Minggu, 05 Agustus 2007

MEDIA LITERACY: Mendidik Masyarakat Cerdas di Era Informasi

MEDIA LITERACY:
MENDIDIK MASYARAKAT CERDAS DI ERA INFORMASI
Oleh
Santi Indra Astuti, S.Sos.

ABSTRAK

Pelbagai makna dilekatkan pada pendidikan. Mulai dari pendidikan sebagai kunci kemajuan peradaban bangsa, pendidikan sebagai sarana peningkatan kualitas SDM, serta pendidikan sebagai proses sosialisasi nilai-nilai budaya, sekaligus sarana ampuh untuk mengindoktrinasikan ideologi. Apapun makna pendidikan, posisinya tergolong sentral di tengah masyarakat, mengingat fungsinya selaku pranata cultural maintenance dalam sistem sosial. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan mendapatkan tantangan serius, ketika masyarakat bertransformasi menjadi masyarakat media yang hidup di era Informasi. Di era ini, media muncul sebagai sentra pendidikan keempat dalam ruang pendidikan secara keseluruhan, yang sebelumnya hanya diisi oleh sentra keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tantangan yang muncul bersumber dari dominasi media massa dalam kehidupan publik, yang ketika posisinya bergeser menggantikan peran sentra pendidikan lainnya, disinyalir telah menyajikan kurikulum tersembunyi –the hidden curriculum—lewat kandungan isinya yang tidak mencerdaskan khalayak. Tantangan ini dapat diatasi lewat gerakan media literacy—sebuah konsep keberaksaraan (literacy) yang diterapkan pada media massa. Melalui gerakan ini, masyarakat diajak untuk memahami bahwa media massa sesungguhnya tidaklah netral, melainkan ajang kontestasi pelbagai kepentingan sosial ekonomi politik. Bahwa media sesungguhnya bukan sekadar alat kontrol sosial dan cermin realitas, melainkan punya peran dalam mengonstruksi realitas sosial secara subjektif. Lewat upaya penyadaran semacam ini, gerakan media literacy berkehendak mendidik masyarakat guna
memanfaatkan informasi dan kandungan media lainnya sesuai dengan keperluannya. Lebih jauh lagi, gerakan ini bermaksud mendidik masyarakat agar mampu bersikap kritis dan bijak dalam menghadapi banjir informasi dan upaya media massa mendominasi kehidupan masyarakat sehari-hari.
I. Pendahuluan
Pendidikan di Indonesia mendapatkan tantangan yang serius, dengan munculnya pelbagai krisis yang melanda nyaris semua tataran kehidupan berbangsa dan bernegara. Mulai dari mismatch kurikulum serta penerapan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang dinilai masih belum sesuai, kekeliruan menerjemahkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), kesejahteraan guru serta fasilitas sarana dan prasarana yang tidak merata dan tidak memadai di sebagian besar kawasan, sampai pada fenomena kapitalisme pendidikan yang marak terjadi ketika komersialisasi dan komodifikasi pendidikan mengalahkan misi sosial kultural edukatif yang semestinya diemban oleh pranata pendidikan. Tantangan tersebut bisa dikatakan bersifat multidimensi, seperti halnya pendidikan itu sendiri yang merupakan aktivitas multidimensi.
Iklim dan situasi yang dihadapi oleh masyarakat masa kini memang sudah jauh berubah dan tak bisa disamakan lagi dengan keadaan dahulu. Pelbagai paradigma pendidikan mendapatkan tantangan yang serius ketika berhadapan dengan kondisi zaman yang bergerak maju. Pendidikan sebagai sarana belajar kian mendapatkan tantangan, ketika di zaman sekarang masyarakat bertransformasi menjadi apa yang disebut-sebut oleh para futurolog seperti Alvin Toeffler maupun Naisbitt sebagai “Masyarakat Informasi”, atau era yang oleh para teorisi teknologi komunikasi seperti Marshall McLuhan dan Regis Debray dinyatakan sebagai “The Age of Media Society.”
Tantangan yang persisnya dihadapi oleh dunia pendidikan di tengah situasi semacam ini persisnya dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pendidikan merupakan institusi yang penyelenggaraannya umumnya dilaksanakan oleh pranata-pranata pendidikan seperti sekolah, lembaga adat dan lembaga agama, sesuai dengan salah satu fungsi pendidikan, yaitu meningkatkan kualitas kemanusiaan siswa didik melalui sosialisasi pengetahuan dan nilai-nilai (cultural maintenance). Albert Bandura melalui teori Social Learning yang populer pada dekade 1960an memperlihatkan bahwa seiring dengan maraknya media massa, maka lembaga tersebut (media massa) menjadi alternatif media belajar baru bagi masyarakat. Kenyataan ini kian menguat ketika kehadiran media massa semakin mendominasi kehidupan masyarakat. Di Amerika Serikat, fakta memperlihatkan bahwa rata-rata orang dewasa menghabiskan waktu selama 4 jam di depan layar televisi—4 jam bukan waktu yang sedikit bila dibandingkan dengan waktu yang harus dihabiskan untuk bekerja (6-8 jam), tidur (4-6 jam) dan menjalankan fungsi sosial maupun individual lainnya (Zillman, 2002). Data lembaga riset pemasaran MARS tahun 2000 memperlihatkan, rata-rata waktu yang dihabiskan oleh penduduk dewasa Indonesia di depan televisi juga berkisar 4 jam sehari. Jumlah yang dihabiskan anak-anak diperkirakan lebih banyak lagi, mengingat “...anak-anak pada masyarakat modern meluangkan jauh lebih banyak waktu di depan televisi, play station, internet, atau online game dibanding dengan orangtuanya” (Lie, 2004).
Inilah sebentuk tantangan yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia dari sektor media. Idealisme pendidikan yang menawarkan nilai-nilai kultural dihadapkan pada saluran lain yang menawarkan ragam nilai lain, yang sayangnya, menyimpang jauh dari idealisme keluhuran budi pekerti dan intelektual. Media massa menawarkan hidden curriculum dengan agenda ekonomi politik: penguasaan kesadaran dan tingkat konsumsi tinggi. Sialnya, di tengah ruang yang bebas diisi oleh siapa saja dalam sistem yang demokratis, media massa malah mendominasi ruang dan waktu kita.
Maka, pertanyaannya adalah, bagaimana hendaknya dunia pendidikan mengantisipasi atau mengatasi tantangan yang bersumber dari dominasi media massa dalam kehidupan masyarakat saat ini? Solusi apa yang bisa diajukan untuk ‘menyelamatkan’ dunia pendidikan dari fenomena maraknya media massa yang mendominasi kehidupan masyarakat? Memusuhi media massa, berkompromi dengan media massa, menafikan dan menyingkirkan media massa, atau, adakah alternatif lain yang lebih reasonable? Karya tulis ini mencoba untuk menelusuri permasalahan yang terjadi, serta mencari jalan keluar yang bisa dimanfaatkan bersama guna meningkatkan kinerja pendidikan untuk pemberdayaan dan peningkatan kualitas bangsa melalui konsep media literacy—sebuah konsep ‘melek media’ yang diupayakan menjadi agenda nasional sehingga memungkinkan untuk diintegrasikan dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam kurikulum pendidikan nasional.

