul. Mestinya, itu sudah selesai. Tapi, bukan salah mahasiswa melainkan sistem. Memunculkan public journalism tidak perlu luas, tapi di lingkungannya sendiri saja. Publik kampus sendiri saja. Misalnya saja dengan pers mahasiswa. Tapi lihat saja pers mahasiswa dibiarkan berjalan sendiri-sendiri.***<br />agus rakasiwikampus_pr@yahoo.comcommunicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-5461495221441928432007-11-28T18:48:00.000-08:002007-11-28T19:52:04.869-08:00ANTARA ANDREA DAN FADJROEL:ANTARA ANDREA DAN FADJROEL:<br />SEBUAH SORE YANG HANGAT DI POJOK GRAMEDIA FAIR<br /><br />Rabu, 28 November 2007, menjadi hari yang hectic buat saya. Seperti biasa, hari saya dimulai dengan menjadi ibu sekaligus tukang ojek—mengantar anak-anak ke sekolah. Beres ngojek, saya memacu motor ke kampus—ada serah terima jabatan dan janjian dengan mahasiswa buat bimbingan. Siangnya, saya punya dua undangan: menghadiri talk show Andrea Hirata dan Ibu Muslimah dengan topik ‘Nobility of Teaching’, sorenya, menjumpai Endah Sulwesi, seorang sahabat penggila buku dalam diskusi buku Fadjroel Rachman.<br /><br />Yang ingin saya ceritakan adalah dua acara publik yang saya hadiri. Acara Andrea Hirata dihadiri tak kurang dari 1500 pengunjung—demikian klaim panitia. Sebagian besar adalah guru, yang mendapatkan undangan dari PT Telkom untuk mendapatkan buku Andrea Hirata-Laskar Pelangi-gratis, sambil berbincang dengan Ibu Muslimah. Ini acara yang hangar-bingar dan membuat saya semakin hectic. Hectic-nya saya bertambah melihat Andrea dikejar-kejar fans-nya. Begitu histerisnya fans-fans Andrea sampai-sampai mbak Nunny dari Mizan terpaksa jadi tameng sasaran cubitan dan ‘gebukan’ fans Andrea yang gemas karena gagal mendapatkan tandatangan sang Pemimpi. Saya pasang badan untuk memisahkan fans yang histeris dan mbak Nunny yang ‘terguncang’—hehe, Andrea ini sudah punya groupies yang fanatik, rupanya.<br /><br />Di acara itu, saya senang sekali mendengarkan wejangan dari Bu Muslimah, dan hikmah dari Mas Haidar Bagir—dua tokoh pendidikan yang saya kagumi. Sayang, karena harus masuk kelas dulu, saya datang terlambat sehingga terlewat sesi Andrea, kecuali pada saat tanya jawab. Mbak Tutuk membawakan acara ini dengan bagus. Tapi acara ini secara pribadi terasa tidak menyejukkan karena begitu besar dan megah. Terbentang jarak yang semakin jauh saja terbentang dengan Andrea—ah, ini mungkin perasaan sentimentil saya saja.<br /><br />Sorenya, saya mendapatkan pengobat hectic yang manis. Acaranya adalah launching sekaligus diskusi buku Fadjroel Rachman, Bulan Jingga Dalam Kepala. Sebuah novel pergerakan, ceritanya. Bukan novelnya yang bikin seru, novel pergerakan ya begitulah ceritanya.... Tapi, momennya itu yang asyik. Kecil, intim, hangat, bersahabat. Semua berinteraksi, bersentuhan. Seperti datang ke kumpul-kumpul arisan dengan kawan-kawan lama. Ada kopi, ada kursi melingkar berdekatan, ada gosip disebarluaskan, ada kenangan lama yang diungkit kembali, ada ledek-ledekan yang menghangatkan suasana, ada lagu-lagu Mukti yang kocak tapi romantis mengalir... saya merasa segar, refresh, rejuvenate. Inilah momen diskusi buku yang nglangut dan ngangeni.<br /><br />Begitu datang di acara yang sudah setengah jam berlangsung (kali ini telat karena hujan lebat!), kang Andar Manik melambai. Om-om keren ini, dunia nggak pernah perang kalau melihat senyumnya. Sebagai ahli mediasi konflik, kang Andar pantas menyandang aura juru damai karena kehadiran dan keramahannya senantiasa tulus, membuat hati ini nyaman. Seketika juga saya merasa feels at home melihat jajaran narasumber di kursi depan: Hikmah sang Presiden Jatinangor dari Kelompok Diskusi Nalar yang serius-melankolis-tapi-garang (hehe!), kang Jamal yang asa serius tapi lebih sukses ngabodor, mas Kef yang selalu romantis, teh Safrina Noorman—doktor linguistik UPI—yang cerdas, bersahaja, dan teteh-teteh idolaku pisaaaan.... lalu di jajaran hadirin diskusi ada mbak Senny Alwasilah yang aduhduh nggak pernah ada tuanya (dan nggak ada duanya, ya pak Chaedar?), Endah yang jail, saya sangat surprise bertemu dengan bu Yani Lukmayani dari Fakultas MIPA Unisba (Farmasi) di forum itu—orangnya pendiam, so dedicated, tapi ramah dan lembut, sementara Fadjroel sendiri jalan-jalan di antara kami, menyalami, menyapa, meledek—sama sekali tak ada jarak terbentang. Groupies-nya Fadjroel, ya kami-kami ini, hehe. Memuja sekaligus meledek sang bintang habis-habisan. Inilah momen yang bikin saya nggak pengen pulang.<br /><br />Membandingkan dua momen diskusi tadi, saya akhirnya disadarkan kalau diri ini sudah tua rupanya, jadi tampaknya sudah tidak nyaman lagi dengan segala sesuatu yang hingar-bingar. Mal, diskotik, pub, foodcourt, dan megaresto tidak menarik lagi, lebih asyik kongkow-kongkow di warung kopi. Begitulah, momen-momen yang kecil lebih menarik tampaknya, karena di situ saya bisa berinteraksi dengan intens tanpa topeng dengan sepenuh kejujuran. Otentisitas saya muncul, terbentuk, dan terlindungi. Dan saya bahagia dengan itu (terimakasih, Allah).<br /><br />Popularitas, atas nama apapun, memang candu. Kalangan atas, jet-set, khalayak, lampu sorot, dan panggung, benar-benar racun, kalau kita tidak kuat mental, tidak tahan banting. Yang dikorbankan adalah diri kita sendiri, dan itu mahal tak tergantikan. Saya tiba-tiba teringat riwayat beberapa selebritis dunia yang memilih untuk lari menyepi dari kerumunan, sekuat tenaga meredam popularitasnya. Johnny Depp yang memutuskan tinggal di Prancis, Pearl Jam yang menghilang setahun, pasangan Brad Pitt-Angelina Jolie yang pindah-pindah keliling dunia (mostly third world countries!), Madonna yang hijrah ke Inggris, atau sekalian saja Marlon Brando yang mengambil jalan superekstrim dengan ‘menjelekkan penampilan’, dan memilih berpeluh di tengah ambisi mengubah padang pasir menjadi padang rumput. Kalau para pemburu infotainment menyebutnya sebagai sensasi, maka analisis psikolog selebriti dan stardomnya menyebutkan, inilah upaya para seleb untuk mempertahankan identitas, karena tak ingin kehilangan otentisitas, kemanusiaannya, dan jenuh dengan pemujaan fansnya. Andrea sudah jadi bintang. Tapi saya berharap, mudah-mudahan, Andrea di tengah kesibukan roadshow-nya, masih punya waktu untuk dirinya, untuk hal-hal kecil dan personal, demi mempertahankan otentisitas dan jatidirinya. Bagaimana pun, he’s somebody really worthed to take care about....:)communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-34021606933938802402007-11-26T06:02:00.000-08:002007-11-26T06:05:56.656-08:00Melembagakan Social Enterpreneurship Di Lingkungan Perguruan Tinggi(Memenangkan Hadiah Ke-2 Lomba Karya Tulis Ilmiah Dosen Unisba 2007, 18 November 2007)<br /><br />ABSTRAK<br />Kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang perlu diatasi dengan melibatkan peran serta banyak pihak, termasuk kalangan perguruan tinggi. Dari sekian banyak strategi mengentaskan kemiskinan, pendekatan social enterpreneurship yang bertumpu pada semangat kewirausahaan untuk tujuan-tujuan perubahan sosial, kini semakin banyak digunakan karena dianggap mampu memberikan hasil yang optimal. Konsep atau pendekatan ini layak diujicobakan dalam lingkup perguruan tinggi karena gagasan dasarnya sebenarnya sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya aspek pengabdian masyarakat. Caranya adalah dengan menerjemahkan konsep social enterpreneurship pada empat level: kelembagaan, regulasi, aksi, dan audit/monitoring evaluasi.<br /><br />I. Pendahuluan<br />1.1 Latar Belakang Masalah<br />Kemiskinan sesungguhnya telah menjadi masalah dunia sejak berabad-abad lalu. Namun, realitasnya, hingga kini kemiskinan masih menjadi bagian dari persoalan terberat dan paling krusial di dunia ini. Teknologi boleh semakin maju, negara-negara merdeka semakin banyak, dan negara-negara kaya boleh saja kian bertambah (pun semakin kaya!). Tetapi, jumlah orang miskin di dunia tak kunjung berkurang. Kemiskinan bahkan telah bertransformasi menjadi wajah teror yang menghantui dunia.<br /> Bagaimana gambaran kemiskinan yang melingkupi kita saat ini? Data World Bank 2006 menunjukkan, setidaknya terdapat 1,1 milyar penduduk miskin di dunia. Jumlah penduduk miskin di Indonesia (yang dikategorikan supermiskin<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> oleh World Bank) pada tahun 2007 mencapai 39 juta orang atau 17,75 persen dari total populasi. Untuk wilayah Jawa Barat, yang punya cita-cita meningkatkan poin IPM menjadi 80 pada 2008, jumlah penduduk miskin mencapai 5,46 juta orang, atau sekitar 13,55 persen dari total penduduk miskin di Indonesia<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a>. Memprihatinkan, karena data ini memperlihatkan adanya peningkatan penduduk miskin di Jawa Barat sebanyak 317.000 orang!<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> Ini berarti, program-program pengentasan kemiskinan yang digagas pemerintah pusat maupun daerah telah gagal mengentaskan penduduk Jawa Barat dari cengkeraman kemiskinan.<br /> Seiring berkembangnya pemikiran bahwa kemiskinan adalah masalah struktural, maka upaya untuk mengatasi kemiskinan pun kini dikaitkan dengan perbaikan sistem dan struktur, tidak semata-mata bertumpu pada aksi sesaat berupa crash program. Sebuah upaya yang kini populer adalah mengembangkan konsep social enterpreneurship (selanjutnya disingkat SE—pen.), atau kewirausahaan sosial, yang bermaksud menggandengkan kekuatan kapitalisme dengan komitmen sosial bagi komunitas di sekitarnya. <br /> Makalah ini tidak bermaksud membahas metode dan operasionalisasi Grameen Bank. Sesuai dengan tema karya tulis yang difokuskan pada upaya perguruan tinggi dalam mengentaskan kemiskinan, makalah ini menggagas alternatif-alternatif yang bisa dilakukan oleh kalangan perguruan tinggi untuk berperan-aktif mengatasi persoalan kemiskinan, disemangati oleh spirit SE.<br /><br />1.2 Perumusan Masalah<br />Bertitiktolak dari latar belakang permasalahan, maka masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sbb. “Bagaimana melembagakan konsep SE di lingkungan perguruan tinggi untuk membantu mengatasi masalah kemiskinan?” Permasalahan yang general ini kemudian dibagi menjadi beberapa identifikasi permasalahan, sbb.<br />Bagaimana konsep SE diterjemahkan sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi?<br />Bagaimana rumusan skema langkah-langkah dalam melembagakan SE di lingkungan perguruan Tinggi?<br /><br />1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan<br />Tujuan utama penulisan adalah menggambarkan bagaimana kemiskinan dapat coba diatasi melalui peran perguruan tinggi lewat strategi pelembagaan SE. Tujuan ini secara spesifik terbagi menjadi:<br />Penerjemahan konsep SE sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.<br />Perumusan skema langkah-langkah dalam melembagakan SE di lingkungan Perguruan Tinggi.<br />Manfaat yang bisa diperoleh dari karya tulis ini adalah sbb.<br />Pada level praktis, penelitian ini memperlihatkan sebuah skema yang applicable untuk melembagakan konsep SE di lingkungan Perguruan Tinggi.<br />Pada level sosial, melalui skema SE Unisba dapat turut serta menyumbangkan alternatif solusi mengatasi persoalan-persoalan kemiskinan, terutama di lingkungannya.<br /><br />2. Kerangka Pemikiran<br />Ragangan, atau kerangka pemikiran, berisi uraian logis mengenai konsep-konsep yang terkait dengan permasalahan. Dalam membincangkan kemiskinan, sebagai penghantar menuju pada pembahasan, setidaknya ada tiga hal yang perlu dijadikan landasan diskusi. Hal pertama berkenaan dengan pembahasan mengenai konsep-konsep kemiskinan dalam upaya memahami kompleksitas permasalahan kemiskinan. Kedua, gambaran mengenai kemiskinan di Jawa Barat sebagai upaya mengaitkan pembahasan makalah dengan konteks permasalahan yang dihadapi di lapangan. Ketiga, uraian konsep SE yang dijadikan pendekatan utama dalam makalah ini untuk memberikan solusi sesuai dengan tema penelitian.<br /><br />2.1. Mendefinisikan Kemiskinan<br />The poor will always be with us. Inilah idiom populer tentang kemiskinan yang dikutip oleh sosiolog kemiskinan paling populer saat ini, Zygmunt Baumant (1998:1). Idiom tersebut memberi makna bahwa kemiskinan—dan orang-orang miskin—adalah kondisi inheren dalam masyarakat manapun, dulu dan sekarang, kemungkinan di masa depan jika dunia tak berubah. Poverty, atau kemiskinan pada dasarnya adalah kondisi kekurangan. Ada banyak cara memaknai ‘kekurangan’, karena itu, Wikipedia merinci setidaknya terdapat 3 pendekatan dalam mendefinisikan kemiskinan.<br />a) Kemiskinan yang dideskripsikan sebagai kekurangan material need. Kemiskinan, dalam hal ini, didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sebuah komunitas kekurangan esensial untuk memenuhi standar kehidupan minimum yang terdiri dari sandang, pangan, papan (sumberdaya material).<br />b) Kemiskinan yang dideskripsikan dari aspek hubungan dan kebutuhan sosial, seperti social exclusion (pengucilan sosial), ketergantungan, dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat, termasuk pendidikan dan informasi.<br />c) Kemiskinan yang dideskripsikan sebagai kurangnya pendapatan dan kemakmuran—yang ditetapkan berdasarkan indikator-indikator tertentu. Dari sinilah munculnya pemilahan kemiskinan secara global berdasarkan pendapatan harian keluarga, yaitu kurang dari $1 atau $2 sehari.<br />Konkretnya, survei data riset World Bank “Voices of the Poor”, terhadap 20.000 penduduk miskin di 23 negara (termasuk Indonesia!), faktor-faktor kemiskinan dapat diidentifikasi sebagai kehidupan yang sulit, lokasi yang terpencil, keterbatasan fisik, hubungan timpang gender, problem dalam hubungan sosial, kurangnya keamanan, penyalahgunaan kekuasaan, lembaga yang tidak memberdayakan, terbatasnya kapabilitas, dan lemahnya organisasi komunitas (Wikipedia, 2007).<br /> Jelas, permasalahan kemiskinan bukan terletak pada ketidakmampuan memenuhi standar-standar ekonomi yang didasarkan pada ukuran material resources. Adapula kondisi kekurangan social resources yang menyebabkan kemiskinan. Itu sebabnya kemiskinan begitu kompleks, mencakup berbagai bidang, hingga kemiskinan acap pula disebut sebagai plural poverty—kemiskinan plural. Guna mengatasi kemiskinan, Wikipedia merinci sejumlah strategi sbb.<br />Strategi pertumbuhan ekonomi.<br />Penciptaan pasar bebas.<br />Bantuan langsung.<br />Perubahan lingkungan sosial dan kapabilitas warga miskin.<br />Millenium Development Goals.<br />Pendekatan berbasis kultural.<br />Di Indonesia, pada tahun 1970-an, pendekatan yang digunakan untuk mengatasi kemiskinan adalah pemenuhan kebutuhan dasar<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a>. Ini meliputi pemenuhan kebutuhan pangan senilai 2100 kalori per orang/hari, adanya fasilitas kesehatan dasar, air bersih, sanitasi, tempat tinggal, dan akses pendidikan. Memasuki dekade 1990-an, upaya pengentasan kemiskinan difokuskan pada pemberdayaan masyarakat, dengan cara meningkatkan kapabilitas SDM. Ini ditempuh lewat pembangunan infrastruktur pedesaan, distribusi aset ekonomi dan modal usaha, serta penguatan kelembagaan masyarakat melalui program berskala nasional meliputi IDT (Inpres Desa Tertinggal), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), hingga KDP (Kecamatan Development Program). Kini, yang coba diterapkan dalam pembangunan nasional adalah pendekatan berbasis hak (rights based approach). Wujudnya adalah Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), yang secara pelahan diupayakan melalui pemenuhan sepuluh hak-hak dasar, yaitu hak atas pangan, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, tanah, lingkungan hidup dan sumber daya alam, rasa aman, dan hak untuk berpartisipasi. Dalam rumusannya, SNPK memperlihatkan adanya pergeseran paradigma kemiskinan—yang kini tidak lagi terbatas pada upaya mencukupi kebutuhan material, tetapi juga meliputi pemenuhan kebutuhan sosial.<br /><br />2.2. Gambaran Kemiskinan di Jawa Barat<br />Sebelum menyoal wajah kemiskinan di Jawa Barat, mari sejenak kita cermati data-data ‘kekayaan’ propinsi yang strategis ini. Pertama, Jawa Barat adalah propinsi terkaya di Indonesia dalam kategori populasi penduduk (39 juta jiwa, yang artinya sekitar 17.80% dari total populasi Indonesia), mengalahkan Jawa Tengah (32 juta jiwa) dan Jawa Timur (36 juta jiwa). Jawa Barat adalah propinsi kedua terpadat setelah DKI Jakarta (1126 jiwa/km2). Nilai APBD Jawa Barat pada tahun anggaran 2007 sebesar Rp 5,2 trilyun rupiah. Namun, sumber pemasukan sesungguhnya tidak cuma berasal dari pos APBD propinsi. Digabungkan dengan DIPA, Dana Dekon, dan APBD-APBD Daerah Tingkat II, angka keseluruhannya bisa mencapai Rp. 45-47 milyar! Gubernur Jawa Barat H. Danny Setiawan bahkan berani mengasumsikan, bila dibagikan maka seorang warga Jawa Barat kebagian setidaknya Rp. 1 juta per tahun.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a><br /> Dari segi sosial budaya, masyarakat Jawa Barat dikenal sebagai masyarakat agamis—dominan Islam. Toleransi umat beragama boleh dibanggakan, dan potensi konflik tergolong rendah. Jawa Barat juga dikenal sebagai gudangnya warga yang kreatif, sehingga keunggulan wisatanya, misalnya, tidak perlu mengandalkan sumberdaya alam. Wisata belanja dan lifestyle menjadi unggulan Bandung. Bahkan, awal tahun ini, masyarakat industri kreatif Bandung memproklamirkan Jawa Barat dan Bandung sebagai ikon industri kreatif. Sesungguhnya, ini modal sosial yang penting. Tanpa penanganan serius dari pemerintah lokal saja, industri kreatif Jawa Barat sudah mampu unjuk gigi. Apalagi kalau ditangani pemerintah secara serius.<br /> Namun, Jawa Barat juga memiliki segudang permasalahan, di antaranya kebijakan birokrasi yang tidak kondusif bagi pertumbuhan industri maupun pengentasan kemiskinan, penanganan masalah sosial yang masih bersifat sporadis dan reaksioner, kerusakan lingkungan dan penataan wilayah yang parah, serta kegagalan pemerintah propinsi merumuskan target dan rencana pembangunan yang visioner dan realistis. Ambisi pemerintah propinsi yang menetapkan peningkatan poin IPM menjadi 80 pada tahun 2008, misalnya, tidak dibarengi langkah nyata perbaikan infrastruktur maupun kebijakan, sehingga tahun ini IPM hanya meningkat tak lebih dari 0.71.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a><br /> Bagaimana wajah kemiskinan di Jawa Barat? Bulan Agustus 2007, BPS melansir data yang mengejutkan. Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat bertambah 317.000 jiwa. Totalnya, 5,45 juta jiwa atau 13.5% dari total penduduk Jawa Barat. Proporsi antara warga miskin perkotaan dan pedesaan relatif berimbang—sebanyak 51% warga miskin bermukim di pedesaan, jumlahnya mencapai 2,8 juta jiwa. Bicara soal lokasi, wilayah Pantura menjadi kantong-kantong kemiskinan di Jawa Barat. Diperkirakan 5 juta penduduk miskin berada di sabuk Pantura<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a>.<br /> Profil kemiskinan di Jawa Barat cukup memprihatinkan. Sumbangan terbesar kemiskinan, yaitu sebesar 73%, diakibatkan ketidakmampuan mencukupi kebutuhan makanan. Fluktuasi harga beras dan kini, harga minyak, menjadi biang keladinya. Belum lagi transisi konversi energi—yang tentunya punya dampak sosial-ekonomi yang cukup signifikan. Daya beli yang rendah, dan tingginya pengangguran juga menjadi persoalan, di samping kenaikan UMR yang tidak memadai bila dibandingkan dengan kebutuhan fisik minimum keluarga<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a>.<br /> Tahun lalu, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat sebesar 5,14 juta jiwa. Dilihat dari data penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), jumlah keluarga miskin di Jabar 1,06 juta keluarga, kategori sangat miskin 615.875 keluarga, dan hampir miskin mencapai 1,22 juta keluarga. Kenaikan angka penduduk miskin tahun ini menunjukkan kegagalan program-program pengentasan kemiskinan di Jawa Barat.<br /> Sama halnya dengan propinsi Indonesia lainnya, pelbagai strategi nasional pengentasan kemiskinan pernah menyentuh Jawa Barat. Mulai dari IDT, P2KP, JPS, hingga BLT. Selain itu, masih terdapat pula Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS), Program Beasiswa dan Bantuan Operasional Sekolah untuk Sekolah Dasar dan Menengah serta Ibtidaiyah (DB-BOS), JPS Khusus Bidang Sosial, Prakarsa Khusus untuk Penganggur Perempuan (PKPP), Padat Karya Perkotaan (PKP), Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE). Mengingat tingginya intensitas kemiskinan di Jawa Barat, nilai proyek yang diserap propinsi ini senantiasa tergolong tinggi. Sebagai gambaran, untuk P2KP yang tahun ini digabungkan dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di bawah payung Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri), dana yang digelontorkan untuk Propinsi Jawa Barat mencapai Rp. 276,020 milyar untuk 220 kecamatan. Sebanyak 123 kecamatan di pedesaan menerima dana sebesar Rp. 133,850 milyar. Sisanya, 97 kecamatan di perkotaan menerima Rp. 142,170 milyar<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a>.<br /> Selain program pengentasan kemiskinan nasional, Propinsi Jawa Barat juga memiliki program penanggulangan tersendiri, berupa:<br />Program Dakabalarea (Kepgub No. 2/Th. 1999).<br />Gerakan Rereongan Sarupi.<br />Gerakan Jumat Bersih.<br />Gerakan SARASA.<br />Program Raksa Desa.<br />Program Pendanaan Kompetensi IPM (PPK-IPM) (Kepgub No. 34/Th. 2005).<br />Program Dakabalarea yang merupakan program pemberian kredit dengan pola bagi hasil kepada pengusaha mikro & usaha kecil hingga th. 2005 telah menggulirkan dana tak kurang dari Rp. 93.657.109.350 dari target Rp. 66.770.000.000 untuk 3.065 kelompok dengan jumlah anggota sebanyak 26.886 orang. Sedangkan dana yang digelontorkan melalui PPK IPM<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a> pada tahun 2006 mencapai Rp. 190 milyar, diperuntukkan bagi 9 kabupaten/kota yang proposalnya terpilih<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a>. Untuk tahun 2007, 6 kabupaten/kota terpilih berhak mendapatkan dana senilai Rp. 315 milyar. Khusus untuk kota Bandung, dana Bantuan Langsung Mandiri (BLM) yang dikucurkan tahun 2007 mencapai Rp. 8.8 milyar<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a>.<br /> Upaya pemerintah melalui inisiatif pendanaan dan penyusunan program seperti ini sesungguhnya mencerminkan kehendak serius mengentaskan kemiskinan. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata masih mengandung kelemahan. Seperti diungkapkan oleh Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, upaya selama bertahun-tahun menghabiskan dana milyaran rupiah mudah sekali digoncangkan oleh kenaikan BBM atau fluktuasi harga sembako<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a>. Sejumlah pengamat menilai, kegagalan tersebut dikarenakan antara lain faktor pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang relatif tinggi, akibat jumlah penduduk usia sekolah yang putus sekolah dan terpaksa masuk pasar kerja, serta jumlah migran yang masuk untuk tujuan bekerja. Padahal, di sisi lain, jumlah kesempatan kerja relatif stagnan, karena pertumbuhan ekonomi belum cukup tinggi, laju investasi asing belum optimal, dan iklim usaha belum kondusif.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a><br /> Berhubung kemiskinan adalah masalah yang kompleks, tentu penanganannya tidak bisa distrukturkan secara tersentralisir. Penanganan kemiskinan juga menuntut kepekaan sosiokultural. Kucuran dana dan modal saja tidak cukup, pembukaan kesempatan kerja juga belum tentu memberdayakan, malah bisa menimbulkan ketergantungan. Tetapi, di sisi lain, penanganan kemiskinan secara sporadis, tanpa disain atau skema penanggulangan terpadu yang jelas indikator pencapaiannya, juga dapat menggagalkan upaya mengeluarkan orang dari lingkaran kemiskinan. Dalam konteks inilah konsep social enterpreneurship mau pun social enterpreneurs layak diperkenalkan, karena pendekatan ini berupaya menanggulangi kemiskinan lewat disain atau skema pengentasan kemiskinan yang matang, didukung oleh sosok-sosok yang kompeten.<br /> <br />2.3. Social Enterpreneurship: Sebuah Wacana<br />Tri Mumpuni Wiyatno adalah orang yang selalu yakin bahwa desa merupakan sumber kekuatan ekonomi yang belum tergarap optimal. Banyak persoalan pembangunan akan terselesaikan, jika desa menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru yang mandiri. Ia mewujudkan gagasannya dengan menyebarluaskan teknologi mikrohidro untuk membangun pembangkit listrik skala kecil ke desa-desa. Maria Hartiningsih<a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a>, seorang jurnalis cum pejuang feminis di Indonesia melaporkan, bersama lembaganya Institut Bisnis Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) Tri Mumpuni turun ke desa-desa, memberi pelatihan manajemen air ramah lingkungan kepada penduduk setempat. Rakyat desa juga kemudian dilatih memelihara alat, menghitung energi yang disalurkan, serta biaya yang diperlukan karena umumnya mikrohidro dikelola secara swadaya. Begitu energi listrik dialirkan dari rumah ke rumah, berbagai kegiatan ekonomi bisa dikembangkan.<br /> Di belahan dunia lain, tepatnya di Palmares do Sul, Brazil Utara, Fabio Rosa bergelut dengan masalah yang sama. 25 juta penduduk Brazil tidak punya akses pada listrik. Akibatnya, standar hidup mereka rendah. Tak ada kulkas, lampu, apalagi komputer. Biaya penyediaan listrik untuk mencahayai sebuah desa pada awal tahun 1980an, membubung tinggi pada angka 7.000 dollar. Ini sama artinya dengan 5 kali lipat income seorang petani miskin selama sepuluh tahun! Fabio Rosa menjadikan Palmares sebagai model eksperimen listrik pedesaannya yang pertama. Pada 1992, ia memutuskan mendirikan perusahaan profit—Sistemas de Tecnologia Adequada Agroelectro (STA Agroelectro)—dan mulai menyebarkan teknologinya ke desa-desa. Lewat skema pembiayaan yang ekonomis, ditambah dengan pola ekonomi produktif yang diperkenalkannya, STA berhasil melistriki tak kurang dari 800.000 rumah tangga.<br /> John Wood adalah seorang eksekutif Microsoft bergaji milyaran. Titik balik kehidupan Wood datang dalam sebuah liburan ke Nepal. Ia bertemu dengan seorang guru, yang mengajaknya memanjat pegunungan selama 3 jam untuk melihat sekolahnya. Sebuah sekolah yang hanya punya satu kelebihan: murid yang banyak. Lain-lainnya persis seperti di Indonesia: kurang guru, kurang sarana dan prasarana, termasuk perpustakaan. John Wood tersentuh, dan tahun berikutnya ia datang membawa 3500 buku untuk sekolah itu, dan sekolah-sekolah lain. Ia memutuskan meninggalkan Microsoft, mendirikan organisasi Room to Read, dan saat ini telah mendirikan tak kurang dari 3600 perpustakaan di Asia. John Wood bersama organisasinya juga melibatkan diri dalam penyusunan program-program alternative pendidikan dasar di Asia dan Afrika. <br /> Sebuah frase yang menyatukan Tri Mumpuni, Fabio Rosa, dan John Wood adalah restless people (Bornstein, 2004: 1). Orang-orang yang gelisah. Inilah orang-orang yang mencoba memecahkan masalah dalam skala besar. Mereka sadar bahwa lilitan kemiskinan baru bisa dilepaskan jika seseorang itu berdaya: berdaya ekonominya, berdaya mentalnya, berdaya lingkungan sosial-politiknya. Mereka adalah social innovator, atau social entrepreneurs. Mereka punya gagasan-gagasan kuat untuk memperbaiki kehidupan orang lain, meningkatkan kualitas masyarakat. Mereka menyusun kerangka besar perubahan tersebut, dan berjuang mempraktikkannya di pelbagai pelosok dunia.<br /> Lantas, apa yang dimaksud dengan SE? Pertama-tama perlu dibahas definisi kewirausahaan atau enterpreneurship. Kewirausahaan didefinisikan sebagai individu (kelompok) yang dapat mengidentifikasi kesempatan berdasarkan kemampuan, keinginan, dan kepercayaan yang dimilikinya, serta membuat pertimbangan dan keputusan yang berkaitan dengan upaya menyelaraskan sumber daya dalam pencapaian keuntungan personal (Otuteye & Sharma, 2004 dalam Palestine, 2007)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a>. Pada intinya, kewirausahaan adalah kemampuan untuk menangkap peluang dan dengan cara yang inovatif menciptakan nilai tambah pada sesuatu yang tidak ada menjadi ada<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a>.<br /> Di mana pun, model enterpreneurship atau kewirausahaan mengandung dua prinsip: otonomi dan penentuan nasib sendiri (self-determination). Prinsip otonomi diterjemahkan sebagai advokasi masyarakat, sedangkan prinsip penentuan nasib sendiri (self-determination) diterjemahkan sebagai prinsip kewirausahaan (Palestin, 2007). Selama ini, kewirausahaan senantiasa dikaitkan dengan upaya memberdayakan diri/lembaga dalam konteks ekonomi untuk menunjang kehidupan. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah apa bedanya model kewirausahaan ekonomi konvensional dengan definisi kewirausahaan sosial. <br /> Menurut Dave Roberts dan Christine Woods (2007), “social entrepreneurship is a construct that bridges an important gap between business and benevolence; it is the application of entrepreneurship in the social sphere”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a> Sederhananya begini: social entrepreneurship adalah penerapan prinsip kewirausahaan dalam lingkup sosial, yang ditujukan untuk mencapai perubahan sosial tertentu.<br /> Kewirausahaan sosial bisa dijalankan atas nama perseorangan, bisa juga secara kelembagaan. Namun, karena skala perubahan yang diharapkan sangat besar, maka lazimnya kewirausahaan sosial dijalankan oleh badan-badan khusus untuk itu. Bagan berikut ini memperlihatkan rentang bentuk kelembagaan di antara dua kutub: perusahaan bisnis tradisional di sebelah kiri, dan LSM tradisional di sebelah kanan. <br />Sumber: <a href="http://www.csef.ca/what_is_a_social_entrepreneur.php">http://www.csef.ca/what_is_a_social_entrepreneur.php</a><br /><br />Gerakan-gerakan yang murni SE berada dalam simpul hybrid social enterprise, berupa badan yang didirikan dengan tujuan melakukan aksi sosial, sehingga segala upaya pendanaan, kegiatan, mau pun fundraising dibingkai dalam kerangka tersebut.<br /> Bagaimana gerakan SE menjadi bagian dari upaya pengentasan kemiskinan? Contoh paling gamblang diberikan oleh Professor M. Yunus lewat Grameen Bank di Bangladesh. Didirikan sebagai bagian dari action research Universitas Chittagong (1976), Grameen Bank memberikan kredit mikro bagi komunitas miskin di Bangladesh. Jumlahnya hanya $27, digulirkan pada 42 keluarga. Namun, uang setara dengan Rp. 243.000,- itu mampu melepaskan keluarga-keluarga tersebut dari jeratan rentenir.<br /> Kini, lebih dari 2100 cabang Grameen Bank didirikan di seluruh Bangladesh. Menurut catatan Wall Street Journal, seperlima kreditnya sudah setahun ini macet. Tapi, jurnal yang sama juga mencatat, tingkat pengembalian kredit mencatat rekor 98% untuk nasabah-nasabah perempuan. Setengah dari peminjamnya (mendekati 50 juta nasabah), juga dinyatakan berhasil melepaskan diri dari kemiskinan absolut. Ini terlihat dari standar yang diukur melalui indikator anak-anak yang bersekolah sesuai tingkat umurnya, kemampuan memberi makan keluarga tiga kali sehari, toilet dan air minum yang bersih, rumah beratap, dan kemampuan pengembalian pinjaman sebesar 300 taka (atau senilai 4 dollar) per minggu.<br /> Grameen Bank merupakan contoh organisasi SE yang berhasil. Agar bisa mencapai kesuksesan yang sama, organisasi SE mesti memenuhi prinsip-prinsip inovasi dalam praktik sbb.:<br />Institutionalize Listening. Komitmen kuat untuk menyimak, mendengar suara-suara di lapangan.<br />Pay attention to the exceptional. Yang dimaksud adalah kepekaan mengenali informasi yang tak diduga, khususnya keberhasilan-keberhasilan tak terduga.<br />Design real solutions for real people. Kelebihan social enterpreneur adalah mereka sangat peka dan realistis dengan perilaku manusia.<br />Focus on human qualities.<br />(Bronstein, 2004: 200-211)<br />Adalah tantangan yang luarbiasa berat untuk bisa menemukan orang-orang seperti ini. Pendekatan SE kini coba dipromosikan dalam makalah ini sebagai landasan bagi perguruan tinggi untuk berkontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan. Bagaimana konkretnya, dapat dilihat pada pembahasan berikut.<br />3. Pembahasan: Melembagakan SE di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai Upaya Mengentaskan Kemiskinan<br />SE, kendati bukan konsep yang relatif baru, perlu dipromosikan sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan kemiskinan, yang didalamnya terkandung persoalan struktur, sosial politik, kebudayaan. Pendekatan ini punya kelebihan: membumi, melibatkan setiap stakeholder secara aktif, dan bertumpu pada inisiatif serta pemecahan solusi yang berasal dari masyarakat. Bagaimana perguruan tinggi dapat berperan di sini?<br /> Pertama-tama, mari kita ingat bahwa institusi pendidikan tinggi di Indonesia dibingkai oleh pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri Dharma Perguruan Tinggi mengandung tiga dharma, yaitu: (1) Pendidikan dan Pengajaran; (2) Penulisan Karya Ilmiah; dan (3) Pengabdian pada Masyarakat. Sangat eksplisit terlihat bahwa pendekatan SE sebenarnya adalah wujud dari aspek ketiga, yaitu pengabdian masyarakat. Jadi, bicara soal tempat, SE punya tempat dan posisi yang jelas dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.<br /> Dengan segala keterbatasannya, sesungguhnya PT punya potensi besar untuk mengatasi persoalan bangsa, utamanya mengentaskan kemiskinan, bertitiktolak dari pendekatan SE. Caranya adalah dengan melembagakan konsep SE di lingkungan PT. Hal ini dapat dicapai melalui dua langkah besar: (1) menerjemahkan konsep SE dengan pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi maupun visi-misi spesifik PT (dalam kasus Unisba, menerjemahkan konsep SE pada 3M); dan (2) Menerjemahkan pendekatan SE dalam level aksi.