Communication

Blog ini diperuntukkan bagi para peminat komunikasi, sosial, dan budaya. Dilarang berpolitik sektarian, korupsi juga nggak boleh. Itu dosa lho. Selamat menikmati.

Social

Let's share your story about communication.

Article

In here, you can find my original article.

Rabu, 26 Desember 2007

Daulat Publik di Abad Informasi

DAULAT PUBLIK DI ABAD INFORMASI
Santi Indra Astuti[1]
(Dimuat di HU Pikiran Rakyat, 27 Desember 2007)

Sejak 1927, majalah TIME memilih tokoh-tokoh paling berpengaruh di dunia. Man of the Year, atau Person of the Year. Yang pernah terpilih adalah nama-nama besar seperti Martin Luther King, Jr. (1964), Ayatollah Khomeini (1979) sampai Bono, Bill dan Melinda Gates (2005). Tapi, tahun 2006, dalam edisi yang semestinya menampilkan Person of the Year, TIME tidak memasang foto siapapun. Pada sampulnya, hanya terpajang foto seperangkat komputer putih, dengan kata YOU tertulis di monitornya.

YOU. Anda. Itulah Person of the Year 2007. Bukan presiden, bukan aktivis, bukan artis. Bukan siapapun. Tokoh penting alias tokoh kunci tahun 2007 adalah kita semua. Publik, khalayak, rakyat, komunitas, masyarakat, orang-orang kebanyakan. Sejak kapan orang biasa (ordinary people) menjadi orang penting (important people)? Jawabannya, sejak tumbuhnya kesadaran bahwa publik bukan lagi khalayak yang bodoh, kosong, dan mengambang. Publik adalah kekuatan, atau wujud kuasa itu sendiri. Publik adalah khalayak yang (semestinya) berdaya.

Banjir Informasi, Kejenuhan Informasi
Dalam konteks Masyarakat Informasi, tahun ini memang harus dimaknai sebagai tahun khalayak. Inilah tahun milik publik. Saat dimana kedaulatan informasi mestinya dikembalikan pada publik. Mengapa publik, atau khalayak, yang menjadi kunci Masyarakat Informasi? Mengapa bukannya pemimpin-pemimpin politik, atau para penguasa teknologi? Nah, mari kita tengok sejenak ‘sejarah’ Masyarakat Informasi. Istilah ini ramai didengungkan pada tahun 80-an, ketika para futurolog seperti Alvin Toeffler, John C. Naisbitt, sampai Francis Fukuyama, meramalkan transformasi Masyarakat Industri menjadi Masyarakat Informasi. Masyarakat Informasi, mengutip definisi Melody (1990) dalam McQuail (1992), adalah masyarakat yang bergantung pada jejaring informasi dan komunikasi elektronik, serta mengalokasikan sebagian besar sumberdayanya bagi aktivitas-aktivitas informasi dan komunikasi. Masyarakat Informasi adalah masyarakat berbasis data digital. Artinya, perikehidupannya dioperasikan lewat pertukaran data digital.

Janji Masyarakat Informasi adalah membebaskan umat manusia dari kesengsaraan, lewat peningkatan kesejahteraan dan demokratisasi yang dicapai berkat pemanfaatan teknologi informasi. Pertukaran informasi secara bebas diyakini sebagai kunci kemajuan. Tak heran jika seluruh dunia berupaya mengejar ketertinggalan teknologi lewat proyek-proyek digitalisasi seperti e-government, e-learning, e-banking, segala macam e-revolution. Media massa berkonvergensi, membuka pelbagai saluran informasi, dan membombardir khalayak dengan (sensasi) informasi berlimpah-ruah.

Sayangnya, limpahan informasi tak kunjung mencerdaskan khalayak. Konvergensi media memang membuka pasar industri yang ramai. Tapi keuntungannya lebih banyak dinikmati oleh para pelaku pasar. Maraknya media massa tidak dibarengi dengan isi yang mendidik. Kunci-kunci akses teknologi tetap dipegang oleh penguasa-penguasa teknologi, yang berkolaborasi dengan aktor-aktor politik dan ekonomi pasar. Lantas, bagaimana mungkin kita bisa bicara soal demokratisasi, kesetaraan, dan pemerataan kesejahteraan?