II. Perumusan Masalah
2.1. Perumusan Masalah

Bertitiktolak dari permasalahan dan latar belakang di atas, maka masalah dirumuskan sbb. “Bagaimana dunia pendidikan mengantisipasi atau mengatasi tantangan yang bersumber dari dominasi media massa dalam kehidupan masyarakat saat ini? Solusi apa yang bisa diajukan untuk ‘menyelamatkan’ dunia pendidikan dari dominasi media massa dalam kehidupan masyarakat?”

2.2. Identifikasi Permasalahan

1. Mengidentifikasi permasalahan yang melibatkan dunia pendidikan dan media massa dalam konteks krisis pendidikan dewasa ini.
2. Memberikan alternatif solusi bagi dunia pendidikan Indonesia guna mengatasi tantangan yang bersumber dari dominasi media massa dalam kehidupan masyarakat saat ini.
3. Menjelaskan konsep-konsep media literacy sebagai alternatif solusi yang applicable bagi dunia pendidikan sesuai dengan kondisi masyarakat sehari-hari.

III. Tujuan dan Manfaat Penelitian
3.1. Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi permasalahan yang melibatkan dunia pendidikan dan media massa dalam konteks krisis pendidikan dewasa ini.
2. Memberikan alternatif solusi bagi dunia pendidikan Indonesia guna mengatasi tantangan yang bersumber dari dominasi media massa dalam kehidupan masyarakat saat ini.
3. Menjelaskan konsep-konsep media literacy sebagai alternatif solusi yang applicable bagi dunia pendidikan sesuai dengan kondisi masyarakat sehari-hari.

3.2. Manfaat Penelitian
1. Secara praktis dapat memberi solusi-solusi yang dapat diterapkan oleh dunia pendidikan Indonesia terhadap siswa didik, tatkala berhadapan dengan krisis akibat dominasi media massa dalam kehidupan masyarakat, dengan memanfaatkan aspek-aspek pendidikan seperti kurikulum, sumberdaya, dan sarana dan prasarana yang ada. Solusi ini diharapkan juga bersifat applicable bagi media massa pada umumnya.
Secara teoritis memperluas horison kajian dunia pendidikan dan media massa, dengan memperkenalkan sejumlah konsep dan cara pandang baru dalam memaknai hubungan antara dunia pendidikan dan media massa.

IV. Metode Penelitian
4.1. Metode Penelitian
Penelitian ini bertitiktolak dari paradigma kualitatif. Mulyana (2002) menyatakan, metode penelitian kualitatif tidak menggunakan inferensi statistik untuk melakukan penarikan kesimpulan. Dengan perspektif emik (dari dalam), metode penelitian kualitatif berusaha menjelaskan permasalahan berdasarkan data-data secara kualitatif, disesuaikan dengan tujuan dan perumusan masalah penelitian. Terdapat tiga konsep yang akan diteliti dalam riset ini: pendidikan, media massa, dan media literacy. Mengingat luasnya konsep yang diteliti maka penelitian kualitatif ini bisa dikatakan semi multiexplorative analysis, karena melibatkan unit analisis yang berbeda-beda. Konsep-konsep ini akan ditelaah melalui metode kajian literatur atau library research.
Kelayakan library research sebagai suatu metode penelitian dinyatakan Berger, mengutip Komidar dalam Goode & Hatt (1952) sbb. “...all research inevitably the use of the book, pamphlet, periodical, and documentary materials in libraries. This applies to studies based on original data gathered in a field study as well as those based entirely upon documentary sources (Berger, 1998:80).” Kajian pustaka digunakan pertama kali sebagai dasar untuk mengorientasikan permasalahan. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan library research sebagai metode untuk menjelaskan permasalahan dan mencari solusinya. “The purpose of library search ... is to obtain enough relevant information from experts and other reliable sources to help answer some question (Berger, 1998:79).”
Sebagai sebuah kajian kualitatif, penelitian ini masih jauh dari standar yang layak. Kendati demikian, hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai titik tolak atau sensitizing concepts untuk melakukan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif terkait dengan masalah peningkatan kualitas pendidikan dan di tengah dominasi media massa.