<br />3.1. Menerjemahkan Konsep SE dalam Konteks Perguruan Tinggi.<br />Menimbang literatur-literatur SE dalam tinjauan pustaka, maka SE dalam lingkup perguruan tinggi harus diterjemahkan menjadi aktivitas yang realistis, kreatif, mengikat, berkesinambungan, melibatkan seluruh civitas academica, dan melembaga.<br />Realistis, maksudnya program-program SE disesuaikan dengan kebutuhan lapangan dan ketersediaan resources yang dimiliki perguruan tinggi maupun komunitas.<br />Kreatif, maksudnya aktivitas SE mesti didesain secara kreatif guna menemukan solusi terbaik. <br />Mengikat, maksudnya ada satu desain besar dan timeframe yang jelas, serta indikator-indikator guna mengukur tingkat keberhasilan program.<br />Berkesinambungan, maksudnya program SE didesain bukan untuk memberikan hasil sesaat, tetapi lebih mementingkan upaya-upaya kecil namun berkelanjutan sehingga dampaknya lebih lama terasa.<br />Melibatkan seluruh civitas academica, maksudnya tidak menjadikan SE sebagai proyeknya salah satu stakeholder universitas saja, misalnya dosen. Pihak lain seperti mahasiswa atau tenaga-tenaga lain perlu diberi kesempatan dan pengalaman untuk berkiprah. Sehingga, gerakan SE menjadi gerakan bersama.<br />Melembaga, maksudnya diinstitusionalisasikan secara resmi sehingga bisa mengikat komitmen dan memberikan jaminan keorganisasian yang jelas.<br />Demikianlah prinsip-prinsip yang harus terkandung dalam setiap aksi SE. Apabila sudah jelas prinsip-prinsip, tujuan, mau pun visi-misinya, apabila PT memang benar-benar sudah memutuskan akan serius berkiprah dalam SE, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana mengoperasionalkan rencana besar ini dalam langkah-langkah konkret.<br />3.2. Mengoperasionalkan SE di Lingkungan Perguruan Tinggi<br />Langkah-langkah untuk mengoperasionalkan SE di lingkungan PT dapat dirumuskan dengan mengacu pada level kelembagaan, level regulasi, level aksi, dan level audit. Ketika level-level operasional ini disilangkan dengan prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka hasilnya adalah matriks, sbb.<br /><br />Matriks Operasionalisasi Social Enterpreneurship Untuk Perguruan Tinggi<br />No.<br />Pelembagaan<br />SE<br />Tridharma Perguruan Tinggi<br />Pendidikan dan Pengajaran<br />Penelitian dan Karya Ilmiah<br />Pengabdian Masyarakat<br />1<br />Level Kelembagaan<br />Mendirikan SE Center di tingkat universitas<br />Melakukan konsolidasi kelembagaan<br />Melakukan pemetaan resources<br />Menjalin relasi dan melakukan lobi-lobi internal maupun eksternal, apakah itu dengan pemerintah, lembaga legislatif, sesama perguruan tinggi, maupun kontak dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki program corporate social responsibility.<br />Fundraising: langkah dan aksi fundraising yang tidak norak dan mengandalkan pihak luar semata, tapi elegan dan sesuai dengan semangat SE.<br />Mempublikasikan jurnal-jurnal program SE.<br />Merencanakan award-award (internal): SE Award Unisba, misalnya, untuk mahasiswa, dosen, dan pusat kajian yang terpilih.<br />Berkompetisi mengikuti award-award dari dalam dan luar negeri (eksternal): dari Pemerintah, Kementerian, organisasi funding seperti Skoll Enterprise, Schwab Foundation, Ashoka International, dll.<br />Menyusun rencana jangka panjang dan jangka pendek.<br />Merumuskan affirmative actions untuk melembagakan SE, mis. merencanakan program-program pelatihan berbasis SE.<br />2<br />Level Regulasi<br />Memberlakukan kurikulum wajib SE di tingkat fakultas<br />Memberlakukan ketentuan penyisihan porsi penelitian dan karya ilmiah berwajah SE<br />Memberlakukan ketentuan pengabdian masyarakat berbasis SE<br />3<br />Level Aksi<br />Mendata mata kuliah yang berpotensi dijadikan bagian kurikulum wajib SE.<br />Menyusun dan melaksanakan program-program penelitian berbasis SE.<br />Menyusun dan melaksanakan PKM berbasis SE<br />Menyusun atau mendampingi penyusunan silabi berbasis SE.<br />Melatih dosen agar berwawasan SE.<br />Melakukan pelatihan bagi penelitian berbasis SE.<br />Melakukan pelatihan bagi PKM berbasis SE.<br />4<br />Level Audit/Monev:<br />Mengembangkan panduan audit monev berbasis SE. Apa saja indikator-indikatornya?<br />Mengembangkan indikator-indikator audit monev program pendidikan dan pengajaran berbasis SE.<br /><br />Mengembangkan indikator-indikator audit monev program penelitian dan karya ilmiah berbasis SE.<br /><br />Mengembangkan indikator-indikator audit monev PKM berbasis SE.<br /><br />Menyusun program-program audit monev secara teratur di bidang pendidikan pengajaran dengan indikator berbasis SE.<br />Menyusun program-program audit monev secara teratur di bidang penelitian dan karya ilmiah dengan indikator berbasis SE.<br />Menyusun program-program audit monev secara teratur untuk PKM dengan indikator berbasis SE.<br />Melakukan audit monev dalam program pendidikan dan pengajaran berdasarkan indikator-indikator berbasis SE.<br />Melakukan audit monev dalam program penelitian dan karya ilmiah berdasarkan indikator-indikator berbasis SE.<br />Melakukan audit monev dalam program PKM berdasarkan indikator-indikator berbasis SE.<br />Ketr. SE = Social Enterpreneurship.<br /><br />Matriks yang disajikan di sini hanya sekadar stimulan untuk merumuskan langkah-langkah konkret yang bisa dilakukan PT untuk mengentaskan kemiskinan dengan pendekatan social enterpreneurship. Walau demikian, stimulan ini dapat dijadikan pijakan awal apabila PT memang serius ingin berkontribusi mengentaskan kemiskinan, sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki.<br /><br />3.3. Melembagakan SE di Unisba: Studi Kasus SE di Kelas Filsafat Komunikasi<br />Sesungguhnya, Unisba memiliki potensi luarbiasa untuk memberi kontribusi bagi pengentasan kemiskinan. Unisba mempunyai modal sosial dari segi kelembagaan, sumberdaya manusia, potensi jejaring dan relasi, power, serta potensi keuangan dan fasilitas. Modalitas brainware, hardware, software-nya jelas sudah ada. Unisba juga bukan universitas yang terpisah dari lingkungan sosialnya secara geografis. Terletak di Tamansari dan Ciburial, warga Unisba punya kesempatan untuk berinteraksi secara intens dengan persoalan sosial, sehingga tidak perlu kerepotan mencari target sasaran. Apalagi, Kelurahan Tamansari maupun kawasan Ciburial adalah wilayah urban yang memerlukan penataan dan pembinaan serius.<br /> Dalam lingkup kelas, penulis mencoba bereksperimen menerapkan pendekatan SE untuk mata kuliah Filsafat Komunikasi. Kepada mahasiswa, diberikan tugas kelompok melakukan kerja volunteer di wilayah Bandung. Lewat tugas ini, diharapkan mahasiswa mendapatkan pengalaman bersentuhan langsung dengan permasalahan sosial, sehingga dapat menjadi stimulan untuk menerapkan SE di masa mendatang. Tujuan lain yang diharapkan adalah adanya kesempatan untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan, sambil memperbaiki kualitas kepribadian.<br /> Laporan-laporan yang dikumpulkan mau pun dipresentasikan hasilnya di luar dugaan. Terbentuk sepuluh kelompok beranggotakan 2-5 orang, dengan kiprah meliputi:<br />Volunteer Food-Not-Bombs, sebuah organisasi yang menampung sayuran reject dari supermarket maupun pasar sayur petani Lembang, namun masih layak-olah. Sayuran dimasak untuk anak-anak jalanan di Taman Lansia, Cilaki.<br />Reader di Panti Wyata Guna. Membacakan dan mencarikan buku-buku yang diperlukan pelajar penghuni Wyata Guna.<br />Konselor bagi siswa-siswi SMU XX yang menghadapi permasalahan keluarga dan problematika belajar.<br />Volunteer di Panti Wredha dan Panti Asuhan. Kegiatannya antara lain merayakan 17 Agustusan di Panti Asuhan dan Panti Wredha sambil menyelenggarakan bursa amal.<br />Volunteer di Panti Asuhan Bayi Sehat Muhammadiyah.<br />Trainer musik untuk anak-anak jalanan. Menyelenggarakan konser anak jalanan, yang kini laris ditanggap di pelbagai event.<br />Mengorganisasikan tim kebersihan di lingkungan kos-kosan. Kini tidak terbatas pada kos-kosannya sendiri tapi juga meluas ke kosan lain di wilayahnya. <br />Kakak asuh bagi anak-anak SD dari keluarga tidak mampu. Kelompok ini bukan saja secara teratur menyisihkan uang untuk membiayai SPP (Rp 25.000 s.d. Rp 75.000), tetapi juga mengupayakan buku-buku bekas (pelajaran maupun bacaan yang sehat) dan menjadi mentor belajar. Sasaran mereka adalah anak-anak yatim/piatu yang orangtuanya single parent, bekerja sebagai buruh atau pembantu.<br />Volunteer bagi TK di wilayah ekonomi kelas bawah. Kegiatan selain di dalam kelas adalah menyelenggarakan lomba 17 Agustusan dan jalan-jalan ke Kebun Binatang.<br />Volunteer untuk Harm Reduction, sebuah organisasi penanggulangan narkoba.<br />Dalam presentasi, anggota kelompok ini saling sharing, merefleksikan pengalaman masing-masing. Hal yang menarik adalah mereka sama-sama tergerak untuk meneruskan keterlibatannya. Mereka juga jadi lebih memahami realitas di lapangan, permasalahan sosial di Bandung, serta terpicu semangatnya untuk memberi kontribusi bagi sesamanya. Dalam konteks ini, pendekatan SE berhasil memberikan pencerahan dan pengalaman. Pengelolaan kelas sangat low cost, karena dengan prinsip otonomi, partisipasi, serta self-determination, mahasiswa bisa berbuat banyak dan menemukan solusi-solusi kreatif.<br /> Pendekatan ini layak diujicobakan sebagai bagian penciptaan kurikulum berwajah SE. Padahal, ini baru level aksi institusional, sebatas menyentuh salah satu kemungkinan aspek SE di lingkungan perguruan tinggi, seperti tergambar dalam matriks tadi.<br /><br />4. Penutup<br />Kemiskinan bagaikan benang kusut. Mengurai kompleksitasnya butuh waktu, motivasi, komitmen, dan upaya setiap pihak. Konsep SE yang dipromosikan sebagai pendekatan membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk memanfaatkan potensinya bagi upaya penanggulangan kemiskinan. Berikut adalah kesimpulan karya tulis ini.<br />1. Dari segi konsep, pendekatan SE sesungguhnya merupakan wujud prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian masyarakat. Namun, agar lebih applicable, SE perlu dilakukan lewat aktivitas yang realistis, kreatif, mengikat, berkesinambungan, melibatkan seluruh civitas academica, dan melembaga.<br />2. Guna menerjemahkan pendekatan SE pada level yang operasional, PT dapat mengikuti skema atau langkah-langkah yang telah diidentifikasi dalam matriks, meliputi level kelembagaan, regulasi, aksi, dan audit/monitoring-evaluasi.<br />Terkait dengan kesimpulan dan tujuan penulisan makalah ini, maka saran-saran yang dapat diberikan mencakup beberapa hal:<br />1. Untuk lingkup eksternal, PT perlu meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi dengan pihak-pihak terkait seperti Pemda, sesama PT, pihak swasta, atau para pebisnis yang punya concern terhadap perubahan sosial lewat program-program CSR.<br />2. Pada lingkup internal kelembagaan, PT perlu sesegera mungkin melakukan initial assesment dan mengonsolidasikan resources-nya sebagai persiapan awal untuk berkiprah dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Termasuk menyiapkan SDM yang bermutu lewat pelatihan dan upgrading.<br />Menutup tulisan ini, penulis ingin mengutipkan sebuah hikmah dari kehidupan Rasulullah Muhammad SAW. Terlepas dari gaya hidup sederhana (zuhud) yang diterapkannya, Rasulullah ternyata menaruh perhatian pada masalah kemiskinan. Rasulullah acap menyatakan bahwa kemiskinan membawa kekufuran (HR. Abu Nua’im yang diriwayatkan oleh Anas). Oleh karena itu, mencegah mengurangi kemiskinan merupakan salah satu tindakan sosial nan mulia. Karena, dapat mengurangi peluang kejahatan dan penyimpangan akidah. Itu sebabnya, dalam beberapa riwayat dikisahkan betapa bijaknya Rasulullah menyikapi kejahatan yang diakibatkan oleh kemiskinan. Rasulullah juga mengajarkan sikap hidup dan doa-doa untuk menghindarkan manusia terjebak dalam kemiskinan.<br /> Riwayat Rasulullah memperlihatkan pentingnya mengupayakan penanggulangan kemiskinan. Perguruan tinggi, dalam kasus ini, jelas mengemban tanggungjawab sosial untuk berkiprah di sini. Sudah saatnya perguruan tinggi mendobrak status dan fungsi ekonomi yang lebih dominan, berhenti didominasi dan diposisikan sebagai sekrup industri, dan mulai secara serius memikirkan bagaimana mengatasi permasalahan bangsa, tanpa tergiring lagi-lagi dalam pemikiran berparadigma ‘proyek cari duit’ dan ‘cari nama’.***<br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />Buku.<br />Bauman, Zygmunt. 1998. Works, Consumerism, and the New Poor. Philadelphia: Open University Press.<br />Bornstein, David. 2004. How to Change the World: Social Enterpreneurs and the Power of New Ideas. Oxford: Oxford University Press.<br />Wood, John. 2006. Leaving Microsoft to Change The World (diterjemahkan oleh Widi Nugroho menjadi “Kisah Menakjubkan Seorang Pendiri 3600 Perpustakaan di Asia). Jokja: Bentang.<br /><br />Koran.<br />Bawazier, Fuad. Super Miskin. Artikel Opini dalam HU Republika, 16 April 2007. <br />Hartiningsih, Maria. Energi Tri Mumpuni. Artikel Opini Kompas, 7 Oktober 2005.<br />Kustiman, Erwin. Kemiskinan, Bahaya Laten Jawa Barat. Artikel Opini dalam HU Pikiran Rakyat, Agustus 2007.<br />Natsir, Irwan. Perencanaan Daerah. Artikel Opini dalam HU Pikiran Rakyat, 10 Januari 2007.<br />Jumlah Penduduk Miskin Jawa Barat Bertambah. Berita HU Pikiran Rakyat, 9 Mei 2007.<br />Diperlukan Strategi Baru Atasi Kemiskinan. Berita HU Pikiran Rakyat, 24 Desember 2005.<br />Gatot Johanes Silalahi. Kesempatan Wirausaha Bagi Mahasiswa. Sinar Harapan, 2003. www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/2005/0108/ukm3.html<br />Peranan Kewirausahaan dalam Masyarakat. Berita HU Republika, 19 Maret 2003.<br /><br />Internet.<br />Bondan Palestin. 10 Januari 2007. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat. http://bondankomunitas.blogspot.com.<br />Prabowo, Agus dan Didy Wurjanto. Tiga Pilar Pengentasan Kemiskinan. <a href="http://www.kimpraswil.go.id/">www.kimpraswil.go.id</a><br />Roberts, Dave dan Christine Woods. Changing the World in a Shoestring: The Concept of SE. <a href="http://www.businessjournal.com/">www.businessjournal.com</a>. Tanggal akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.55 WIB.<br />Suara Pembaruan Daily dalam http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups. Tanggal akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.45 WIB.<br />Disinkom, Jumat 31 Agustus 2007. <a href="http://www.bandung.go.id/">www.bandung.go.id</a>. Tanggal akses terakhir 21 September 2007, pk. 19.33 WIB.<br /><a href="http://www.bandung.go.id/">www.bandung.go.id</a>. Tanggal akses terakhir 22 September 2007, pk. 01.50 WIB<br /><br />Sumber lain:<br />Makalah berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat.” Dalam Seminar Nasional “Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan” Bogor, 21 Agustus 2007. Bandung: Pemkot Bandung.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Disebut supermiskin karena memiliki penghasilan di bawah 1 dollar sehari, yang berarti tidak bisa memenuhi basic needs. Data BPS memperlihatkan, tingkat pendapatan kelompok ini tak lebih dari Rp. 5.095,- (Republika, 16 April 2007).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Suara Pembaruan Daily dalam http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups. Tanggal akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.45 WIB.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Kompas, 2 Agustus 2007.<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Agus Prabowo dan Didy Wurjanto, Tiga Pilar Pengentasan Kemiskinan. www.kimpraswil.go.id.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Irwan Natsir, Perencanaan Daerah, HU Pikiran Rakyat 10 Januari 2007.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) menyatakan, pembangunan Jabar pada 2006 masih menyimpan banyak persoalan yang harus dibenahi. ”Parameter makro berupa IPM hanya meningkat 0,71 poin atau menurun dibandingkan 2005 (0,99). IPM Jabar pada 2006 hanya 70,05 dari target 75,60. Ini harus menjadi perhatian karena target IPM 80 pada 2010 tinggal menyisakan 3 tahun lagi,” ungkap juru bicara FPKS, Tate Qomarudin (HU Pikiran Rakyat, 9 Mei 2007)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Erwin Kustiman, Kemiskinan Bahaya Laten Jawa Barat (HU Pikiran Rakyat, 2007).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Data Litbang Kompas (2007) merinci, terjadi kenaikan rata-rata upah minimum regional di Jabar hanya 4,04 persen, dari Rp 899.122 menjadi Rp 935.450 per bulan. Namun, proporsi kenaikan ini lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan pengeluaran masyarakat per bulan. Pengeluaran per kapita per bulan meningkat 12,79 persen. Apa artinya naik penghasilan 4.04 persen kalau pengeluaran pun bertambah 12.79%?<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Disinkom, Jumat 31 Agustus 2007. www.bandung.go.id.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> PPK IPM merupakan inisiatif Pemda Jabar untuk menanggulangi kemiskinan dengan memberi stimulus pada kepada Pemerintah Kab/Kota untuk dapat menggalang potensi stakeholders pembangunannya,<br />guna merumuskan langkah dan strategi dalam peningkatan IPM di daerah masing-masing dan menuliskannya dalam sebuah proposal yang diajukan kepada Gubernur. Data Seminar Nasional “Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan” Bogor, 21 Agustus 2007. Makalah berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat.”<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Komposisi penggunaan dana meliputi 30% untuk bidang pendidikan, 25% bidang<br />kesehatan dan 45% untuk bidang ekonomi peningkatan daya beli. Data Seminar Nasional “Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan” Bogor, 21 Agustus 2007. Makalah berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat.”<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> <a href="http://www.bandung.go.id/">www.bandung.go.id</a>. Tanggal akses terakhir 22 September 2007, pk. 01.50 WIB.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> “Diperlukan Strategi Baru Atasi Kemiskinan”. Berita HU Pikiran Rakyat, 24 Desember 2005.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> Erwin Kustiman, Kemiskinan, Ancaman Laten Jawa Barat. HU Pikiran Rakyat, 27 Juni 2005.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a> Kompas, 7 Oktober 2005. Energi Tri Mumpuni.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a> Bondan Palestin. 10 Januari 2007. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat. http://bondankomunitas.blogspot.com.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a> Republika, 19 Maret 2003. Peranan Kewirausahaan dalam Masyarakat.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a> Changing The World On A Shoestring: The Concept of Social Enterpreneurship. Journal of Business Review.communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-17230693327186950572007-11-26T05:40:00.000-08:002007-11-26T05:43:47.109-08:00Defisit KepemimpinanIni sebuah unek-unek, ketika berbagai nama muncul dalam bursa calon presiden Republik Indonesia mau pun pemimpin Jawa Barat. Semestinya menjadi kenyataan menyedihkan, tatkala fakta menunjukkan bahwa nama-nama yang tengah digadang sebagai calon pemimpin sebagian besar tak lebih dari nama-nama daur ulang. Nyaris tidak ada nama baru yang muncul. Selain didominasi politisi lama, kandidat incumbent alias pejabat yang tengah memimpin juga menghiasi daftar yang diklaim sebagai ‘calon pemimpin’.<br /> Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta orang, Indonesia mestinya punya banyak sekali sosok yang memiliki kapasitas sebagai pemimpin. Namun, betapa mengecewakan karena nama yang beredar dalam jajaran elit kepemimpinan negara ini, orangnya itu-itu juga. Padahal, kita sama-sama tahu track record-nya di masa lalu, terutama kegagalan yang bersangkutan memenuhi janji-janji semasa kampanye.<br /> Inilah rupanya salah satu wujud krisis kepemimpinan. Yaitu, ketika kita mengalami defisit kepemimpinan, sehingga tampak seolah tak ada pilihan sosok lain untuk menjadi pemimpin. Sebuah negara, masyarakat, atau organisasi yang mengalami defisit kepemimpinan sesungguhnya disebabkan hanya oleh satu hal saja: tidak adanya sistem kondusif yang memunculkan pemimpin-pemimpin handal.<br /> A leader not just being born, he/she is being made. Itulah kalimat sakti yang acap dilontarkan oleh suhu-suhu leadership. Barangkali memang ada orang-orang tertentu yang berbakat menjadi pemimpin. Ini masalah karakter bawaan, trait personality. Tetapi, jelas, tidak cukup menjadi pemimpin hanya dengan dilahirkan saja. Seorang pemimpin muncul di tengah massanya, karena memang dibentuk demikian. Salah satu kunci sukses pembentukan pemimpin terletak pada sistem yang memungkinkan hal itu terjadi. Faktor ruang, karena itu, menjadi hal yang sangat penting.<br /> Adalah Ikujiro Nonaka, yang berupaya menghubungkan pentingnya ruang dengan penciptaan struktur yang sehat. Bertitiktolak dari teori-teori kontingensi dalam manajemen yang menekankan hubungan antara struktur dan penciptaan pengetahuan, Profesor Nonaka mengajukan konsep ba yang dalam bahasa Jepang diterjemahkan sebagai “places” atau “ruang”. Mengutip filosof Jepang Kitaro Nishida, setiap ba hakekatnya memiliki dimensi fisik, relasional, dan spiritual. <br /> Dimensi fisik ba terdiri dari ruang-ruang pertemuan dan ruang-ruang publik. Ini dapat dibangun antara lain melalui kota-kota yang bersahabat dengan publik, penciptaan struktur bangunan pemerintah yang ramah bagi warganegara, disain ruang kota yang memanusiakan penduduknya, dan jejaring transportasi yang menjamin dan memudahkan pergerakan dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa menghabiskan energi dan emosi. Dimensi relasional terdiri dari pola-pola interaksi, emosi, dan gagasan. Budaya organisasi, dinamika proses, dan mekanisme dialog merupakan salah satu wujudnya. Ada pun dimensi spiritual, yang merupakan tacit knowledge, tidak lain merupakan ruang-ruang spiritual sumber kreativitas, visi, dan energi komunitas. Nonaka yakin, dimensi spiritual ba akan terbangun dengan sendirinya jika disertai ‘keberesan’ dimensi fisik dan relasionalnya. Namun, penting dipahami, energi ba tidak muncul sendirian. Ketiga dimensi bersifat coexist, sama-sama ada.<br /> Tugas seorang pemimpin adalah membangun dan memanfaatkan ba baik di dalam mau pun di luar lembaga—melintas batas-batas struktur organisasi. Ba bukan masalah tempat, bukan masalah kepribadian. Melainkan persoalan konteks yang disebarkan menjadi milik bersama, sehingga mentransformasi pengetahuan-pengetahuan individual menjadi pengetahuan bersama, yang difokuskan pada pencapaian tujuan bersama komunitas. Ba, dengan kata lain, mentransendensi kapabilitas individual menjadi kesadaran akan pentingnya tujuan-tujuan bersama.<br /> Dari perspektif ba, kelemahan organisasi atau struktur pemerintahan sekarang ini terletak pada perhatian yang hanya difokuskan terhadap satu faktor: relasional. Kepemimpinan lazimnya dimaknai sebagai jejaring kekuasaan yang harus dibangun di antara individu-individu kunci maupun objek kekuasaan. Sedikit sekali perhatian yang diberikan pada dua dimensi lainnya: fisik dan spiritual. Hal ini mungkin bisa menjelaskan mengapa menjelang pemilu, para petinggi parpol dan pejabat publik di Indonesia sibuk membangun hubungan dengan konstituen masing-masing. Sementara, usai dirinya terpilih, akses yang telah dibangun dengan konstituen dilupakan (lagi).<br /> Dimensi relasional ba lebih jauh lagi mengajarkan kita bahwa variabel kunci dalam menentukan sukses pembinaan pemimpin bukanlah sang Pemimpin sendiri, melainkan orang-orang yang dibinanya. Ketika seorang pemimpin hanya berfokus pada dirinya sendiri (plus kroni-kroninya), itu berarti ia telah gagal menciptakan ba, dengan kata lain, abai membangun sistem yang mampu melahirkan pemimpin baru. Ketika seorang pemimpin atau mantan pemimpin dilamar untuk menjadi kandidat the next leader, yang bersangkutan hendaknya jangan asal mengiyakan saja—terharu, bangga, apalagi sampai terpesona oleh dirinya sendiri. Kalau sampai lamaran tersebut diterima, semestinya sang pemimpin berintrospeksi, apakah telah terjadi kegagalan sistemik dalam masa pemerintahannya selama ini, sehingga tak ada calon pemimpin baru—sehingga, ia terpaksa mencalonkan diri kembali? Kata-kata ‘terpaksa’ itu mesti digarisbawahi, karena tampaknya tidak tercantum dalam kamus para (calon) pemimpin kita.***<br /><br />Dimuat di Kompas Edisi Jawa Barat, Senin 6 November 2007, Rubrik Forumcommunicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-16708236192591723862007-08-28T09:52:00.000-07:002007-08-28T09:56:22.688-07:00ADA APA DENGAN SKRIPSI KUALITATIF KITA?ADA APA DENGAN SKRIPSI KUALITATIF KITA?<br />Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br /><br />I. Pendahuluan <br /><br />Menelaah skripsi sesungguhnya pekerjaan mengasyikkan. Kita bisa tercerahkan berkat informasi terkini yang didapatkan di lapangan. Kita mendapatkan ulasan mengenai pemikiran-pemikiran mutakhir dalam disiplin yang kita tekuni untuk menjawab isu-isu kontemporer. Atau, setidaknya, menikmati keliaran pemikiran dan elaborasi teori yang kreatif dan imajinatif dari penulisnya. Seraya, mengintip rujukan-rujukan yang mungkin belum tentu ada di rak-rak perpustakaan pribadi kita. Itu kalau kita mendapatkan skripsi yang betul-betul bermutu. Masalahnya, mendapatkan skripsi yang berkualitas bukan perkara gampang. Realitasnya, kita lebih sering berhadapan dengan skripsi-skripsi yang dibuat hanya demi memenuhi syarat formal lulus sebagai sarjana komunikasi. Akibatnya, beribu maaf, skripsi disusun asal-asalan dengan kualitas isi yang terkategori ‘mencemaskan’.<br />Ketika metode kualitatif mulai diterima dalam disiplin komunikasi, banyak mahasiswa maupun dosen mulai melirik metode ini sebagai alternatif riset. Kondisi ini, di satu pihak, menggembirakan. Di sisi lain, bikin deg-degan. Pasalnya, dalam banyak kasus, keputusan melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif tidak dilandasi oleh alur penalaran yang logis berdasarkan nature permasalahan yang dihadapi.<br />Sejujurnya, berdasarkan pengakuan rekan-rekan mahasiswa yang penelitian kualitatifnya bermasalah, keputusan menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian diakibatkan oleh lemahnya penguasaan statistik. “Takut berhadapan dengan angka-angka,” “malas menghitung,” “tidak hafal rumus,” begitulah jawaban klasik yang acap dilontarkan. Ketakutan pada matematika dan keengganan berurusan dengan format penelitian yang rigid dan ketat membuat para peneliti ini beralih pada metode kualitatif yang dianggap ‘lebih ramah’ dan ‘lebih gampang’ karena tak bertabur angka, tak menuntut rumus-rumus statistik yang panjang, rumit, dan njelimet! <a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a><br />Lebih gampang? Betulkah metode kualitatif ‘lebih ramah’ bagi mahasiswa? Mari kita telusuri bersama sejumlah masalah yang diakibatkan oleh sesat pikir semacam ini.<br /><br />II. Data: Temuan dari Pengalaman Mahasiswa<br /><br />Guna mendapatkan data yang lebih rinci, valid, dan bisa dipertanggungjawabkan mengenai topik ini, penulis melakukan penelitian berskala kecil terhadap para kandidat sarjana peserta sidang skripsi di lingkungan Fikom Unisba, periode 20-23 Agustus 2007. Periode ini mencetak rekor peserta sidang skripsi, yaitu sebanyak 86 orang.<br />Penelitian ini bermaksud menjaring tanggapan terhadap latarbelakang memilih metode kualitatif, kapabilitas pengajar MPK dan dosen pembimbing dalam penguasaan metode kualitatif, tingkat kesulitan mengerjakan metode kualitatif, serta isu-isu lain yang perlu dicermati. Penelitian ini, perlu ditekankan, sama sekali tidak dimaksudkan untuk membaca sejauhmana penguasaan penggarap skripsi maupun dosen dalam metode kualitatif, atau menilai kualitas skripsi metode kualitatif. Kuesioner yang dibagikan semata-mata merupakan upaya untuk mengeksplorasi tanggapan awal terhadap penggunaan metode kualitatif dalam menyusun skripsi.<br />Dari 20-an angket yang dibagikan<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a>, 18 di antaranya dikembalikan pada akademik. Inilah data yang diolah dari jawaban angket tersebut.<br /><br />1. Faktor Alasan<br />Pertanyaan yang diajukan pada pengisi angket adalah apa alasan utama menggunakan metode kualitatif dalam penggarapan skripsi. Tabel 1 menunjukkan jawabannya.<br /><br />Tabel 1. Alasan Penggunaan Metode Kualitatif Dalam Skripsi<br />No.<br />Alasan<br />f<br />%<br />1<br />Sesuai dengan permasalahan<br />15<br />83.33<br />2<br />Hasil diskusi dengan pembimbing/kolega<br />1<br />5.55<br />3<br />Sesuai dengan rujukan skripsi lain<br />2<br />11.11<br />4<br />Lain-lain<br />0<br />0<br /><br />Total<br />18<br />100<br /><br />Alasan dominan mengerjakan skripsi, menurut responden, adalah karena metode kualitatif memang sesuai dengan permasalahannya (83.33%). Seorang responden (5.55%) memilih metode kualitatif setelah berdiskusi dengan pembimbing dan koleganya. Sementara, dua responden lainnya (11.11%) menyatakan bahwa pemilihan metode tersebut didasari hasil pembacaan terhadap skripsi lain, yang kebetulan meneliti konsep atau gagasan yang sama. Temuan yang menunjukkan dominannya alasan ‘a’ bisa dibilang melegakan, andai memang ini jawaban jujur. Karena, temuan tersebut memperlihatkan bahwa mahasiswa sudah memiliki dasar pijakan yang kuat untuk memilih penelitian dengan metode kualitatif, bukan asal-asalan saja.<br /><br />2. Faktor Durasi<br />Menarik sekali mengamati jawaban responden mengenai durasi pengerjaan skripsinya, yang menggunakan metode kualitatif. Simak dalam Tabel 2 berikut ini.<br /><br />Tabel 2. Durasi Riset<br />No.<br />Durasi Pengerjaan Skripsi<br />f<br />%<br />1<br />< = 4 bulan<br />9<br />50<br />2<br />5 – 8 bulan<br />4<br />27.78<br />3<br />9 – 12 bulan<br />3<br />16.67<br />4<br />> 12 bulan<br />2<br />5.55<br /><br />Total<br />18<br />100<br /><br />Tidak pernah ada ketentuan menyangkut berapa lama waktu yang harus dihabiskan untuk menyusun skripsi kualitatif. Namun, lazimnya, penelitian skripsi yang serius cukup makan waktu. Karena, peneliti tidak hanya mengobservasi dan melaporkan temuannya, tetapi juga dituntut melakukan bobot analisis yang lebih mendalam daripada penelitian kuantitatif. Hasil angket menunjukkan, 50% responden menyusun skripsi dalam jangka waktu yang sangat singkat untuk kategori skripsi kualitatit, yaitu kurang dari 4 bulan saja! Inikah salah satu penyebab skripsi kualitatif tidak bermutu dan kurang matang? Sementara itu, dua mahasiswa makan waktu lebih dari setahun untuk menyusun skripsinya (12.5 bulan dan 18 bulan). Masalah utamanya, menurut ybs., adalah karena tingkat kesulitan skripsinya (dengan metode interaksionisme simbolik) dan gangguan pekerjaan. Tetapi, sepengamatan dosen ybs., mahasiswa ybs. walau pun cukup ambisius untuk meneliti sesuatu yang baru, dengan perspektif yang ‘keren/canggih’, ternyata tak punya bekal memadai untuk melakukan penelitiannya sesuai dengan prosedurnya. Bekal memadai itu a.l. adalah pola pikir yang konsisten dan tidak acakadut, serta konduite mahasiswa sendiri yang on-off (lebih sering off-nya), dalam proses bimbingan.<br /> Dalam sidang skripsi, penulis sendiri menemukan skripsi-skripsi asal jadi yang tampaknya ditulis untuk mengejar target waktu. Selain disusun dengan sangat tidak rapi, asal jadi, dalam satu kasus, penulis bahkan berhadapan dengan seorang mahasiswa yang mengaku hanya butuh waktu kurang dari 6 bulan untuk menyusun skripsi. Dalam skripsinya, penulis menemukan 17 copy paste—sebuah pelanggaran etika akademik yang mengerikan. Mahasiswa itu lulus walau pun penulis hanya memberi nilai 1. Dia diselamatkan oleh nilai kolektif.<br /><br />3. Sumber Pertama Mengenal Metode Kualitatif<br />Beberapa tahun silam, penelitian kualitatif tidak sepopuler sekarang. Sedikit sekali mahasiswa yang memilih metode kualitatif dalam skripsinya. Mata kuliah MPK Kualitatif sendiri baru ada dua tahun belakangan ini, berkat ‘pemekaran SKS’ MPK yang pernah dibahas penulis sekitar 3-4 tahun silam—juga dalam forum SII lewat judul makalah “Mengimbangi Positivisme Dalam Pengajaran MPK” (2004). Sekarang, dalam setiap periode sidang skripsi mau pun UP, selalu ada penelitian (atau UP) berdimensi kualitatif. Ini menunjukkan tingginya minat meneliti dengan metode kualitatif. Dari mana mahasiswa mengetahui metode kualitatif pertama kali?<br /><br />Tabel 3. Sumber Pertama Mengenal Metode Kualitatif<br />No.<br />Sumber Pertama<br />f<br />%<br />1<br />Teman<br />1<br />5.55<br />2<br />Skripsi lain<br />0<br />0<br />3<br />Dosen wali<br />1<br />5.55<br />4<br />Dosen pembimbing<br />0<br />0<br />5<br />Dosen mata kuliah metode riset<br />15<br />83.33<br />6<br />Dosen mata kuliah lainnya<br />0<br />0<br />7<br />Lingkungan di luar kampus<br />1<br />5.55<br /><br />Total<br />18<br />100<br /><br />Dosen mata kuliah metode riset (MPK) menjadi sumber pertama bagi mahasiswa dalam mengenal metode kualitatif (83.33%). Dosen mata kuliah lainnya, dosen wali, teman, dan lingkungan lain, sangat sedikit berperan. Sayang sekali, tradisi, minat, dan stamina membaca mahasiswa kita begitu rendah (bagaimana dengan dosennya? Ehm...). Maka tak heran jika hanya seorang mahasiswa yang mengaku tahu metode kualitatif pertama kali dari bacaan—yaitu skripsi di perpustakaan.<br /><br />4. Keistimewaan Metode Kualitatif.<br />Seabreg handbook riset kualitatif produksi dalam dan luar negeri—lepas dari seperti apa kualitasnya—merinci keistimewaan metode kualitatif. Tetapi, inilah pendapat para ‘sarjana’ kita ihwal ‘keistimewaan’ metode kualitatif.<br /><br />Tabel 4. Keistimewaan Metode Kualitatif<br />No.