Maka, pada era ini, kita dipusingkan oleh banjir informasi, perdebatan berlarut seputar hak penguasaan frekuensi, perebutan ranah publik, komodifikasi khalayak, sentralisasi dan censorship, information security, serta penciptaan pasar yang dikendalikan oleh instrumen-instrumen seperti rating. Sementara, khalayak ditinggalkan sendirian, dibiarkan terseret-seret banjir informasi hingga mencapai titik kejenuhan informasi—information saturated. Publik, dalam situasi seperti ini, hanya diposisikan sebagai khalayak pasif. Publik tak lebih dari konsumen, yang habis-habisan dieksploitasi oleh pasar media mau pun bisnis informasi.

Melek Informasi
Ilustrasi tadi memberi kita pelajaran berharga. Masyarakat Informasi mustahil terwujud andai tidak dibarengi dengan pembekalan information literacy (melek informasi) kepada publik. Informasi yang melimpah sesungguhnya bisa menjadi sumberdaya yang bermanfaat, andai publik cukup melek informasi. Melek informasi, berarti bisa mengakses sumber-sumber informasi, bisa menyeleksi informasi sesuai kebutuhannya, bisa menganalisis informasi secara kritis, dan bisa mengelola informasi. Tanpa bekal melek informasi, publik hanya menjadi bulan-bulanan pasar dan penguasa teknologi informasi.

Information literacy dapat dijabarkan setidaknya dalam dua aspek: literacy of Information Technology (IT literacy) dan media literacy. Mengapa IT literacy penting? Tidak ada gunanya melakukan percepatan teknologi atau menyelenggarakan proyek digitalisasi yang mahal, ketika khalayak tidak tahu mau dibawa kemana dengan teknologi tersebut. Mengapa media literacy itu penting? Tidak ada gunanya membuka saluran media massa, dan membombardir khalayak dengan media, ketika ujung-ujungnya publik hanya disuguhi program atau content yang tidak mencerdaskan. Maaf-maaf saja, proyek e-government, e-learning, e-banking, dan lain-lain, akhirnya tak lebih dari otomatisasi perkantoran saja, yang keuntungannya dinikmati oleh makelar proyek dan distributor perangkat elektronik. Sementara, hasil akhirnya sendiri hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.

Sejumlah langkah kini harus dilakukan untuk memberdayakan khalayak agar melek informasi. Pertama, strategi decentring atau pemecahan konsentrasi kekuasaan pada simpul-simpul yang lebih kecil. Dalam konteks Masyarakat Informasi, decentring harus diterjemahkan sebagai pemecahan konsentrasi penguasaan teknologi informasi, yang saat ini hanya terpusat pada lokus-lokus tertentu. Peran pemerintah dalam hal diperlukan sebagai regulator atau fasilitator yang bijak dan berpihak pada publik, tidak egois menghamba pada kepentingan ideologis atau kepentingan pasar. Peran lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga diperlukan, sebagai jembatan penghubung antara pusat-pusat kekuasaan dengan publik.

Adalah suatu indikasi yang baik, jika pemerintah via Depkominfo kini bisa duduk bersama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), guna mendiskusikan langkah-langkah menjadikan frekuensi sebagai ranah publik. Sesungguhnya, ini merupakan upaya decentring untuk memecah konsentrasi penguasaan ranah penyiaran, yang tadinya hanya berada di tangan pemerintah. Proyek Koran Masuk Desa, pengadaan Internet bagi wilayah pedesaan, atau pendirian pusat-pusat informasi masyarakat di tingkat RW juga bisa dibaca sebagai strategi decentring. Tujuannya tidak lain menjadikan teknologi informasi dan pertukaran informasi tak cuma terfokus di kota-kota besar. Namun, bisa dinikmati hingga ke sentra-sentra masyarakat terkecil. Decentring tidak sekadar membuka akses, tapi juga membuka ruang-ruang partisipatori. Informasi yang lazimnya bersifat top down (dari pusat ke pinggiran) kini bisa diseimbangkan dengan alur bottom-up (dari bawah ke atas).