4.2. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai penelitian yang bertitiktolak dari kajian literatur, maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri sumber-sumber kepustakaan terkait berkenaan dengan permasalahan penelitian. Data primer yang dikumpulkan bersumber dari media massa seperti surat kabar dan majalah, buletin, data-data internet, dan buku-buku textbook terkait topik penelitian.

4.3. Teknik Analisis
Teknik analisis didasarkan pada pola abduksi, yaitu mengolah dan mengungkapkan data sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan permasalahan penelitian (Yin, 1998).

V. Tinjauan Teoretis
5.1. Silang Sengkarut Dunia Pendidikan
Pendidikan merupakan kunci kemajuan peradaban. Pendidikan juga merupakan indikator kualitas sebuah bangsa. Bangsa berkualitas tinggi ditandai oleh indeks pendidikan yang tinggi. Ini antara lain diformalkan melalui indikator HDI (Human Development Index) yang dikeluarkan PBB setiap tahun, di mana tahun ini Indonesia menempati posisi 111 (terpaut satu angka di atas Vietnam pada 2003).
Pendidikan sendiri dimaknai dalam banyak hal. Dari perspektif kultural, pendidikan adalah proses kultivasi gagasan-gagasan evolusi—yaitu gagasan yang senantiasa ditujukan untuk membuat perubahan-perubahan positif. Meminjam kesimpulan Dr. Andar Ismail (1997), belajar adalah mengubah keseanteroan diri; belajar adalah mengubah diri menjadi manusia baru (Pongtuluran 2000). Maka jelaslah bahwa pendidikan maupun belajar merupakan aktivitas yang bersifat multidimensi. Dengan karakteristik multidimensi sedemikian, maka berbicara mengenai pembangunan dan pembenahan pendidikan mestinya tidaklah setengah-setengah, melainkan harus dalam kerangka multidimensi.
Secara konstitusional, Pemerintah Indonesia menjadikan pendidikan sebagai salah satu tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 45 yang kutipannya berbunyi “... mencerdaskan kehidupan bangsa.” Tujuan ini diimplementasikan dalam program-program pembangunan, mulai dari REPELITA hingga PROPENAS 2004 yang menjadi acuan pembangunan sektor pendidikan paling mutakhir. Namun, bagaimana sesungguhnya kondisi dunia pendidikan di Indonesia?
Tanpa bermaksud menafikan prestasi cemerlang para pahlawan di dunia pendidikan, agaknya mesti diakui kalau nyaris semua media membicarakan fenomena yang sama: bahwa pendidikan Indonesia sedang terpuruk, bahwa krisis multidimensi yang parah tengah melanda dunia pendidikan Indonesia, bahwa pendidikan Indonesia tak punya arah, visi dan misi yang jelas. Kenyataan menunjukkan, dana APBN yang diperuntukkan bagi pendidikan tak lebih dari 4 persen setiap tahun, masih jauh dari cita-cita Mendiknas Malik Fadjar sebesar 20 persen dari keseluruhan APBN.
Kesadaran masyarakat untuk membiayai sendiri pendidikan putra-putrinya cukup tinggi, dan diantisipasi dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan swasta. Sayangnya, kurangnya kontrol dan pembinaan menyebabkan lembaga pendidikan swasta banyak yang akhirnya terjebak dalam komersialisasi semata. Indikatornya terlihat jelas ketika lembaga pendidikan swasta menjerit kekurangan siswa tahun-tahun belakangan ini, dan gencar beriklan untuk menarik minat mahasiswa baru (Astuti, 2003). Nyatalah bahwa ternyata pemasukan utama, dan kemungkinan satu-satunya, hanya bersumber dari tuition fee yang dibayarkan oleh para siswa. Pada kondisi sedemikian, tentu sulit ditepis anggapan bahwa siswa dijadikan sapi perahan dalam bisnis pendidikan.
Kondisi ini berimbas pada merosotnya mutu pendidikan di Indonesia, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga lain. UI, barometer universitas multidisiplin di Indonesia, hanya menempati peringkat 61 dalam daftar universitas terbaik di Asia versi Asiaweek 2000. UGM di peringkat 68, Undip di peringkat 77, Unair di peringkat 75—Unpad malah tidak disebut-sebut sama sekali. Untuk kategori universitas sains dan teknologi, ITB berada di peringkat 21, kalah dari Universitas Nasional Sains dan Teknologi Pakistan—sebuah negeri yang hingga kini dililit ancaman perang saudara, kekerasan, kemiskinan, dan intrik politik yang lebih parah daripada Indonesia. Pendidikan di Indonesia pun kalah dari India. Walaupun peringkat HDI (Human Development Index)-nya jauh di bawah Indonesia, namun India mampu mengekspor sarjana-sarjana IT (information technology) dan sarjana-sarjana bidang lain yang cerdas ke negara-negara Barat[1]. Para ahli dan punya nasionalisme tinggi, sehingga setelah kaya kembali lagi ke negaranya untuk menanamkan investasi di sebuah kawasan yang disebut-sebut sebagai Lembah Silikon-nya Asia.
Tidak ada pendidikan yang murah. Masalahnya adalah, siapa yang harus membayarnya? Kewajiban pemerintah adalah menjamin setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dasar dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Sayangnya, kehendak meningkatkan anggaran pendidikan hingga 20 persen, seperti dinyatakan Mendiknas Malik Fadjar, baru sebatas angan. Tak salah bila Toenggoel Siagian, pejabat Direktur Eksekutif Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD), menyatakan bahwa “Pendidikan di Indonesia hanya dianggap sebagai ritus pendewasaan. Tidak lebih dari itu” (Kompas, 4 September 2004).