<br />Keistimewaan Metode Kualitatif<br />f<br />%<br />1<br />Tidak perlu menggunakan angka dan rumus<br />15<br />83.33<br />2<br />Dapat mengeksplorasi masalah lebih mendalam<br />14<br />77.78<br />3<br />Ada tantangan baru<br />6<br />33.33<br /><br />Pilihan bahwa metode kualitatif itu istimewa karena tidak perlu menggunakan angka dan rumus nyaris ada dalam setiap jawaban! Ini sudah bisa ditebak. Bahwa metode kualitatif dianggap istimewa karena dapat mengeksplorasi permasalahan lebih mendalam—ya. Tapi, tampaknya, biarpun kualitas ini dianggap istimewa, hasil skripsi kualitatif sarjana kita jauh dari mencerminkan kemendalaman eksplorasi permasalahan.<br /><br />5. Kesulitan Metode Kualitatif<br />Minat menggunakan metode kualitatif dalam penelitian/skripsi, ternyata tidak ditunjang oleh sarana yang memadai. Semua opsi mendapatkan jawaban yang frekuensinya hampir sama.<br /><br />Tabel 5. Kesulitan Metode Kualitatif<br />No.<br />Kesulitan Metode Kualitatif<br />f<br />%<br />1<br />Literatur sedikit, banyak berbahasa Inggris<br />6<br />33.33<br />2<br />Literatur sulit dipahami/diterapkan<br />5<br />27.78<br />3<br />Tidak punya teman diskusi<br />7<br />38.88<br />4<br />Tidak ada/sedikit sekali contoh penelitian yang relevan<br />7<br />38.88<br />5<br />Tidak ada format penelitian yang baku<br />8<br />44.44<br />6<br />Dosen pembimbing tidak banyak berperan<br />6<br />33.33<br /><br />Yang cukup menonjol, mahasiswa mengeluhkan tidak adanya format penelitian yang baku. Ini memang kekurangan Fikom Unisba—sejak dulu tidak punya panduan format skripsi yang baku. Padahal, Fikom Unisba sudah berdiri 20 tahun-an. Mestinya, panduan format skripsi ini sudah dimiliki sedari dulu. Kalau masalah literatur yang sedikit dan banyak yang berbahasa asing, memang itu sebuah kesulitan, tapi penulis melihat mahasiswa sendiri tampaknya manja dan tak punya stamina baca yang memadai untuk kategori seorang mahasiswa. Demikian pula alasan nomor 4, sebenarnya contoh penelitian skripsi itu banyak, tapi lagi-lagi semua ini berpulang pada kerajinan dan inisiatif mahasiswa sendiri untuk mencari literatur dari sumber-sumber di luar kampus. Literatur yang ada sulit diterapkan, karena itu, penggarapan metode kualitatif memerlukan banyak diskusi dengan kolega (sayangnya, sulit menemukan rekan diskusi yang menguasai permasalahan), sementara, dosen pembimbing sendiri dinilai tidak banyak berperan. Ini menjadi refleksi bagi kita semua. Tapi, lebih jauh tentang relasi antara dosen pembimbing dan mahasiswa penggarap skripsi metode kualitatif bisa dilihat dari data berikut ini.<br /><br />6. Tentang Dosen Pembimbing<br />Dalam penyusunan skripsi, dosen pembimbing bertugas membantu dan mendampingi sebagai mentor, tutor, teman diskusi, instruktor, apalah. Tapi, semua upaya sampai pada eksekusi terakhir, sudah barang tentu menjadi tanggungjawab mahasiswa ybs. Di ruang sidang, skripsi sepenuhnya menjadi tanggungjawab mahasiswa, bukan lagi pembimbing. Bagaimana peran dosen pembimbing dalam penyusunan skripsi? Hasilnya bisa dilihat pada Tabel 6.<br /><br />Tabel 6. Peran Dosen Pembimbing<br />No.<br />Peran Dosen Pembimbing<br />f<br />%<br />1<br />Sangat membantu<br />11<br />61.11<br />2<br />Biasa-biasa saja<br />4<br />22.22<br />3<br />Kurang membantu<br />3<br />16.67<br />4<br />Tidak membantu<br />0<br />0<br /><br />Total<br />18<br />100<br /><br />Hasil Tabel 6, apabila dikontraskan dengan Tabel 5, tampak kontradiktif. Pada Tabel 5, dosen pembimbing dinilai tidak banyak berperan sehingga menimbulkan kesulitan dalam penggarapan skripsi dengan metode kualitatif. Namun dalam Tabel 6, mahasiswa justru sangat mengapresiasi peran dosen pembimbing. Menurut sebagian besar mahasiswa, dosen pembimbing masing-masing sangat membantu proses penggarapan skripsi. Sangat membantu di sini beragam tipenya: memberikan sumber literatur yang bisa digunakan, meminjamkan buku-buku, bahkan ada yang menghadiahkan bukunya pada mahasiswa bimbingannya! Sementara itu, ada pula yang menilai dosen pembimbing kurang membantu. Alasannya, “... dosen pembimbingku sibuk, sulit ketemunya, kalau janji molor melulu, tidak pernah ditepati.” Maaf, atas nama etika akademik, saya tidak mau mengeksplorasi fakta yang sudah kita ketahui bersama dalam penelitian skala kecil ini (bagi yang merasa, silakan berefleksi saja). Berita bagusnya adalah, (tampaknya) tidak ada dosen pembimbing yang dinilai galak dan tidak bersahabat oleh responden.<br /> Bagaimana kapabilitas dosen pembimbing? Simak dalam tabel berikut ini.<br /><br />Tabel 7. Kapabilitas dosen pembimbing<br />No.<br />Kapabilitas Dosen Pembimbing<br />f<br />%<br />1<br />Menguasai permasalahan dan penerapan metode kualitatif<br />8<br />44.44<br />2<br />Hanya menguasai salah satu aspek metode kualitatif<br />4<br />22.22<br />3<br />Tidak memahami metode kualitatif<br />0<br />0<br />4<br />Kelihatannya memahami, tapi tidak mampu mengomunikasikan<br />6<br /><br />33.33<br /><br />Total<br />18<br />100<br /><br />Apabila peran dosen pembimbing dalam Tabel 6 dinilai baik, maka jawaban untuk kapabilitas dosen pembimbing berbeda-beda. Berita bagusnya adalah, opsi 2 tidak ada yang mengisi. Artinya, tidak ada dosen yang dianggap tidak capable. Tetapi, memahami belum tentu bisa mengomunikasikan—demikianlah rupanya pendapat responden bagi dosen pembimbingnya, yang notabene adalah pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi. Itulah salah satu pangkal soal sulitnya mengerjakan skripsi dengan metode kualitatif.<br /><br />7. Tentang Dosen MPK<br />Penyusunan skripsi, hakikatnya, adalah mata rantai yang menghubungkan kemampuan analisa mahasiswa dengan semua matakuliah yang pernah diajarkan sebelumnya. Secara teknis-formal, pengenalan metode kualitatif dilakukan pertama kali dalam mata kuliah MPK Kuantitatif. Pendalaman dan praktiknya diperluas dalam mata kuliah MPK Kualitatif. Bagaimana peran dosen MPK di Fikom Unisba dalam memperkenalkan dan mengajarkan metode kualitatif? Inilah pendapat para responden.<br /><br />Tabel 8. Peran Dosen MPK<br />No.<br />Peran Dosen MPK<br />f<br />%<br />1<br />Sangat membantu<br />4<br />22.22<br />2<br />Biasa-biasa saja<br />9<br />50<br />3<br />Kurang membantu<br />4<br />22.22<br />4<br />Tidak membantu<br />1<br />5.55<br /><br />Total<br />18<br />100<br /><br />Inilah tanggapan jujur mahasiswa kita—yang sekarang sudah jadi alumni itu. Hanya 4 responden (22.22%) yang merasa dosen pengajar MPK sangat membantu memperkenalkan metode kualitatif! Setengah lainnya (9 responden), menganggap ‘biasa-biasa’ saja perannya. Bahkan ada jawaban ‘kurang membantu’ (22.22%) dan ‘tidak membantu’ 5.55%). Kalau jawaban ‘biasa-biasa’ saja kita masukkan dalam kontinum negatif, maka sebagian besar jawaban responden mengisyaratkan bahwa mk. MPK ternyata tidak banyak membantu dalam pengajaran metode kualitatif. Ini masukan yang sangat berharga bagi para dosen MPK, khususnya yang mengajarkan metode kualitatif.<br /> Fakta di atas menghantarkan penulis pada pertanyaan lain: di mana letak masalahnya jika dosen MPK dianggap tidak banyak berperan dalam memperkenalkan metode kualitatif? Apakah ini masalah kapabilitas mengajar, ketidakmampuan dosen berkomunikasi, kekurangan waktu untuk mengevaluasi, atau jangan-jangan berpulang pada kondisi alamiah mahasiswa sendiri yang harus diakui tidak punya—lagi-lagi—semangat dan stamina belajar yang tinggi? Mari kita simak Tabel 9 berikut ini.<br /><br />Tabel 9. Kapabilitas Dosen MPK<br />No.<br />Kapabilitas Dosen MPK<br />f<br />%<br />1<br />Menguasai permasalahan dan penerapan metode kualitatif<br />3<br />16.67<br />2<br />Hanya menguasai salah satu aspek metode kualitatif<br />2<br />11.11<br />3<br />Tidak memahami metode kualitatif<br />0<br />0<br />4<br />Kelihatannya memahami, tapi tidak mampu mengomunikasikan<br />3<br />16.67<br />5<br />Memahami, mampu mengomunikasikan tapi waktu perkuli<br />ahannya tidak cukup<br />10<br />55.56<br /><br />Total<br />18<br />100<br /><br />Berita baiknya adalah, Tabel 9 memperlihatkan tidak ada responden yang menganggap dosen pengajar MPK tidak memahami metode kualitatif (lega dehh...:). Tapi, memahami belum tentu menguasai, atau mungkin saja menguasai namun cuma salah satu aspek saja, misalnya, “.. beliau cuma tahu teorinya doang,” tutur seorang respoden yang memilih opsi 2 (lagi-lagi, untuk menghormati etika akademik, saya tidak mau mengeksplorasi data responden maupun dosen yang dimaksud. Bisi saya sendiri, hehe...). Isu ketidakmampuan berkomunikasi di antara civitas academica Fikom Unisba, ironisnya, selalu jadi permasalahan. Tiga responden (16.67%) menganggap dosen MPK-nya memahami apa yang diajarkan, tapi tidak mampu mengomunikasikan. Selanjutnya, ini masukan yang bagus: jawaban dominan responden menunjukkan kurangnya waktu perkuliahan MPK yang berlangsung secara formal selama 6 bulan, tapi waktu efektifnya kurang dari 6 bulan! Minat untuk menggeluti metode kualitatif dari kedua belah pihak ada—baik dari pengajar maupun pembelajar—sayangnya, waktu yang diberikan dalam perkuliahan berasa sempit. Disinilah letak urgensi bagi para dosen MPK yang selama ini mengajar sendiri-sendiri, dengan kurikulum/silabi dan style mengajar sendiri-sendiri, untuk duduk bersama merumuskan kurikulum, SAP, dan model belajar MPK yang paling pas—tentu lewat ujicoba-ujicoba yang memadai!<br /><br />8. Mengerjakan Skripsi Dengan Metode Kualitatif: Sulit....<br />Research is about to research. Researching means doing research. Penelitian adalah pengalaman. Tidak cuma hapal teorinya, tapi mendapatkan pemahaman lewat penelitian di lapangan. Pengalaman menerapkan metode penelitian kualitatif baru benar-benar bisa diperoleh mahasiswa secara intens, ketika menggarap skripsi dengan metode kualitatif. Sulit mendapatkan pengalaman melakukan penelitian kualitatif dalam kelas pengajaran MPK, karena ruang waktunya begitu terbatas. Berkaca dari pengalaman selama menggarap skripsi kualitatif, inilah bagian yang menurut responden paling sulit ketika dikerjakan.<br /><br />Tabel 10. Bagian Tersulit Dalam Penggarapan Skripsi Metode Kualitatif<br /><br />No.<br />Bagian Tersulit<br />f<br />%<br />1<br />Judul dan subjudul<br />0<br />0<br />2<br />Latar belakang<br />3<br />16.67<br />3<br />Perumusan masalah<br />0<br />0<br />4<br />Kerangka pemikiran<br />4<br />22.22<br />5<br />Metodologi<br />1<br />5.55<br />6<br />Pengumpulan data<br />1<br />5.55<br />7<br />Analisis<br />2<br />11.11<br />8<br />Kesimpulan<br />2<br />11.11<br />9<br />Menyusun laporan (skripsi)<br />1<br />5.55<br />10<br />Tidak mengisi<br />3<br />16.67<br /><br />Total<br />15<br />100<br /><br />Tingkat kesulitan responden tampaknya berbeda-beda, demikian pula bagian yang menurut responden paling sulit. Tapi membangun kerangka pemikiran dipilih paling banyak sebagai bagian skripsi yang paling sulit digarap (22.22%). Tiga responden memilih perumusan latar belakang sebagai bagian tersulit (16.67%). Dua responden tersandung pada ‘analisis’ dan ‘penyimpulan’, sisanya mengaku bagian tersulit adalah pada metodologi, pengumpulan data, dan penyusunan laporan penelitian (dalam bentuk skripsi).<br /> Berkaca pada pengalaman pribadi dalam membimbing mau pun menguji skripsi, kerangka pemikiran memang bagian yang paling lemah dalam skripsi mahasiswa. Banyak mahasiswa—bahkan dalam ruang sidang sekalipun—yang tidak memahami apa sesungguhnya pengertian dari kerangka pemikiran, dan mengapa kerangka pemikiran perlu ada dalam setiap penelitian. Banyak pula yang menyalahkaprahkannya dengan ‘anggapan dasar’—sebuah istilah antah-berantah yang sejauh ini tak juga saya dapati penjelasan ilmiahnya—atau mencukupkan kerangka penelitian hanya pada ‘pengertian istilah’ yang bakal diulang-ulang lagi pada bab 2.<br />Perumusan latar belakang juga kerap menjadi sumber masalah dalam sidang skripsi maupun proses bimbingan, karena latar belakang permasalahan responden tidak seutuhnya memunculkan permasalahan penelitian. Banyak mahasiswa berfokus pada deskripsi seputar fenomena, disusul pendapat pribadi atas fenomena tersebut yang tidak didukung oleh pelacakan literatur yang memadai, lantas menutupnya sebatas dengan ‘oleh karena itu saya berkeinginan untuk meneliti aspek abc dari PT Abrakadabra’, misalnya, tanpa memunculkan signifikansi penelitian: buat apa masalah itu diteliti? Masalahnya sendiri apa, kenapa mesti meneliti aspek abc? Urgensi penelitian tidak muncul di sini, dan ketika dimintai pertanggungjawabannya di ruang sidang, penguji berhadapan dengan peserta sidang yang gelagapan dan bolak-balik melirik Ketua Sidang alias pembimbingnya!<br /> Apakah bagian yang paling sulit dikerjakan, juga makan waktu paling banyak untuk dikerjakan? Atau mungkin ini adalah dua hal berbeda? Inilah jawaban responden ketika ditanyai “Bagian mana dari skripsi Anda yang paling makan waktu untuk dikerjakan?”<br /><br />Tabel 11. Bagian Skripsi Yang Paling Makan Waktu<br />No.<br />Waktu Pengerjaan Terbanyak<br />f<br />%<br />1<br />Judul dan subjudul<br />0<br />0<br />2<br />Latar belakang<br />4<br />22.22<br />3<br />Perumusan masalah<br />1<br />5.55<br />4<br />Kerangka pemikiran<br />2<br />11.11<br />5<br />Metodologi<br />1<br />5.55<br />6<br />Pengumpulan data<br />1<br />5.55<br />7<br />Analisis<br />4<br />22.22<br />8<br />Kesimpulan<br />1<br />5.55<br />9<br />Menyusun laporan (skripsi)<br />1<br />5.55<br />10<br />Tidak mengisi<br />3<br />16.67<br /><br />Total<br />18<br />100<br /><br />Tabel 11 memperlihatkan data yang berbeda. Kalau dalam tabel sebelumnya, bagian tersulit adalah menyusun kerangka pemikiran, ternyata data Tabel 10 memperlihatkan bagian latar belakang dan analisis-lah yang paling makan waktu untuk dikerjakan. Latar belakang cukup makan waktu, masuk akal, karena dianggap yang paling sulit dikerjakan. Pada tahapan analisis yang tersaji dalam bab 4, peneliti berhadapan dengan timbunan data yang harus disortir, diolah, disajikan, kemudian diinterpretasikan. Tiga langkah pertama, yaitu mendeskripsikan temuan penelitian tampaknya cukup makan waktu. Tahapan selanjutnya setelah temuan disajikan adalah menganalisis hasilnya dengan mengelaborasi temuan dengan teori yang ada atau data-data penunjang yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data lainnya. Ini juga makan waktu, terutama kalau mahasiswa sendiri tidak ngeh datanya harus diapakan... Berkaca pada pengalaman pribadi sebagai dosen pembimbing, selama sejarah membimbing mahasiswa menyusun skripsi, tidak pernah ada analisis yang sekali jadi. Banyak hal yang harus diperbaiki, dan itu wajar saja. Namun pada tahap pertama biasanya dosen pembimbing harus mengajarkan dulu pada mahasiswa bimbingannya: apa yang harus dianalisis dan bagaimana menganalisisnya. Masukan lagi buat pengajar MPK: perkara menganalisis tampaknya harus dapat bobot lebih dalam pengajaran!<br /><br />9. Manfaat Meneliti Dengan Metode Kualitatif<br />Pertanyaan selanjutnya yang diajukan pada responden merupakan jenis pertanyaan terbuka. Dalam pertanyaan ini, responden diminta untuk menuliskan refleksi pribadi mereka, berdasarkan pengalamannya menyusun skripsi dengan metode kualitatif. Jawabannya cukup beragam, walau tidak semuanya mengisi. Dilihat dari ragam jawabannya, secara umum terbagi menjadi dua kategori:<br />a. Manfaat metodologis<br />Peneliti yang mendapatkan manfaat metodologis umumnya mengaku menjadi lebih memahami seluk-beluk penelitian kualitatif baik dalam tataran praktik maupun teoritik. Ini, misalnya, terungkap dari tulisan salah seorang responden “... mengetahui jelas (penelitian kualitatif) dalam penyusunan laporan penelitian yang baik, cara-cara pengumpulan data, wawancara, dll.” Jawaban lain berfokus pada tema: “... Jadi lebih memahami permasalahan dari tema penelitian. Selain itu, hasil penelitian dapat menjadi informasi yang berguna bagi pembacanya.” Ada jawaban menarik yang sangat menukik, “... subyektivitas peneliti dalam menganalisa masalah cukup menarik perhatian. Seandainya saya mempelajarinya dengan serius, saya tidak akan kerepotan...” Bagi penulis, jawaban secanggih ini memperlihatkan intensitas pergumulan responden dengan persoalan metodologi pada tingkat yang serius.<br />b. Manfaat personal<br />Manfaat personal umumnya tertuju pada pengalaman yang diperoleh pengembangan pribadi. Jawaban menarik diberikan oleh responden berikut: “... lebih banyak mempertanyakan fenomena kehidupan, lebih memahami eksistensi saya dalam segala aspek.” Jawaban yang sangat dalam, jawaban yang secara filosofis bersifat eksistensial. Lagi-lagi, ini menunjukkan intensitas tinggi responden dalam menggarap penelitiannya. Intensitas bergelut dengan objek penelitian juga menimbulkan minat lain, seperti terungkap dalam pernyataan berikut: “Saya jadi tertarik dengan tempat (objek) penelitian sehingga ingin melamar (kerja di sana—pen.)”. Seorang responden mengaku sangat menikmati prosesnya, karena “... jadi berasa kuliah di luar negeri....” Hal lain yang tidak kalah unik, meneliti skripsi dengan penelitian kualitatif memungkinkan responden “... menggali kreativitas mengarang indah.” Kita bisa memaknainya sebagai pengalaman positif, atau, di sisi lain, sebuah sindiran! Apapun itu, tentu ini adalah masukan yang berharga bagi kita semua.<br />Terakhir, penelitian ini ingin mengetahui apakah metode kualitatif memang layak untuk terus diajarkan, dan perlu diberi tambahan porsi waktu. Hasilnya tidak perlu saya tabelkan, karena 100 persen menjawab perlu.<br /><br />III. Refleksi: Temuan Dari Ruang Sidang<br />Data penelitian menunjukkan temuan-temuan menarik yang perlu ditindaklanjuti. Inilah beberapa kelemahan penelitian/skripsi kualitatif:<br />a) Permasalahan: tidak jelas!<br />· research problem menjadi masalah karena nature problemnya ternyata memang bukan untuk diteliti dengan pendekatan kualitatif. Contoh. “Peran Penyiar Dalam Menarik Minat Pendengar Radio Otomotif” (Windia Sari, 2007). Penelitian yang berfokus pada ‘peran’, lazimnya mengeksplorasi tanggapan dari orang lain. Bukan dari objek yang diteliti. Judul penelitian seperti memunculkan pertanyaan, tepatkah jika penelitian ini dilacak dengan metode kualitatif?<br />· Identifikasi masalah diturunkan dengan semena-mena, tanpa memandang nature penelitian itu. Pertanyaan analisis wacana kritis, misalnya, tidak ditujukan untuk membongkar ideologi di balik teks, tapi semata-mata untuk “mengetahui ikon, indeks, simbol”. Lantas, kalau semua itu sudah terjawab, so what? Yang harusnya menjadi rumusan permasalahan adalah alasan mengapa menggunakan analisis kritis: ingin mengetahui bagaimana operasi media memengaruhi ruang publik-kah, ingin membuktikan bagaimana ruang media mengubah pendefinisian konsep-konsep agama, ingin memahami bagaimana mitos abc mengejawantah dalam budaya X, dll. Ikon, indeks, simbol, analisis tematik, analisis skematik, dan lain-lain, sesungguhnya merupakan pertanyaan teknis penelitian yang tidak muncul dalam research problems, baik pada level permasalahan umum mau pun identifikasi permasalahan.<br />b) Logika Penelitian : kedodoran!<br />· Logika penelitian tecermin dari kerangka pemikiran (atau theoretical framework) yang disusun penelitian. Kelemahan penelitian kualitatif di Unisba adalah kerangka pemikiran yang tidak kuat, tidak memperlihatkan bagaimana masalah akan diteliti (dan apa rationale­-nya). Intinya satu, kurang eksplorasi. Kalaupun kerangka pemikiran itu ada, lazimnya tidak memperlihatkan logika penelitian, namun sekadar menyampaikan kumpulan definisi atau istilah konsep yang dipakai dalam riset ybs. Tentu saja yang seperti itu bukan kerangka penelitian.<br />c) Metodologi: lemah!<br />· Kelemahan penguasaan metodologi terlihat dari skripsi yang penyusunnya tidak memahami esensi dan fungsi metodologi, kurang kaya referensi, kurang ‘berani’ berimprovisasi (dan berimajinasi). Masih terdapat kerancuan memahami kualitatif pada tataran teknis-metodologis dan kualitatif pada tataran paradigmatik. Jawaban lazim mengapa memilih metode penelitian tertentu adalah karena “... berdasarkan skripsi terdahulu.” Skripsi terdahulu, walau pun pembuatnya lolos dari sidang skripsi, belum tentu layak untuk dikutip. Sekali lagi, sistem nilai kolektif yang diberlakukan di Fikom Unisba membuat banyak skripsi asal-asalan bisa lolos, padahal skripsi semacam ini sangat berbahaya untuk dikutip, atau dipublish!<br />· Erat kaitannya dengan metodologi, penulis sering sekali menemukan skripsi-skripsi yang tidak berani mengambil metode spesifik dalam kajian kualitatif. Misalnya, seorang mahasiswa yang meneliti “Kegiatan Pameran Fotografi Anu” menyebut studinya merupakan Penelitian Deskriptif dengan Data Kualitatif. Mengapa tidak sekalian saja ‘studi kasus’? Atau, apa bedanya penelitian deskriptif dengan data kualitatif dengan penelitian kualitatif? Kalau ketakutannya adalah karena penelitian ini menggunakan teori-teori linier satu arah yang acap diklaim bersifat klasik positivis, itu menunjukkan belum adanya pemahaman ybs mengenai istilah kualitatif itu sendiri. Pendekatan kualitatif sebenarnya sah-sah saja digunakan untuk penelitian yang mengoperasionalkan teori-teori linier. Pada sub bab metodologi, peneliti dapat mempertanggungjawabkan apa paradigma yang digunakan dalam penelitian ini: positivis, kritis, atau konstruktivis (isu paradigmatis!). Sayang sekali, penggarapan skripsi pada aspek metodologis jarang sekali memperkuat diri pada sub bab ini. Selalu, penelitian puas hanya sampai pada level teknis, mengutip bahwa metode deskriptif adalah bla-bla-bla, setelah itu langsung pada teknik pengumpulan data. Lucunya, dalam sidang, pernah ditemukan pula metode penelitian disempitkan menjadi sekadar teknik pengumpulan data: ini skripsi kualitatif karena teknik pengumpulan datanya adalah wawancara....<br />· Di sisi lain, kadang ditemukan penelitian yang menggunakan metode yang keliru karena overgeneralization. Misalnya, mentang-mentang semua realitas dimaknai sebagai fenomena, maka mahasiswa menggunakan metode penelitian fenomenologi. Ya, segala sesuatu adalah fenomena, tapi fenomenologi adalah penelitian yang dimaksudkan untuk mengupas serta menjelaskan terbentuknya kesadaran berdasarkan pengalaman empirik. Kalau yang akan dijelaskan adalah proses digital imaging yang baru dalam industri fotografi, ngapain repot-repot memakai fenomenologi? Apakah akan meneliti bagaimana menganalisis masuknya proses digital imaging dalam struktur dan arus kesadaran? Please, dehh... Penelitian ini bisa menggunakan studi kasus, tentu dengan catatan bahwa ada ‘kasus’ yang layak diteliti dengan pendekatan studi kasus (jangan, lagi-lagi, mentang-mentang semua itu kasus, maka diterapkan penelitian studi kasus!)<br />d) Operasionalisasi Variabel: rancu!<br />· Apakah penelitian kualitatif harus menggunakan istilah operasionalisasi variabel? Pada dasarnya, semua penelitian harus mengoperasionalkan variabel penelitiannya—yaitu membreakdown konsep-konsep penelitian menjadi variabel yang memungkinkan untuk diteliti. Jika dalam kuantitatif istilahnya adalah ‘mengoperasionalkan variabel menjadi indikator dan alat ukur’—itu dikarenakan logika kuantitatif adalah logika mengukur, dengan hasil berupa angka atau ukuran tertentu, untuk disimpulkan lewat logika matematis. Bagaimana dengan penelitian kualitatif? Operasionalisasi variabel, mau istilahnya fokus penelitian, atau apalah, logikanya bukan logika pengukuran. Karena itu, aneh sekali jika dalam penelitian kualitatif acap ditemukan istilah ‘alat ukur’ setelah indikator. Apanya yang mau diukur? Penelitian kualitatif menggunakan indikator tertentu untuk menilai, mendeskripsikan, atau mengamati konsep/objek yang diteliti. Tapi, sekali lagi, tidak mengukur!<br />e) Pengumpulan Data: salah objek!<br />· Teknis saja, tapi layak dipersoalkan. Dalam sub bab ini, kasusnya ada dua. Keliru menerapkan tatacara tertentu dalam proses pengumpulan data. Atau keliru menetapkan mana yang menjadi objek penelitian, subjek penelitian, dan unit analisis. Antara subjek, objek, dan unit analisis juga sering terjadi kerancuan. Sesungguhnya, penelitian yang keliru dalam salah satu atau salah dua hal di atas tidak boleh diluluskan, karena data yang diperoleh tidak bisa dipertanggungjawabkan. Validitas dan reliabilitasnya bagaimana?<br />f) Analisis: tidak berbobot!<br />· Bab 4 sebenarnya berisi 2 aspek. Pertama, melaporkan temuan penelitian. Kedua, menganalisis atau menafsirkan temuan penelitian tersebut. Skripsi mahasiswa kita lemah karena acap berhenti hanya pada laporan temuan penelitian. Sesudah itu, skripsi dianggap selesai. Padahal, ini masih jauh dari selesai. Karena, bobot sebuah skripsi justru terletak pada analisisnya. Jika diskusinya, atau interpretasinya lemah, skripsi itu bisa dinilai miskin analisis. Jika diskusinya atau analisisnya mendalam, maka analisisnya top! Jika tanpa analisis, skripsi berhenti pada pemaparan temuan saja, so what? Apa yang mau dinilai? Menurut penulis, ini skripsi yang belum jadi dan tidak layak untuk disidangkan!<br />· Melaporkan temuan penelitian tidak sembarangan. Peneliti harus menyortir datanya, lantas menyusun datanya sedemikian rupa, sehingga masuk akal. Untuk itulah diterapkan berbagai teknik dan strategi: classifying, clustering, cathegorizing, dll. Perkara menyusun data sebagai temuan penelitian tampaknya dianggap sepele, sehingga susunan data tidak sistematis dan sulit dibaca ke mana arahnya. Bahkan, acap tidak nyambung pula dengan kesimpulannya! Kalau mahasiswa mengeluhkan sulitnya menganalisis atau mengambil kesimpulan penelitian kualitatif, mesti dilihat dulu benar tidak cara mendisplay datanya.<br />· Analisis lemah dan terlihat mahasiswa kurang berani mengelaborasi pemikirannya dengan teori dan data-data yang diperoleh. Mahasiswa juga sedikit sekali memanfaatkan kekayaan data yang diperoleh dari teknik pengumpulan data yang seharusnya menunjang penelitiannya. Buat apa mewawancarai kalau hasilnya tidak digunakan untuk mendiskusikan temuannya? Pada taraf ini, layak dipersoalkan apakah mahasiswa memang melakukan observasi? Kalau ya, mengapa hasil observasi tidak dimanfaatkan dalam analisis? Kemungkinannya ada 2: mahasiswa bohong, tidak mengobservasi; atau mengobservasi, tapi yang diobservasi tidak jelas dan tidak nyambung dengan apa yang diteliti!<br />g) Format: Tidak baku!<br />· Format penelitian skripsi menunjukkan logika penelitian. Sekian tahun Fikom Unisba berdiri, fakultas tidak pernah berhasil menyusun satu panduan penelitian dan penyusunan skripsi. Karena itu, mahasiswa dibolehkan menggunakan format penelitian manapun, asal jelas rujukan atau referensinya. Sayangnya, mahasiswa dan dosen pembimbing acap abai, cukup merujuk pada skripsi sebelumnya, yang belum tentu layak untuk dikutip atau dipublish karena persoalan nilai kolektif tadi. Akibatnya format penelitian amburadul, asal kutip, mahasiswa sendiri ketika sidang gelagapan tak bisa mempertanggungjawabkan tulisannya secara ilmiah.<br />· Format pengutipan perlu mendapat perhatian khusus karena berkait dengan isu etika akademis dan plagiarisme. Batas antara kutipan dan bukan kutipan tidak ada atau tidak jelas, sering sekali bahkan mahasiswa mengklaim kutipan orang lain sebagai kalimat yang dirangkainya sendiri. Sebuah sub bab sering berisi rangkaian kutipan semata, tanpa ada narasi orisinil dari penggarap skripsi. Ini salah dan seharusnya dipersoalkan, jangan didiamkan atau dibudayakan! Dalam sistem penulisan skripsi apapun, mau Harvard system atau American Psychology Association (APA), pengutipan harus ditegaskan. Mengklaim kutipan sebagai tulisan sendiri—lebih dari 30 kata—sudah merupakan pelanggaran etika akademik dan penyusunnya dianggap melakukan dosa plagiarisme! Di Fikom Unisba, copy paste 17 kali saja masih bisa lolos. Kalau masalahnya adalah analisis yang miskin, mahasiswa layak diberi kesempatan memperbaiki atau memperkaya analisisnya. Tapi kalau masalahnya adalah plagiarisme, maka sesedikit apa pun, mahasiswa ini tidak layak diluluskan karena melakukan pelanggaran etika akademik. Plagiarisme bukan sekadar masalah menyontek, ini adalah masalah mencuri pikiran orang lain! Integritas intelektual kita dipertaruhkan di sini ...<br />h) Istilah/Diksi/Masalah Bahasa<br />· Manfaat meneliti dengan penelitian kualitatif adalah “ ... dapat menuangkan pikiran ke dalam tulisan”, dan “ ... menggali kreativitas mengarang indah”. Ini manfaat sampingan yang patut dirayakan, tapi intinya, meneliti kualitatif menghasilkan penjelasan bersifat kualitatif. Karena itu, mengherankan mendapati penelitian kualitatif begitu miskin penjelasan, ditulis dengan bahasa yang strukturnya payah, kosa katanya sempit, salah ejaan di sana-sini, sudah begitu, formatnya tidak rapi. Kalau menghadapi skripsi seperti ini, penulis langsung merasa ill feeling. Buntut-buntutnya jadi bertanya, “Kalau punya kesulitan menulis, ngapain juga meneliti dengan metode kualitatif?” Ini, lagi-lagi, cermin mahasiswa yang tidak siap meneliti, dan sekadar meneliti karena menghindari angka serta rumus-rumus statistik. Tapi, persoalan mampu mendeskripsikan dengan baik tidak boleh disempitkan dalam penelitian kualitatif saja. Penelitian apa pun, mau kualitatif atau kuantitatif, harus disusun dengan bahasa yang baik, benar, dan masuk akal!<br />i) Validitas dan Relialibitas<br />· Inilah isu yang paling jarang disentuh—baik dalam kuantitatif mau pun (apalagi) kualitatif. Ada salah kaprah yang beredar (atau ketidaktahuan?) bahwa kualitatif tidak memerlukan pertanggungjawaban validitas dan reliabilitas penelitian. Salah besar. Penelitian apapun harus punya kriteria validitas dan reliabilitas. Dalam kualitatif, validitas dan kriterianya berbeda-beda tergantung pada metode yang dioperasionalkan. Dalam setiap buku metode kualitatif, isu ini selalu dimunculkan. Mengapa dalam skripsi kita, baik dalam penyusunan maupun pengujian, isu ini sering diabaikan?<br />j) Lain-lain<br />· Setiap dosen mau pun pembimbing skripsi pasti mengalami suka-duka ketika membimbing mahasiswa dengan penelitian kualitatif. Sub bab ini dipersembahkan bagi para dosen yang sudah pasti punya pengalaman berbeda dengan penulis. Lewat sharing dan diskusi seputar pengalaman tersebut, niscaya niat baik kita untuk memperbaiki kualitas pengajaran MPK mau pun penyusunan dan pertanggungjawaban skripsi dapat tercapai.<br /><br />IV. Abstraksi: Dimensi-Dimensi Permasalahan<br /><br />Penelitian ini memperlihatkan, permasalahan dengan skripsi kualitatif kita sangat-sangat kompleks. Secara umum, permasalahan pada akhirnya terbagi menjadi dua dimensi:<br />a) Dimensi formal akademik<br />Dalam lingkup formal akademik, penulisan skripsi belum didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Ketiadaan format penelitian yang baku, misalnya, menyebabkan kerancuan dalam penyusunan skripsi. Mahasiswa tidak bisa sepenuhnya disalahkan dalam hal ini. Kita juga belum punya semacam blueprint silabus pengajaran MPK maupun proses bimbingan yang menggariskan aturan main dan kriteria pengujian atau kelayakan skripsi. Akibatnya, semua berjalan sendiri-sendiri. Aturan yang tegas secara formal perlu diadakan, dan diberlakukan. Ini kalau kita memang serius mau menjadikan Fikom Unisba sebagai fakultas yang bermutu. Neumann (2000:17) mengingatkan bahayanya misuse or abuse of social research—use sloppy research techniques, misinterpret findings, rig studies to find previously decided results, and so on. Selai itu, ketiadaan aturan main secara formal dalam pengajaran metodologi bisa membuka peluang ‘kekejian’ terhadap sendi-sendi akademik dan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip ilmiah.<br />b) Dimensi attitude dan personality<br />Ini masalah mental, yang bersumber dari semua pihak yang terlibat dalam penggarapan skripsi. Mulai dari dosen yang mengajarkan MPK, dosen pembimbing, sampai penguji. Dari segi pengajaran, MPK mesti dipahami sebagai mata kuliah yang harusnya memberi pengalaman meneliti, jadi tidak bermain dalam tataran konsep belaka. Pengajaran MPK yang berkutat hanya pada teori-teori dan tidak memberi tantangan meneliti pada mahasiswa, diragukan bisa memberi bekal memadai bagi mahasiswa untuk melakukan riset lapangan secara mandiri. Dari segi bimbingan, peran dosen pembimbing jelas sangat krusial. Dosen pembimbing adalah mentor diskusi yang semestinya bisa memantau sejauhmana perkembangan anak bimbingannya, mengevaluasi analisisnya, mengingatkan mahasiswa bimbingan agar konsisten dengan penelitiannya, tanpa harus mencekoki, menyuapi, atau menjadi rezim tersendiri bagi sang mahasiswa dengan memaksa mereka untuk bergerak dalam koridor permasalahan yang disukai dosen itu sendiri. Dosen pembimbing yang tidak bisa mengatur waktu hingga sulit ditemui mahasiswa bimbingannya, perlu memanage waktunya lebih baik lagi. Dari segi pengujian, para penguji perlu membekali diri dengan pemahaman mengenai kriteria pengujian skripsi yang oke. Setiap metode dan pendekatan punya kriteria pengujian tersendiri. Berbagi tugas menguji adalah masalah teknis dalam ruang sidang. Tapi pemahaman akan kriteria pengujian is a must for everybody! Dari segi penggarap skripsi, mahasiswa sering tidak punya bekal mental dan wawasan yang cukup ketika akan melakukan studi kualitatif. Sekadar menghindari angka-angka, atau karena kemungkinan lulusnya lebih banyak berhubung dalam ruang sidang tidak ada kriteria pengujian yang jelas. Ketidakdisiplinan mahasiswa dalam belajar mau pun menjalankan instruksi dosen pembimbing, dalam penelitian O’Connor dan O’Brien (2004), ternyata menjadi salah satu penyebab kegagalan mahasiswa mengerjakan skripsi kualitatif (tepatnya, di peringkat ketiga, setelah faktor kekurangan biaya). Termasuk dalam faktor ketidakdisiplinan adalah kemalasan dan ketergantungan mahasiswa yang sering mengesalkan kita.