Tapi, decentring saja tidak cukup. Strategi kedua yang harus dilakukan adalah memberdayakan publik lewat pendidikan melek media dan melek informasi. Menempatkan komputer di desa-desa, mengembangkan jaringan internet sampai tingkat RW, tapi tidak dibarengi dengan pendidikan, pelatihan, dan pendampingan mengenai cara memanfaatkannya, sungguh-sungguh merupakan tindakan yang tidak bertanggungjawab. Berapa banyak komputer dan perangkat instalasi Internet yang teronggok tanpa guna di rumah-rumah pemuka desa, atau ketua-ketua RW, gara-gara masyarakat tidak tahu cara menggunakannya? Perlu dilakukan pendataan menyangkut komunitas mana yang memang memerlukannya. Bila komunitas belum membutuhkan teknologi komputer dan Internet, serta tidak punya daya dukung, semisal listrik yang memadai, tentu tidak perlu dipaksakan. Mereka bisa diberdayakan melalui perangkat informasi lain. Itu pun kalau informasi memang diyakini sebagai kunci kemajuan masyarakat. Mengembangkan radio komunitas, mendirikan perpustakaan gratis, atau memberdayakan majelis taklim sebagai pusat pertukaran informasi masyarakat, misalnya, bisa menjadi upaya alternatif untuk membuat masyarakat melek informasi dan melek media.

Dalam konteks media literacy dan information literacy, hal-ihwal apa yang mesti ditransfer pada publik? Pertama-tama adalah pengenalan mengenai jenis-jenis informasi dan media informasi. Selanjutnya, mendampingi publik agar bisa memproduksi sendiri informasi yang dibutuhkan. Dengan cara ini, publik tidak sekadar mampu menyeleksi informasi sesuai dengan kebutuhannya, tetapi juga bisa memelihara content dan mengelola medianya sendiri. Inilah sesungguhnya esensi demokratisasi informasi—publik yang berdaya menjadi produsen, sekaligus konsumen informasi!

Strategi ketiga adalah mengembangkan jejaring advokasi media dan informasi. Jejaring ini penting untuk menguatkan publik, menjamin akses agar senantiasa terbuka ke segala pihak, termasuk melakukan kontrol bersama untuk menjaga agar wahana informasi dan komunikasi tidak lagi dikuasai secara sepihak—oleh siapapun. Stakeholder yang bisa dilibatkan meliputi kalangan pendidik dan akademisi, praktisi atau profesional-profesional media, teknokrat dan industrialis, publik pada umumnya, biro-biro pemerintah, lembaga legislatif, organisasi non pemerintah atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ringkasnya, siapapun yang memiliki concern pada isu pemberdayaan publik, media literacy, information literacy, dan IT literacy.

Dari aspek teknologi, semua ini dimungkinkan berkat berkembangnya teknologi open source, personal-based-technology, dan user-friendly-gadget. Tapi, yang tak kalah penting, hendaknya seluruh strategi pemberdayaan publik dilakukan seiring sejalan. Bukan jamannya lagi menjalankan kebijakan parsial, atau setengah-setengah, karena hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu (dan biasanya bukan publik!). Pada dasarnya, yang mesti dilakukan adalah pekerjaan mahabesar, yaitu menegakkan atau merekonstruksi kedaulatan publik di ranah informasi.

Nah, kembali pada YOU yang dinobatkan sebagai Person of The Year 2006. Mau tahu apa alasan TIME menempatkan Anda semua, kita, sebagai sosok berpengaruh tahun 2006? TIME menulis, “YOU control the Information Age”. Pada kitalah, terletak kendali atas Abad Informasi. Maka, sangat beralasan untuk menjadikan daulat informasi di tangan publik sebagai isu Abad Informasi di tahun-tahun mendatang (000).

[1] Santi Indra Astuti. Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi UNISBA, Bidang Kajian Jurnalistik. Pegiat Bandung School of Communication Studies (BASCOMMS).

Sabtu, 01 Desember 2007

CITIZEN JOURNALISM: RAME-RAME JADI WARTAWAN

CITIZEN JOURNALISM: SEBUAH FENOMENA
Santi Indra Astuti[1]

Benar sekali apa yang dikatakan oleh Steve Outing dalam tulisannya “The 11 Layers of Citizen Journalism”, istilah citizen journalism saat ini menjadi one of the hottest buzzword dalam dunia jurnalistik. Rasanya ketinggalan jaman kalau sampai ketinggalan kata-kata ini. Citizen journalism diucapkan oleh siapapun yang mengamati perkembangan media, baik mereka yang berada di lingkaran dalam media seperti para praktisi, kru dan pemilik media, mau pun mereka yang berada di luar media, seperti para pengamat media. Kurang gaul, rasanya, kalau sampai ketinggalan isu ini.