5.2. Media Massa
Media, dalam pengertian tradisional, dimaknai sebagai “...something that carries some kind of communication (Berger, 2003:22).” Pengertian ini mengarahkan kita pada definisi lain yang tak kalah penting tatkala berbicara tentang media, yaitu komunikasi. Komunikasi adalah kegiatan yang melibatkan pengiriman pesan dari sumber ke penerima yang dapat mendekode atau memahami pesan yang telah dikirimkan. Nyatalah di sini bahwa media tidak sekadar membawa “teks”, tetapi juga mempengaruhi teks-teks ini dengan pelbagai cara.
Media komunikasi meliputi banyak hal, mulai dari suara kita sendiri, badan kita selaku pengirim pesan, hingga video dan internet. Namun, yang menjadi concern kita adalah media massa. Technically speaking, media massa adalah perangkat dari komunikasi massa, yang—berbeda dengan bentuk komunikasi lainnya—melibatkan aktivitas pengiriman pesan secara terbuka, serempak, pada khalayak secara meluas. Sepintas, tak ada yang ‘berbahaya’ dengan hal ini. Kendati demikian, permasalahan mulai timbul ketika media massa yang mulai mendominasi kehidupan masyarakat tampil dengan content yang menjauhkan kita dari cita-cita menciptakan public sphere yang sehat.
Klasifikasi media massa sangat beragam. Klasifikasi klasik membedakan media massa dalam jenis media cetak, media elektronik audio (radio), dan media elektronik audivisual (televisi). McLuhan datang membawa klasifikasi tersendiri. Ia membedakan media dalam terminologi hot media vs. cool media. Hot media ditandai dengan high definition—suatu kondisi yang menjadikan media ybs dipenuhi data, namun hanya sedikit melibatkan partisipasi pemakainya. Contohnya radio, film, album foto, dan sebagainya. Cool media, di sisi lain, adalah media low definition—data sedikit, namun ditandai dengan tingkat partisipasi pemakai yang tinggi. Contohnya telepon, show televisi, dialog, dan sebagainya. Saat ini, dengan berkembangnya internet, klasifikasi-klasifikasi komunikasi mau tidak mau harus direorganisasi. Fiddler dalam bukunya “Mediamorphosis” (2003) menawarkan klasifikasi baru yang membedakan media komunikasi dalam domain teks dan domain penyiaran—internet termasuk ke dalam domain terakhir ini.
Dalam karya tulis ini, istilah ‘media’ maupun ‘media massa’ dipertukarkan secara bebas, dan digunakan untuk memaknai media sebagai perangkat komunikasi massa, semata-mata demi alasan kemudahan saja. Namun dalam kaitannya dengan media literacy, media dimaknai sebagai : (1) Alat dan materi untuk mentransmisikan informasi; (2) Medium untuk merekam dan melindungi informasi; (3) Informasi atau pesan-pesan yang didistribusikan di media (MPT, 2002).