<br /><br />V. Solusi<br /><br />Pengajaran riset kualitatif sudah lama menjadi concern para ilmuwan. Sebab, riset yang bermutu menjadi pondasi pengembangan sebuah disiplin ilmu. Mengajarkan dan mempraktikkan penelitian kualitatif, bagi mahasiswa, pada dasarnya adalah “a continuous cycle of workshops rather than discreet sessions, in order for them to consolidate their learning and to develop at their own pace” (Featherstone, Barbour, dan Garner, 2007). Mengingat kompleksitas permasalahan yang terkait dengan mutu skripsi dan proses penggarapannya, penulis dalam kesempatan ini hanya mampu mengajukan beberapa solusi yang baiknya dieksplorasi bersama dalam diskusi ini. Tawaran solusi ini dimunculkan berdasarkan hasil angket dan permasalahan yang timbul dalam proses bimbingan mau pun pengujian skripsi kualitatif.<br />a. Model pengajaran MPK Kualitatif yang oke.<br />Perlu ada silabi dan disain pengajaran MPK Kualitatif yang mencakup banyak hal: mulai dari teori hingga praktik. Sekali lagi, mata kuliah MPK bertujuan tidak hanya memberi wejangan teori, tapi juga memberi pengalaman praktik pada mahasiswa. “Practical exercises reflecting the qualitative research process were considered very conducive to learning,” demikian dituturkan oleh Featherstone, Barbour, dan Garner dalam tulisan mereka yang menarik, A Reflection on Ten Years Experience of Providing Qualitative Research Training in Primary Care (2007). Poulin (2007), berdasarkan pengalamannya mengajarkan riset kualitatif pada mahasiswa psikologi menegaskan, “… graduate students need routine access to adequate and appropriate coursework…” Karena itu, dibutuhkan “… a design and rationale for an introductory course in qualitative research, describes typical challenges faced by students, and offers strategies for fostering student learning and success” (ibid.) Ada tiga hal penting yang bisa diekstraksi dari kutipan di atas. Pertama, mahasiswa perlu memiliki akses langsung pada coursework yang memadai dan tepat. Artinya, pengajaran MPK harus menyediakan tugas-tugas bagi mahasiswa. Kedua, disain dan rationale penting diperkenalkan pada mahasiswa, dan itu tercakup dalam pengantar perkuliahan atau introductory course. Ketiga, introductory course menjadi sangat-sangat penting, bukan hanya karena memaparkan disain dan rationale pengajaran MPK, tetapi juga karena menjelaskan tantangan-tantangan tipikal yang bakal dihadapi oleh mahasiswa, serta strategi-strategi untuk membantu mahasiswa agar menguasai aspek metode kualitatif yang dipelajarinya. Intinya, pengajaran MPK memang harus memungkinkan apa yang diungkapkan oleh Kwan (2007) “... allow the iterative, creative, and reflective practices required for effective qualitative research to develop.”<br />Tentu saja, dengan beban seberat ini, muatan MPK di Fikom Unisba tidak bisa diliput hanya dalam mata kuliah selama satu semester sepanjang 3 sks. Penulis mengusulkan adanya praktik 1 sks tanpa perlu menambah beban sks yang sudah ada. Dengan memperlakukan mata kuliah MPK sebagai mata kuliah teori sekaligus praktik 1 sks, dosen punya kesempatan untuk mengeksplorasi pengajaran MPK dengan memberikan pengalaman praktik. Adanya praktik tentu berkonsekuensi pada pengadaan biaya praktik, dan ini wajar-wajar saja untuk sebuah mata kuliah yang tuntutannya demikian berat. Membimbing praktik itu sulit dan makan waktu, itu jelas. Apalagi praktik penelitian! Penulis sangat bisa memahami jika dosen-dosen MPK enggan memberikan pengalaman praktik. Maklum, capeknya luarbiasa, insentifnya tidak ada, atau diperlakukan sama saja dengan mata kuliah teoritik yang tuntutannya tidak seberat ini. Lantas, di mana aspek keadilannya? Dosen-dosen MPK juga perlu dipertemukan dalam sebuah forum khusus untuk menyusun silabi bersama. Gaya mengajar boleh beda-beda, tapi beban dan muatan yang diberikan pada mahasiswa mesti disamakan levelnya. Sehingga, tidak terjadi perbedaan output, yang biasanya baru terasa setelah mahasiswa mulai menggarap skripsi. Hendaknya, disain pengajaran ini tidak cuma untuk MPK Kualitatif saja, tapi juga untuk MPK Kuantitatif dan mata kuliah lain yang terkait dengan penelitian, seperti Metode Penelitian Jurnalistik.<br />b. Model Bimbingan<br />Perlu ditetapkan aturan bimbingan secara formal, kontrak bimbingan, dan tata cara bimbingan, sehingga proses bimbingan, meminjam istilah Neumann (2000), not abusing each other—tidak menganiaya mahasiswa bimbingan, mau pun dosen pembimbing, hehe.<br />Satu hal lagi, dalam penentuan siapa membimbing siapa, yang selama ini ditentukan oleh bidang kajian, tampaknya kini perlu mempertimbangkan pula masalah chemistry, di samping menimbang load atau beban tiap dosen pembimbing. Chemistry is important. Sebuah topik tidak akan tereksplorasi dengan baik jika tidak ada chemistry di antara dosen pembimbing, mahasiswa penggarap skripsi, dan masalah penelitiannya sendiri. Cara UI semasa penulis kuliah mungkin boleh ditiru: mahasiswa selain mengajukan proposal UP juga menuliskan dua nama calon pembimbing yang diinginkannya. Lalu diselenggarakan bursa UP di antara dosen-dosen. Sisa yang tidak terpilih, baru dikelola kembali oleh ketua bidang kajian.<br />c. Format/Panduan Penyusunan Skripsi<br />Tak perlu dijelaskan lagi, ini penting dan harus ada sesegera mungkin. Libatkan dosen-dosen MPK untuk penyusunan format/panduan skripsi. Fikom Unisba pernah punya tim penyusunan format/panduan skripsi, namun, mengherankan, tim ini tidak melibatkan dosen-dosen pengajar MPK.<br />d. Pelatihan dan Perbanyakan Riset.<br />Jangan cuma terpaku pada kesempatan yang diberikan LPPM (yang terbatas), mau pun lembaga lain. Berani tidak fakultas bikin pusat riset sendiri? Harus berani! Sisihkan dana khusus untuk riset yang dikelola PD 1, misalnya. Atau, dalam forum SII ini, tidak perlu semua dana dihabiskan untuk presentasi masalah secara bebas. Bagaimana, misalnya, jika ada dana yang disisihkan untuk membiayai riset. Ini bisa jadi salah satu ajang berlatih bagi para dosen, sekaligus menambah record portofolio ketika akan dilakukan quality assesment dalam bentuk apapun, seperti akreditasi.<br /><br />Mengajar itu pekerjaan yang penuh tantangan. Mengajarkan penelitian kualitatif, lebih-lebih lagi. Idealnya, untuk keduakalinya saya kutip di sini, pengajaran kualitatif semestinya memungkinkan “ … the iterative, creative, and reflective practices required for effective qualitative research to develop” (Kwan, 2007). Tidak ada kata lain, let’s do it from now!! ***<br /><br />Daftar Pustaka<br />Featherstone, Valerie A., Rosaline S. Barbour, dan Julie Garner. A reflection on ten years experience of providing qualitative research training in primary care. Dalam Cambridge Journal vol. 8/3 Juli 2007. Cambridge, UK: Cambridge University Press.<br />Kwan, Woo Tai. The Collecting and Gathering Data in Qualitative Research: The Eye and ‘I’. htttp.:/www.socialwork-primaryteaching/edu.org/html.<br />Neumann, W. Lawrence. 2000. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (4th ed.). Toronto: Allyn and Bacon.<br />O’Connor, Deborah L. Dan Brian J. O’Neill. 2004. Toward Social Justice: Teaching Qualitative Research. Dalam Journal of Teaching in Social Work vol. 24/issue 3/4, 2004. Vancouver: University of British Columbia.<br />Poulin, Karen. Teaching Qualitative Research: Lessons from Practice. Dalam Jurnal The Counseling Psychologist Vol. 35, No. 3, 431-458 (2007). Washington, DC.: Washington State University.<br /><br /><br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Paper ini disampaikan dalam forum Seminar Ilmiah Intern (SII) Dosen Fikom Unisba, 29 Agustus 2007. SII edisi kali ini bertema “Menimbang Kualitatif”. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh tulisan ini tanpa seizin penulis. Kontak, saran, dan diskusi lebih lanjut mengenai topik ini dapat dilakukan melalui telepon 081584053900, atau melalui e-mail dyaning2001@yahoo.com.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> By the way, siapa suruh repot-repot menghitung rumus statistik! Kan sudah ada SPSS…<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Terimakasih penulis haturkan pada pak Enoh dan bu Nursidah yang membantu menyebarkan kuesioner ini selama sidang skripsi periode Agustus 2007 yang berlangsung tanggal 20 s.d. 23 Agustus. Terimakasih juga pada Pak Asep yang membantu memfotokopi kuesioner ini atas biaya Fakultas—penulis.communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-26475253596472825752007-08-14T23:18:00.000-07:002007-08-14T23:28:34.096-07:00Krisna dan Bunda<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjarNPxVOkCySVSL-DxRQktl0eDVwh5K-J9hr2GJ4C8faqpJqzRsmlcCvXiC5-WfGWmQCRIPgbCOusokGEMOXjaBuD6dr_cHFalxV6Ivr-wAZqrxppagYOFIz_pmtP8IsiL3biCuvGgBqou/s1600-h/Krisna+Rapor.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5098808237259786194" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjarNPxVOkCySVSL-DxRQktl0eDVwh5K-J9hr2GJ4C8faqpJqzRsmlcCvXiC5-WfGWmQCRIPgbCOusokGEMOXjaBuD6dr_cHFalxV6Ivr-wAZqrxppagYOFIz_pmtP8IsiL3biCuvGgBqou/s200/Krisna+Rapor.jpg" border="0" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjN470rKSQ7_TIua8ImQ-pymromfcV589es4Ez97jkfUvT8X7_G6fTJVHdw-Y23INsUxhJAWaVVX5klJhMt6jtrBviF_LhzVHNAKxgHQ9YuosBCLr3ITUNOI0RoqY9pzvApoCHDylhdsMNY/s1600-h/Antara+Hidung+Bunda+dan+Hidung+Krisna....JPG"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5098808241554753506" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjN470rKSQ7_TIua8ImQ-pymromfcV589es4Ez97jkfUvT8X7_G6fTJVHdw-Y23INsUxhJAWaVVX5klJhMt6jtrBviF_LhzVHNAKxgHQ9YuosBCLr3ITUNOI0RoqY9pzvApoCHDylhdsMNY/s200/Antara+Hidung+Bunda+dan+Hidung+Krisna....JPG" border="0" /></a><br /><div></div>communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-40100560194544085402007-08-14T03:27:00.000-07:002007-08-14T03:31:43.117-07:00Media Literacy: Memerdekakan Khalayak dari Kapitalisme MediaOleh<br />Santi Indra Astuti<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br /><br />ABSTRAK<br />22 Juli 2007 lalu menjadi momen yang mestinya sangat penting bagi kalangan peminat, praktisi, dan akademisi studi komunikasi. Di Indonesia, tanggal itu dipilih oleh para aktivis media literacy sebagai Hari Tanpa TV. Pada tanggal tersebut, berlangsung aksi secara serempak di 6 kota: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Makasar. Jauh-jauh hari sebelum aksi berlangsung, para aktivis di keenam kota menghimbau khalayak agar mematikan televisi pada tanggal tersebut. “Lakukan apa saja, kecuali menonton tivi.” Gerakan semacam ini ternyata bukanlah memusuhi (industri) televisi. Melainkan wujud dari aksi media literacy yang ditujukan bagi penguatan khalayak, yang bisa dimaknai pula sebagai upaya memerdekakan khalayak dari dominasi industri kapitalis yang menguasai bisnis media massa. Artikel berikut membahas media literacy lebih jauh lagi, sebagai alternatif kontribusi studi komunikasi guna menghadapi permasalahan kontemporer dalam masyarakat komunikasi dewasa ini.<br /><br />Kata kunci: media imperialism, media effect, media literacy.<br /><br />Media Literacy, Pada Mulanya<br />Di tengah peradaban yang sudah bertransformasi menjadi The Age of Media Society, tak seorang pun meragukan kedigjayaan media massa. Media massa bukan saja menjadi ikon zaman, tapi juga penanda dari setiap perikehidupan yang berlangsung dalam abad ini. Tak sedetik pun momen terlewatkan dari media massa. Tak secelah pun informasi terabaikan. Lebih-lebih lagi, bila kita bicara ihwal televisi.<br />Di antara media massa lainnya, televisi memang primadonanya. Televisi dianggap sebagai sarana yang relatif murah dan mudah diakses untuk mendapatkan hiburan dan informasi. Sebagai ilustrasi, di Amerika Serikat, terdapat 105.5 juta televisi—99.9% adalah televisi berwarna. Di setiap rumahtangga Amerika Serikat, televisi dinyalakan rata-rata selama 7.5 jam. Rata-rata laki-laki menonton televisi 4 jam 11 menit sehari, sedangkan perempuan menghabiskan waktu sedikit lebih banyak yaitu 4 jam 46 menit. Remaja rata-rata menonton televisi selama 3 jam 4 menit sehari, sementara anak-anak menonton rata-rata 3 jam 7 menit sehari. Sebuah keluarga terdiri dari tiga orang atau lebih menonton televisi setidaknya 60 jam per minggu (Baran, 2003:245).<br />Bagaimana dengan Indonesia? Jelas bahwa televisi merupakan benda yang bisa ditemukan nyaris di setiap rumahtangga. Rumah sempit berdesakan sekalipun masih menyisakan ruang untuk televisi. Dalam aspek penetrasi media, televisi mencapai angka rata-rata 90% atau lebih di setiap kelas. Anak-anak menonton televisi rata-rata 30-35 jam per minggu, atau 1560-1820 jam per tahun—melebihi jumlah jam belajar yang mencapai angka tak lebih dari 1100 jam per tahun (Guntarto, 2003). Ini seiring dengan data yang menunjukkan bahwa bagi anak-anak, media yang paling menghibur adalah televisi.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> Ketika mencapai usia SMP, anak-anak setidaknya telah menghabiskan waktu untuk menonton televisi selama 15.000 jam dalam kehidupannya. Bandingkan dengan jumlah jam belajar yang hanya mencapai 11.000 jam saja.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> Televisi rata-rata ditonton oleh 3-4 anggota keluarga dalam sebuah keluarga di Indonesia beranggotakan 5 orang. Dan ya, penonton perempuan jauh lebih banyak daripada penonton laki-laki. Ilustrasi ini memperlihatkan betapa dominannya posisi televisi baik dalam ruang-ruang keluarga maupun individu.<br />Namun, di balik kuatnya posisi tersebut, televisi—atau tepatnya, industri televisi—menghadirkan sederet permasalahan. Ini terutama disebabkan oleh content televisi yang acap mengabaikan fungsi pendidikan atau pencerdasan khalayak. Sebagian besar produk televisi adalah program yang bertema kekerasan, pornografi, dan hal-hal yang tidak rasional.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a> Yang jadi korban, lagi-lagi, adalah khalayak sendiri.<br />Kajian-kajian efek televisi memperlihatkan sejumlah dampak negatif akibat terlalu sering dan terlalu banyak mengonsumsi televisi. Bukan berita baru lagi, kalau siaran televisi mengakibatkan desensitisasi atau penumpulan kepekaan (Astuti, 2006:142). Yang tadinya takut melihat darah ayam disembelih, kini gara-gara keseringan nonton program kekerasan, jadi biasa-biasa saja melihat maling ayam dihakimi massa sampai berdarah-darah, terkencing-kencing. Menonton berita kriminalitas jadi kurang seru rasanya kalau tidak disertai rekonstruksi peristiwa.<br />Penumpulan kepekaan juga bisa mengakibatkan pergeseran norma. Simak saja layar kaca kita. Sinetron Heart, misalnya, dikeluhkan masyarakat karena memperlihatkan adegan pacaran di antara anak-anak SD, lengkap dengan cemburuan, intrik, dan strategi merebut perhatian sang kecengan! Ini bukan sekadar masalah eksploitasi anak dalam adegan yang mengisahkan realitas orang dewasa, juga bukan sekadar masalah terbukanya kotak perlindungan bagi kepolosan anak yang selalu dijaga agar inosen selamanya. Bukan. Kasus ini memperlihatkan, ketika khalayak mengonsumsi dan ‘membeli’ ideologi kematangan para belia, telah terjadi pergeseran pendefinisian kelas ABG. Kalau dulu, ABG adalah anak-anak tanggung usia SMP, sekitar 14-16 tahun. Kini, yang dikategorikan ABG adalah anak-anak usia SD! Bukankah ini merupakan contoh kasus pergeseran norma, moral, dan kelas masyarakat?<br />Jane Cantor (1999) mengidentifikasi efek lain: fear effect. Inilah efek yang timbul ketika khalayak terlalu sering diterpa acara kekerasan hingga menganggap perang terjadi di mana-mana, dan bahwa “it’s a mean world to live in!” (Bryant & Zillmann, 2002:145). Di layar kaca, dunia tempat kita tinggal menjadi dunia nan kejam. Penjahat mengintip di mana-mana, sehingga slogan “Waspadalah!” terasa sangat nyata, bukan hanya menjadi sebentuk peringatan, tapi juga menjadi teror tersendiri. Realitasnya sendiri mungkin tidak sebegitunya. Namun, kesulitan membedakan realitas simbolik yang direpresentasikan televisi dengan realitas real yang benar-benar terjadi, mengakibatkan munculnya efek sedemikian.<br />Pada konteks yang lebih luas, tepatnya pada level sosiokultural, televisi dikeluhkan membawa dampak globalisasi yang menggerus budaya lokal. Ini dipertegas oleh teori media imperialism yang dilontarkan Fred Fejes (1981).<br /><br />... a great deal of the concern over media imperialism is motivated by the fear of cultural consequences of the transnational media—of threat that such media poses to the integrity and the development of viable national cultures in Third World societies ... little progress has been achieved in understanding specifically the cultural impact of transnational media on Third World societies.<br />(Tomlinson, dalam Parks & Kumar, 2003:114)<br /><br />Lewat teori ini, Fejes menyatakan bahwa media imperialism merupakan permasalahan negara-negara Dunia Ketiga tatkala berhadapan dengan kekuatan media transnasional. Isu seputar imperialisme media pada umumnya berkisar pada tantangan yang dihadapkan media pada integritas dan pelestarian budaya lokal/nasional. Glokalisasi, seperti yang dilakukan MTV dengan “Salam Dangdut”, misalnya, bukanlah jawaban atas permasalahan ini. Karena glokalisasi di sisi lain memunculkan, misalnya, adopsi budaya global dalam konteks lokal seperti kontes puteri-puterian meniru kontes Miss Universe dalam tingkat dunia. Atau, matinya kreativitas ketika sinetron-sinetron Indonesia ramai-ramai mencontek drama seri Korea. Nyontek abiss... bukan sekadar mengadaptasi atau menyadur.<br />Apa televisi tidak punya efek positif? Supaya tulisan ini tidak dikatakan memihak atau berat sebelah, harus dinyatakan bahwa televisi punya dampak positif. Televisi yang menyiarkan pesan-pesan prososial, misalnya, dapat menggugah orang untuk bertindak positif. Lihatlah sukses spektakuler Metro TV dalam memobilisasi dana publik ketika bencana tsunami melanda Aceh (Desember 2004). Atau cerita sukses Joan Ganz Cooney yang berada di balik produksi Sesame Street. Serial yang disebut terakhir ini berawal dari keprihatinan Ms. Cooney, berhubung “... existing shows for 3 through 5 year old children ... did not have education as a primary goal.” Melalui riset untuk mencari metode instruksional terbaik guna mendidik anak-anak prasekolah lewat televisi, lahirlah serial Sesame Street pada tahun 1969. Sesame Street yang menjadi sukses nasional dan model bagi program televisi pendidikan sesudahnya, tidak cuma berhasil meraih pelbagai award. Banyak riset menyimpulkan, serial ini berhasil meningkatkan ketrampilan personal dan sosial anak-anak prasekolah yang menjadi penonton tetapnya (diudarakan sejam setiap minggu di CBS)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a>. Tak heran jika akhirnya Sesame Street menjadi program nasional yang diudarakan pula di televisi-televisi publik. Sayangnya, wajah televisi sendiri secara umum tidak berubah—buktinya, tetap lebih banyak acara televisi yang tidak mencerdaskan. Tak heran jika korban-korban televisi tetap saja berjatuhan.<br />Bertitik tolak dari keprihatinan seputar dampak negatif televisi, juga media massa lainnya, pada tahun 1980-an, sejumlah aktivis media (kebanyakan dulunya adalah periset dan praktisi media) melahirkan gagasan media literacy. Media literacy pada awalnya dikonsepkan sebagai semacam ketrampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian. Dalam masyarakat media<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a>, di mana kontak dengan media menjadi sesuatu yang esensial dan tak terhindarkan, media literacy adalah sebuah ketrampilan yang diperlukan oleh warganegara guna berinteraksi dengan layak dengan media, dan menggunakannya dengan rasa percaya diri. Ketrampilan-ketrampilan ini sesungguhnya memang dianggap penting bagi siapa saja. Namun, target utama media literacy adalah kaum muda yang berada dalam proses peneguhan mental dan fisik.<br /><br />Media Literacy: Upaya Memerdekakan Khalayak<br />Dalam perkembangannya, konsep media literacy mengalami perkembangan seiring dengan kian banyaknya ‘aktivis’ yang memasuki ranah ini. Tabel berikut ini memperlihatkan ragam konsep media literacy yang berkembang sejauh ini.<br /><br />Tabel 1. Definisi Media Literacy<br />Teorisi/perumus<br />Definisi<br />Penekanan/fokus<br />National Leadership Conference on Media literacy (1998, h.3)<br />The ability to access, analyze, evaluate, and communicate messages.<br />Skill individu.<br />Paul Messaris, media scholar (1998, h. 3)<br />Knowledge about how media functions in society.<br />Pemahaman individu pada aspek makro (sosiokultural).<br />Justin Lewis dan Sut Jhally, periset komunikasi massa (1998, h. 3)<br />Understanding cultural, economic, political, and technological constraints on the creation, production, and transmission of messages.<br />Pemahaman individu pada aspek mikro (lembaga, pesan) dan aspek makro (sosiokultural).<br />Alan Rubin, periset media (1998, h. 3)<br />Media literacy, then, is about understanding the sources and technologies of communication, the codes that are used, the messages that are produced, and the selection, interpretation, and impact of those messages.<br />Penekanan lebih pada aspek mikro, walaupun ada tinjauan juga pada aspek makro.<br />William Christ dan James W. Potter, communication scholar (1998, h. 7-8)<br />Most conceptualizations (of media literacy) include the following elements: media are constructed and construct reality; media have commercial implications; media have ideological and political implications; form and content are related in each medium, each of which has a unique aesthetic, codes, and conventions; and receivers negotiate meaning in media.<br />Penekanan lebih pada aspek makro, walaupun ada tinjauan juga pada aspek mikro (form dan content).<br />The Cultural Environment Movement, public interest group (1996, h. 1)<br />The right to acquire information and skills necessary to participate fully in public deliberation and communication. This requires facility in reading, writing, and storytelling; critical media awareness; computer literacy; and education about the role of communication in society.<br />Advokasi hak publik, skill individu, perluasan media literacy pada literasi aksara, fungsi sosial media.<br />The National Communication Association, professional scholarly organization composed of university academics (1996)<br />Being a critical and reflective consumer of communication requires an understanding of how words, images, graphics, and sounds work together in ways that are subtle and profound. Mass media such as radio, television, and film and electronic media such as telephone, the Internet, and computer conferencing influence the way meanings are created and shared in contemporary society. So great is this impact that in choosing how to send a message and evaluate its effect, communicators need to be aware of the distinctive characteristics of each medium.<br />Posisi khalayak sebagai konsumen.<br />(Diolah dari Baran, 2004:51)<br /><br />Seperti terlihat dalam Tabel 1, definisi media literacy dalam praktiknya akhirnya dipakai dalam berbagai konteks dengan penekanan pada aspek yang berbeda-beda. Mulai dari skill individu, advokasi hak publik, perubahan nilai dalam lingkup sosiokultural, penguatan khalayak sebagai konsumen, dan lain-lain. Sebagaimana diungkapkan Baran (2003), semua definisi benar adanya. Siapa pun dipersilakan menggunakannya sesuai dengan keperluannya.<br /><br />Menerjemahkan Media Literacy dalam Level Aksi<br />Tidak disangsikan lagi, media literacy adalah perkara sekaligus pekerjaan besar yang tidak sederhana. Upaya memerdekakan khalayak melalui media literacy, agar efektif, harus dirumuskan lewat pelbagai strategi dan sasaran. Dalam praktiknya, ada yang memaknai gerakan media literacy sebagai bagian dari perjuangan mengubah industri media massa agar tidak kelewat bersifat kapitalis. Ada pula yang memaknai gerakan media literacy sebagai pergulatan kekuasaan<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a> atau upaya mengimbangi kuasa ideologis—entah itu kuasa di bawah pengaruh hegemoni state, kelompok kapitalis, atau kekuatan kultural tertentu. Maka, gerakan media literacy pun diterjemahkan dalam berbagai level.<br />Pada level regulasi, perjuangan dilakukan dengan melakukan upaya-upaya untuk melahirkan perundang-undangan yang menjamin hak-hak publik ketika berhadapan dengan media. Di Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan salah satu wujud perjuangan untuk mengembalikan frekuensi penyiaran pada ranah publik, yang mesti dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Pada level produksi, advokasi dilakukan dengan sasaran para pekerja media. Sedangkan pada level masyarakat, digarap upaya untuk membekali khalayak dengan kemampuan dan kesadaran media literacy. Lebih lengkapnya, perhatikan tabel berikut ini.<br /><br />Tabel 2. Ragam Gerakan Media Literacy<br />Level<br />Tujuan<br />Sasaran<br />Aksi Konkret<br />Regulasi<br />Menghasilkan perundang-undangan dan regulasi yang menjadi sistem media massa yang sehat, menyediakan payung hukum bagi pelanggaran terhadap hak publik yang dilakukan oleh media massa.<br />Lembaga legislatif, pemerintah dan organ-organnya, lembaga hukum<br />Melakukan advokasi lewat pressure group untuk membentuk undang-undang, regulasi, dan komisi-komisi guna mengawasi kinerja dan sistem media massa;<br />mengupayakan masuknya materi media literacy dalam kurikulum nasional, dll.<br />Produksi<br />Teks/<br />Wacana<br />Memberi perspektif media literacy pada pekerja media, lembaga, dan owner;<br />mengubah kebijakan media agar lebih berpihak pada upaya pencerdasan khalayak melalui program-program yang berkualitas;<br />membantu mengonstruksi pasar dan sistem media massa yang sehat demi kepentingan bersama.<br />Pekerja media, owner atau pemilik media, penentu kebijakan dalam institusi media.<br />Perguruan tinggi atau lembaga pendidikan yang memiliki studi komunikasi massa.<br />Melakukan advokasi pada penentu kebijakan atau owner guna mengubah kebijakan seputar media sehingga lebih berpihak pada kepentingan publik; melakukan pelatihan pada pekerja media untuk menghasilkan program yang berkualitas;<br />mengupayakan masuknya materi media literacy dalam kurikulum nasional.<br />Audience<br />Memberi penguatan pada khalayak agar cerdas, bijak, berdaya, ketika berhadapan dengan media massa.<br />Masyarakat dalam berbagai kelas dan level, siswa sekolah dalam berbagai tingkat pendidikan, perempuan, dll.<br />Mengampanyekan gerakan media literacy;<br />melakukan pelatihan media literacy pada elemen-elemen masyarakat.<br /><br />Penelusuran literatur memperlihatkan, setiap negara ternyata mengadopsi konsep media literacy secara berbeda. Di Inggris dan Australia, media literacy menjadi bagian kurikulum yang diarahkan dan ditetapkan oleh pemerintah. Di Amerika Serikat, konsep media literacy tidak begitu tersebar meluas karena tidak ada departemen sentral yang mengurusi masalah kurikulum. Otonomi setiap negara bagian begitu besar hingga masing-masing punya kebijakan sendiri-sendiri. Gerakan media literacy di Prancis melibatkan lembaga-lembaga penyiaran publik, sementara di Jerman fungsi ini dilakukan oleh lembaga-lembaga penyiaran regional. Paling tidak, sejak 1992, Jepang menjadi wakil negara Asia yang menaruh kepedulian besar terhadap media literacy. Kementerian Pos dan Informasi (MPT), bersama sejumlah akademisi Universitas Tokyo, merancang skema upaya-upaya untuk mengintegrasikan konsep media literacy, baik dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah secara formal, maupun dalam advokasi pada seluruh elemen masyarakat. Ini meliputi gerakan-gerakan advokasi media literacy pada level pemerintah, media massa, dan LSM. Upaya ini dilakukan secara nasional. Namun, dari keseluruhan negara yang menerapkan media literacy, Kanada agaknya merupakan negara terdepan dalam menjalankan aktivitas media literacy.<br />Kanada adalah sebuah negara yang penduduknya memiliki kekritisan dan kesadaran kewarganegaraan yang tinggi dalam menyikapi isu-isu dunia, mulai dari isu konservasi lingkungan, hak asasi manusia, hingga perlawanan aktif terhadap kapitalisme neoliberal. Kanada, karenanya, memiliki tradisi aktivitas advokasi dan partisipasi aktif yang menyejarah. Dalam hal media literacy, selain melibatkan media penyiaran publik seperti The Canadian Radio-Television Telecommunications Commission (CRTC), sejak musim gugur 1999, setiap propinsi di Kanada diwajibkan untuk menyelenggarakan program pendidikan media literacy (terutama dalam pelajaran sastra). Ini belum termasuk aktivitas tak tercatat yang dilakukan oleh kelompok-kelompok komunitas di pelbagai pelosok. Keseriusan Kanada dalam ihwal media literacy secara politis juga diwujudkan pemerintah lewat sertifikasi lisensi media literacy—pengajar yang dibolehkan mengajarkan media literacy di sekolah-sekolah hanya mereka yang telah lolos uji sertifikasi lewat uji akademik maupun uji publik. Ada standar-standar kecakapan tertentu yang harus dimiliki, dan ditinjau ulang secara periodik untuk menyesuaikan kualifikasi pemegang lisensi dengan perkembangan zaman, sekaligus guna memastikan bahwa misi media literacy tidak bergeser.<br />Di Indonesia, gerakan media literacy mulai dilakukan kurang lebih pada tahun 1990-an, seiring dengan munculnya kesadaran dan keprihatinan sejumlah kalangan terhadap pengaruh negatif media massa, dan tidak adanya perubahan signifikan dari kalangan media biarpun sudah dihantam kritik di sana-sini. Berikut adalah peta sederhana sejumlah LSM yang melakukan gerakan media literacy dalam beberapa level di Indonesia.<br />Tabel 3. LSM yang Melibatkan Diri dalam<br />Gerakan Media Literacy di Indonesia<br />Nama Lembaga<br />Bidang Garapan<br />Regulasi<br />Teks/Wacana<br />Audience<br />LSPP<br />(Jakarta)<br />Pressure group<br />Penerbitan buku kumpulan riset tentang media, melakukan pelatihan bagi wartawan untuk meningkatkan profesionalisme<br />-<br />Kidia/YPMA<br />(Jakarta)<br />Pressure group<br />Riset, Penerbitan buletin tentang program anak (mediawatch), menyusun rating tandingan untuk program anak di televisi<br />Melakukan kampanye media literacy, mengorganisir kampanye media literacy di 6 kota<br />KIPPAS (Medan)<br /><br />Pressure group<br />Riset, penerbitan buku riset tentang media, pelatihan konsep dan praktik jurnalisme damai bagi wartawan di kawasan konflik<br /><br />ELSIM (Makasar)<br />Pressure group<br />Kajian media<br />Melakukan kampanye media literacy<br />LSPS (Surabaya)<br />Pressure group<br />Kajian media<br />Melakukan kampanye media literacy<br />LKM<br />(Surabaya)<br /><br />Riset komunikasi<br />Melakukan kampanye media literacy<br />The Habibie Center<br />(Jakarta)<br />Pressure group<br />Menerbitkan buletin mediawatch secara teratur, melakukan diskusi-diskusi<br /><br />Bandung School of Communication Studies/Bascomms<br />(Bandung)<br /><br />Riset<br />Kampanye media literacy lewat aksi damai, melakukan advokasi ke masyarakat melalui seminar dan talk show, melakukan advokasi dengan sasaran remaja lewat workshop<br />Bandung Spirit (Bandung)<br />Pressure group<br /><br />Kampanye media literacy lewat seminar<br /><br />Tabel di atas memperlihatkan, tak banyak organisasi nonpemerintah yang melibatkan diri pada aktivitas media literacy.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a> LSM yang tercatat di sini didirikan atas inisiatif cendekiawan komunikasi, mahasiswa, dosen, periset, wartawan/pekerja media, atau peminat dari luar studi komunikasi. Sebagai jenis gerakan aktivisme yang relatif ‘baru’, media literacy di Indonesia menghadapi sejumlah kendala, di antaranya adalah:<br />Pemahaman seputar pentingnya media literacy masih sangat rendah, bahkan di kalangan kampus atau fakultas ilmu komunikasi sendiri. Padahal, gerakan-gerakan aktivisme biasanya berawal dari kampus. Ironisnya, belum ada satu pun studi komunikasi di Indonesia yang memiliki mata kuliah khusus berkenaan dengan media literacy. Istilah media literacy sendiri belum populer dalam studi komunikasi di Indonesia, bahkan di antara para dosen ilmu komunikasi (apalagi mahasiswanya!). Kemungkinan besar, ini disebabkan kurikulum program studi komunikasi kita masih terlalu berorientasi ‘pasar’ dan industri media massa.<br />Aktivisme media literacy sendiri dianggap kurang ‘seksi’. Media literacy dipahami secara sepihak sebagai gerakan memusuhi industri televisi, atau media massa pada umumnya. Padahal, lewat gerakan media literacy sesungguhnya masyarakat dapat membantu kalangan media guna membangun industri media yang sehat. Gerakan media literacy sejatinya berorientasi pada penguatan khalayak, bukan pada ‘penggembosan’ industri media.<br />Masih ada anggapan bahwa masalah media adalah urusan institusi yang berhubungan dengan komunikasi atau media massa. Padahal, mengingat penetrasi media yang luarbiasa, sesungguhnya rendahnya literasi media merupakan masalah siapa saja.<br />Gagasan media literacy bisa dipandang sebagai upaya mencerdaskan khalayak agar tidak mudah terpengaruh oleh dampak negatif televisi maupun media massa lainnya. Namun, gerakan ini juga dapat dikatakan sebagai perjuangan memerdekakan khalayak media. Di satu sisi, media literacy membekali khalayak dengan kemampuan dan kesadaran kritis ketika berhadapan dengan media massa. Sementara, di sisi lain, gerakan media literacy bermaksud memberdayakan khalayak dengan menanamkan kesadaran bahwa siapa pun di depan media adalah setara; bahwa menonton televisi adalah pilihan; bahwa sebagai konsumen media, mereka berhak menuntut yang terbaik dari produsennya; bahwa sebagai pemilik frekuensi, mereka berhak untuk mengawasi agar ranah publik digunakan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan publik. Inilah makna dari fungsi media literacy dalam memerdekakan khalayak media.<br /><br />Daftar Pustaka<br />Astuti, Santi Indra. Mendidik Masyarakat Cerdas di Era Informasi. Dalam Jurnal Etos, Volume I/Th. I/2005.