Bagi yang sudah lama mencermati dinamika dunia jurnalistik dari esensinya yang paling dalam, citizen journalism sebenarnya cuma masalah beda-beda istilah. Spiritnya tetap sama dengan public journalism atau civic journalism yang terkenal pada tahun 80-an. Yaitu, perkara bagaimana menjadikan jurnalisme bukan lagi sebuah ranah yang semata-mata dikuasai oleh para jurnalis. Dikuasai dalam arti diproduksi, dikelola, dan disebarluaskan oleh institusi media, atas nama bisnis ataupun kepentingan politis.

Lantas, apa bedanya fenomena public journalism dengan rame-rame soal citizen journalism sekarang ini? Ada. Perbedaannya, menurut saya, terletak pada kemajuan teknologi media sehingga semangat partisipatoris yang melibatkan publik dalam mendefinisikan isu semakin terakomodasi. Selain itu, kemajuan teknologi media membuat akses publik untuk memasuki ranah jurnalistik semakin terbuka. Semangatnya, sekali lagi, tetap sama. Yaitu, mendekatkan jurnalisme pada publiknya. Bedanya, open source di masa sekarang semakin niscaya saja, ketika teknologi media kian berkembang.


Mendefinisikan citizen journalism
Pada dasarnya, tidak ada yang berubah dari kegiatan jurnalisme yang didefinisikan seputar aktivitas mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan berita. Citizen journalism pada dasarnya melibatkan kegiatan seperti itu. Hanya saja, kalau dalam pemaknaan jurnalisme konvensional (tiba-tiba saja menjadi jurnalisme old school setelah citizen journalism muncul), yang melakukan aktivitas tersebut adalah wartawan, kini publik juga bisa ikut serta melakukan hal-hal yang biasa dilakukan wartawan di lembaga media. Karena itu, Shayne Bowman dan Chris Willis lantas mendefinisikan citizen journalism sebagai ‘...the act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and information”[2].
Ada beberapa istilah yang dikaitkan dengan konsep citizen journalism.
Public journalism, advocacy journalism, participatory journalism, participatory media[3], open source reporting, distributed journalism, citizens media, advocacy journalism, grassroot journalism, sampai we-media. Civic journalism, menurut Wikipedia, bukan citizen journalism karena dilakukan oleh wartawan walau pun semangatnya tetap senada dengan public journalism, yaitu (lebih) mengabdi pada publik dengan mengangkat isu-isu publik. Citizen journalism adalah bentuk spesifik dari citizen media dengan content yang berasal dari publik. Di Indonesia, istilah yang dimunculkan untuk citizen journalism adalah jurnalisme partisipatoris atau jurnalisme warga.
J.D. Lasica, dalam Online Journalism Review (2003)[4], mengategorikan media citizen journalism ke dalam 5 tipe:
1. Audience participation (seperti komenter user yang diattach pada kisah-kisah berita, blog-blog pribadi, foto, atau video footage yang diambil dari handycam pribadi, atau berita lokal yang ditulis oleh anggota komunitas).
2. Situs web berita atau informasi independen (Consumer Reports, Drudge Report).
3. Situs berita partisipatoris murni (OhmyNews).
4. Situs media kolaboratif (Slashdot, Kuro5hin).
5. Bentuk lain dari media ‘tipis’ (mailing list, newsletter e-mail).
6. Situs penyiaran pribadi (situs penyiaran video, seperti KenRadio).
Ada dua hal setidaknya yang memunculkan corak citizen journalism seperti sekarang ini. Pertama, komitmen pada suara-suara publik. Kedua, kemajuan teknologi yang mengubah lansekap modus komunikasi. Sejarah citizen journalism sendiri bisa dilacak sejak konsep public journalism dilontarkan oleh beberapa penggagas, seperti Jay Rosen, Pew Research Center, dan Poynter Institute. Bersama Wichita News, Eagle, Kansas, para penggagas citizen journalism mencobakan konsep public journalism dengan membentuk panel diskusi bagi publik guna mengidentifikasi isu-isu yang dianggap penting bagi publik. Berdasarkan identifikasi tersebut, liputan kemudian disusun.