5.3. Media Literacy
Media literacy dikonsepkan sebagai “...the ability to access, analyse, evaluate and create messages across a variety of contexts (Livingstone, 2003)[2].” Wikipedia, the free encyclopedia, menyebutkan bahwa media literacy adalah ketrampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian.
Konsep media literacy pertama kali diperkirakan muncul pada tahun 1980an, dan kini telah menjadi standar topik kajian di sekolah-sekolah berbagai negara. Secara logis dapat dipahami, konsep ini tidak muncul dari kalangan media, melainkan dari para aktivis dan akademisi yang peduli dengan dampak buruk media massa yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan kapitalis hingga menafikan kepentingan publik.
Pemikiran sejumlah tokoh komunikasi-filosof terkemuka memicu lahirnya konsep media literacy. Sonia Livingstone (2004) mencatat sosok-sosok seperti teorisi komunikasi Kanada Marshall McLuhan[3], ahli linguistik Kritis Amerika Noam Chomsky[4], filosof Prancis Jean Baudrillard[5], kritikus komunikasi Amerika Serikat Neil Postman[6], dan perintis media education Amerika: Renee Hobbs[7]. Landasan teoritis media literacy sendiri bersumber dari tradisi pemikiran Kiri, yang berkembang dalam cultural studies (Leftist Cultural Studies). Seperti diungkapkan Livingstone (2004), media literacy adalah “... a synthesizer of media education projects dating back to 1920s ... act as an umbrella term for teaching practices that make students aware of the construct of mass media.”
Media literacy kerap disalahkaprahkan dengan media education. Sesungguhnya, media literacy perlu dibedakan pengertiannya dari media education. Media literacy bukanlah media education, kendati yang terakhir ini kerap menjadi bagian dari yang pertama. Media education memandang media dalam fungsi yang senantiasa positif, yaitu sebagai a site of pleasure—dalam berbagai bentuk. Sedangkan media literacy yang memakai pendekatan inocculationist berupaya memproteksi anak-anak dari apa yang dipersepsi sebagai efek buruk media massa. Penggunaan media dan produk media sebagai bagian dari proses belajar mengajar, misalnya mempelajari cara memproduksi film independen atau menggunakan suratkabar sebagai sumber penelusuran data, tergolong dalam media education. Adapun media literacy bergerak lebih jauh dari itu. Dengan pendekatan yang lebih kritis, media literacy tidak hanya mempelajari segi-segi produksi, tetapi juga mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa muncul akibat kekuatan media. Media literacy mengajari publik memanfaatkan media secara kritis dan bijak.