<br />Astuti, Santi Indra dan Rochmawati. Semarang Dalam Bayang-Bayang Dampak Tayangan Televisi Bertema Kekerasan, Pornografi, dan Mistik/Supranatural. Dalam Hanim, Masayu S. 2006. Dampak Tayangan Pornografi, Kekerasan & Mistik Di Televisi: Studi kasus Palembang dan Semarang. Jakarta: Puslit LIPI.<br />Baran, Stanley J. 2003. Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture (3rd Edition). New York: McGraw-Hill.<br />Sparks, Glenn & Cheri Sparks. Effects of Media Violence. Dalam Bryant, Jennings & Dolf Zillmann, 2002. Media Effects: Advances in Theory and Research (2nd Edition). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.<br />Guntarto, B. An Assesment of Children’s Television Programmes in Indonesia. Dalam Goonasekera, Anura et.al., 2000. Growing Up With TV: Asian Children’s Experience. Singapore: Asian Media Information and Communication Centre.<br />Tomlinson, John. Media Imperialism. Dalam Parks, Lisa dan Shanti Kumar. 2003. Planet TV: A Global Television Reader. New York: New York University Press.<br /><br />Koran<br />Guntarto, B. Mengapa Hari Tanpa TV itu Penting? Kompas, 21 Juli 2006.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si. adalah dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA). Aktif menulis di berbagai media massa seperti Kompas dan Pikiran Rakyat, mengajar di sejumlah lembaga pendidikan komunikasi dan menjadi trainer untuk beberapa lembaga seperti Depsos dan Litbang Kompas. Sejak tiga tahun lalu tercatat sebagai research fellow PMB-LIPI untuk penelitian bidang komunikasi dan kemasyarakatan. Pada tahun 2007 mendirikan Bandung School of Communication Studies (BASCOMMS), sebuah lembaga kajian dan advokasi media yang bergerak dalam lingkup media literacy dan pemberdayaan masyarakat untuk fungsi-fungsi komunikasi sosial.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> 91.8 persen anak-anak menganggap televisi lebih menghibur dibandingkan radio dan majalah (Guntarto dalam Goonasekera, 2000:141).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Diungkapkan oleh praktisi creative learning Luna Setiati, Juli 2007, diolah dari Nielsen Media Index.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Penelitian YPMA/Kidia memperlihatkan, dari sekian banyak program televisi untuk anak yang ditayangkan di layer kaca, hanya 15 persen yang aman dikonsumsi. Batasan ‘aman dikonsumsi’ adalah tidak mengandung unsur kekerasan, pornografi, dan hal-hal yang tak rasional (Guntarto, 2006).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Satu-satunya kegagalan Sesame Street dikarenakan kesuksesannya juga: riset menyatakan bahwa semua anak mendapatkan manfaat sosial dan akademis setelah menyaksikan acara ini secara teratur. Namun, manfaat terbesar diperoleh anak-anak dari kelas menengah dan kelas atas. Padahal, target spesifik Sesame Street sesungguhnya anak-anak kelas menengah bawah yang tidak bersekolah formal karena benturan biaya, sehingga program ini diciptakan sebagai semacam sekolah non formal. Sesame Street yang bermaksud membantu menghilangkan kesenjangan pendidikan, ternyata malah memperbesar gap tersebut (Baran, 2003:248-249)<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Menarik sekali mengamati pelbagai istilah yang diberikan oleh para aktivis media literacy untuk dunia saat ini. Mereka tidak saja mengadopsi gagasan para futurology yang mengajukan konsep the age of Information dengan ‘masyarakat informasi’ sebagai ikonnya. Istilah lain untuk menggambarkan dunia masa kini adalah media society dan media-saturated environment—sebuah lingkungan yang jenuh dengan media. Baca Teaching Media Society: Yo! Are You Hip to This? yang ditulis oleh Rene Hobbs<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Media literacy as the struggle for power dirumuskan dalam The People’s Communication Charter (1996) yang dideklarasikan oleh the Founding Convention of the Cultural Environment Movement (CEM) di St. Louis (Baran, 2003:54).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Tabel ini disusun dengan maksud lain: memancing organisasi yang punya misi serupa untuk turut mengisi entri dalam daftar ini.communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-45969414268472031052007-08-05T01:36:00.000-07:002007-08-05T01:37:30.701-07:00PENDIDIKAN DI AMERIKA: Sekolah yang Memanusiakan MuridnyaPENDIDIKAN DI AMERIKA: SEKOLAH YANG MEMANUSIAKAN MURIDNYA<br />Oleh: Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br /><br />Education is not filling a bucket but lighting a fire<br />(Pendidikan bukan sekadar mengisi ember, tapi perkara menyalakan api)<br /><br />Inilah kata-kata mutiara yang saya dapatkan di cuilan kertas dalam fortune cookies (kue keberuntungan), bonus nasi goreng seafood yang saya beli di rumah makan China di Chicago, awal Mei lalu. Pas betul dengan perjalanan yang tengah saya lakukan: meninjau pendidikan menengah di Amerika. Sebuah perjalanan yang mencerahkan karena membuka mata saya ihwal pendidikan yang sesungguhnya!<br /><br />Pendidikan: Sebuah Mosaik<br />Saya adalah bagian dari serombongan pendidik dan pemerhati masalah pendidikan, yang diundang oleh Heartland International yang bermarkas di Chicago dan Center for Civic Education (CCE) di Jakarta, lewat Community Leadership Program (CLP). Selama menjadi warga Chicago, kami berkunjung ke berbagai sekolah mulai dari SD hingga SMU. Sekolah-sekolah tersebut memiliki kekhasan tersendiri, sehingga memperlihatkan mosaik pendidikan yang unik!<br /> Sekolah pertama yang kami kunjungi adalah Universal School di 93rd Street, Bridgeview, Chicago. Kami terkaget-kaget berjumpa dengan serombongan siswi berbusana muslim lengkap dengan jilbab. Ternyata, Universal School adalah sekolah setingkat SD hingga SMU yang berbasis Islam! Where Islam and Education Come Together—itulah persisnya motto sekolah ini. Duh, kalau tidak melihat sendiri, rasanya sulit dipercaya ada sekolah Islam di Chicago yang lebih ‘Islami’ dibandingkan Universitas Islam Bandung tempat saya mengajar, yang masih ‘menoleransi’ mahasiswinya berbusana ketat. Namun, begitulah kenyataannya. Kepala Sekolah Universal School, Ny. Farhat Siddiqui yang enerjik, menyatakan, semua dimungkinkan berkat sistem pendidikan yang fleksibel. “Perguruan kami punya misi mendidik siswa menjadi warga negara beragama Islam yang memiliki nasionalisme Amerika,” tuturnya. Maka, guna mendukung misi tersebut, dibuka kelas wajib Bahasa Arab dan Tarbiyah. Sementara untuk mempraktikkan pendidikan kewarganegaraan, siswa-siswi dikerahkan menjadi relawan di berbagai TPS pada saat pemilu. Mereka mendata calon pemilih, bahkan mengetuk pintu-pintu tetangga di lingkungan rumah maupun sekolah untuk mengingatkan penghuninya agar segera mendatangi TPS. Sungguh mengesankan!<br />Suasana sebuah kelas TK di Universal Schools, Chicago. Guru perempuan berjilbab, sementara siswi-siswinya sendiri baru diwajibkan berjilbab di kelas enam (Dok. Pribadi).<br /><br /> Adalah fleksibilitas sistem pendidikan pula yang memungkinkan Community High School di 326 Joliet Street, West Chicago, menekankan kurikulumnya pada mata pelajaran yang berhubungan dengan kewarganegaraan dan kepemimpinan—soft skill, maupun hard skill—guna mendukung tujuan akhirnya: Excellence. “Kami menyiapkan murid-murid agar menjadi pemimpin bangsa di masa depan. Tidak sekadar pandai, mereka harus bisa menjadi pemimpin yang peka akan kebutuhan komunitas, dan mampu melayani masyarakatnya,” tutur Mary Ellen Daneels, guru civic education. Sebagaimana kita ketahui, Amerika Serikat menghadapi masalah sehubungan dengan rendahnya partisipasi warganegara dalam pemilu. Karena itu, SMU ini menggodok kurikulum yang antara lain ditekankan pada civic alias kewarganegaraan.<br />Pelajaran civic dikelola di kelas, maupun di laboratorium. Laboratorium? Ya, terletak satu lantai dengan perpustakaan, sebuah ruangan yang nyaman diisi dengan meja-meja bundar tempat berdiskusi. Itulah laboratorium civic education. Di atas meja bundar diletakkan 5-6 komputer untuk setiap anak. Komputer-komputer tersebut menjadi penghubung siswa ketika mendiskusikan pelbagai isu lewat milis khusus, sesuai dengan topik yang dilontarkan oleh guru. Acap, milis digunakan untuk ‘memutuskan undang-undang’ yang dibuat sendiri oleh siswa. Dengan cara ini, mereka belajar bahwa setiap suara bisa membuat perbedaan, dan bahwa nasib ‘warganegara’ dalam ‘republik’ masing-masing ditentukan oleh partisipasi setiap anggota kelas!<br /> Kami juga berkesempatan mengunjungi Little Village Lawndale High School di 3120 South Kostner, Chicago. Sekolah ini memiliki empat ‘konsentrasi’, yaitu Social Justice, Multicultural Arts, World Language, dan Infinity untuk peminat matematika, sains, dan teknologi. Uniknya, masing-masing konsentrasi dipimpin oleh seorang kepala sekolah. Jadi, ada empat kepala sekolah di SMU ini, yang dikoordinir oleh seorang manajer!<br />Namanya konsentrasi, tentu ada kekhususan dari setiap program. World Language yang kebetulan paling banyak siswanya, membekali murid dengan kemampuan berbahasa yang komplet, sehingga siswanya kelak bisa hidup sebagai warga dunia yang mengglobal. Siswa-siswa yang memilih konsentrasi World Language diwajibkan mempelajari setidaknya dua bahasa lain selain Inggris! Pilihan terbanyak jatuh pada bahasa Meksiko, lalu bahasa-bahasa Asia dan Eropa. Siswa-siswa Multicultural Arts punya kekhususan dalam seni—macam-macam seni. Sementara konsentrasi Infinity menekankan penguasaan iptek bagi siswanya. Uniknya, kerap terjadi kolaborasi antar-konsentrasi. Pada saat saya berkunjung ke sana, siswa Arts dan Sains sedang punya garapan bersama: Arts and Multimedia. Jadi, ditampilkan ‘seni’ yang dimungkinkan berkat kecanggihan teknologi, seperti digital imaging dan digital photography. Saya juga sempat menyaksikan sisa pameran kelas-kelas Multicultural Arts yang memajang karya siswa berupa iklan-iklan layanan masyarakat. Mengejutkan, iklan-iklan itu sebagian besar bertema pesan-pesan antikapitalisme dan antiglobalisasi. Saya curiga, kelas Social Justice turut berperan di sini karena isu semacam itu adalah ‘makanan’ mereka.<br /> Kunjungan ke berbagai sekolah dengan beragam kurikulum itu tak pelak membuat kami bertanya-tanya: kok bisa ya tiap sekolah mengajarkan kurikulum yang berbeda-beda? Memangnya, di Amerika Serikat tidak ada kurikulum nasional? Susan Marks dari Public School System of Chicago yang mendampingi kami menjelaskan, istilah kurikulum nasional memang tidak dikenal di Amerika Serikat. Yang ada core curriculum—isinya mata pelajaran yang diujikan dalam national test atau semacam UAN di Amerika Serikat. Materi national test adalah Reading, Civic, English, dan Basic Math. Nah, inilah pelajaran ‘wajib’ yang harus diajarkan sekolah pada murid-muridnya. Selebihnya, terserah sekolah masing-masing mau ‘mengisi’ muridnya dengan apa.<br /><br />Pendidikan Sebagai Hak Asasi<br />Di Indonesia, pelaksanaan UAN menjadi kontroversi karena dinilai ‘memasung’ dan ‘memancung’ siswa-siswa yang tidak lulus. Selain itu, UAN sebagai syarat kelulusan menjadi hantu yang mengerikan siapa saja: siswa, orangtua, dan guru. Saya masih penasaran ihwal national test di Amerika. Kalau anak tidak naik kelas, lantas bagaimana? Susan Marks agak bingung mencerna pertanyaan ini. Karena itu saya ubah pertanyaannya menjadi begini, bagaimana kalau siswa tidak mencapai standar nilai terendah untuk hal yang harus dikuasainya, terkait dengan subyek yang diujikan? Ternyata, sejak beberapa tahun silam, Amerika Serikat meloloskan Undang-Undang No Child Left Behind. Di bawah UU ini, tak boleh ada anak-anak yang ‘ditinggalkan.’ Kalau nilai sang anak tidak mencapai skor minimum, sekolah tidak boleh menjadikan hal tersebut sebagai alasan bagi sang anak sehingga tidak naik kelas, atau tidak lulus. Anak tetap boleh mengambil tingkat selanjutnya. Tapi, mau tidak mau, anak maupun gurunya harus meluangkan waktu tambahan untuk mengejar kekurangan skor tersebut.<br /> Kebijakan ini sejalan dengan konsistensi Amerika Serikat menjadikan pendidikan sebagai hak asasi. Saya berkesempatan mengunjungi sebuah sekolah dasar di kawasan Suite, Chicago. Sekolah ini memiliki program kerjasama dengan Changing Worlds, sebuah LSM yang mengkhususkan diri pada ‘pembinaan’ siswa-siswi agar menerapkan nilai-nilai multikultural dan mutual understanding dengan pendekatan art. Kami berkunjung ke sebuah kelas yang dihuni oleh anak-anak kelas 2 hingga kelas 6 yang berasal dari berbagai bangsa: Rusia, Korea, Afghanistan, dan lain-lain. Wujud multikulturalisme dan upaya membina mutual understanding benar-benar kentara di sini. Di sebuah meja, entah sengaja atau tidak, anak yang berasal dari Suriah didudukkan dengan anak dari Israel! Dan ternyata, situasinya damai-damai saja di sana.<br /><br />Di meja ini, anak-anak dari Rusia, Suriah, Israel, dan berbagai bangsa lain duduk bersama. Dan ternyata, damai-damai saja di sini... (Dok. Pribadi)<br /><br />Iseng saja saya bertanya, siapa sih orangtua anak-anak ini? Jawabannya membuat saya terhenyak. Orangtua anak-anak ini terdiri dari bermacam-macam latarbelakang dan profesi, mulai dari konsultan, pegawai negeri, pengusaha, sampai imigran gelap, pelarian atau pengungsi perang, stateless! Lho, memangnya anak imigran gelap boleh sekolah di sini? Kay Robertson, salah satu guru, menjelaskan. “Begini, ini sekolah publik, kami tak boleh menolak murid. Bahwa bapaknya imigran gelap atau stateless, itu masalah politik. Mereka jadi tak punya hak pilih, tak boleh kerja di pemerintahan. Tapi pendidikan adalah masalah hak asasi—hak asasi anak-anak. Itu tidak ada kaitannya dengan status kewarganegaraan orangtuanya. Kami bisa dituntut ke pengadilan kalau sampai menolak anak-anak mereka bersekolah di sini. ”<br /> Wah! Beginilah rupanya wujud pendidikan sebagai hak asasi manusia... (000)<br /><br /><br /> <br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA), Bidang Kajian Ilmu Jurnalistik.communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-70030452475208619982007-08-05T01:35:00.000-07:002007-08-05T01:36:26.781-07:00Oxford, Kota Pendidikan yang Memuliakan Novelis KebanggaannyaOxford: Kota Pendidikan yang Memuliakan Novelis Kebanggaannya<br />Oleh : Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si.<br /><br />Ada dua Oxford, setidaknya, yang tercantum dalam peta dunia. Pertama, Oxford di Inggris. Sebuah kota dengan perguruan tinggi kelas dunia yang terkenal angker saking tingginya standar pendidikannya. Oxford kedua terletak di negara bagian Mississippi, Amerika Serikat. Menariknya, sebagaimana diakui oleh Mayor Richard Howorth, sang walikota, nama Oxford memang dipilih oleh para pendiri kota ini lantaran disemangati oleh nama besar Oxford di Inggris. Inginnya, Oxford di Mississippi juga menjadi kota pendidikan sebagaimana ‘kembarannya’ di Tanah Britania.<br /><br />Saya berkesempatan mengunjungi Oxford di Mississippi bersama rombongan peserta Community Leadership Program (CLP), sebuah program kerjasama penguatan leadership dan secondary education yang digagas oleh Heartland International yang bermarkas di Chicago, dan Center for Civic Education di Jakarta. Saat tiba di Oxford, cuaca sangat bersahabat. Maklum, saat itu pertengahan bulan Mei, saatnya spring alias musim semi tiba. Di sana-sini kami melihat petak-petak yang ditumbuhi bunga-bunga aneka warna: daffodil, daisy, mawar, bluebell... sungguh meriah. Oxford sendiri tergolong kota tua di Mississippi. Kotanya kecil saja, penduduknya sekitar 13.000 orang, sebagian besar adalah mahasiswa. Walaupun kini sudah berkembang, secara keseluruhan, Oxford yang dibangun pada tahun 1835 lewat kolaborasi tiga pemilik toko kelontong, tampak mungil dan cantik, dengan bangunan tua semasa Perang Sipil yang masih dipertahankan. Kantor walikota sendiri, yang terletak di muka alun-alun, merupakan bangunan konfederat berbata merah, bertembok tebal, dengan pintu-pintu dan jendela melengkung. Tapi, jangan tanya fasilitasnya. Tak kalah dengan apartemen modern.<br /><br />City Hall alias Kantor Walikota di Oxford. Bangunan kuno yang masih dipertahankan (www.squarebooks.com)<br /><br />Kota Pendidikan dan Ole Miss<br />Kota Oxford di Mississippi pada akhirnya memang berhasil mewujudkan impian para pendirinya, yang menginginkan kota ini tenar sebagai ikon pendidikan. Oxford menjadi tempat University of Mississippi, atau “Ole Miss”, salah satu universitas tertua di Amerika Serikat. Selain berdialog dengan Major Richard Howorth, kami berkesempatan untuk mengunjungi University of Mississippi, sebagai bagian dari pembelajaran mengenai sejarah perjuangan penghapusan politik segregasi di Amerika Serikat. Ya, Ole Miss di tahun 60-an ternyata banyak menyimpan cerita heroik tentang pergolakan anti diskriminasi rasial. Tapi, saya simpan dulu cerita ini berhubung ada hal menarik yang menyambut kami di Ole Miss.<br /><br />Kami tiba di Ole Miss pada pukul 2 siang. Rerumputan nan hijau terawat, dan pepohonan yang teduh tampak begitu menyejukkan. Gedung-gedung berarsitektur kuno menjadi bangunan tempat perkuliahan di Ole Miss. Biarpun mahasiswanya banyak, ribuan, kampus tampak sepi, kemungkinan karena menjelang libur musim panas. Park, alias taman, terhampar di sana-sini. Di kampus ini jelas tak ada istilah kampus sumpek karena kekurangan ruang publik yang terbuka.<br /><br />Dua orang menyambut kami di Lyceum—gedung administrasi kampus yang menjadi ikon Ole Miss dan diabadikan sebagai simbol kampus. Annette dan Ray menjadi pemandu tur mengelilingi kampus Ole Miss. Annette adalah mahasiswi semester 3 Fakultas Hukum, sementara Ray adalah pengurus kampus. Yang mengejutkan, kami disambut oleh Sang Dwiwarna yang berkibar di depan Gedung Program Internasional di depan Lyceum! Duh, tak terkira bangganya hati ini. Panitia penyambutan kami memang sengaja mengibarkan Merah Putih untuk menyambut kami. Dari mana Ole Miss punya bendera Indonesia, dalam ukuran formal pula? “Oh, kami punya mahasiswa Indonesia yang bersekolah di sini, program pascasarjana. Setiap mahasiswa yang bukan dari Amerika pasti kami mintai benderanya,” Ray menjelaskan. Saat ini, Ole Miss sudah punya koleksi sekitar 130 bendera asing! Banyakkah warga Indonesia yang bersekolah di sini? “Cukupan... kalau dihitung dengan istri dan anaknya jadi 3 orang,” jawab Ray. Kami tergelak. Bagi yang berminat untuk bersekolah ke sini, masih banyak peluang untuk orang Indonesia!<br /><br />Annette dan Ray, pemandu kami. Pada latar belakang terlihat Lyceum yang megah, gedung yang menjadi saksi sejarah perjuangan warga Afro-Amerika menuntut persamaan hak dan menghapuskan diskriminasi rasial. (Dok. Pribadi).<br /><br />Ole Miss atau University of Mississippi menjadi bagian penting sejarah pergolakan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Ketika politik segregasi mulai mendapat tentangan di mana-mana, Ole Miss menjadi salah satu lokasi ‘perjuangan.’ Maklum, ketika itu universitas tersebut menjadi lambang supremasi warga kulit putih, karena memegang kuat tradisi pendidikan yang hanya diperuntukkan bagi kaum kulit putih saja. Ketika pemerintah federal di bawah presiden Lyndon B. Johnson menghapuskan undang-undang segregasi, yang antara lain mendesegregasi pendidikan, otomatis Ole Miss harus membuka diri bagi warga Afro-Amerika yang akan menuntut ilmu di sana. Pada titik inilah terjadi pergolakan yang sangat dramatis.<br /><br />Pergolakan diawali ketika James Meredith, seorang guru Afro-Amerika, mendaftarkan diri ke Ole Miss. Kehadiran Meredith disambut demonstrasi besar-besaran warga kulit putih. Ia diancam akan dibunuh. Bertentangan dengan instruksi Presiden yang menghapuskan politik segregasi, Gubernur Mississippi dan walikota Oxford malah turun tangan secara langsung untuk memerintahkan aparatnya agar menghalangi upaya Meredith dengan membentuk barikade. Akibatnya, selama dua hari Meredith ‘gagal’ menembus Ole Miss. Mendengar insiden ini, Presiden Johnson kemudian mengirimkan National Guard untuk membuka barikade itu. Maka pada hari ketiga, hari terakhir pendaftaran mahasiswa di Ole Miss, terjadilah adegan yang sangat dramatis. Meredith memasuki lorong pendaftaran—di Lyceum!—kanan kirinya dikawal oleh National Guard dengan senapan siap dikokang. Di sekelilingnya, massa yang marah mengamuk nyaris tak terkendali. Bentrok pun tak terhindarkan ketika sniper berdesingan menghantam Lyceum. Syukurlah, singkat cerita, Meredith berhasil mendaftarkan diri. Sejak saat itu, Ole Miss harus membuka pintu lebar-lebar bagi warga kulit hitam. Dan berakhirlah dominasi warga kulit putih dan diskriminasi rasial dalam pendidikan tinggi di University of Mississippi.<br /><br />Guna mengenang kenekadan James Meredith, di halaman belakang Lyceum, tahun lalu diresmikan patung James Meredith yang melangkah mantap memasuki Ole Miss, menghadap gapura bertuliskan “Courage (keberanian).” Ya, tanpa keberanian dan ketegaran Meredith, mungkin warga kulit berwarna harus menanti lebih lama lagi untuk bisa menjangkau pendidikan tinggi. Tak heran jika James Meredith dan Ole Miss menjadi simbol desegregasi pendidikan tinggi.<br /><br />Di sinilah James Meredith melangkahkan kaki untuk memasuki University of Mississippi, guna mendobrak politik segregasi dalam pendidikan. Gerbang ini didirikan untuk mengenang tekad dan keberaniannya yang menginspirasi perjuangan warga Afro-Amerika menuntut persamaan hak dengan warga kulit putih. Lihat tulisan di atas gapura: COURAGE. (Dokumentasi: pribadi).<br /><br />Selain menyimpan cerita heroik seperti tadi, ikon sebagai kota pendidikan agaknya memang dipelihara betul oleh Oxford. Di alun-alun, atau Square yang merupakan pusat kota, ada empat toko buku di setiap sudut. Lainnya adalah restoran, toko baju, toko kartu, toko kelontong. Trotoar maupun toko tidak berjubel dengan barang-barang dagangan, sehingga orang nyaman berjalan-jalan di sepanjang Main Street. Yang mengejutkan, saya tidak menemukan toko cenderamata, atau toko yang menjual cenderamata—tak seperti kota-kota lain yang saya kunjungi di Amerika Serikat. Ketika saya tanya pada pemilik toko buku yang ramah, di mana saya bisa mendapatkan cenderamata khas Oxford, ia agak ragu menjawab, “I’m afraid you can’t find any. Di sini banyak toko buku. Tapi sayang sekali, tampaknya toko yang Anda cari tidak ada,” katanya. Waduh! Saya jadi malu sendiri. Pesan gamblangnya adalah: Oxford ini kota pendidikan, bukan kota turis. Carilah buku di sini, bukan souvenir!<br /><br />William Faulkner dan Rowan Oak<br />Oxford yang asri ternyata juga menjadi pilihan tempat bermukim William Faulkner, novelis Amerika Serikat pemenang Nobel Sastra tahun 1949. Faulkner, yang leluhurnya memang asli dari wilayah sekitar Oxford, membeli rumah kayu bergaya Yunani kuno pada tahun 1930, di atas tanah seluas empat acre yang dikelilingi cedar dan pohon kayu keras. Rumah itu kemudian dinamakannya “The Rowan Oak.”<br /><br />Pohon rowan adalah simbol perlindungan dan perdamaian. Rowan Oak didiami oleh Faulkner bersama isterinya, Estelle, dan dua anak dari pernikahannya terdahulu. Seorang anak, Jill, lahir di rumah ini. Di Rowan Oak, lahir karya-karya terkenal Faulkner. Sebagian besar karya Faulkner konon diilhami oleh kisah-kisah lokal masyarakat Indian, budak-budak yang kabur, kolonel-kolonel tua, dan perawan-perawan uzur yang memberi kursus melukis keramik. Semua ini dipadukannya dengan memori dan kesannya sendiri sebagai seseorang yang beranjak matang di kawasan Selatan yang terbelah oleh perikehidupan tradisional dan perkembangan modern yang tak bisa dihindari. “Absalom! Absalom!”, “The Unvanquished”, dan “Knight’s Gambit” adalah beberapa karya yang dihasilkannya di rumah bersejarah ini. Faulkner, yang lahir pada tahun 1897, meninggal dunia di Rowan Oak pada tahun 1962. Sepuluh tahun kemudian, puterinya Jill menjual rumah tersebut ke University of Mississippi, dengan harapan agar tempat itu dikelola sehingga bisa dikunjungi orang dari seluruh dunia untuk mempelajari ayahnya dan karya-karya sang ayah.<br /><br />Novelis kebanggaan Amerika, William Faulkner (1897-1962) (www.breezeofsouthern.com)<br /><br />Gerald Strom, profesor politik dari Chicago yang menemani kami berkomentar bahwa karya-karya Faulkner sulit dipahaminya. Nah, kalau seorang profesor saja mengaku sulit, apalagi masyarakat biasa. Namun, fakta ini justru membuat saya jadi terkesan dan mengagumi Oxford. Biarpun karyanya sulit dipahami, William Faulkner bagaimanapun adalah warga kebanggaan Oxford. Karena itu, masyarakat dan pemerintah setempat berupaya menjadikan Oxford sebagai kotanya William Faulkner. Upaya ini tidak cuma dilakukan dengan merawat dan mengelola Rowan Oak. Tetapi juga mempromosikan tempat tersebut. Berkunjung ke Oxford, tidak lengkap kalau tidak mampir ke Rowan Oak. Persis seperti Chicago memamerkan Sears Tower sebagai ikonnya. Di Oxford, setiap tahun diadakan bermacam-macam simposium yang mendiskusikan William Faulkner maupun karya-karyanya. Salah satunya, saya baca di katalog, “Seks dalam Kehidupan dan Novel William Faulkner”! Salah satu bukti kecintaan warga Oxford pada William Faulkner juga terlihat dari banyaknya lukisan atau foto bagian depan Rowan Oak yang bergaya Yunani, dengan jalan kecil yang diteduhi pohon-pohon besar. Di Downtown Inn tempat saya menginap, baru saya sadari bahwa dua lukisan dalam kamar saya adalah sketsa tampak depan Rowan Oak dari pelukis-pelukis yang berbeda! Di ruang makan, bar, lobi hotel, lukisan serupa juga terpampang. Coba saja Anda berkunjung ke Oxford, di mana-mana Anda akan temukan lukisan atau foto Rowan Oak!<br /><br />Rowan Oak. Lukisan atau foto semacam ini menjadi ikon kebanggaan Oxford, dan bisa Anda jumpai di mana-mana (www.squarebooks.com)<br /><br />Tapi, sebenarnya, seperti apa sih Rowan Oak yang dibangga-banggakan Oxford? Rumah ini berlantai dua, terdiri dari 7 ruangan di lantai bawah dan 8 ruangan di lantai dua. Ruangan yang dibuka untuk umum adalah kamar William Faulkner, kamar isterinya (rupanya mereka tinggal tidak sekamar, namun ada penghubung antara kedua kamar), kamar putera-puterinya, perpustakaan, parlor (tempat Faulkner mengadakan acara-acara istimewa, termasuk pernikahan puteri dan keponakannya serta tempat persemayaman jenazah Faulkner sendiri), ruang makan, dan ruang kerja Faulkner.<br /><br />Mesin ketik kuno yang dipakai Faulkner untuk menulis karya-karyanya. Termasuk barang-barang yang dipamerkan di Rowan Oak (www.olemiss.edu)<br /><br />Kita boleh menyaksikan kamar-kamar itu dari pintu, tapi ada pembatas yang tak boleh dilalui pengunjung. Barang-barangnya tertata rapi, perabotannya kebanyakan kayu, antik, demikian juga taplak dan hiasannya. Yah, bayangkan saja rumah zaman kuno khas Selatan. Buku-buku Faulkner ditumpuk di atas rak, lukisan cat air isterinya (kebanyakan kuntum-kuntum bunga) dipajang di lorong dan kamar-kamar, bahkan sepatu berkuda Faulkner juga dipajang. Rumah ini tampak ‘hidup’—seolah-olah hanya ditinggalkan penghuninya barang sebulan-dua bulan untuk berlibur ke luar kota. Selain rumah Faulkner, rumah kecil Callie, pembantu keluarga Faulkner yang turun-temurun mengabdi juga termasuk yang dijadikan lokasi wisata. Plus kandang kuda dan taman kecil di belakang rumah.<br /><br />Penulis berfoto di pintu masuk ruang kerja William Faulkner di lantai satu. Rak buku, foto-foto hitam putih leluhur Faulkner, stoples tembakau, kursi kesayangan, mesin tik bahkan tas kulit kuno mengisi ruangan ini (Dokumentasi: pribadi).<br /><br />Seorang rekan berkomentar, tempat ini sebenarnya biasa saja—rumah neneknya lebih antik lagi karena dibangun di zaman Belanda, dan masih ditempati cucu-cicitnya. Kalau bukan karena William Faulkner yang menempatinya, Rowan Oak tidak bakal seistimewa ini. Saya setuju. Tapi, lagi-lagi, di situlah saya melihat profil sebuah masyarakat yang begitu menghargai salah satu warganya, karena telah mengharumkan nama wilayahnya. Duh, dapatkah kita yang di Indonesia ini menghargai sastrawan kita dengan cara seperti ini? Saya tinggalkan Rowan Oak, sekaligus Oxford, dengan perasaan bersalah pada Pram, Rendra, Taufik Ismail, HB Jassin ... (000)communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-45165965291953127462007-08-05T01:33:00.000-07:002007-08-05T01:35:18.994-07:00Sejarah Sebagai Pengalaman 'Hidup'Sejarah Sebagai Pengalaman ‘Hidup’<br />(Jalan-jalan ke Museum Civil Rights Action di Amerika Serikat)<br />Oleh: Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si.<br /><br /><br />History must be remembered, so it won’t repeated again and again....<br />Sejarah harus diingat, hingga tak akan berulang kembali.<br /><br />Kata-kata ini rupanya terpateri betul dalam benak para pengelola museum di Amerika Serikat—khususnya museum-museum yang mengangkat peristiwa-peristiwa hitam dalam sejarah mereka. Museum dan sejarah bukanlah bagian dari proyek lupa. Karena itu, bekas-bekas luka akibat tragedi sejarah tak boleh disembunyikan, melainkan harus diekspos agar setiap orang mengetahui dan merasakan luka tersebut. Dengan demikian, di masa mendatang, luka semacam itu tak perlu terjadi lagi. Itulah pelajaran penting yang diperoleh dari kunjungan ke beberapa museum sejarah di Amerika Serikat.<br /><br />***<br /><br />Saya adalah bagian dari sebuah kelompok yang beranggotakan 15 orang, berasal dari tiga propinsi di Indonesia: Jawa Barat, Banten, dan Bangka Belitung. Kami terpilih sebagai peserta Community Leadership Program yang diselenggarakan oleh Heartland International dan Center for Civic Education pada bulan Mei 2007, yang berlangsung selama 3 (tiga) minggu. Selain menjalani orientasi tentang pendidikan di Chicago, kami juga dijadwalkan mengunjungi Memphis (ibukota negara bagian Tennessee); Clarksdale dan Oxford di Mississippi; Birmingham, Selma, dan Montgomery di Alabama; dan Atlanta sebagai ibukota negara bagian Georgia. Daerah-daerah ini dikenal sebagai wilayah Deep South, tempat pergolakan perjuangan anti diskriminasi rasial paling sengit terjadi di Amerika Serikat. Inilah oleh-oleh hasil berkunjung ke berbagai museum di sana.<br /><br />Sejarah Perjuangan Hak-Hak Sipil AS: Dua Tonggak Peristiwa<br />Sebelum saya ceritakan oleh-oleh dari kunjungan ke berbagai museum di Deep South, agaknya perlu saya paparkan sedikit sejarah perjuangan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Setidaknya ada dua peristiwa bersejarah yang dijadikan tonggak perjuangan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Pertama, Perang Sipil antara wilayah Utara dan Selatan (1861-1865) yang bertujuan menghapuskan perbudakan di seluruh Amerika. Kedua, perjuangan menghapuskan politik segregasi pada kurun waktu tahun 1950-1968. Politik segregasi adalah perbedaan hak dan diskriminasi rasial yang berujung pada pembedaan perlakuan antara warga kulit putih dan kulit berwarna di Amerika Serikat.<br />Walau terpisah nyaris seratus tahun, kedua peristiwa tidak terlepas satu sama lain. Pada dasarnya, baik Perang Sipil maupun perjuangan desegregasi merupakan upaya warga kulit berwarna atau Afro Amerika untuk menghilangkan diskriminasi rasial yang menindas mereka. Kedua peristiwa menuntut pengorbanan yang tidak sedikit. Apabila Perang Sipil memunculkan Abraham Lincoln sebagai martir dalam perjuangan hak-hak sipil, maka perjuangan desegregasi yang berlangsung seratus tahun sesudah era Lincoln memunculkan Dr. Martin Luther King, Jr. sebagai martirnya.<br />Dr. Martin Luther King, Jr. (www.news-service.stanford.edu)<br /><br />Motel Lorraine: Perjalanan Kilas Balik<br />Perjalanan kami menelusuri jejak-jejak perjuangan hak-hak sipil di AS ini merupakan sebuah kilas balik kehidupan Dr. Martin Luther King, karena diawali dengan kunjungan ke National Civil Rights Museum di Memphis. Di ibukota negara bagian Tennessee inilah Dr. Martin Luther King tewas ditembak. National Civil Rights Museum sendiri dulunya adalah sebuah motel, Motel Lorraine. Pasca penembakan Dr. King, Motel Lorraine masih sempat beroperasi sebelum akhirnya bangkrut. Pemiliknya lalu membentuk yayasan bersama sejumlah simpatisan Dr. King untuk menjadikan tempat itu sebagai museum.<br /><br />National Civil Rights Museum, bangunan setengah motel (v_ptourist.com)<br /><br /> Di museum inilah pertama kali saya menyadari bahwa sejarah bukan sekadar untuk diceritakan, dengan memajang artefak-artefak yang bisu. Tidak. Sejarah, agar bermakna, harus direkonstruksi menjadi sebentuk pengalaman yang mencubit keras pengunjungnya, sehingga memberkaskan kesan tak terlupakan.<br /> Memasuki Motel Lorraine yang telah disulap menjadi museum, kami berhadapan dengan tembok besar berwarna gelap, yang kalau didekati ternyata merupakan relief terdiri dari ribuan sosok manusia berduyun-duyun mendaki puncak-puncak karang. “Inilah gambaran ihwal sulitnya, dan pedihnya perjuangan menghapuskan diskriminasi rasial,” kata pemandu museum. “Anda bisa melihat, begitu banyak yang berjuang, terinjak-injak, untuk mencapai tempat yang setara, namun tak satupun yang berhasil mencapai puncak...” Sebuah gambaran yang betul-betul gamblang.<br />Dari situ, kami diajak memasuki sebuah studio kecil untuk menyaksikan dokumenter perjuangan desegregasi tahun 60-an di Amerika Serikat. Lewat dokumenter sepanjang delapan menit itu, pergolakan penghapusan diskriminasi rasial disampaikan secara ringkas, namun padat dan informatif. Dokumenter itu antara lain memperlihatkan peristiwa Boycott Bus di Montgomery, Freedom Ride di sepanjang jalur bis Greyhound di Selatan, March to Freedom dari Selma ke Montgomery di negara bagian Alabama, sampai pertemuan akbar di depan Lincoln Memorial di Washington DC., tempat Dr. King menyampaikan pidatonya yang termasyhur “I Have A Dream.”<br /><br />Tepat di belakang krans bunga itulah Dr. King ditembak. Salah satu sudut Motel Lorraine yang kini diabadikan sebagai museum, National Civil Rights Museum (<a href="http://www.bluejeans.com/">www.bluejeans.com</a>).