Public journalism acap dikaitkan dengan konsep advocacy journalism karena beberapa media bergerak lebih jauh tidak saja dengan mengangkat isu, tetapi juga mengadvokasikan isu hingga menjadi sebuah ‘produk’ atau ‘aksi’—mengegolkan undang-undang, menambah taman-taman kota, membuka kelas-kelas untuk kelompok minoritas, membentuk government watch, mendirikan komisi pengawas kampanye calon walikota, dan lain-lain. Public atau citizen journalism juga dikaitkan dengan hyperlocalism karena komitmennya yang sangat luarbiasa pada isu-isu lokal, yang ‘kecil-kecil’ (untuk ukuran media mainstream), sehingga luput dari liputan media mainstream.
Public journalism dengan model seperti ini mendasarkan sebagian besar inisiatif dari lembaga media. Kemajuan teknologi dan ketidakterbatasan yang ditawarkan oleh Internet membuat inisiatif semacam itu dapat dimunculkan dari konsumen atau khalayak. Implikasinya cukup banyak, tidak sekadar mempertajam aspek partisipatoris dan isu yang diangkat.
Citizen journalism: Isu dan Implikasi
Saya termasuk yang meyakini bahwa kemajuan teknologi (komunikasi) mengubah lansekap atau ruang-ruang sosial kita. Perkembangan citizen journalism belakangan ini menakjubkan buat saya—yang dibesarkan dalam tradisi old school journalism—karena mengundang sejumlah implikasi yang tidak kecil. Beberapa di antaranya, yang teramati oleh saya, adalah sbb.
1. Open source reporting: perubahan modus pengumpulan berita. Wartawan tidak menjadi satu-satunya pengumpul informasi. Tetapi, wartawan dalam konteks tertentu juga harus ‘bersaing’ dengan khalayak, yang menyediakan firsthand reporting dari lapangan.
2. Perubahan modus pengelolaan berita. Tidak hanya mengandalkan open source reporting, media kini tidak lagi menjadi satu-satunya pengelola berita, tetapi juga harus bersaing dengan situs-situs pribadi yang didirikan oleh warga demi kepentingan publik sebagai pelaku citizen journalism.
3. Mengaburnya batas produsen dan konsumen berita. Media yang lazimnya memosisikan diri sebagai produsen berita, kini juga menjadi konsumen berita dengan mengutip berita-berita dari situs-situs warga. Demikian pula sebaliknya. Khalayak yang lazimnya diposisikan sebagai konsumen berita, dalam lingkup citizen journalism menjadi produsen berita yang content-nya diakses pula oleh media-media mainstream. Oh my God, duniaaa....
4. Poin 1-2-3 memperlihatkan khalayak sebagai partisipan aktif dalam memproduksi, mengkreasi, mau pun mendiseminasi berita dan informasi. Pada gilirannya faktor ini memunculkan ‘a new balance of power’—distribusi kekuasaan yang baru. Ancaman power yang baru (kalau mau disebut sebagai ancaman) bagi institusi pers bukan berasal dari pemerintah dan ideologi, atau sesama kompetitor, tetapi dari khalayak atau konsumen yang biasanya mereka layani!
5. Isu profesionalisme: apakah setiap pelaku citizen journalism bisa disebut wartawan? Kenyataannya, citizen journalism mengangkat slogan everybody could be a journalist! Apakah blogger bisa disebut sebagai the real journalist?
6. Isu etika: apakah setiap pelaku citizen journalism perlu mematuhi standar-standar jurnalisme yang berlaku di kalangan wartawan selama ini sehingga produknya bisa disebut sebagai karya jurnalistik? Kita bicara soal kaidah jurnalistik yang selama ini diajarkan pada para wartawan—mungkinkah kaidah itu masih berlaku? Lazimnya, yang acap disentuh dalam wacana kaidah jurnalistik adalah soal objektivitas pemberitaan, dan kredibilitas wartawan/media.
7. Isu regulasi: perlukah adanya regulasi bagi pelaku citizen journalism? Kaitannya dengan etika, profesionalisme, komersialiasi, dan mutu content.