5.4. Media Massa di Tengah Masyarakat: Sahabat atau Musuh?
Diskusi seputar pendidikan dan media massa mau tak mau melarikan kita pada diskusi besar yang tak pernah berakhir seputar efek media massa: positif atau negatif? Di balik keterpesonaan kita pada kecanggihan teknologi media massa, serta kemampuannya untuk memperpanjang kapabilitas manusia (McLuhan, 1966), media massa laksana sekeping koin dengan sisi positif dan negatif sekaligus! Ini tecermin dalam pandangan-pandangan-pandangan yang sangat bertolakbelakang dalam menyoal fungsi dan efek media massa di tengah sistem sosial.
Paradigma fungsionalisme struktural dalam kubu sosiologi memandang media massa sebagai salah satu subsistem yang berfungsi menunjang keberlangsungan sistem sosial. Media massa di sini dimaknai secara positif, memberi kontribusi fungsional bagi pemeliharaan sistem kemasyarakatan yang sehat. Kondisi ini bisa dikatakan berlaku baik situasi yang diistilahkan Parsons sebagai ‘solidaritas mekanis’ di mana media massa dipandang sebagai salah satu sarana atau alat, atau baut dari mesin besar masyarakat. Pun bisa berlaku pada situasi yang diistilahkan oleh Durkheim sebagai ‘solidaritas organik,’ di mana media massa dipandang sebagai salah satu subsistem dalam hubungan organis dalam sistem besar kemasyarakatan.
Bertitiktolak dari pandangan ini, maka relasi antara media massa dan pendidikan dipandang sebagai sesuatu yang niscaya bersifat positif—keduanya merupakan subsistem dalam sistem masyarakat, unit kecil dari pranata kultural dengan fungsinya masing-masing. Media massa sebagai sarana komunikasi memiliki fungsi sebagai perangkat transmisi, atau sebagai pemelihara social bondings—ikatan-ikatan sosial. Sementara, pranata pendidikan memiliki fungsi memelihara unit sosial melalui sosialisasi nilai-nilai kultural—fungsi edukatif pendidikan lewat social maintenance. Pendidikan dan media massa bisa berada dalam satu pranata kultural. Tapi bisa juga berada dalam subsistem yang berbeda. Namun, apakah dalam subsistem yang sama ataupun terpisah, relasi antara keduanya, dalam paradigma fungsionalisme struktural, senantiasa dimaknai positif.
Dalam wacana komunikasi, beberapa teori memperlihatkan relasi positif ini. Efek positif media massa tampak pada wacana teori Difusi Inovasi yang populer di tahun 70an, sebagai salah satu doktrin Komunikasi Pembangunan yang disebarkan ke negara-negara berkembang. Salah satu premis teori itu menyebutkan bahwa kehadiran media massa secara signifikan terkait dengan kemajuan sebuah bangsa, yang tampak lewat indikator ekonomi. Di sini, kehadiran media massa menjadi penanda signifikan bagi growth—pertumbuhan. Media massa dijadikan sebagai salah satu variabel dari akselerator yang mampu mempercepat tingkat pembangunan, terutama dalam kaitannya dengan sosialisasi inovasi-inovasi pembangunan pada tataran praktis (mesin, metode) maupun tataran ideologis (nilai-nilai).
Teori lain yang memperlihatkan fungsi positif media massa dinyatakan oleh Albert Bandura dalam Social Learning Theory. Teori ini mengasumsikan media massa sebagai salah satu sarana belajar manusia. Lewat reportase media massa, atau lewat produk media massa, masyarakat belajar mengenali dunia, sekaligus belajar menjadi makhluk sosial. Ini selaras dengan asumsi media massa versi Marshall McLuhan, yang mengandaikan media komunikasi sebagai the extension of men—perpanjangan tangan manusia.
Kita beralih pada paradigma lain yang bertolakbelakang. Berlawanan dengan paradigma fungsionalisme struktural yang memandang media massa dalam relasi yang secara implisit bersifat positif dikaitkan dengan subsistem sosial lainnya, paradigma Kritis yang dirumuskan oleh tokoh-tokoh Neomarxis justru memandang media massa sebagai salah satu alat propaganda ampuh yang digunakan oleh rezim berkuasa untuk memanipulasi kesadaran masyarakat. Ini selaras dengan asumsi teori Kritis yang menyatakan bahwa masyarakat terdiri dari kelas-kelas yang saling bertarung memperebutkan ruang, dan bahwa dalam perebutan ruang tersebut senantiasa ada kelas dominan yang menguasai ruang dan kelas subordinan yang dikuasai oleh kelas dominan tersebut. Mekanisme penguasaannya sendiri bermacam-macam. Menurut Marx dalam teori klasiknya, proses subordinasi ini dilakukan kelas dominan dengan menciptakan false consciousness—kesadaran semu—bagi kelas tertindas. Dalam versi yang lebih mutakhir, Antonio Gramsci mengajukan gagasan hegemoni, yaitu proses penguasaan kesadaran dengan menciptakan kesepakatan sehingga orang-orang terkondisikan untuk setuju dengan kehendak kelompok berkuasa.
Implikasinya, ketika fenomena ini terkait dengan media massa, maka tak ada media massa yang netral dan objektif. Media massa diyakini mengandung intensi-intensi tertentu, sesuai kehendak orang yang berada di balik operasionalisasi media. Dalam hal ini, agen yang berada di balik operasionalisasi media massa adalah the ruling class—kelompok dominan yang berkuasa. Louis Althusser, tokoh Neomarxis lain menjelaskan dengan baik mekanisme media massa beroperasi sebagai agen kelompok dominan. Althusser menyatakan, negara yang merupakan representasi kelompok berkuasa memiliki dua perangkat negara, yang berfungsi ‘memaksakan’ kekuasaan dengan caranya masing-masing. Perangkat pertama, Repressive State Agency (RSA), adalah instrumen kekuasaan negara yang bersifat ‘memaksa’—ini diimplementasikan dalam bentuk undang-undang yang menetapkan kriteria pelanggar hukum, polisi, hukum positif, dan lain-lain. Perangkat kedua, Ideological State Agency (ISA), berfungsi memaksakan ideologi kelompok berkuasa secara halus. ISA diimplementasikan dalam bentuk pendidikan, agama, dan media massa.