<br /><br />Dari sana, kami menyusuri lorong demi lorong yang ditata untuk memperlihatkan kronologi penindasan terhadap warga Afro-Amerika di Amerika Serikat, yang dimulai di ‘Lorong Perkebunan.’ Sepanjang lorong ini, terdapat display berupa foto dan keterangan yang ditata secara menarik—sebuah cerita tentang tragedi perbudakan. Selain terdapat foto-foto peristiwa dan lukisan budak yang dirantai dan diperlakukan semena-mena, terpajang pula lukisan dan foto-foto para pejuang anti perbudakan generasi awal seperti Frederick Douglas, Harriet Tubman, dan Sojourner Truth.<br />Di lorong ini kami berhadapan dengan seorang laki-laki Afro-Amerika. Tadinya, kami kira orang ini sesama pengunjung museum. Tapi, begitu melihat kami, ia langsung mendekati kami dan bertutur. Katanya, ia seorang budak yang berasal dari masa lalu, masa perbudakan. Lewat mesin waktu, ia tak sengaja mampir di masa kita. Lalu ia bercerita tentang pedihnya perbudakan. Caranya berbicara, kostumnya yang compang-camping, ekspresinya yang masygul, dan aksennya yang khas Selatan ala budak perkebunan yang tak terpelajar (“My Missus,” “No, syeeehh...”) membuat saya merinding, karena ia betul-betul seperti budak yang tersesat ke dalam lorong waktu. Happening art yang keren ini berakhir setelah pada menit ke tujuh, ‘budak’ ini mengganggu orang-orang yang mengelilinginya dengan penegasan, “Kalian pikir kalian sekarang adalah manusia bebas? Tidak, kalian masih terbelenggu seperti kami. Kalian masih terbelenggu, kalau kalian hanya diam saja menyaksikan ketidakadilan berserakan di sekitar kalian!” Lalu budak ini terdiam, ekspresinya mendatar kembali. Ia berbalik menatap dinding, menghadapi display itu layaknya seorang pengunjung museum mengamati pajangan foto-foto di dinding. Kami bertepuk tangan kagum. Display itu tak lagi pajangan yang dingin! Seniman ini memberinya sentuhan makna yang membuat kisah-kisah selanjutnya yang kami baca menjadi hidup...<br /><br />Salah satu sudut National Civil Rights Museum: replica bis yang menggambarkan peristiwa Boycott Bus di Montgomery, dengan Ny. Rosa Parks sebagai tokoh utamanya (<a href="http://www.historycooperative.org/">www.historycooperative.org</a>).<br /><br />Lorong-lorong selanjutnya mengembangkan peristiwa demi peristiwa dalam sejarah perjuangan penghapusan politik segregasi, yang secara ringkas telah disampaikan oleh dokumenter tadi. Pada tempat-tempat tertentu, kami bertemu kembali dengan ‘tokoh-tokoh hidup’ yang menyajikan happening art seperti ‘budak’ tadi. Di lorong Boycott Bus yang mengenang peristiwa pemboikotan bis di Montgomery, kami bertemu dengan seorang nyonya dengan dandanan busana tahun 60an. Ia bertutur, “Hatiku sedih mendengar anak-anakku terus bertanya, Mami, aku capek berdiri terus di bis ini, mengapa bangku kosong itu tak boleh kita duduki? Mengapa kita mesti kehujanan di sini? Mengapa kita tidak boleh masuk ke kafe itu dan minum cokelat panas di sana? Tahukah kalian, semua itu ada tulisannya, FOR WHITE ONLY. Bagaimana aku harus menerangkan pada anak-anakku bahwa karena mereka black, maka mereka tak boleh masuk ke sana? Bagaimana harus kujelaskan pada mereka?”<br />Nyonya itu tidak berteriak-teriak, ia bicara dengan miris, dan tenggorokan saya tersekat mendengarnya. Jantung saya serasa dicekam. Mata saya berkaca-kaca. Kalau budak tadi membuat saya merasa marah pada tuan tanah perkebunan, nyonya ini dengan sukses membuat saya bisa merasakan pedihnya dibanting sebagai ‘bukan manusia.’<br />Ketika mendekati penghujung lorong yang menceritakan kiprah Dr. King sebagai pejuang hak asasi, kami melewati lorong yang di kiri-kanannya tak ada foto atau tulisan, tapi citraan orang-orang seukuran kami, dikelilingi wartawan foto yang sibuk memotret dan menebarkan blitz. Riuh rendah suasana yang dimunculkan audionya. Saya serasa melewati sebuah lorong mendaki... yang ternyata berujung pada sebuah mimbar tempat Dr. King berdiri, di depan Lincoln Memorial, untuk menyampaikan pidatonya yang terkenal. Rupanya, di sini kami diberi ‘pengalaman’ sebagai orang yang turut hadir dalam March di Washington pada tahun 1967! Ada screen besar yang menampakkan Dr. King dalam peristiwa bersejarah tersebut. Suara Dr. King terdengar lantang, “Free at last. Free at last. Thanks God Almighty, we are free at last!” Gemuruh yang lantas dimunculkan oleh audio, merekam gegap gempita suasana ketika itu, sungguh menggetarkan hati. Sensasinya luar biasa. Kami serasa menjadi bagian dari perjuangan hak asasi manusia ketika itu—menjadi bagian dari sebuah sejarah yang mengubah dunia. Wow!<br />Tak cukup dua jam dihabiskan di museum itu. Saya sungguh terkesan berada di sana. Cara museum menyiapkan artefaknya betul-betul luarbiasa, hingga seorang outsider dalam sejarah Amerika dengan penguasaan bahasa Inggris pas-pasan seperti saya, bisa terlibat langsung dalam rekonstruksi sejarah, dan merasakan gelora serta emosi dari peristiwa-peristiwa bersejarah yang dihadirkan di sana. National Civil Rights Museum kini menjadi bagian penting dari perjuangan hak sipil dunia, karena dikembangkan pula sebagai Center for Civil Rights Action yang mendokumentasikan perjuangan hak asasi manusia di seluruh dunia. Setiap tahun, organisasi ini juga memberikan Freedom Award kepada tokoh-tokoh yang dianggap berjasa memperjuangkan hak asasi manusia di seluruh dunia.<br /><br />Slavery and Civil War Museum : Menjadi Budak!<br />Selain National Civil Rights Museum di Memphis, kami juga berkunjung ke Slavery and Civil War Museum—sebuah museum yang didedikasikan untuk merekam tragedi perbudakan yang memicu Perang Sipil. Letaknya di kota Selma, Alabama. Joanne Harris, pemandu tur kami di kota Selma, sebelumnya wanti-wanti memberitahu kalau di sana nanti kami akan bertemu dengan “ ... a wacko.” Orang gila. “Turuti saja apa maunya, kalian akan baik-baik saja,” katanya. Wah, bikin dag dig dug saja. Betul juga, di depan museum yang tampak kumuh, seorang wanita Afro-Amerika bersurban warna-warni, tinggi besar, dengan rambut dikepang kecil-kecil yang ujungnya diikatkan pada kerang-kerang, menyambut kami dengan tampang sangar. Sebelumnya ia tampak beradu mulut dengan Joanne, kelihatan tak senang dengan kedatangan kami.<br /><br />Saya dan rekan saya, Kiki, berfoto di depan Slavery and Civil War Museum di Selma, Alabama. Yah, tampilan depannya memang begitu doang... Tapi, pengalaman di dalamnya, sungguh berkesan! (Dokumentasi: pribadi).<br /><br /> Begitu turun dari bis, perempuan ‘gila’ tersebut langsung membentak-bentak kami sambil meneriakkan serangkaian perintah. Dengan bahasa pas-pasan, dibantu oleh penerjemah kami yang juga mengalami perlakuan serupa, kami dibariskan menjadi dua, masing-masing diperintahkan masuk ke sebuah ruang gelap dengan kepala menunduk, badan menempel menghadap di dinding. Satu persatu kami ditarik, dipisahkan memasuki bilik kecil yang betul-betul pekat tanpa cahaya—inilah, katanya, bilik hukuman untuk para budak yang nakal. Saya berbisik-bisik dengan beberapa teman mencoba menerka adegan berikutnya, tapi langsung dibentuk oleh perempuan ini. Kami tahu sedang menjalani rekonstruksi menjadi budak atau warga Afro-Amerika di era segregasi. Tapi kami tak punya bayangan selanjutnya akan ‘diapakan.’ <br /> Dari ruangan itu, kami digiring masuk ke sebuah ‘kapal’—inilah adegan penculikan suku-suku pedalaman Afrika. Penyiksaan, penderitaan di dalam kapal, seperti borok yang bernanah, kanibalisme, perkosaan dan budak-budak perempuan yang melahirkan dalam kondisi mengenaskan, mengingatkan pada adegan serupa yang difilmkan Steven Spielberg dalam “Amistad.” Di sela-sela narasinya, perempuan ini menyanyikan petikan-petikan tembang soul yang menyayat. Suaranya boleh juga, tak kalah dengan Aretha Franklin. <br />Begitulah, ringkasnya, satu demi satu adegan perbudakan kami jalani. Kami berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, kadang-kadang mendengarkan suara tangis menyayat dan gedebak-gedebuk orang dipukuli. Klimaksnya adalah pada adegan lelang di pasar budak.<br />Sekitar 30 menit kami menjalani drama ini, sebelum akhirnya di satu ruangan, lampu dinyalakan. Kegelapan yang selama ini melingkupi pun sirna. Inilah babak baru dari drama kami. Ternyata, kami semua sudah dikumpulkan berkeliling di ruang besar. Perempuan ‘gila’ itu ada di antara kami. Dengan ramah, penuh senyum, ia memperkenalkan diri. “Sister Avery”, begitulah ia menyebut diri, adalah seorang artis teater dari Memphis yang selama dua tahun ini merancang dan melaksanakan kegiatan sosiodrama perbudakan yang kami jalani. “Saya ingin menyampaikan pesan anti perbudakan pada setiap orang, agar kita semua menjalani hidup dengan penuh kasih sayang, memperlakukan setiap orang dengan setara,” katanya. “Kita semua punya Tuhan, dan kepada Dia kita semua berpaling ketika mengalami penderitaan. Saya ingin menyampaikan pesan bahwa berkat Dia, kita semua dimungkinkan untuk mencapai segalanya.” Sesungguhnya, pesan seperti ini kerap saya dengarkan dalam ceramah ustadz-ustadz di Indonesia. Tapi, pesan kali ini terasa mengesankan karena disampaikan dengan cara yang tidak biasa.<br /><br />Sister Avery (blus ungu), Joanne (paling kanan) dan ‘korban-korbannya’ (Dok. Pribadi)<br /><br /> Keluar dari museum itu, hati ini terasa ringan. Semangat untuk menjadi manusia yang lebih baik, dan menjadikan dunia ini lebih baik lagi, terasa bergelora. Inilah buah dari kunjungan ke museum. Tidak cuma mendapatkan pengetahuan, tapi pengunjung juga diajak menangkap spirit yang membuat ihwal yang di’museum’kan menjadi sangat bermakna, dan lebih penting lagi, kontekstual untuk masa sekarang.<br /><br /> Itulah sekilas oleh-oleh dari jalan-jalan ke museum Amerika Serikat. Kalau sekarang museum-museum kita masih bermain-main dengan display berupa artefak yang bisu, atau diorama-diorama, bolehlah kini coba digagas momen-momen menarik yang bisa disosiodramakan guna memberi makna lebih bagi pengunjung yang hadir di sana (000)communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-56605021740490253702007-08-05T01:16:00.001-07:002007-08-05T01:16:07.083-07:00communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-20127751226925053372007-08-05T01:10:00.000-07:002007-08-05T01:17:51.450-07:00BERITA TV: Sebuah Sirkus di Layar KacaBerita TV: Sebuah Sirkus di Layar Kaca<br />Santi Indra Astuti<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br /><br />Rabu, 30 November 2005 silam, memang bukan hari biasa bagi Probosutedjo. Inilah hari di mana pengusaha yang namanya dekat dengan panggung kekuasaan Orde Baru tersebut akan menjalani eksekusi vonis pengadilan 4 tahun penjara. Bagi pers, peristiwa ini juga bukan kasus biasa—inilah sebuah ujian atas cita-cita penegakan supremasi hukum di Indonesia tatkala berhadapan dengan kekuasaan ekonomi, politik, dan mungkin juga ideologi. Tak heran jika liputan seputar eksekusi ini menempati posisi eksklusif—banyak stasiun televisi menempatkannya sebagai headline news, atau breaking news, memotong acara-acara yang sedang ditayangkan sekitar siang hingga malam hari.<br />Tapi apa yang tampak di layar kaca dalam liputan berita TV tentang eksekusi Probosutedjo? Sebuah gambaran kekacauan dan hiruk pikuk. Bentrokan yang melibatkan aparat keamanan rumah sakit, atau mungkin bodyguard Probosutedjo, berhadapan dengan puluhan wartawan bersenjata kamera. Ruang sempit yang penuh orang, sama-sama ngotot. Wajah-wajah emosi, action seru saling kejar-kejaran, teriakan-teriakan memperingatkan dan saling ancam dari kedua belah pihak, tangan terkepal dan kamera berseliweran tak tentu arah. Wartawan-wartawan tampak siap berkelahi. Aparat tampak siap meladeni ‘tantangan’. Polisi-polisi kebingungan... semua ini membuat kita tak habis pikir: apa sih sebenarnya yang mau diberitakan di sini? Berita macam apa yang hendak disuguhkan di sini? Pesan apa intinya yang mau disampaikan? Kecuali action siap perang dari wartawan mau pun pengawal-pengawal Probo, tidak terlihat substansi penting dari berita yang ditayangkan sebagai liputan utama berbagai media. Lantas, saat Probosutedjo akhirnya keluar dan melaksanakan perintah eksekusi pengadilan di tengah hiruk-pikuk itu, rasanya kita tidak sedang menyaksikan liputan jurnalistik yang informatif, melainkan sebuah sirkus yang sensasional dan ingar-bingar! Inikah jurnalisme TV? Seperti inikah mutu pemberitaan televisi?<br /><br />Jurnalisme TV<br />Pertanyaan seputar kualitas pemberitaan tivi bukan sesuatu yang baru. Sudah lama para periset media menyoal mutu jurnalisme televisi dalam praktik pemberitaan. Beberapa di antaranya, seperti dikumpulkan oleh John Langer dalam “Tabloid Television” (1998) menjabarkan kritik-kritik atas berita televisi sbb.<br />Pertama, berita televisi dikatakan sebagai komoditas yang diproduksi oleh para manajer berorientasi pasar yang mengorbankan tanggungjawab dan integritas jurnalistik demi memenangkan kompetisi.<br />Kedua, berita televisi disinyalir lebih merupakan bisnis hiburan yang berupaya mengumpulkan khalayak demi kepentingan komersial. Berita, dengan demikian, bukan sebentuk pengabdian atas idealisme jurnalistik.<br />Ketiga, berita televisi telah mengesampingkan nilai-nilai jurnalisme profesional demi menyajikan apa yang disebut Langer sebagai ‘gratuitous spectacles’—gambaran-gambaran nan tak perlu.<br />Akibatnya, berita televisi terasa membingungkan, bak potongan teka-teki rumit tak terselesaikan karena dipenuhi emosionalisme yang mengambang, juga “...eksploitatif” (Langer, 1998). Mengapa pemberitaan di televisi bisa menghadirkan kritik sedemikian keras, padahal praktiknya mengikuti langkah-langkah pelaporan jurnalistik sebagaimana media pers lainnya?<br />Salah satu sebabnya, berita televisi terlalu bergantung pada citra-citra yang difilmkan (filmed images) sehingga kekurangan kandungan informasi. Selain itu, rutinitas media dalam praktik pemberitaan televisi mengerangka pemberitaan dalam hitungan durasi yang sangat sempit—sekitar 60 hingga 90 detik per 1 item berita, sementara ruang yang tersedia untuk segmen berita tak lebih dari 30 menit, itu pun sudah dikurangi space untuk iklan.<br />Tentu saja, hal tersebut tak bisa dijadikan poin untuk tawar-menawar. Idealisme jurnalisme bagaimana pun harus ditegakkan, betapa pun sulitnya. Sayangnya, realitas menunjukkan, pemberitaan TV adalah bagian dari sebuah mesin besar bernama industri media, yang di dalamnya tercakup pasar yang dibentuk lewat supply dan demand. Maka, hitung-hitungannya jadi lain, karena pasar yang mengerangka industri televisi berada dalam mekanisme rating. Produk apa pun, ketika masuk dalam mekanisme rating, mau tak mau harus berjuang untuk meraih sebanyak mungkin penonton agar meraih peringkat rating setinggi mungkin. Apa boleh buat, sampai di sini, stasiun televisi terpaksa harus mengucapkan selamat tinggal kepada etika dan idealisme jurnalistik.<br /><br />Membenahi Kualitas: Bisa!<br />Jika kemerosotan kualitas pemberitaan semata-mata disebabkan oleh mekanisme rating yang membelenggu idealisme pemberitaan, tak dapatkah kedua hal tersebut didamaikan? Kendati (mungkin) butuh waktu lama, jawabannya adalah ‘bisa!’<br />Pertama, stasiun televisi harus mengubah paradigma bahwa semua produk televisi harus menghasilkan untung. Untuk itu, jangan bebani divisi pemberitaan dengan target-target rating. Kalau mau cari duit, stasiun televisi bisa memanfaatkan produk lain yang memang ditujukan untuk menghibur dan cari untung—film, sinetron, reality show, kuis-kuis, dsb.<br />Kedua, benahi manajemen dan kualitas sumber daya manusia. Cari manajer yang tidak semata-mata berorientasi pasar, tapi punya visi jurnalistik yang jelas. Kumpulkan kru yang benar-benar bermutu untuk menjalankan tugas-tugas jurnalistik. Jangan asal saja merekrut—pekerjaan jurnalistik tidak boleh dipandang sebelah mata, karena di sinilah integritas sebuah media dipertaruhkan di muka publik. Tentu saja, tuntutan ini berimplikasi pada sekolah-sekolah jurnalistik agar membenahi pula kurikulum, pengajaran dan kualitas pengajar jurnalistik—jangan cuma bersemangat mengumpulkan mahasiswa baru, tanpa memikirkan kualitas output-nya kelak.<br />Ketiga, didik publik untuk menjadi masyarakat yang cerdas informasi sekaligus melek media. Sudah saatnya televisi berhenti berdalih sebagai ‘jendela informasi’ yang hanya merefleksikan ‘realitas apa adanya’. Salah. Lewat proses seleksi, penyaringan, dan penstrukturan realitas sebelum menjadi produk yang disebut ‘berita’, televisi telah melakukan praktik-praktik ‘framing’—pengerangkaan wacana. Praktik ini menggiring khalayak pada makna-makna tertentu, opini publik tertentu, bahkan diam-diam memobilisasi publik untuk mencapai konsensus-konsensus tertentu ihwal yang normal dan tidak normal, yang penting dan tidak penting, yang substansial dan yang remeh-temeh, tanpa disadari.<br />Tentu saja upaya ini tidak bisa semata-mata disandarkan pada kesadaran televisi, tapi juga harus didukung oleh kemauan politik pemerintah dan kesadaran publik guna menuntut yang terbaik bagi mereka. Karena itu, sebagai khalayak yang diposisikan aktif, sudah semestinya kita mencermati dan mengkritisi secara aktif apa pun yang disodorkan televisi kepada kita. Dengan cara ini, niscaya kita bisa membantu televisi membenahi diri.<br /><br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA), Departemen Jurnalistik. Saat ini tergabung sebagai peneliti tamu LIPI dalam kajian seputar media dan khalayak. E-mail <a href="mailto:dyaning2001@yahoo.com">dyaning2001@yahoo.com</a>, no telp 081584053900/0274-897486communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-60323741089582062862007-08-05T00:54:00.000-07:002007-08-05T01:22:06.181-07:00MEDIA LITERACY: Mendidik Masyarakat Cerdas di Era InformasiMEDIA LITERACY:<br />MENDIDIK MASYARAKAT CERDAS DI ERA INFORMASI<br />Oleh<br />Santi Indra Astuti, S.Sos.<br /><br />ABSTRAK<br /><br />Pelbagai makna dilekatkan pada pendidikan. Mulai dari pendidikan sebagai kunci kemajuan peradaban bangsa, pendidikan sebagai sarana peningkatan kualitas SDM, serta pendidikan sebagai proses sosialisasi nilai-nilai budaya, sekaligus sarana ampuh untuk mengindoktrinasikan ideologi. Apapun makna pendidikan, posisinya tergolong sentral di tengah masyarakat, mengingat fungsinya selaku pranata cultural maintenance dalam sistem sosial. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan mendapatkan tantangan serius, ketika masyarakat bertransformasi menjadi masyarakat media yang hidup di era Informasi. Di era ini, media muncul sebagai sentra pendidikan keempat dalam ruang pendidikan secara keseluruhan, yang sebelumnya hanya diisi oleh sentra keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tantangan yang muncul bersumber dari dominasi media massa dalam kehidupan publik, yang ketika posisinya bergeser menggantikan peran sentra pendidikan lainnya, disinyalir telah menyajikan kurikulum tersembunyi –the hidden curriculum—lewat kandungan isinya yang tidak mencerdaskan khalayak. Tantangan ini dapat diatasi lewat gerakan media literacy—sebuah konsep keberaksaraan (literacy) yang diterapkan pada media massa. Melalui gerakan ini, masyarakat diajak untuk memahami bahwa media massa sesungguhnya tidaklah netral, melainkan ajang kontestasi pelbagai kepentingan sosial ekonomi politik. Bahwa media sesungguhnya bukan sekadar alat kontrol sosial dan cermin realitas, melainkan punya peran dalam mengonstruksi realitas sosial secara subjektif. Lewat upaya penyadaran semacam ini, gerakan media literacy berkehendak mendidik masyarakat guna<br />memanfaatkan informasi dan kandungan media lainnya sesuai dengan keperluannya. Lebih jauh lagi, gerakan ini bermaksud mendidik masyarakat agar mampu bersikap kritis dan bijak dalam menghadapi banjir informasi dan upaya media massa mendominasi kehidupan masyarakat sehari-hari.<br />I. Pendahuluan<br />Pendidikan di Indonesia mendapatkan tantangan yang serius, dengan munculnya pelbagai krisis yang melanda nyaris semua tataran kehidupan berbangsa dan bernegara. Mulai dari mismatch kurikulum serta penerapan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang dinilai masih belum sesuai, kekeliruan menerjemahkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), kesejahteraan guru serta fasilitas sarana dan prasarana yang tidak merata dan tidak memadai di sebagian besar kawasan, sampai pada fenomena kapitalisme pendidikan yang marak terjadi ketika komersialisasi dan komodifikasi pendidikan mengalahkan misi sosial kultural edukatif yang semestinya diemban oleh pranata pendidikan. Tantangan tersebut bisa dikatakan bersifat multidimensi, seperti halnya pendidikan itu sendiri yang merupakan aktivitas multidimensi.<br />Iklim dan situasi yang dihadapi oleh masyarakat masa kini memang sudah jauh berubah dan tak bisa disamakan lagi dengan keadaan dahulu. Pelbagai paradigma pendidikan mendapatkan tantangan yang serius ketika berhadapan dengan kondisi zaman yang bergerak maju. Pendidikan sebagai sarana belajar kian mendapatkan tantangan, ketika di zaman sekarang masyarakat bertransformasi menjadi apa yang disebut-sebut oleh para futurolog seperti Alvin Toeffler maupun Naisbitt sebagai “Masyarakat Informasi”, atau era yang oleh para teorisi teknologi komunikasi seperti Marshall McLuhan dan Regis Debray dinyatakan sebagai “The Age of Media Society.”<br />Tantangan yang persisnya dihadapi oleh dunia pendidikan di tengah situasi semacam ini persisnya dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pendidikan merupakan institusi yang penyelenggaraannya umumnya dilaksanakan oleh pranata-pranata pendidikan seperti sekolah, lembaga adat dan lembaga agama, sesuai dengan salah satu fungsi pendidikan, yaitu meningkatkan kualitas kemanusiaan siswa didik melalui sosialisasi pengetahuan dan nilai-nilai (cultural maintenance). Albert Bandura melalui teori Social Learning yang populer pada dekade 1960an memperlihatkan bahwa seiring dengan maraknya media massa, maka lembaga tersebut (media massa) menjadi alternatif media belajar baru bagi masyarakat. Kenyataan ini kian menguat ketika kehadiran media massa semakin mendominasi kehidupan masyarakat. Di Amerika Serikat, fakta memperlihatkan bahwa rata-rata orang dewasa menghabiskan waktu selama 4 jam di depan layar televisi—4 jam bukan waktu yang sedikit bila dibandingkan dengan waktu yang harus dihabiskan untuk bekerja (6-8 jam), tidur (4-6 jam) dan menjalankan fungsi sosial maupun individual lainnya (Zillman, 2002). Data lembaga riset pemasaran MARS tahun 2000 memperlihatkan, rata-rata waktu yang dihabiskan oleh penduduk dewasa Indonesia di depan televisi juga berkisar 4 jam sehari. Jumlah yang dihabiskan anak-anak diperkirakan lebih banyak lagi, mengingat “...anak-anak pada masyarakat modern meluangkan jauh lebih banyak waktu di depan televisi, play station, internet, atau online game dibanding dengan orangtuanya” (Lie, 2004).<br />Inilah sebentuk tantangan yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia dari sektor media. Idealisme pendidikan yang menawarkan nilai-nilai kultural dihadapkan pada saluran lain yang menawarkan ragam nilai lain, yang sayangnya, menyimpang jauh dari idealisme keluhuran budi pekerti dan intelektual. Media massa menawarkan hidden curriculum dengan agenda ekonomi politik: penguasaan kesadaran dan tingkat konsumsi tinggi. Sialnya, di tengah ruang yang bebas diisi oleh siapa saja dalam sistem yang demokratis, media massa malah mendominasi ruang dan waktu kita.<br />Maka, pertanyaannya adalah, bagaimana hendaknya dunia pendidikan mengantisipasi atau mengatasi tantangan yang bersumber dari dominasi media massa dalam kehidupan masyarakat saat ini? Solusi apa yang bisa diajukan untuk ‘menyelamatkan’ dunia pendidikan dari fenomena maraknya media massa yang mendominasi kehidupan masyarakat? Memusuhi media massa, berkompromi dengan media massa, menafikan dan menyingkirkan media massa, atau, adakah alternatif lain yang lebih reasonable? Karya tulis ini mencoba untuk menelusuri permasalahan yang terjadi, serta mencari jalan keluar yang bisa dimanfaatkan bersama guna meningkatkan kinerja pendidikan untuk pemberdayaan dan peningkatan kualitas bangsa melalui konsep media literacy—sebuah konsep ‘melek media’ yang diupayakan menjadi agenda nasional sehingga memungkinkan untuk diintegrasikan dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam kurikulum pendidikan nasional.<br /><br />II. Perumusan Masalah<br />2.1. Perumusan Masalah<br /><br />Bertitiktolak dari permasalahan dan latar belakang di atas, maka masalah dirumuskan sbb. “Bagaimana dunia pendidikan mengantisipasi atau mengatasi tantangan yang bersumber dari dominasi media massa dalam kehidupan masyarakat saat ini? Solusi apa yang bisa diajukan untuk ‘menyelamatkan’ dunia pendidikan dari dominasi media massa dalam kehidupan masyarakat?”<br /><br />2.2. Identifikasi Permasalahan<br /><br />1. Mengidentifikasi permasalahan yang melibatkan dunia pendidikan dan media massa dalam konteks krisis pendidikan dewasa ini.<br />2. Memberikan alternatif solusi bagi dunia pendidikan Indonesia guna mengatasi tantangan yang bersumber dari dominasi media massa dalam kehidupan masyarakat saat ini.<br />3. Menjelaskan konsep-konsep media literacy sebagai alternatif solusi yang applicable bagi dunia pendidikan sesuai dengan kondisi masyarakat sehari-hari.<br /><br />III. Tujuan dan Manfaat Penelitian<br />3.1. Tujuan Penelitian<br />1. Mengidentifikasi permasalahan yang melibatkan dunia pendidikan dan media massa dalam konteks krisis pendidikan dewasa ini.<br />2. Memberikan alternatif solusi bagi dunia pendidikan Indonesia guna mengatasi tantangan yang bersumber dari dominasi media massa dalam kehidupan masyarakat saat ini.<br />3. Menjelaskan konsep-konsep media literacy sebagai alternatif solusi yang applicable bagi dunia pendidikan sesuai dengan kondisi masyarakat sehari-hari.<br /><br />3.2. Manfaat Penelitian<br />1. Secara praktis dapat memberi solusi-solusi yang dapat diterapkan oleh dunia pendidikan Indonesia terhadap siswa didik, tatkala berhadapan dengan krisis akibat dominasi media massa dalam kehidupan masyarakat, dengan memanfaatkan aspek-aspek pendidikan seperti kurikulum, sumberdaya, dan sarana dan prasarana yang ada. Solusi ini diharapkan juga bersifat applicable bagi media massa pada umumnya.<br />Secara teoritis memperluas horison kajian dunia pendidikan dan media massa, dengan memperkenalkan sejumlah konsep dan cara pandang baru dalam memaknai hubungan antara dunia pendidikan dan media massa.<br /><br />IV. Metode Penelitian<br />4.1. Metode Penelitian<br />Penelitian ini bertitiktolak dari paradigma kualitatif. Mulyana (2002) menyatakan, metode penelitian kualitatif tidak menggunakan inferensi statistik untuk melakukan penarikan kesimpulan. Dengan perspektif emik (dari dalam), metode penelitian kualitatif berusaha menjelaskan permasalahan berdasarkan data-data secara kualitatif, disesuaikan dengan tujuan dan perumusan masalah penelitian. Terdapat tiga konsep yang akan diteliti dalam riset ini: pendidikan, media massa, dan media literacy. Mengingat luasnya konsep yang diteliti maka penelitian kualitatif ini bisa dikatakan semi multiexplorative analysis, karena melibatkan unit analisis yang berbeda-beda. Konsep-konsep ini akan ditelaah melalui metode kajian literatur atau library research.<br />Kelayakan library research sebagai suatu metode penelitian dinyatakan Berger, mengutip Komidar dalam Goode & Hatt (1952) sbb. “...all research inevitably the use of the book, pamphlet, periodical, and documentary materials in libraries. This applies to studies based on original data gathered in a field study as well as those based entirely upon documentary sources (Berger, 1998:80).” Kajian pustaka digunakan pertama kali sebagai dasar untuk mengorientasikan permasalahan. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan library research sebagai metode untuk menjelaskan permasalahan dan mencari solusinya. “The purpose of library search ... is to obtain enough relevant information from experts and other reliable sources to help answer some question (Berger, 1998:79).”<br />Sebagai sebuah kajian kualitatif, penelitian ini masih jauh dari standar yang layak. Kendati demikian, hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai titik tolak atau sensitizing concepts untuk melakukan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif terkait dengan masalah peningkatan kualitas pendidikan dan di tengah dominasi media massa.<br /><br />4.2. Teknik Pengumpulan Data<br />Sebagai penelitian yang bertitiktolak dari kajian literatur, maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri sumber-sumber kepustakaan terkait berkenaan dengan permasalahan penelitian. Data primer yang dikumpulkan bersumber dari media massa seperti surat kabar dan majalah, buletin, data-data internet, dan buku-buku textbook terkait topik penelitian.<br /><br />4.3. Teknik Analisis<br />Teknik analisis didasarkan pada pola abduksi, yaitu mengolah dan mengungkapkan data sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan permasalahan penelitian (Yin, 1998).<br /><br />V. Tinjauan Teoretis<br />5.1. Silang Sengkarut Dunia Pendidikan<br />Pendidikan merupakan kunci kemajuan peradaban. Pendidikan juga merupakan indikator kualitas sebuah bangsa. Bangsa berkualitas tinggi ditandai oleh indeks pendidikan yang tinggi. Ini antara lain diformalkan melalui indikator HDI (Human Development Index) yang dikeluarkan PBB setiap tahun, di mana tahun ini Indonesia menempati posisi 111 (terpaut satu angka di atas Vietnam pada 2003).<br />Pendidikan sendiri dimaknai dalam banyak hal. Dari perspektif kultural, pendidikan adalah proses kultivasi gagasan-gagasan evolusi—yaitu gagasan yang senantiasa ditujukan untuk membuat perubahan-perubahan positif. Meminjam kesimpulan Dr. Andar Ismail (1997), belajar adalah mengubah keseanteroan diri; belajar adalah mengubah diri menjadi manusia baru (Pongtuluran 2000). Maka jelaslah bahwa pendidikan maupun belajar merupakan aktivitas yang bersifat multidimensi. Dengan karakteristik multidimensi sedemikian, maka berbicara mengenai pembangunan dan pembenahan pendidikan mestinya tidaklah setengah-setengah, melainkan harus dalam kerangka multidimensi.<br />Secara konstitusional, Pemerintah Indonesia menjadikan pendidikan sebagai salah satu tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 45 yang kutipannya berbunyi “... mencerdaskan kehidupan bangsa.” Tujuan ini diimplementasikan dalam program-program pembangunan, mulai dari REPELITA hingga PROPENAS 2004 yang menjadi acuan pembangunan sektor pendidikan paling mutakhir. Namun, bagaimana sesungguhnya kondisi dunia pendidikan di Indonesia?<br />Tanpa bermaksud menafikan prestasi cemerlang para pahlawan di dunia pendidikan, agaknya mesti diakui kalau nyaris semua media membicarakan fenomena yang sama: bahwa pendidikan Indonesia sedang terpuruk, bahwa krisis multidimensi yang parah tengah melanda dunia pendidikan Indonesia, bahwa pendidikan Indonesia tak punya arah, visi dan misi yang jelas. Kenyataan menunjukkan, dana APBN yang diperuntukkan bagi pendidikan tak lebih dari 4 persen setiap tahun, masih jauh dari cita-cita Mendiknas Malik Fadjar sebesar 20 persen dari keseluruhan APBN.<br />Kesadaran masyarakat untuk membiayai sendiri pendidikan putra-putrinya cukup tinggi, dan diantisipasi dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan swasta. Sayangnya, kurangnya kontrol dan pembinaan menyebabkan lembaga pendidikan swasta banyak yang akhirnya terjebak dalam komersialisasi semata. Indikatornya terlihat jelas ketika lembaga pendidikan swasta menjerit kekurangan siswa tahun-tahun belakangan ini, dan gencar beriklan untuk menarik minat mahasiswa baru (Astuti, 2003). Nyatalah bahwa ternyata pemasukan utama, dan kemungkinan satu-satunya, hanya bersumber dari tuition fee yang dibayarkan oleh para siswa. Pada kondisi sedemikian, tentu sulit ditepis anggapan bahwa siswa dijadikan sapi perahan dalam bisnis pendidikan.<br />Kondisi ini berimbas pada merosotnya mutu pendidikan di Indonesia, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga lain. UI, barometer universitas multidisiplin di Indonesia, hanya menempati peringkat 61 dalam daftar universitas terbaik di Asia versi Asiaweek 2000. UGM di peringkat 68, Undip di peringkat 77, Unair di peringkat 75—Unpad malah tidak disebut-sebut sama sekali. Untuk kategori universitas sains dan teknologi, ITB berada di peringkat 21, kalah dari Universitas Nasional Sains dan Teknologi Pakistan—sebuah negeri yang hingga kini dililit ancaman perang saudara, kekerasan, kemiskinan, dan intrik politik yang lebih parah daripada Indonesia. Pendidikan di Indonesia pun kalah dari India. Walaupun peringkat HDI (Human Development Index)-nya jauh di bawah Indonesia, namun India mampu mengekspor sarjana-sarjana IT (information technology) dan sarjana-sarjana bidang lain yang cerdas ke negara-negara Barat<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a>. Para ahli dan punya nasionalisme tinggi, sehingga setelah kaya kembali lagi ke negaranya untuk menanamkan investasi di sebuah kawasan yang disebut-sebut sebagai Lembah Silikon-nya Asia.<br />Tidak ada pendidikan yang murah. Masalahnya adalah, siapa yang harus membayarnya? Kewajiban pemerintah adalah menjamin setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dasar dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Sayangnya, kehendak meningkatkan anggaran pendidikan hingga 20 persen, seperti dinyatakan Mendiknas Malik Fadjar, baru sebatas angan. Tak salah bila Toenggoel Siagian, pejabat Direktur Eksekutif Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD), menyatakan bahwa “Pendidikan di Indonesia hanya dianggap sebagai ritus pendewasaan. Tidak lebih dari itu” (Kompas, 4 September 2004).