8. Isu ekonomi: munculnya situs-situs pelaku citizen journalism yang ramai dikunjungi menimbulkan konsekuensi ekonomi, yaitu pemasang iklan, yang jumlahnya tidak sedikit. Pers, menurut Jay Rosen pada dasarnya adalah media franchise atau public service franchise in journalism. Kalau citizen media kini muncul dan juga bermain dalam ranah komersial, ini hanya merupakan konsekuensi ‘the enlarging of media franchise’. Isu ekonomi juga mengundang perdebatan lain. Kalau tadinya para kontributor citizen journalism memasukkan beritanya secara sukarela, kini mulai muncul perbincangan bagaimana seharusnya membayar mereka. Ada bayaran, tentu ada standar yang harus dipatuhi sesuai bayarannya. Akhirnya, ini mengundang masuknya isu profesionalisme—sesuatu yang dalam konteks tertentu akhirnya malah ‘berlawanan’ dengan semangat citizen journalism.
9. Bagaimana nasib the old school journalism di masa depan dengan munculnya citizen journalism? Apakah tradisi old school journalism akan tetap bertahan di masa depan?
Itulah beberapa isu yang akan selalu diangkat dan didiskusikan dalam seminar mana pun yang berbicara ihwal citizen journalism.
Citizen journalism di Indonesia
Saya mulai mengamati fenomena public journalism di pertengahan 1990-an. Satu hal yang menggelitik saya adalah apakah konsep development journalism atau jurnalisme pembangunan yang diajarkan dalam kurikulum studi jurnalistik tahun 1980-1995an (saya adalah salah satu produknya!) merupakan wujud public journalism? Saya putuskan, TIDAK. Pertama, aspek partisipatorinya tidak nyata. Isu tetap diputuskan oleh media yang bersangkutan (acap atas ‘restu’ Departemen Penerangan)—walau slogan pembangunan, di manapun, selalu menyatakan mengabdikan diri pada kepentingan publik. Kedua, ideologi jurnalisme pembangunan pada dasarnya adalah ideologi komunikasi pembangunan yang sudah bangkrut di tahun 80-an (dibangkrutkan oleh para penggagasnya sendiri seperti Everett M. Rogers), karena dianggap terlalu ideologis, utopis, dan totaliter.
Saya tertarik mengamati geliat citizen journalism di Indonesia lewat diskusi dengan teman-teman aktivis soal open source reporting yang tampaknya senada betul dengan tulisan-tulisan Pepih Nugraha di harian Kompas, yang mengangkat hal-ihwal participatory journalism. Saya mengikuti Indonesiasatu.net yang memproklamirkan diri sebagai jurnalisme warga. Undangannya untuk menjenguk situs ini meyakinkan, tampilannya tergarap dengan baik (walau updatingnya lambat), ada profil warga teladan, tapi jujur saja saya kecewa karena tidak menemukan sesuatu yang berbeda dengan harian lain. Ini seperti membaca berita lokal dari koran lokal yang bisa diakses lewat online media lokal, tanpa situs ini perlu memproklamirkan diri sebagai (sosok) pengusung jurnalisme warga. Hyperlocalism yang saya bayangkan bukan seperti ini. Begitu banyak berita gado-gado tanpa struktur gagasan yang jelas, tanpa memperlihatkan pada pengunjung situsnya ini sebenarnya mau dibawa ke mana. Ini murni open source reporting, tapi saya bertanya-tanya, apa ini wujud citizen journalism (alih-alih citizen reporting)?
Pesta Blogger Indonesia semakin menguatkan seruan citizen journalism. Menjamurnya blog di mana-mana memang fenomena luarbiasa (13.000 blog didirikan setiap hari!). Tapi, ketika mengunjungi beberapa blog yang katanya banyak di-hit, saya hanya mendapatkan curhat-curhat personal tanpa melihat apa pentingnya ini bagi publik? (Walau, jujur saja, saya menikmati curhat personal itu). Atau, isu publik macam apa yang mestinya bisa dimaknai dari curhat personal tersebut? Saya beranggapan, blog memang membuka kemungkinan open source reporting, menjamurnya blog dan blogger adalah kondisi yang kondusif untuk memunculkan citizen journalism, tapi sekadar ngeblog saja tidak cukup untuk diberi predikat sudah ber-citizen journalism. Citizen journalism, dengan kata lain, is not that easy!