Stuart Hall, salah satu eksponen British Cultural Studies, lebih lanjut lagi mendeskripsikan mekanisme hegemoni oleh media massa dalam kapasitasnya selaku perangkat ISA:
Now consider the media—the means of representation. To be impartial and independent in their daily operations, they cannot be seen to take directives from the powerful, or consciously to be bending their accounts of the world to square with dominant definitions. But they must be sensitive to, and can only survive legitimately by operating within, the general boundaries or framework of ‘what everyone agrees’ to: the consensus... But, in orienting themselves in ‘the consensus’ and, at the same time, attempting to shape up the consensus, operating on it in a formative fashion, the media become part and parcel of that dialectical process of the ‘production of consent’—shaping the consensus while reflecting it—which orientates them within the field of force of the dominant social interests represented within the state.
(Hall, hal. 87, dalam Turner, 1996:192)
Media massa, dengan menyeleksi event-event tertentu, atau dengan membahasakan dan melabeli fakta-fakta tertentu, menciptakan kesadaran semu di tengah masyarakat seputar realitas sosial yang mereka hadapi. Media massa memiliki kuasa seperti ini, karena politik pengemasan berita dan isi media lain pada umumnya tidaklah bersifat objektif sama sekali, melainkan sangatlah subjektif. Dalam kerangka sedemikian, dapat dipahami bahwa relasi antara media massa dan masyarakat umum (baca: kelas subordinan) bersifat negatif. Tentu saja dapat dipahami pula bahwa relasi antara media massa dan pendidikan, yang sama-sama merupakan instrumen ISA, bisa saja memiliki hubungan saling memberdayakan demi langgengnya kekuasaan. Tetapi, dalam situasi di mana media massa dikuasai oleh kelompok kapitalis neoliberal, para aktivis teori Kritis menilai, keberadaan media massa dengan efek negatifnya mengancam semua sektor kehidupan manusia, termasuk pendidikan.
Teori-teori efek mutakhir selanjutnya meneguhkan asumsi ini. Penelitian Gerbner (1992) yang melahirkan Teori Kultivasi memperlihatkan efek berupa pengaburan antara realitas nyata dan realitas simbolik –terutama tentang kekerasan—yang ditampilkan televisi terhadap para penonton yang dikategorikan dalam golongan heavy viewers (penonton yang menghabiskan waktu di depan TV minimal 3 jam sehari). Fear Theory lebih jauh lagi memperlihatkan fenomena sejumlah perempuan di lingkungan ‘hitam’ seperti ghetto dan slums yang ketakutan keluar rumah atau apartemen masing-masing—mereka adalah para pecandu tayangan-tayangan kriminalitas.
Bagaimana dengan Indonesia? Belakangan ini, media massa Indonesia mendapat serangan gencar dari para pemerhati budaya maupun pakar-pakar pendidikan. Media massa di Indonesia, khususnya televisi (dan belakangan film), dianggap ‘menghambat rekonstruksi kebudayaan’ (Siregar, 2004), ‘memperkeruh moral publik’ (KPI, 2004), walaupun di sisi lain –seiring dengan perubahan paradigma pola asuh—memberi pembelajaran bagi mahasiswa untuk berkiprah dalam ruang publik yang demokratis lewat demonstrasi (Basir, 2004). Pasalnya, dengan terbukanya keran kebebasan pers, media massa semakin berani mempertontonkan hal-hal yang semula dianggap tabu bagi masyarakat. Di satu sisi, seperti dalam penelitian Basir, hal ini memberikan efek positif karena masyarakat, khususnya generasi muda, mendapatkan pola asuh yang berbeda dari pola asuh otoriter tradisional. Di sisi lain, kehadiran media massa yang belum mampu secara dewasa menyikapi kebebasannya menyebabkan ekses-ekses negatifnya—seperti pornografi, pelanggaran batas privasi, ekspos kekerasan dan mistik supranatural yang berlebihan—lebih banyak ‘dirayakan’ publik ketimbang memberi pembelajaran bagi publik bagaimana menjadi warganegara yang bertanggungjawab dalam sistem negara yang demokratis.
Media massa dalam era keterbukaan dan kebebasan pers sekarang ini nyatanya tetap menjadi alat kepentingan kelompok berkuasa. Karena itu, dalam situasi era Reformasi sekarang ini, tetap saja media massa tidak bebas sepenuhnya mewujudkan dirinya—media massa bagaimanapun merupakan ajang kontestasi berbagai kepentingan. Ketika media massa tidak lagi dikuasai negara, maka jatuhlah media massa pada tangan kekuatan ekonomi—yang mewujud dalam bentuk kapitalisme liberal. Gejala inilah yang disinyalir terjadi dalam konstelasi media massa di Indonesia belakangan ini, yaitu jatuhnya media massa dalam kekuatan-kekuatan ekonomi kapitalis neoliberal yang mementingkan profit semata (Hidayat, 2003). Dan inilah yang membuat media massa saat ini seolah menjadi public enemy—musuh masyarakat.