<br /><br />5.2. Media Massa<br />Media, dalam pengertian tradisional, dimaknai sebagai “...something that carries some kind of communication (Berger, 2003:22).” Pengertian ini mengarahkan kita pada definisi lain yang tak kalah penting tatkala berbicara tentang media, yaitu komunikasi. Komunikasi adalah kegiatan yang melibatkan pengiriman pesan dari sumber ke penerima yang dapat mendekode atau memahami pesan yang telah dikirimkan. Nyatalah di sini bahwa media tidak sekadar membawa “teks”, tetapi juga mempengaruhi teks-teks ini dengan pelbagai cara.<br />Media komunikasi meliputi banyak hal, mulai dari suara kita sendiri, badan kita selaku pengirim pesan, hingga video dan internet. Namun, yang menjadi concern kita adalah media massa. Technically speaking, media massa adalah perangkat dari komunikasi massa, yang—berbeda dengan bentuk komunikasi lainnya—melibatkan aktivitas pengiriman pesan secara terbuka, serempak, pada khalayak secara meluas. Sepintas, tak ada yang ‘berbahaya’ dengan hal ini. Kendati demikian, permasalahan mulai timbul ketika media massa yang mulai mendominasi kehidupan masyarakat tampil dengan content yang menjauhkan kita dari cita-cita menciptakan public sphere yang sehat.<br />Klasifikasi media massa sangat beragam. Klasifikasi klasik membedakan media massa dalam jenis media cetak, media elektronik audio (radio), dan media elektronik audivisual (televisi). McLuhan datang membawa klasifikasi tersendiri. Ia membedakan media dalam terminologi hot media vs. cool media. Hot media ditandai dengan high definition—suatu kondisi yang menjadikan media ybs dipenuhi data, namun hanya sedikit melibatkan partisipasi pemakainya. Contohnya radio, film, album foto, dan sebagainya. Cool media, di sisi lain, adalah media low definition—data sedikit, namun ditandai dengan tingkat partisipasi pemakai yang tinggi. Contohnya telepon, show televisi, dialog, dan sebagainya. Saat ini, dengan berkembangnya internet, klasifikasi-klasifikasi komunikasi mau tidak mau harus direorganisasi. Fiddler dalam bukunya “Mediamorphosis” (2003) menawarkan klasifikasi baru yang membedakan media komunikasi dalam domain teks dan domain penyiaran—internet termasuk ke dalam domain terakhir ini.<br />Dalam karya tulis ini, istilah ‘media’ maupun ‘media massa’ dipertukarkan secara bebas, dan digunakan untuk memaknai media sebagai perangkat komunikasi massa, semata-mata demi alasan kemudahan saja. Namun dalam kaitannya dengan media literacy, media dimaknai sebagai : (1) Alat dan materi untuk mentransmisikan informasi; (2) Medium untuk merekam dan melindungi informasi; (3) Informasi atau pesan-pesan yang didistribusikan di media (MPT, 2002).<br /><br />5.3. Media Literacy<br />Media literacy dikonsepkan sebagai “...the ability to access, analyse, evaluate and create messages across a variety of contexts (Livingstone, 2003)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a>.” Wikipedia, the free encyclopedia, menyebutkan bahwa media literacy adalah ketrampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian.<br />Konsep media literacy pertama kali diperkirakan muncul pada tahun 1980an, dan kini telah menjadi standar topik kajian di sekolah-sekolah berbagai negara. Secara logis dapat dipahami, konsep ini tidak muncul dari kalangan media, melainkan dari para aktivis dan akademisi yang peduli dengan dampak buruk media massa yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan kapitalis hingga menafikan kepentingan publik.<br />Pemikiran sejumlah tokoh komunikasi-filosof terkemuka memicu lahirnya konsep media literacy. Sonia Livingstone (2004) mencatat sosok-sosok seperti teorisi komunikasi Kanada Marshall McLuhan<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a>, ahli linguistik Kritis Amerika Noam Chomsky<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a>, filosof Prancis Jean Baudrillard<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a>, kritikus komunikasi Amerika Serikat Neil Postman<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a>, dan perintis media education Amerika: Renee Hobbs<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a>. Landasan teoritis media literacy sendiri bersumber dari tradisi pemikiran Kiri, yang berkembang dalam cultural studies (Leftist Cultural Studies). Seperti diungkapkan Livingstone (2004), media literacy adalah “... a synthesizer of media education projects dating back to 1920s ... act as an umbrella term for teaching practices that make students aware of the construct of mass media.”<br />Media literacy kerap disalahkaprahkan dengan media education. Sesungguhnya, media literacy perlu dibedakan pengertiannya dari media education. Media literacy bukanlah media education, kendati yang terakhir ini kerap menjadi bagian dari yang pertama. Media education memandang media dalam fungsi yang senantiasa positif, yaitu sebagai a site of pleasure—dalam berbagai bentuk. Sedangkan media literacy yang memakai pendekatan inocculationist berupaya memproteksi anak-anak dari apa yang dipersepsi sebagai efek buruk media massa. Penggunaan media dan produk media sebagai bagian dari proses belajar mengajar, misalnya mempelajari cara memproduksi film independen atau menggunakan suratkabar sebagai sumber penelusuran data, tergolong dalam media education. Adapun media literacy bergerak lebih jauh dari itu. Dengan pendekatan yang lebih kritis, media literacy tidak hanya mempelajari segi-segi produksi, tetapi juga mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa muncul akibat kekuatan media. Media literacy mengajari publik memanfaatkan media secara kritis dan bijak.<br /><br />5.4. Media Massa di Tengah Masyarakat: Sahabat atau Musuh?<br />Diskusi seputar pendidikan dan media massa mau tak mau melarikan kita pada diskusi besar yang tak pernah berakhir seputar efek media massa: positif atau negatif? Di balik keterpesonaan kita pada kecanggihan teknologi media massa, serta kemampuannya untuk memperpanjang kapabilitas manusia (McLuhan, 1966), media massa laksana sekeping koin dengan sisi positif dan negatif sekaligus! Ini tecermin dalam pandangan-pandangan-pandangan yang sangat bertolakbelakang dalam menyoal fungsi dan efek media massa di tengah sistem sosial.<br />Paradigma fungsionalisme struktural dalam kubu sosiologi memandang media massa sebagai salah satu subsistem yang berfungsi menunjang keberlangsungan sistem sosial. Media massa di sini dimaknai secara positif, memberi kontribusi fungsional bagi pemeliharaan sistem kemasyarakatan yang sehat. Kondisi ini bisa dikatakan berlaku baik situasi yang diistilahkan Parsons sebagai ‘solidaritas mekanis’ di mana media massa dipandang sebagai salah satu sarana atau alat, atau baut dari mesin besar masyarakat. Pun bisa berlaku pada situasi yang diistilahkan oleh Durkheim sebagai ‘solidaritas organik,’ di mana media massa dipandang sebagai salah satu subsistem dalam hubungan organis dalam sistem besar kemasyarakatan.<br />Bertitiktolak dari pandangan ini, maka relasi antara media massa dan pendidikan dipandang sebagai sesuatu yang niscaya bersifat positif—keduanya merupakan subsistem dalam sistem masyarakat, unit kecil dari pranata kultural dengan fungsinya masing-masing. Media massa sebagai sarana komunikasi memiliki fungsi sebagai perangkat transmisi, atau sebagai pemelihara social bondings—ikatan-ikatan sosial. Sementara, pranata pendidikan memiliki fungsi memelihara unit sosial melalui sosialisasi nilai-nilai kultural—fungsi edukatif pendidikan lewat social maintenance. Pendidikan dan media massa bisa berada dalam satu pranata kultural. Tapi bisa juga berada dalam subsistem yang berbeda. Namun, apakah dalam subsistem yang sama ataupun terpisah, relasi antara keduanya, dalam paradigma fungsionalisme struktural, senantiasa dimaknai positif.<br />Dalam wacana komunikasi, beberapa teori memperlihatkan relasi positif ini. Efek positif media massa tampak pada wacana teori Difusi Inovasi yang populer di tahun 70an, sebagai salah satu doktrin Komunikasi Pembangunan yang disebarkan ke negara-negara berkembang. Salah satu premis teori itu menyebutkan bahwa kehadiran media massa secara signifikan terkait dengan kemajuan sebuah bangsa, yang tampak lewat indikator ekonomi. Di sini, kehadiran media massa menjadi penanda signifikan bagi growth—pertumbuhan. Media massa dijadikan sebagai salah satu variabel dari akselerator yang mampu mempercepat tingkat pembangunan, terutama dalam kaitannya dengan sosialisasi inovasi-inovasi pembangunan pada tataran praktis (mesin, metode) maupun tataran ideologis (nilai-nilai).<br />Teori lain yang memperlihatkan fungsi positif media massa dinyatakan oleh Albert Bandura dalam Social Learning Theory. Teori ini mengasumsikan media massa sebagai salah satu sarana belajar manusia. Lewat reportase media massa, atau lewat produk media massa, masyarakat belajar mengenali dunia, sekaligus belajar menjadi makhluk sosial. Ini selaras dengan asumsi media massa versi Marshall McLuhan, yang mengandaikan media komunikasi sebagai the extension of men—perpanjangan tangan manusia.<br />Kita beralih pada paradigma lain yang bertolakbelakang. Berlawanan dengan paradigma fungsionalisme struktural yang memandang media massa dalam relasi yang secara implisit bersifat positif dikaitkan dengan subsistem sosial lainnya, paradigma Kritis yang dirumuskan oleh tokoh-tokoh Neomarxis justru memandang media massa sebagai salah satu alat propaganda ampuh yang digunakan oleh rezim berkuasa untuk memanipulasi kesadaran masyarakat. Ini selaras dengan asumsi teori Kritis yang menyatakan bahwa masyarakat terdiri dari kelas-kelas yang saling bertarung memperebutkan ruang, dan bahwa dalam perebutan ruang tersebut senantiasa ada kelas dominan yang menguasai ruang dan kelas subordinan yang dikuasai oleh kelas dominan tersebut. Mekanisme penguasaannya sendiri bermacam-macam. Menurut Marx dalam teori klasiknya, proses subordinasi ini dilakukan kelas dominan dengan menciptakan false consciousness—kesadaran semu—bagi kelas tertindas. Dalam versi yang lebih mutakhir, Antonio Gramsci mengajukan gagasan hegemoni, yaitu proses penguasaan kesadaran dengan menciptakan kesepakatan sehingga orang-orang terkondisikan untuk setuju dengan kehendak kelompok berkuasa.<br />Implikasinya, ketika fenomena ini terkait dengan media massa, maka tak ada media massa yang netral dan objektif. Media massa diyakini mengandung intensi-intensi tertentu, sesuai kehendak orang yang berada di balik operasionalisasi media. Dalam hal ini, agen yang berada di balik operasionalisasi media massa adalah the ruling class—kelompok dominan yang berkuasa. Louis Althusser, tokoh Neomarxis lain menjelaskan dengan baik mekanisme media massa beroperasi sebagai agen kelompok dominan. Althusser menyatakan, negara yang merupakan representasi kelompok berkuasa memiliki dua perangkat negara, yang berfungsi ‘memaksakan’ kekuasaan dengan caranya masing-masing. Perangkat pertama, Repressive State Agency (RSA), adalah instrumen kekuasaan negara yang bersifat ‘memaksa’—ini diimplementasikan dalam bentuk undang-undang yang menetapkan kriteria pelanggar hukum, polisi, hukum positif, dan lain-lain. Perangkat kedua, Ideological State Agency (ISA), berfungsi memaksakan ideologi kelompok berkuasa secara halus. ISA diimplementasikan dalam bentuk pendidikan, agama, dan media massa.<br />Stuart Hall, salah satu eksponen British Cultural Studies, lebih lanjut lagi mendeskripsikan mekanisme hegemoni oleh media massa dalam kapasitasnya selaku perangkat ISA:<br />Now consider the media—the means of representation. To be impartial and independent in their daily operations, they cannot be seen to take directives from the powerful, or consciously to be bending their accounts of the world to square with dominant definitions. But they must be sensitive to, and can only survive legitimately by operating within, the general boundaries or framework of ‘what everyone agrees’ to: the consensus... But, in orienting themselves in ‘the consensus’ and, at the same time, attempting to shape up the consensus, operating on it in a formative fashion, the media become part and parcel of that dialectical process of the ‘production of consent’—shaping the consensus while reflecting it—which orientates them within the field of force of the dominant social interests represented within the state.<br />(Hall, hal. 87, dalam Turner, 1996:192)<br />Media massa, dengan menyeleksi event-event tertentu, atau dengan membahasakan dan melabeli fakta-fakta tertentu, menciptakan kesadaran semu di tengah masyarakat seputar realitas sosial yang mereka hadapi. Media massa memiliki kuasa seperti ini, karena politik pengemasan berita dan isi media lain pada umumnya tidaklah bersifat objektif sama sekali, melainkan sangatlah subjektif. Dalam kerangka sedemikian, dapat dipahami bahwa relasi antara media massa dan masyarakat umum (baca: kelas subordinan) bersifat negatif. Tentu saja dapat dipahami pula bahwa relasi antara media massa dan pendidikan, yang sama-sama merupakan instrumen ISA, bisa saja memiliki hubungan saling memberdayakan demi langgengnya kekuasaan. Tetapi, dalam situasi di mana media massa dikuasai oleh kelompok kapitalis neoliberal, para aktivis teori Kritis menilai, keberadaan media massa dengan efek negatifnya mengancam semua sektor kehidupan manusia, termasuk pendidikan.<br />Teori-teori efek mutakhir selanjutnya meneguhkan asumsi ini. Penelitian Gerbner (1992) yang melahirkan Teori Kultivasi memperlihatkan efek berupa pengaburan antara realitas nyata dan realitas simbolik –terutama tentang kekerasan—yang ditampilkan televisi terhadap para penonton yang dikategorikan dalam golongan heavy viewers (penonton yang menghabiskan waktu di depan TV minimal 3 jam sehari). Fear Theory lebih jauh lagi memperlihatkan fenomena sejumlah perempuan di lingkungan ‘hitam’ seperti ghetto dan slums yang ketakutan keluar rumah atau apartemen masing-masing—mereka adalah para pecandu tayangan-tayangan kriminalitas.<br />Bagaimana dengan Indonesia? Belakangan ini, media massa Indonesia mendapat serangan gencar dari para pemerhati budaya maupun pakar-pakar pendidikan. Media massa di Indonesia, khususnya televisi (dan belakangan film), dianggap ‘menghambat rekonstruksi kebudayaan’ (Siregar, 2004), ‘memperkeruh moral publik’ (KPI, 2004), walaupun di sisi lain –seiring dengan perubahan paradigma pola asuh—memberi pembelajaran bagi mahasiswa untuk berkiprah dalam ruang publik yang demokratis lewat demonstrasi (Basir, 2004). Pasalnya, dengan terbukanya keran kebebasan pers, media massa semakin berani mempertontonkan hal-hal yang semula dianggap tabu bagi masyarakat. Di satu sisi, seperti dalam penelitian Basir, hal ini memberikan efek positif karena masyarakat, khususnya generasi muda, mendapatkan pola asuh yang berbeda dari pola asuh otoriter tradisional. Di sisi lain, kehadiran media massa yang belum mampu secara dewasa menyikapi kebebasannya menyebabkan ekses-ekses negatifnya—seperti pornografi, pelanggaran batas privasi, ekspos kekerasan dan mistik supranatural yang berlebihan—lebih banyak ‘dirayakan’ publik ketimbang memberi pembelajaran bagi publik bagaimana menjadi warganegara yang bertanggungjawab dalam sistem negara yang demokratis.<br />Media massa dalam era keterbukaan dan kebebasan pers sekarang ini nyatanya tetap menjadi alat kepentingan kelompok berkuasa. Karena itu, dalam situasi era Reformasi sekarang ini, tetap saja media massa tidak bebas sepenuhnya mewujudkan dirinya—media massa bagaimanapun merupakan ajang kontestasi berbagai kepentingan. Ketika media massa tidak lagi dikuasai negara, maka jatuhlah media massa pada tangan kekuatan ekonomi—yang mewujud dalam bentuk kapitalisme liberal. Gejala inilah yang disinyalir terjadi dalam konstelasi media massa di Indonesia belakangan ini, yaitu jatuhnya media massa dalam kekuatan-kekuatan ekonomi kapitalis neoliberal yang mementingkan profit semata (Hidayat, 2003). Dan inilah yang membuat media massa saat ini seolah menjadi public enemy—musuh masyarakat.<br /><br />VI. Pembahasan<br />Penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi solusi mengatasi ancaman dominasi media massa di tengah masyarakat terhadap pendidikan sebagai upaya meningkatkan kualitas bangsa. Sesuai dengan rumusan permasalahan penelitian, maka alur pikir dalam pembahasan akan dimulai dari eksplorasi fungsi media massa sebagai salah satu sentra pendidikan (berikut tantangan-tantangannya), dilanjutkan dengan pembahasan mengenai media literacy sebagai alternatif solusi mengatasi ancaman dominasi media massa di tengah masyarakat terhadap visi dan misi pendidikan.<br /><br />6.1. Media Massa Sebagai Sentra Pendidikan<br />Dalam kondisi the Age of Media Society (Croteau, 2002), dominasi media massa dalam kehidupan kita memang tidak terhindarkan lagi. Dengan segala kelebihannya, media massa nyaris menawarkan semua hal yang dibutuhkan manusia: hiburan, informasi, pelarian masalah, solusi, identitas—semua serba niscaya. Kemajuan teknologi telekomunikasi bahkan mengalahkan ruang dan waktu, menjadikan media sebagai sarana ampuh untuk pencapaian tujuan apapun.<br />Teori efek komunikasi massa mengenal tiga tingkatan efek (media) komunikasi: efek kognitif (bergerak pada tataran perubahan kognisi), efek afektif (berkisar pada tataran perubahan opini), dan efek behavioral/konatif (di seputar perubahan sikap). Lihat saja, misalnya, betapa besarnya pengaruh iklan-iklan media massa, terutama iklan televisi. Tidak sekadar menginformasikan produk (efek kognitif), iklan juga mampu mengubah preferensi terhadap produk (dari tidak punya pendapat menjadi merasa membutuhkan—efek afektif), hingga pada akhirnya khalayak media merasa perlu membeli produk yang diiklankan (efek behavioral). Para aktivis advokasi konsumen memandang efek ini sebagai efek negatif dari perekayasaan kebutuhan untuk memacu konsumsi (dan sifat konsumtif) khalayak, biarpun biro iklan mengklaimnya sebagai demokratisasi pasar—terbukanya akses publik untuk mengetahui bermacam-macam produk, yang dapat mencegah monopoli satu pihak untuk mengeksploitasi pasar dan publik.<br />Di balik kontroversi ini, tentu saja media memiliki manfaat. Manfaat media massa yang paling umum, seperti dinyatakan oleh para pakar komunikasi, paling tidak terletak pada tiga hal: to inform, to persuade, to entertain, to educate. Menginformasikan, membujuk, menghibur dan mendidik. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, fungsi terakhir-lah, yaitu mendidik (to educate), yang akan dieksplorasi.<br />Terkait dengan kepentingan pendidikan, ada sejumlah manfaat media yang amat membantu proses pendidikan. Dengan segala kelebihannya, sebagaimana diilustrasikan McLuhan berulangkali dengan frasenya yang terkenal ‘the extension of men’, kehadiran media melengkapi kekurangan proses belajar mengajar tradisional di sekolah. Dominasi guru sebagai satu-satunya narasumber berhasil diimbangi oleh media massa yang menyediakan sumber-sumber rujukan alternatif bagi pengetahuan siswa. Sejumlah sekolah (tak hanya universitas!) bahkan melengkapi sarananya dengan fasilitas internet yang memungkinkan siswa mendapatkan literatur tak terbatas.<br />Teknologi media juga membuka kemungkinan mengoptimalkan proses belajar mengajar. Penggunaan fasilitas teleconference, misalnya, sudah semakin umum. Fasilitas ini tidak saja mampu menghadirkan dosen tamu yang sibuk di belahan bumi yang berbeda. Berkat fasilitas ini, sejumlah terobosan akademik bahkan telah memungkinkan untuk dilakukan. Contohnya, sidang tesis atau disertasi yang menghadirkan panel penguji secara maya lewat teleconference. Ini belum termasuk dukungan media komunikasi dalam presentasi-presentasi materi pembelajaran. Studi-studi efek media komunikasi modern memperlihatkan korelasi positif antara efektivitas penggunaan teknologi komunikasi dengan proses pembelajaran siswa. Sepintas, inilah agaknya kondisi ideal yang berhasil diciptakan berkat kehadiran media komunikasi (termasuk media massa) sebagai pendukung sistem belajar mengajar yang aktif, dan mengasyikkan bagi siswa.<br />Kendati demikian, bila dicermati secara holistik, sesungguhnya media seperti koin berkeping dua. Media bisa menjadi hamba yang baik, tetapi juga tuan yang membelenggu (Lie, 2004). Terlebih lagi bila dikaitkan dengan tujuan to educate. Betulkah media komunikasi, khususnya media massa, punya fungsi seampuh dan semulia itu—mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa?<br />Fakta memperlihatkan, isi media massa di Indonesia, khususnya televisi, saat ini didominasi oleh informasi bertema kekerasan, pornografi, gosip selebritis, dan mistis supranatural (Yuniati & Santi :2003). Masih ada pula acara-acara genre reality show yang memperlihatkan rendahnya apresiasi pekerja produksi media terhadap batas privasi seseorang dalam ruang publik di ranah penyiaran maupun ranah media massa lainnya. Media massa seperti Kompas dan Metro TV memang konsisten memelihara tradisi pemberitaan yang cerdas dan kritis. Masalahnya adalah, berapa banyak orang yang membaca Kompas atau menonton Metro TV? Walaupun tiras Kompas cukup tinggi, tetap saja kehadirannya tidak bisa menyaingi media-media ‘kuning’ seperti Lampu Merah, Non Stop, dan Pos Kota yang mengekspos seks dan kekerasan. Nilai destruktif yang ditawarkan media malah sudah mencapai titik keprihatinan yang memaksa para rohaniwan—didukung oleh masyarakat yang peduli dengan moralitas bangsa—untuk bereaksi. Film Buruan Cium Gue yang ditarik dari peredaran memperlihatkan fenomena ini. Dan kita patut mensyukuri karena publik mulai berani menyatukan langkah guna bereaksi menyuarakan keprihatinan mereka.<br />Tetapi, bagaimana dengan content media yang lain? Gempuran iklan yang mendorong anak dan masyarakat pada umumnya untuk bersikap konsumtif masih luput dari perhatian, walaupun visualisasi iklan nyata-nyata telah melanggar Kode Etik Periklanan. Demikian juga dengan keberadaan play station house yang marak di perkampungan. Tindakan pemerintah maupun masyarakat sendiri tampak nihil, walaupun kehadiran play station house tersebut nyata-nyata menimbulkan efek negatif bagi mereka yang kecanduan.<br />Perlu dipahami, proses belajar, terlebih ‘belajar’ yang dimaknai secara holistik sebagai ‘pendidikan,’ tidak terjadi dalam ruang hampa, tetapi ada dalam realitas perubahan sosial yang dinamis. Pendidikan di sekolah sendiri merupakan subsistem dari keseluruhan sistem pendidikan. Subsistem-subsistem lain yang mengisi keseluruhan ruang sistem pendidikan, menurut Ki Hajar Dewantara (Lie, 2004), terdiri dari sentra keluarga, masyarakat, serta sekolah. Dalam masyarakat modern yang ditandai oleh renggangnya hubungan antarmanusia karena kesibukan masing-masing, tanggungjawab pendidikan secara berat sebelah ditumpukan pada institusi sekolah, menggantikan peran keluarga dan masyarakat. Pada masyarakat media, yang ditandai oleh dominasi media di segala lini, kehadiran media mengaburkan kenyataan bahwa sesungguhnya ada sentra keempat yang turut bermain dalam proses pendidikan. Sentra tersebut adalah sentra media. Yang dimaksud media di sini adalah segala bentuk tampilan informasi, entah itu berbentuk cetak maupun elektronik, mulai dari koran, komik, film, televisi, play station, sampai internet dan online games. Tidak diragukan lagi, ketika peran orangtua semakin mengabur karena kesibukan kerja masing-masing, ketika peran tetangga dan kerabat juga kian tak jelas seiring merenggangnya ikatan kekeluargaan secara personal, sentra media pun serta-merta menggantikannya dan menggeser peran keluarga dan masyarakat dalam proses pendidikan.<br />Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang terjadi ketika sentra media sebagai pengisi ruang sistem pendidikan yang ‘ditinggalkan’ oleh keluarga dan masyarakat lantas berhadapan dengan subsistem sekolah sebagai institusi pendidikan formal? Yang kita saksikan adalah kurikulum sekolah (yang sialnya, bukan cuma kaku-rigid-formal, tapi juga terkesan kurang dinamis dan kurang persiapan dalam mengakomodir perkembangan) berhadapan dengan the hidden curriculum media. Hasilnya adalah kekalahan demi kekalahan. Subsistem sekolah tidak bisa berbuat banyak, tatkala waktu anak lebih banyak tersita untuk berinteraksi dengan media, ketimbang menekuni sekolah. Sistem pendidikan kita memang masih jauh dari ideal, tapi tentu bukan kondisi dominasi media atas sistem pendidikan seperti ini yang diharapkan.<br />Lantas, solusi apa yang kiranya dapat ditawarkan untuk mengatasi keadaan sedemikian? Pertanyaan ini menghantarkan kita pada bahasan selanjutnya, yang ditujukan untuk memperkenalkan sebuah konsep yang kemungkinan masih baru, bahkan bagi para praktisi komunikasi dan pendidikan di Indonesia dewasa ini: media literacy.<br /><br />6.2. Media Literacy—Melek Media dengan Pendekatan Inokulasi<br />Keprihatinan terhadap dominasi media dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya bukan cuma monopoli negara-negara berkembang yang tengah mengalami booming sektor media—baik sebagai sektor publik maupun sektor bisnis-industri. Negara-negara maju yang memiliki interaksi historis cukup panjang dan intens dengan media pun ternyata juga menghadapi permasalahan serupa. Sama dengan permasalahan kita, kehadiran media massa dalam pasar kapitalisme neoliberal menciptakan ancaman bagi nilai-nilai multikultural yang hendak disosialisasikan, dan menjebak media hanya pada content yang itu-itu saja: memanjakan selera (rendah) penonton, untuk menjaga pundi-pundi pemodal media.<br /><br />6.2.1. Pendekatan Inokulasi sebagai Landasan Penerapan Media Literacy<br />Dalam visi ideal filosof Juergen Habermas, media dalam sistem yang demokratis semestinya berfungsi sebagai arena ruang publik. Yang dimaksud dengan ruang publik adalah wilayah di mana seluruh anggota masyarakat dapat berinteraksi, bertukar pikiran, dan berdebat tentang masalah-masalah publik, tanpa perlu merisaukan intervensi penguasa politik dan/atau ekonomi (Sudibyo, 2004:70). Potensi demokrasi tercipta dalam ruang publik.<br />Masalahnya, media sama sekali bukan ruang hampa. Media adalah ajang kontestasi antara pelbagai kepentingan yang berusaha merebut ruang publik, menghegemoni publik. Hal ini diilustrasikan oleh Anthony Giddens dalam Structuration Theory, yang mengandaikan adanya baku sodok (interplay) antara struktur dan agent dalam proses konstruksi ruang sosial. Ini terlihat dalam fenomena media ketika berhadapan dengan kekuatan politis negara dan kekuatan ekonomi pasar. Ketika media dikuasai oleh state regulation, media gagal menciptakan ruang publik. State regulation mendefinisikan kerangka informasi dalam bingkai yang dilegitimasi oleh negara. Hal yang sama juga terjadi ketika media dikuasai oleh kekuatan ekonomi kapitalis. Media, tatkala berhadapan publik, menjadikan publik sebagai komoditas alih-alih melayani kepentingan publik. Hal sedemikian tidak bisa diterima karena dalam kerangka etiknya, media massa mengemban fungsi sosial-politik di samping fungsi ekonomi.<br />Mengatasi hal ini, penting kiranya menyimak pendapat Richard Falk (1995). Falk dalam bukunya On Humane Government: Toward A New Global Politics mengidentifikasi tiga kekuatan besar dalam era globalisasi: state, market dan civil. Apabila market dan state bersatu menghadapi civil society, akan terbentuk inhuman governance. Maka, agar terbentuk pemerintahan yang humane governance, civil society harus bekerjasama dengan market (Lie, 2004). Kendati demikian, berbicara pasal market media massa di Indonesia, nyata terlihat bahwa jual-beli yang terjadi belum berlangsung dalam proses yang memberikan win-win solution. Dalam pasar media massa saat ini, yang ditandai dengan melemahnya kekuatan state, maka pihak yang senantiasa diuntungkan adalah media massa, sementara publik tetap saja dieksploitasi, dikomodifikasi, dijual ke pengiklan dengan harga mahal. Sebagai balasan atas nilai jualnya, publik tidak disuguhi oleh acara yang mencerdaskan, tapi lebih banyak diberi pilihan sensasionalitas yang hanya mengumbar emosi sesaat.<br />Menghadapi dunia media massa Indonesia saat ini yang cenderung menyajikan isi tidak berbobot, solusi yang ditawarkan adalah media literacy dengan pendekatan inokulasi. Inokulasi merupakan salah satu pendekatan komunikasi yang populer. Asumsinya, jika akan berhadapan dengan pesan-pesan (persuasif) media, khalayak perlu diinokulasi—diberi suntikan imunitas tertentu. Dengan demikian, khalayak tidak akan jatuh menjadi korban ‘virus’ media massa. Inokulasi merupakan sebuah tindakan intervensi untuk melindungi seseorang dari bahaya tertentu. Dalam hal ini, media massa-lah yang dianggap sebagai sumber bahaya tersebut. Begitu lahir, atau begitu mengenal media, seyogyanya manusia harus langsung diberi suntikan imunitas sebagai antivirus menghadapi ‘virus’ media. Dengan demikian, mereka tidak akan terkena ‘penyakit’ alias efek negatif media.<br />Apabila virus yang dimaksud dalam analogi ini adalah media massa, maka antivirusnya adalah sebuah konsep yang akan dieksplorasi dalam tulisan ini, yaitu media literacy.<br /><br />6.2.2. Konsep dan Operasionalisasi Media Literacy<br />Media literacy dikonsepkan sebagai “...the ability to access, analyse, evaluate and create messages across a variety of contexts (Livingstone, 2003)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a>.” Wikipedia, the free encyclopedia, menyebutkan bahwa media literacy adalah ketrampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian. Dalam suatu masyarakat media<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a>, di mana kontak dengan media menjadi sesuatu yang esensial dan tak terhindarkan, media literacy adalah sebuah ketrampilan yang diperlukan oleh warganegara guna berinteraksi dengan layak dengan media, dan menggunakannya dengan rasa percaya diri. Ketrampilan-ketrampilan ini sesungguhnya memang dianggap penting bagi siapa saja. Namun target utama media literacy adalah kaum muda yang berada dalam proses peneguhan mental dan fisik.<br />Dalam maknanya yang paling luas, literacy (keberaksaraan) termasuk kemampuan untuk ‘membaca’ dan ‘menulis’ dengan trampil dalam pelbagai bentuk-bentuk pesan, terutama menimbang dominasi media elektronik berbasis citra. Secara sederhana, media literacy termasuk ketrampilan-ketrampilan literacy yang diperluas pada seluruh bentuk pesan, termasuk menulis dan membaca, berbicara dan menyimak, menonton secara kritis, dan kemampuan untuk menulis sendiri pesan-pesan dengan menggunakan pelbagai teknologi. Media literacy bukanlah subyek yang baru, dan juga bukan sekadar tentang televisi, namun merupakan literacy bagi masyarakat informasi. Media literacy adalah semacam code of conduct bagi masyarakat di Era Informasi. Konsep ini dijabarkan dalam tiga kriteria:<br />Ability to subjectively read and comprehend media content (kecakapan untuk membaca dan memahami isi media secara subjektif), meliputi:<br />1.1. Ability to understand the various characteristics of media conveying information (kecakapan untuk memahami ragam karakteristik media dalam menyampaikan informasi).<br />1.2. Ability to analyze, evaluate, and ciritically examine in a social context, and select information conveyed by media (kecakapan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan secara kritis memeriksa media dalam sebuah konteks sosial, serta memilih informasi yang disampaikan oleh media).<br />Ability to access and use media (kecakapan untuk mengakses dan menggunakan media): ability to select, operate and actively make use of media apparatus (kecakapan untuk menyeleksi, mengoperasikan, dan secara aktif memanfaatkan perangkat-perangkat media).<br />Ability to communicate through the media, especially an interactive communication ability (kecakapan untuk berkomunikasi melalui media, khususnya suatu kecakapan komunikasi interaktif): ability to express one’s own ideas through media in a way that the recipient can understand (kecakapan untuk mengekspresikan gagasan-gagasan pribadi melalui media dengan suatu cara yang dapat dipahami oleh penerima pesan).<br />(The Study Group, 2002)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a><br />Meninjau operasionalisasi konsep di atas, tampak jelas bahwa ketrampilan-ketrampilan yang dijabarkan sesungguhnya diarahkan untuk membuat manusia tidak gamang berhadapan dengan media, tidak menganggap media adalah segalanya, tidak tunduk di depan media, dan karena itu, dapat memanfaatkan media sesuai dengan keperluannya.<br />Sebagai sebuah payung untuk memahami politik pengemasan isi media, media literacy memiliki konsep-konsep dasar sbb.:<br />1. Semua media, pada dasarnya, adalah konstruksi. Media tidak menampilkan refleksi sederhana dari realitas eksternal. Media menampilkan konstruksi yang diatur secara rumit berdasarkan pengambilan keputusan atas pelbagai kebijakan dan pilihan yang sangat luas. Media literacy bermaksud melakukan dekonstruksi atas konstruksi ini.<br />2. Media mengonstruksi realitas. Bagian terbesar dari media literacy, karena itu, bukanlah ditujukan untuk mempelajari aspek produksi media, melainkan untuk memperlihatkan pada kita bagaimana media melakukan proses konstruksi realitas, sehingga kita bisa mengenali preconstruction reality (realitas yang belum dikonstruksi). Media literacy bermaksud menanamkan kesadaran bahwa medialah yang selama ini telah mengonstruksi realitas kita, bukan kita sendiri. Karena itu, media literacy bertujuan mengembalikan kuasa konstruksi realitas itu pada kita sendiri selaku publik atau khalayak media.<br />3. Khalayak menegosiasikan makna dalam media. Setiap orang memberikan makna yang berbeda pada apa yang diperolehnya dari media. Setuju, tidak setuju, tidak berpendapat, semua adalah bagian dari proses negosiasi khalayak pada media didasarkan latar belakang kultural, keluarga, preferensi sikap dan nilai, faktor gender, dan sebagainya.