Sehari setelah Pesta Blogger Indonesia usai, Harian Republika mengumumkan lewat iklan besar-besaran akan menjadikan medianya sebagai pengusung jurnalisme warga dengan mengundang partisipasi warga lewat ruang yang disediakan bagi mereka untuk sejumlah isu: laporan utama, laporan traveling, sampai berbagi resep. Sejauh ini saya lihat berbagi resep-lah yang menjadi wujud jurnalisme warga di Republika. Penulis resepnya jadi jurnalis, dan Ibu saya emoh ikut-ikutan karena tidak tahan dengan predikat ‘jurnalis warga’ lewat resepnya. “Saya emoh jadi wartawan! Apalagi karena resep saya,” kata Ibu saya. “Berbagi resep ya berbagi resep ajalah, kenapa mesti jadi karya jurnalistik?” kata teman ngerumpi saya. “Sejak kapan resep masakan jadi berita jurnalisme warga?” ini kata rekan yang lebih serius, hehe.... Buat Republika, ini taktik bagus buat enlarging audience—dan enlarging outreach. Mudah-mudahan dampaknya bagus pada sirkulasi dan iklan. Namun untuk menyebut ini sebagai wujud citizen journalism, saya masih risi, terus-terang saja. Saya lebih suka menyebutnya sebagai open access.
Dari beberapa fenomena tadi, saya belajar banyak hal. Salah satunya adalah soal isu. Saya belajar dari situ bahwa untuk masuk dalam dunia citizen journalism, tampaknya yang mesti dibawa bukan sekadar kemampuan standar pelaporan dan penyusunan berita ala 5W + 1 H. Tapi juga persoalan bagaimana menjadikan isu ‘the public becomes personal, the personal becomes public’. Tanpa itu, saya pikir, publik cuma mendapatkan sederetan informasi tanpa makna. Sebuah situs citizen journalism menjadi milik citizen, milik publik, kalau banyak pengunjungnya. Maka, pengelola citizen journalism harus mampu memelihara kandungan situsnya, dan mengundang partisipasi publik, untuk membuka diskusi dalam frame yang jelas (soal mutu, bolehlah diperdebatkan). Tanpa semua ini, situs sebagus apapun, dan sebombastis apapun slogan jurnalismenya, hanya menjadi situs yang sunyi—diisi, ditonton, dikeploki oleh pengelolanya sendiri. Sayang, karena resources yang begitu potensial, jadi tersia-sia.
Bagaimanapun, saya gembira dengan fenomena baru dan tantangan serius yang dimunculkan oleh citizen journalism. Saya kira efeknya akan baik buat keduanya, baik bagi publik maupun bagi media mainstream. Sebagaimana sistem pers kuat dibingkai dan dipengaruhi oleh local culture, saya juga percaya, wujud citizen journalism sendiri pada akhirnya akan bervariasi sesuai dengan local culture komunitas yang mengusungnya. Nah, rame-rame jadi citizen journalist? Mengapa tidak? (000)
Rujukan
Outing, Steve. The 11 Layers of Citizen Journalism. http://www.poynter.org/content/content_view.asp?id=83126. Tanggal akses terakhir 13 November 2007, pk. 10.12.
Rosen, Jay. Blogger vs. Journalism. Poynter Institute Proceedings. mobcasting.blogspot.com/2005/01/jay-rosen-why-bloggers-vs-journalists.html - 16k. Tanggal akses terakhir 28 November 2007, pk. 16.53.










[1] Disampaikan dalam seminar “Rame-rame Jadi Wartawan”. Balaikota Bandung, 1 Desember 2007. Kontak penulis: dyaning2001@yahoo.com., www.communicare-santi.blogspot.com.
[2] Dikutip dari laporan seminal We Media: How Audiences are Shaping the Future of News and Information.
[3] Participatory Media is media of, by, and for the people where for the first time the producers, editors and consumers of information are the same. (Citizen Journalism iTalk, tanggal akses terakhir 29 November 2007, pk. 22.32).
[4] Lagi-lagi dikutip dari Wikipedia