<br />4. Media memiliki implikasi-implikasi komersial. Media literacy, karena itu, memasukkan kesadaran akan ‘dasar ekonomi produksi media massa dan bagaimana hal itu berimplikasi pada isi, teknik, serta distribusi.’ Produksi media adalah sebuah bisnis yang bertujuan akhir mengumpulkan kapital sebanyak-banyaknya. Media literacy menginvestigasi pertanyaan seputar kepemilikan, kontrol, dan efek-efek terkait. Bukan pada efek media semata, tapi pada sosiologi media, yaitu kekuatan sosial-politik-ekonomi yang menentukan isi media.<br />5. Media berisi pesan-pesan bersifat ideologis dengan nilai-nilai tertentu. Tidak ada media yang netral. Semua produk media dalam taraf tertentu melakukan promosi—untuk dirinya sendiri maupun untuk menawarkan gaya hidup tertentu. Ini meliputi iklan-iklan produk atas nama kesejahteraan hidup—a good life—di balik bayang-bayang konsumerisme, penguatan stereotip domestikasi peran perempuan demi mempertahankan status quo budaya patriarkis, atau peneguhan peran politis dan ideologi partai tertentu yang mengatasnamakan pesan-pesan ‘kebangsaan’ dan nilai-nilai ‘patriotisme.’<br />6. Media memiliki implikasi sosial politik. Media adalah ajang kontestasi kekuatan sosial politik masyarakat. Media punya kekuatan yang bisa mengarahkan opini publik pada isu-isu tertentu. Misalnya, menggiring opini publik pada kandidat presiden tertentu melalui polling SMS, atau melibatkan partisipasi publik pada isu hak-hak sipil global seperti epidemi AIDS, kelaparan di Dunia Ketiga, sampai pada pemberantasan terorisme internasional.<br />7. Bentuk dan isi berkaitan erat dengan media. Setiap media, seperti dinyatakan McLuhan, memiliki tatabahasa tersendiri dan mengodifikasikan realitas dalam cara-cara yang unik. Media bisa melaporkan peristiwa serupa, namun kemasan pesannya berbeda-beda. Maka, dengan sendirinya, impresi atas kemasan pesan itupun akan berbeda-beda.<br />8. Setiap medium memiliki bentuk estetik yang unik. Ekspresi keindahan setiap media berbeda-beda, dan kita dimungkinkan untuk menikmati semuanya, kendati kesan dan preferensi orang akan berbeda-beda hingga efeknya pun tak sama.<br />Prinsip-prinsip ini harus dicakup dalam upaya mengimplementasikan media literacy, entah itu dalam ranah publik secara informal maupun dalam ranah cultural maintenance secara formal yang diwujudkan melalui lembaga-lembaga pendidikan.<br /><br />6.2.3. Penerapan Media Literacy di Negara-Negara Lain<br />Penelusuran literatur memperlihatkan, setiap negara ternyata mengadopsi konsep media literacy secara berbeda. Di Inggris dan Australia, media literacy menjadi bagian kurikulum yang diarahkan dan ditetapkan oleh pemerintah. Di Amerika Serikat, konsep media literacy tidak begitu tersebar meluas karena tidak ada departemen sentral yang mengurusi masalah kurikulum. Otonomi setiap negara bagian begitu besar hingga masing-masing punya kebijakan sendiri-sendiri. Gerakan media literacy di Prancis melibatkan lembaga-lembaga penyiaran publik, sementara di Jerman fungsi ini dilakukan oleh lembaga-lembaga penyiaran regional. Paling tidak sejak 1992, Jepang menjadi wakil negara Asia yang menaruh kepedulian besar terhadap media literacy. Kementerian Pos dan Informasi (MPT) bersama sejumlah akademisi Universitas Tokyo merancang skema upaya-upaya untuk mengintegrasikan konsep media literacy, baik dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah secara formal, maupun dalam advokasi pada seluruh elemen masyarakat. Ini meliputi gerakan-gerakan advokasi media literacy pada level pemerintah, media massa, dan LSM. Upaya ini dilakukan secara nasional. Namun, dari keseluruhan negara yang menerapkan media literacy, Kanada agaknya merupakan negara terdepan dalam menjalankan aktivitas media literacy.<br />Kanada adalah sebuah negara yang penduduknya memiliki kekritisan dan kesadaran kewarganegaraan yang tinggi dalam menyikapi isu-isu dunia, mulai dari isu konservasi lingkungan, hak asasi manusia, hingga perlawanan aktif terhadap kapitalisme neoliberal. Kanada, karenanya, memiliki tradisi aktivitas advokasi dan partisipasi aktif yang menyejarah. Dalam hal media literacy, selain melibatkan media penyiaran publik seperti The Canadian Radio-Television Telecommunications Commission (CRTC), sejak musim gugur 1999, setiap propinsi di Kanada diwajibkan untuk menyelenggarakan program pendidikan media literacy (terutama dalam pelajaran sastra). Ini belum termasuk aktivitas tak tercatat yang dilakukan oleh kelompok-kelompok komunitas di pelbagai pelosok. Keseriusan Kanada dalam ihwal media literacy secara politis juga diwujudkan pemerintah lewat sertifikasi lisensi media literacy—pengajar yang dibolehkan mengajarkan media literacy di sekolah-sekolah hanya mereka yang telah lolos uji sertifikasi lewat uji akademik maupun uji publik. Ada standar-standar kecakapan tertentu yang harus dimiliki, dan ditinjau ulang secara periodik untuk menyesuaikan kualifikasi pemegang lisensi dengan perkembangan zaman, sekaligus guna memastikan bahwa misi media literacy tidak bergeser.<br />Bagaimana dengan Indonesia? Gerakan media literacy masih tergolong baru. Jangankan dalam kurikulum sekolah, konsep ini bahkan tidak disinggung sama sekali dalam kurikulum fakultas-fakultas komunikasi. Kendati demikian, bukan berarti gerakan media literacy ini tidak ada. Setidaknya, walau masih bergerak di wilayah lokal, upaya komunitas-komunitas masyarakat maupun kelompok-kelompok studi dalam memperkenalkan dan menyelenggarakan media literacy sudah berjalan. Di Bandung, misalnya, kendati tidak dideklarasikan secara formal-eksklusif, sebuah toko buku komunitas di kawasan Dago bernama Tobucil secara teratur menyelenggarakan diskusi-diskusi media dengan tema-tema tertentu. Beberapa tema yang pernah diangkat terkait dengan media literacy adalah Media and Violence, Film and Women, Media and War, dan Ekonomi-Politik Media. Program yang dimulai sejak tahun lalu itu masih berlangsung hingga kini. Program serupa juga dilakukan secara rutin, dalam bentuk diskusi dan pemutaran film, di Program Studi Filsafat Universitas Parahyangan Bandung, lewat unit kegiatan Kinesofia. Di Jakarta, beberapa toko buku komunitas seperti QB, Aksara, dan Kinokuniya bekerjasama dengan sejumlah penerbit, LSM, Kedutaan Besar asing, serta akademisi menyelenggarakan diskusi reguler guna mengimplementasikan prinsip-prinsip media literacy. Demikianlah gerakan media literacy sudah dimulai lewat jejaring sosial, bergerak dari satu sel ke sel lain di tengah masyarakat.<br /><br />6.2.4. Mewujudkan media literacy di Indonesia: Belajar dari Pengalaman Jepang<br />Seperti telah disinggung di atas, konsep media literacy masih tergolong baru. Kendati demikian, hal ini tidak perlu menimbulkan pesimisme karena walaupun tergolong baru, sudah ada elemen-elemen masyarakat yang mulai bergerak. Gerakan ini perlu didukung hingga media literacy menjadi agenda nasional yang didukung masyarakat secara nasional dan secara politis dilembagakan pemerintah sama halnya dengan gerakan-gerakan anti korupsi, gerakan solidaritas nasional, gerakan konservasi lingkungan, dan gerakan perlindungan HAM dan kebebasan pers.<br />Untuk mewujudkan impian ini, kita bisa menimba pengalaman dari negara lain yang sudah lebih dulu mengimplementasikan media literacy sebagai agenda nasional. Dari sekian banyak negara yang sudah ‘melek’ media literacy, Jepang adalah model yang bisa diteladani, dengan asumsi: (1) Sebagai sesama ‘saudara Asia’, Jepang memiliki kesamaan karakteristik dengan Indonesia. Contohnya saja, budaya Jepang bersifat paternalistik dan patriarkis; (2) Saat ini, dalam beberapa hal, media massa Jepang dan Indonesia saat ini nyaris sama liberalnya; (3) Kendati bersifat liberal, sesungguhnya kultur Jepang dan Indonesia masih belum begitu permisif untuk pemikiran-pemikiran alternatif yang bersifat kritis. Kata ‘kritis’ dalam budaya Jepang cukup sensitif. Karena itu, harus disampaikan secara hati-hati berhubung bisa menimbulkan konotasi ‘tak santun’ dan tidak menghormati tradisi serta orangtua—suatu tradisi yang masih mengakar hingga sekarang. Hal ini kurang lebih juga sama di Indonesia, terutama dalam wilayah-wilayah yang menerapkan birokrasi hierarkis—baik formal (misalnya di tempat kerja) maupun nonformal (misalnya dalam lingkungan kekerabatan). Penulis berasumsi, kesamaan karakteristik dan ‘pengalaman budaya’ akan memudahkan upaya mengadopsi strategi menjadikan media literacy sebagai agenda nasional.<br />Selanjutnya, inilah langkah-langkah Kementerian Pos dan Telekomunikasi Jepang, bekerjasama dengan Universitas Tokyo untuk media literacy. Cetakbiru ini dipublikasikan dalam situs web Center of Media Literacy sejak Oktober 2002.<br /><br />1. Identifikasi Isu dan Permasalahan Terkait dengan Media Literacy<br />Isu-isu dan permasalahan yang berhubungan dengan media literacy melibatkan upaya advokasi dan sosialisasi serta implementasi dalam tahapan-tahapan sbb.<br />(1) Pengenalan media literacy. Ini meliputi sosialisasi dan penyamaan persepsi seputar media literacy. Di Jepang, tahapan pertama bergerak dalam tataran kecakapan memanfaatkan komputer dan media komunikasi lain untuk memproduksi pesan. Kemudian dilanjutkan pada tataran kecakapan untuk membaca dan memahami isi media, sebelum meningkat ke tataran mengkritisi media dan berpartisipasi aktif dalam berinteraksi dengan media.<br />(2) Penempatan dalam kurikulum. Sekolah-sekolah Jepang, dari perspektif mengembangkan kecakapan untuk menangani informasi, mengembangkan langkah-langkah media literacy yang diintegrasikan dalam kurikulum sekolah.<br />(3) Mengembangkan pendekatan praktis di Jepang. Dengan berbagi pengalaman, informasi, serta hasil riset dengan negara-negara lain, Jepang berusaha mencari cara-cara paling praktis dan sederhana untuk menyosialisasikan media literacy. Saat ini, pusat media literacy Jepang di bawah Kementerian Pos dan Telekomunikasi telah memproduksi sendiri video dan bahan-bahan pelatihan media literacy yang disesuaikan dengan kondisi budaya Jepang.<br />(4) Pendekatan-pendekatan belajar aktif (Active Learning). Pendekatan pasif melalui instruksi kelas disadari tidak mencukupi. Penerapan perspektif belajar aktif; yaitu berpikir dan menerapkan prinsip media literacy dalam kasus sehari-hari, diyakini memberi dampak signifikan bagi sosialisasi konsep media literacy.<br />(5) Mengembangkan kerjasama dengan semua pihak yang berkepentingan dengan media literacy.<br />Berdasarkan identifikasi atas isu dan permasalahan terkait dengan media literacy, lantas dirumuskan upaya-upaya untuk menyosialisasikan media literacy.<br />2. Upaya-upaya untuk Menyebarkan Media Literacy<br />(1) Menanamkan kesadaran dan mengembangkan prinsip-prinsip dasar media literacy. The Study Group yang didirikan sebagai hasil kerjasama pemerintah dan akademisi informasi di Universitas Tokyo mempublikasikan buletin berisi isu-isu media literacy, di samping menyelenggarakan workshop dan riset-riset media literacy.<br />(2) Mengembangkan lingkungan yang kondusif untuk menerapkan media literacy. Ini dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya:<br />- Mengembangkan materi media literacy untuk pelbagai kelompok usia yang potensial dari latar belakang pendidikan maupun profesi yang berbeda-beda, dan disampaikan dalam berbagai media maupun bentuk-bentuk komunikasi.<br />- mempromosikan pendidikan media literacy sebagai bagian dari pendidikan formal di sekolah.<br />- mengembangkan sumberdaya manusia untuk instruktur dan fasilitator media literacy.<br />- membuka dan mengintensifkan interaksi antara lembaga penyiaran (dalam berbagai bentuk) dan khalayak. Saat ini, para broadcaster Jepang telah mendirikan organisasi mediasi, atau semacam ombudsman, yang menengahi kepentingan broadcaster dengan kepentingan publik. Lembaga independen ini bernama the Broadcast and Human Rights/Other Related Rights Organization (BRO) dan Young People’s Committee, tugasnya saat ini adalah menanggapi opini-opini dan keluhan-keluhan dari khalayak seputar media.<br />Upaya-upaya ini lantas diimplementasikan dalam pelbagai aktivitas yang bisa kita simak dalam sub bab berikut ini.<br />3. Sistem dan Aktivitas Pendidikan Media Literacy di Setiap Sektor<br />Sektor<br />Sistem dan Aktivitas Media Literacy<br />Pemerintahan<br />1. Sejumlah perwakilan the Study Group di daerah melaporkan pendeklarasian dan pengakuan seputar pentingnya media literacy, diikuti dengan pemberian arahan-arahan oleh pemerintah via Kementerian Postel dan Kementerian Pendidikan.<br />2. Pemerintah lokal berinisiatif menyelenggarakan kursus-kursus media literacy untuk warga setempat.<br />Pendidikan Sekolah<br />Dalam setiap kurikulum dan ‘Period of Integrated Study’, secara sistematis direncanakan setiap aktivitas yang melibatkan penggunaan komputer, Internet, dan media lain secara aktif.<br />Media Massa<br />· Broadcaster dilibatkan untuk memproduksi program-program media literacy untuk sekolah dasar.<br />· Broadcaster membuat standar verifikasi program (self-verification program) dan program-program yang lebih merefleksikan opini khalayak.<br />· Broadcaster membuat riset-riset internal.<br />· The Newspaper Foundation for Education and Culture menyelenggarakan program the Newspaper in Education (NIE), yaitu suatu aktivitas pendidikan di mana guru-guru dan murid menggunakan koran sebagai bahan pelajaran, atau untuk melengkapi materi di sekolah.<br />LSM, organisasi publik, kelompok komunitas, organisasi profesi.<br />· Kelompok-kelompok warganegara menyelenggarakan analisis program-program dan aktivitas-aktivitas penyiaran, seperti menerjemahkan dokumen luarnegeri seputar media literacy.<br />· Kelompok guru mengambil inisiatif untuk melaksanakan upaya-upaya praktis seperti bertukar informasi seputar kurikulum yang melibatkan media literacy secara praktis.<br />Akademisi/ Periset<br />· Subjek media literacy mulai diajarkan di universitas-universitas.<br />· Publikasi materi pendidikan terkait dengan Media literacy telah dipublikasikan sejak 1996, dan dilaporkan meningkat selama dua-tiga tahun belakangan ini.<br />· National Institute for Educational Research Japan, bekerjasama dengan sejumlah lembaga riset lain, menyelenggarakan proyek riset terkait dengan media literacy terpadu berskala-besar.<br /><br />Demikianlah langkah-langkah yang dilakukan pemerintah Jepang untuk mewujudkan media literacy awareness. Tantangan yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia, serta peluang yang dimiliki, tentu berbeda. Kendati demikian, langkah-langkah pemerintah Jepang bisa dijadikan acuan untuk menyusun agenda nasional media literacy, disesuaikan dengan kondisi sosial-politik-kultural bangsa Indonesia. Untuk saat ini, ketika gerakan media literacy masih berupa aktivitas-aktivitas lokal, upaya yang paling realistis adalah melakukan advokasi kepada publik untuk menguatkan gerakan media literacy sehingga gaungnya cukup signifikan untuk mempengaruhi kebijakan publik secara nasional. Momentum berdirinya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang tengah berupaya menyosialisasikan standar produksi dan penyiaran yang ramah bagi keluarga serta anak-anak, sekaligus menjamurnya mediawatch yang berupaya mengembalikan media pada visi melayani publik, merupakan saat yang tepat untuk meluncurkan gerakan media literacy. Kalangan kampus, terutama universitas yang memiliki Fakultas atau Bidang Kajian Komunikasi, seperti UNISBA, bisa memulai inisiatif ini.<br /><br />VII. Kesimpulan dan Saran<br />7.1. Kesimpulan<br />(1) Identifikasi pada permasalahan yang melibatkan dunia pendidikan dan media massa dalam konteks krisis multidimensi di sektor pendidikan dewasa ini memperlihatkan bahwa pendidikan di Indonesia tengah menghadapi tantangan cukup serius dari media massa yang menyajikan the hidden curriculum berupa eksploitasi kekerasan, seks dan sensasionalitas, yang mengikis nilai-nilai luhur kemanusiaan dan menyimpang jauh dari tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.<br />(2) Guna mengatasi dan mengantisipasi tantangan yang bersumber dari dominasi media massa dalam kehidupan masyarakat saat ini, perlu dimulai dan diperkuat gerakan media literacy. Konsep dasar media literacy adalah “...the ability to access, analyse, evaluate and create messages across a variety of contexts (kecakapan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan pesan-pesan media dalam beragam konteks).” Konsep ini pada intinya membekali publik dengan kemampuan untuk memanfaatkan informasi media secara bijak dan cerdas. Melalui konsep ini, dominasi media massa berikut efek negatifnya yang mengancam sektor pendidikan dapat dikurangi.<br />(3) Konsep media literacy sebagai alternatif mengatasi ancaman media massa bagi pendidikan dan peningkatan kualitas bangsa dapat diterapkan di Indonesia dengan belajar pada kasus Jepang, yang sejak tahun 1996 melakukan gerakan media literacy. Jepang memiliki model penerapan media literacy yang diterapkan dalam berbagai sektor, mulai dari sektor pemerintah, pendidikan sekolah, media massa, LSM, dan akademisi/periset.<br />7.2. Saran<br />(1) Gerakan media literacy yang sudah dimulai dalam level lembaga komunitas/lokal perlu didukung oleh segenap elemen masyarakat, termasuk pemerintah dan kalangan universitas, sehingga bisa menjadi agenda nasional.<br />(2) Fakultas Ilmu Komunikasi atau kampus-kampus yang memiliki bidang kajian komunikasi hendaknya memprakarsai gerakan media literacy minimal di tingkat lokal. Selaku akademisi, semestinya lembaga-lembaga pendidikan semacam ini sudah berpaling dari paradigma lama yang hanya berkutat pada pelatihan produksi program dan media saja. Fakultas-fakultas komunikasi seharusnya mengimbangi kurikulumnya dengan menggalang aksi penyadaran publik mengenai efek negatif media yang bersumber dari praktik-praktik konstruksi realitas sosial media.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Astuti, Santi Indra. 2004. Membangun Masyarakat Melek Media (Artikel dalam HU Pikiran Rakyat, Agustus 2004).<br />Astuti, Santi Indra & Yenni Yuniati. 2004. Rekonstruksi Konsep Keamanan Perempuan Berdasarkan Informasi Kriminalitas di Media Massa (Studi Kualitatif dengan Pendekatan Fenomenologis). Penelitian yang dibiayai LPPM Unisba thn 2003-2004. Bandung: LPPM Unisba.<br />Berger, Arthur Asa. 1998. Media Research Techniques (2nd edition). London: SAGE Publications.<br />______, 2003. Media & Society (A Critical Perspective). Maryland, USA: Rowman & Littlefield Publisher.<br />Chavanu, Bakari. 1989. 10 Classroom Approaches to Media Literacy. Artikel dalam The Media Literacy Resource Guide. Ontario: Ontario Ministry of Education.<br />Croteau, David & William Hoynes. 1997. Media/Society: Industries, Images, and Audiences. California, USA: SAGE Publications.<br />Effendy, Onong Uchjana. 2000. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti.<br />Fiddler, Roger. 2003. Mediamorphosis. Jakarta: Aksara.<br />Hobbs, Renee. Teaching Media Literacy: Yo! Are You Hip to This? Diakses dari <a href="http://www.medialit.org/reading_room/article211.html">www.medialit.org/reading_room/article211.html</a>. Tanggal akses terakhir 12 September 2004.<br />Hoover, Stewart M. & Knut Lundby. 1997. Rethinking Media, Religion, and Culture. London: SAGE Publications.<br />Jolls, Tessa. Media Literacy Core Concepts. Diakses dari <a href="http://www.learnlb.org/media/core">www.learnlb.org/media/core</a>. Tanggal akses terakhir 12 September 2004.<br />Lie, Anita. Media, Sentra ke 4 Pendidikan (artikel dalam HU Kompas edisi Selasa, 7 September 2004, hal. 4-5).<br />Masterman, Len. Media Literacy Concepts. Diakses dari <a href="http://www.frontier.net/-demon/Library/Media_Literacy/body_media_literacy">www.frontier.net/-demon/Library/Media_Literacy/body_media_literacy</a>. Tanggal akses terakhir 12 September 2004.<br />McQuail, Denis. 1992. Media Performance: Mass Communication and The Public Interest. London: SAGE Publications.<br />Mulyana, Deddy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda.<br />Nasution, M.A. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.<br />Pongtuluran, Aris. Wawasan Kebangsaan dalam Pendidikan. Diakses dari http://www1.bpkpenabur.or.id./kwiyata/83/pokok1. Tanggal akses terakhir 12 September 2004.<br />Potter, James W. 2002. Media Literacy. New York: SAGE Publication.<br />Sonia Livingstone, The Changing Nature and Uses of Media Literacy. Diakses dari www. <a href="mailto:lse.ac.uk/collections/media@lse/mediaWorkingPaper/ewpNumber4">lse.ac.uk/collections/media@lse/mediaWorkingPaper/ewpNumber4</a>. Tanggal akses terakhir 12 September 2004.<br />Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Jogjakarta: LkiS.<br />Wikipedia Encyclopedia. Media Literacy. Diakses dari en.wikipedia.org/wiki/Media_literacy. Tanggal akses terakhir 12 September 2004.<br />Tomlin, Barbara. Media Literacy in the Classroom. Diakses dari <a href="http://www.indiana.edu/-w505b/Barbing.html">www.indiana.edu/-w505b/Barbing.html</a>. Tanggal akses terakhir 12 September 2004.<br />Turner, Graeme. 1992. British Cultural Studies: An Introduction (2nd Edition). London: Routledge.<br />Media Literacy: Ability of Young People to Function in the Media Society (Report of the Study Group on Young People and Media Literacy in the Field of Broadcasting). 23 Juni 2000. Diakses dari <a href="http://www.soumu.go.jp/joho_tsusin/eng/Releases/Broadcasting/news%20000623_1.html">http://www.soumu.go.jp/joho_tsusin/eng/Releases/Broadcasting/news%20000623_1.html</a>.<br />Walsh, Bill. Expanding the Definition of Media Literacy. Diakses dari <a href="http://www.media-awareness.ca/.../educational/teaching_backgrounders/media_literacy/expanding_ddefinition.ofm">www.media-awareness.ca/.../educational/teaching_backgrounders/media_literacy/expanding_ddefinition.ofm</a>. Tanggal akses terakhir 12 September 2004.<br />Wisudo, P. Bambang. Pendidikan Indonesia: Terpuruk di Tengah Kompetisi (artikel HU Kompas edisi Sabtu, 4 September 2004, hal. 49).<br />______, Pendidikan di India: Pusat Keunggulan Menuju Negara Maju (artikel HU Kompas edisi Sabtu, 4 September 2004, hal. 50).<br />Yin, Robert K. 1998. Case Study. London: SAGE Publications.<br />Zillman, Dolf & Jennings Bryant (eds.) 2002. Media Effects: Advances in Theory and Research (2nd Ed.). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.<br />Tayangan Televisi semakin Memperkeruh Moral Publik (berita HU Media Indonesia, edisi Kamis, 15 Juli 2004).<br />Media Massa Hambat Rekonstruksi Kebudayaan (berita HU Kompas edisi Kamis, 9 September 2004, hal. 9).<br />Media Massa dan Pola Asuh Picu Demonstrasi (berita HU Kompas edisi Sabtu, 11 September 2004).<br />Posisi Televisi dalam Rekonstruksi Kebudayaan: Pertarungan Nilai Lokal dan Globalisasi (berita HU Kompas edisi Selasa, 14 September 2004).<br /><br /><br /><br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> 10 persen dari karyawan inti Microsoft berkebangsaan India (Kompas, edisi Sabtu 4 September 2004, dalam artikel berjudul “Pendidikan di India: Pusat Keunggulan Menuju Negara Maju”).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Dari sekian banyak definisi media literacy, inilah definisi yang secara formal dianggap paling mewakili maksud dan tujuan konsep tersebut. Definisi ini adalah hasil dari konferensi yang disponsori oleh the Aspen Institute pada tahun 1992. Sedikit berbeda dari konsep Livingstone, namun mengandung makna dan semangat yang kurang lebih serupa, hasil konferensi ini menyatakan bahwa media literacy adalah “… the ability to access, analyze, evaluate and produce ommunication in variety of forms (Hobbs, 2003).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Agak sulit menyebut McLuhan sebagai seorang ahli komunikasi semata. Pada dasarnya, dirinya mencakup mosaik keseluruhan disiplin ilmu yang mengarah pada konstruksi dunia di masa depan yang tak lepas dari kepungan media. Proposisi McLuhan yang mendunia, tentang dunia yang disatukan oleh media elektronik menjadi global village, serta kekuatan media sebagai eksistensi dari komunikasi itu sendiri—medium is the message—menyejajarkan dirinya dengan para futurolog lain.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Sebagai ahli linguistik, nama Noam Chomsky mulai diperhitungkan publik internasional ketika mengeluarkan teori Language and Mind. Kini menyibukkan diri sebagai aktivis dan periset media yang gencar mengadvokasi publik seputar agenda tersembunyi Pemerintah AS yang secara ideologis ditampilkan oleh media massa AS. Noam Chomsky kemungkinan saat ini menjadi sosok yang paling dibenci Kabinet Bush, karena mengungkap cacat-cacat media dan intervensi pemerintah dalam wacana media AS.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Filosof posmodernis Prancis. Teori Baudrillard yang paling banyak dikutip untuk wacana-wacana posmodernis adalah Simulacra, yang mengandaikan realitas dalam dunia yang dikuasai media saat ini bagaikan lapisan-lapisan simulacra yang terdiri dari floating images—citra simbolik yang mengapung terlepas dari realitas aslinya. Baudrillard mengisitilahkannya sebagai hyperreality—hiperrealitas.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Spesialisasinya adalah media ecologist. Bukunya yang mendunia adalah Amusing Ourselves to Death, sebuah ironi bagi masyarakat kita yang menghibur diri sampai mati di depan televisi.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Renee Hobbs adalah aktivis media literacy. Tulisannya dapat dibaca di pelbagai situs media literacy.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Dari sekian banyak definisi media literacy, inilah definisi yang secara formal dianggap paling mewakili maksud dan tujuan konsep tersebut. Definisi ini adalah hasil dari konferensi yang disponsori oleh the Aspen Institute pada tahun 1992. Sedikit berbeda dari konsep Livingstone, namun mengandung makna dan semangat yang kurang lebih serupa, hasil konferensi ini menyatakan bahwa media literacy adalah “… the ability to access, analyze, evaluate and produce ommunication in variety of forms (Hobbs, 2003).<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Menarik sekali mengamati pelbagai istilah yang diberikan oleh para aktivis media literacy untuk dunia saat ini. Mereka tidak saja mengadopsi gagasan para futurology yang mengajukan konsep the age of Information dengan ‘masyarakat informasi’ sebagai ikonnya. Istilah lain untuk menggambarkan dunia masa kini adalah media society dan media-saturated environment—sebuah lingkungan yang jenuh dengan media. Baca Teaching Media Society: Yo! Are You Hip to This? yang ditulis oleh Rene Hobbs<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> Definisi operasional ini bersumber dari kajian The Study Group, lengkapnya adalah the Study Group on Young People and Media Literacy in the Field of Broadcasting, sebuah kelompok kajian yang diprakarsai oleh Kementerian Pos dan Telekomunikasi (MPT) Jepang. Kelompok ini diketuai oleh Junichi Hamada, Dekan Sekolah Tinggi Kajian-Kajian Informasi Interdisiplin, bagian dari Insiatif Antarfakultas dalam Kajian-Kajian Informasi di Universitas Tokyo sejak November 1992.communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6717451195196012735.post-22304309987562197012007-08-04T21:31:00.000-07:002007-08-05T01:24:51.916-07:00Menggugat InfotainmentMenggugat Infotainment!<br />Oleh<br />Santi Indra Astuti<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br /><br />Sarah Azhari marah-marah karena privasinya diganggu kru infotainment. Ironis. Saat ia mempersoalkan hak untuk melindungi privasinya dari kejaran pemburu ‘berita seleb’, infotainment justru bersorak karena mendapatkan berita bagus. Realitas yang ditampilkan pada publik oleh infotainment adalah peristiwa Sarah ‘menganiaya’ kru infotainment. Esensi di baliknya, ihwal perdebatan seputar etika profesi pekerja infotainment dan perlindungan privasi seseorang, justru tidak terangkat. Dalam dunia post simulacrum, realitas baru memang dibangun berlapis-lapis hingga menutupi realitas sesungguhnya. Namun, apa sesungguhnya persoalan infotainment Indonesia?<br />Pertama-tama adalah ketidakjelasan mengenai konsep dan definisi infotainment itu sendiri. Kedua, menyangkut cara kerja dan etika kru infotainment, yang berujung pada gugatan seputar sah-tidaknya mereka menyandang ‘gelar’ wartawan yang menjalankan kerja jurnalistik. Ketiga, perdebatan seputar batas-batas hak individu dan privasi. Keempat, persoalan infotainment sesungguhnya masalah klasik industri budaya yang dikomodifikasi, sehingga akan selalu ada persoalan kelima, keenam, ketujuh dan seterusnya ...<br />Bagi para pengamat media massa dan budaya pop, kenyataan betapa infotainment menjadi salah satu tayangan populer yang sukses membius masyarakat juga merupakan masalah tersendiri. Apakah ini persoalan khalayak yang tidak cerdas? Atau industri budaya yang tak beretika? Atau pembuktian tesis imperialisme kultural? Ignatius Haryanto mengupas tuntas perkara infotainment, yang ditelaah dari pelbagai perspektif, dalam bukunya yang berjudul lumayan provokatif : “Aku Selebriti, maka Aku Penting.”<br /><br />Infotainment: Konsep yang Kabur...<br />Perseteruan, perselingkuhan, nikah, cerai, konflik, jadian, bubaran, punya pacar baru. Inilah topik-topik umum dalam tayangan infotainment kita. Inikah hiburan? Maka, tak heran kalau Haryanto mengawali salah satu tulisannya dengan pertanyaan menghentak:<br />“Sejak kapan kita harus menerima diktum baru: Infotainment ... Sejak kapan informasi harus dibuat menghibur, dan harus dipadukan sedemikian, terutama dengan mengobok-obok kehidupan pribadi para tokoh yang sebenarnya juga punya wilayah privasi yang hendak dilindungi mereka sendiri? Apakah mengobok-obok kehidupan pribadi seseorang adalah sesuatu yang menghibur? Bukannya sesuatu yang malah membuat kita prihatin?” (h. 10).<br />Atas dasar penalaran semacam ini, Haryanto menegaskan bahwa infotainment merupakan pengingkaran fungsi informasi. Mengapa? Karena hakekatnya, masyarakat berhak menerima informasi yang mereka butuhkan. Sementara, sulit mengategorikan kandungan infotainment sebagai informasi yang memang dibutuhkan khalayak. Dari sisi jurnalistik sendiri, konsep infotainment sulit diterima sebagai bagian praktik kerja wartawan. Konsep berita dan nilai-nilai berita tidak bisa dikacaukan begitu saja dengan ‘hiburan’. “Inilah penyakit lama jurnalisme kita ... talking journalism (jurnalisme omongan), seolah kalau si tokoh sudah berucap sesuatu, maka itulah kenyataannya ...” (h.13).<br /><br />Cultural Studies?<br />Banyak hal lain yang disinggung Haryanto. Infotainment, yang banyak ditonton tapi jarang dianggap sebagai berita serius, ternyata menyimpan persoalan-persoalan amat sangat serius. Selain problem profesionalisme dan etika pekerja infotainment (Haryanto tampak alergi menyebutnya sebagai ‘wartawan’), dibahas juga permasalahan industri hiburan dan budaya pop pada umumnya. Popularitas Harry Potter, komodifikasi Disney, globalisasi hiburan, nasionalisme ala ‘Republik’ MTV, sampai perbandingan konseptualisasi sukarnoisme ala Guruh Sukarnoputra dan Ahmad Dhani. Lengkap. Ada permasalahan representasi teks, produksi wacana, konteks sosiokultural dan ideologi. Tak heran jika Muji Sutrisno, pada pengantar buku ini, menuturkan perdebatan seputar posisi cultural studies—agaknya, kumpulan esei Haryanto ini dimaksudkan agar dibaca sebagai kajian berwajah cultural studies.<br />Tapi justru itu, saya jadi mempertanyakan mengapa buku ini tidak disusun saja sekalian dalam komposisi ala cultural studies? Pada bagian pertama, misalnya, bisa dikumpulkan tulisan-tulisan menyoal representasi teks, seperti Junk Food News, Komik Jepang vs. Komik Amerika, Salam Dangdut MTV, dan Tafsir Ahmad Dhani vs. Guruh Soekarnoputera untuk Soekarno. Pada bagian kedua, bisa ditampilkan kelompok tulisan tentang produksi wacana. Di sinilah tempat bagi tulisan-tulisan mengenai pekerja infotainment, propaganda Amerika abad 21, dan lain-lain. Sementara bagian terakhir menyoal latar sosiokultural dan ideologi yang melahirkan fenomena-fenomena industri budaya. Tulisan “Budaya Populer: Komersialisasi dan Imperialisme Kultural?” merupakan salah satu teks penting yang bisa dimasukkan dalam kategori terakhir ini.<br /><br />***<br />Bagi para pekerja industri budaya, khususnya media, “Aku Selebriti maka Aku Penting” adalah sebuah buku wajib. Banyak sekali pertanyaan kritis yang perlu direfleksikan. Pun banyak informasi penting menyangkut permasalahan industri budaya yang perlu diketahui. Siapa pun yang ingin berkarir di media massa juga harus membaca buku ini. Jangan cuma terpikat oleh iming-iming dunia gemerlap media massa. Sudah semestinya mereka menimbang serius pilihan mengambil studi komunikasi atau bekerja di media, dengan memikirkan konsekuensi di balik kompleksitas industri budaya yang sangat powerful membius khalayak. Buku ini membuka mata ihwal jejaring dunia industri budaya media massa serta ilusi-ilusi di balik gemerlap mimpi yang dihadirkannya. Bagi para aktivis media literacy, inilah buku yang menunjang upaya advokasi memberdayakan dan mendidik masyarakat agar menjadi khalayak yang kritis terhadap media massa! (000)<br /><br />DATA BUKU<br />Judul : Aku Selebriti Maka Aku Penting<br />Pengarang : Ignatius Haryanto<br />Penyunting : Aris Darmawan<br />Penerbit : Bentang (Yogyakarta)<br />Cetakan Pertama, Mei 2006, xxiv + 220 hlm<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6717451195196012735#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Santi Indra Astuti, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Bidang Kajian Jurnalistik, Universitas Islam Bandung (UNISBA).communicarehttp://www.blogger.com/profile/16118165090951505930noreply@blogger.com0