VI. Pembahasan
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi solusi mengatasi ancaman dominasi media massa di tengah masyarakat terhadap pendidikan sebagai upaya meningkatkan kualitas bangsa. Sesuai dengan rumusan permasalahan penelitian, maka alur pikir dalam pembahasan akan dimulai dari eksplorasi fungsi media massa sebagai salah satu sentra pendidikan (berikut tantangan-tantangannya), dilanjutkan dengan pembahasan mengenai media literacy sebagai alternatif solusi mengatasi ancaman dominasi media massa di tengah masyarakat terhadap visi dan misi pendidikan.

6.1. Media Massa Sebagai Sentra Pendidikan
Dalam kondisi the Age of Media Society (Croteau, 2002), dominasi media massa dalam kehidupan kita memang tidak terhindarkan lagi. Dengan segala kelebihannya, media massa nyaris menawarkan semua hal yang dibutuhkan manusia: hiburan, informasi, pelarian masalah, solusi, identitas—semua serba niscaya. Kemajuan teknologi telekomunikasi bahkan mengalahkan ruang dan waktu, menjadikan media sebagai sarana ampuh untuk pencapaian tujuan apapun.
Teori efek komunikasi massa mengenal tiga tingkatan efek (media) komunikasi: efek kognitif (bergerak pada tataran perubahan kognisi), efek afektif (berkisar pada tataran perubahan opini), dan efek behavioral/konatif (di seputar perubahan sikap). Lihat saja, misalnya, betapa besarnya pengaruh iklan-iklan media massa, terutama iklan televisi. Tidak sekadar menginformasikan produk (efek kognitif), iklan juga mampu mengubah preferensi terhadap produk (dari tidak punya pendapat menjadi merasa membutuhkan—efek afektif), hingga pada akhirnya khalayak media merasa perlu membeli produk yang diiklankan (efek behavioral). Para aktivis advokasi konsumen memandang efek ini sebagai efek negatif dari perekayasaan kebutuhan untuk memacu konsumsi (dan sifat konsumtif) khalayak, biarpun biro iklan mengklaimnya sebagai demokratisasi pasar—terbukanya akses publik untuk mengetahui bermacam-macam produk, yang dapat mencegah monopoli satu pihak untuk mengeksploitasi pasar dan publik.
Di balik kontroversi ini, tentu saja media memiliki manfaat. Manfaat media massa yang paling umum, seperti dinyatakan oleh para pakar komunikasi, paling tidak terletak pada tiga hal: to inform, to persuade, to entertain, to educate. Menginformasikan, membujuk, menghibur dan mendidik. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, fungsi terakhir-lah, yaitu mendidik (to educate), yang akan dieksplorasi.
Terkait dengan kepentingan pendidikan, ada sejumlah manfaat media yang amat membantu proses pendidikan. Dengan segala kelebihannya, sebagaimana diilustrasikan McLuhan berulangkali dengan frasenya yang terkenal ‘the extension of men’, kehadiran media melengkapi kekurangan proses belajar mengajar tradisional di sekolah. Dominasi guru sebagai satu-satunya narasumber berhasil diimbangi oleh media massa yang menyediakan sumber-sumber rujukan alternatif bagi pengetahuan siswa. Sejumlah sekolah (tak hanya universitas!) bahkan melengkapi sarananya dengan fasilitas internet yang memungkinkan siswa mendapatkan literatur tak terbatas.
Teknologi media juga membuka kemungkinan mengoptimalkan proses belajar mengajar. Penggunaan fasilitas teleconference, misalnya, sudah semakin umum. Fasilitas ini tidak saja mampu menghadirkan dosen tamu yang sibuk di belahan bumi yang berbeda. Berkat fasilitas ini, sejumlah terobosan akademik bahkan telah memungkinkan untuk dilakukan. Contohnya, sidang tesis atau disertasi yang menghadirkan panel penguji secara maya lewat teleconference. Ini belum termasuk dukungan media komunikasi dalam presentasi-presentasi materi pembelajaran. Studi-studi efek media komunikasi modern memperlihatkan korelasi positif antara efektivitas penggunaan teknologi komunikasi dengan proses pembelajaran siswa. Sepintas, inilah agaknya kondisi ideal yang berhasil diciptakan berkat kehadiran media komunikasi (termasuk media massa) sebagai pendukung sistem belajar mengajar yang aktif, dan mengasyikkan bagi siswa.
Kendati demikian, bila dicermati secara holistik, sesungguhnya media seperti koin berkeping dua. Media bisa menjadi hamba yang baik, tetapi juga tuan yang membelenggu (Lie, 2004). Terlebih lagi bila dikaitkan dengan tujuan to educate. Betulkah media komunikasi, khususnya media massa, punya fungsi seampuh dan semulia itu—mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa?
Fakta memperlihatkan, isi media massa di Indonesia, khususnya televisi, saat ini didominasi oleh informasi bertema kekerasan, pornografi, gosip selebritis, dan mistis supranatural (Yuniati & Santi :2003). Masih ada pula acara-acara genre reality show yang memperlihatkan rendahnya apresiasi pekerja produksi media terhadap batas privasi seseorang dalam ruang publik di ranah penyiaran maupun ranah media massa lainnya. Media massa seperti Kompas dan Metro TV memang konsisten memelihara tradisi pemberitaan yang cerdas dan kritis. Masalahnya adalah, berapa banyak orang yang membaca Kompas atau menonton Metro TV? Walaupun tiras Kompas cukup tinggi, tetap saja kehadirannya tidak bisa menyaingi media-media ‘kuning’ seperti Lampu Merah, Non Stop, dan Pos Kota yang mengekspos seks dan kekerasan. Nilai destruktif yang ditawarkan media malah sudah mencapai titik keprihatinan yang memaksa para rohaniwan—didukung oleh masyarakat yang peduli dengan moralitas bangsa—untuk bereaksi. Film Buruan Cium Gue yang ditarik dari peredaran memperlihatkan fenomena ini. Dan kita patut mensyukuri karena publik mulai berani menyatukan langkah guna bereaksi menyuarakan keprihatinan mereka.
Tetapi, bagaimana dengan content media yang lain? Gempuran iklan yang mendorong anak dan masyarakat pada umumnya untuk bersikap konsumtif masih luput dari perhatian, walaupun visualisasi iklan nyata-nyata telah melanggar Kode Etik Periklanan. Demikian juga dengan keberadaan play station house yang marak di perkampungan. Tindakan pemerintah maupun masyarakat sendiri tampak nihil, walaupun kehadiran play station house tersebut nyata-nyata menimbulkan efek negatif bagi mereka yang kecanduan.
Perlu dipahami, proses belajar, terlebih ‘belajar’ yang dimaknai secara holistik sebagai ‘pendidikan,’ tidak terjadi dalam ruang hampa, tetapi ada dalam realitas perubahan sosial yang dinamis. Pendidikan di sekolah sendiri merupakan subsistem dari keseluruhan sistem pendidikan. Subsistem-subsistem lain yang mengisi keseluruhan ruang sistem pendidikan, menurut Ki Hajar Dewantara (Lie, 2004), terdiri dari sentra keluarga, masyarakat, serta sekolah. Dalam masyarakat modern yang ditandai oleh renggangnya hubungan antarmanusia karena kesibukan masing-masing, tanggungjawab pendidikan secara berat sebelah ditumpukan pada institusi sekolah, menggantikan peran keluarga dan masyarakat. Pada masyarakat media, yang ditandai oleh dominasi media di segala lini, kehadiran media mengaburkan kenyataan bahwa sesungguhnya ada sentra keempat yang turut bermain dalam proses pendidikan. Sentra tersebut adalah sentra media. Yang dimaksud media di sini adalah segala bentuk tampilan informasi, entah itu berbentuk cetak maupun elektronik, mulai dari koran, komik, film, televisi, play station, sampai internet dan online games. Tidak diragukan lagi, ketika peran orangtua semakin mengabur karena kesibukan kerja masing-masing, ketika peran tetangga dan kerabat juga kian tak jelas seiring merenggangnya ikatan kekeluargaan secara personal, sentra media pun serta-merta menggantikannya dan menggeser peran keluarga dan masyarakat dalam proses pendidikan.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang terjadi ketika sentra media sebagai pengisi ruang sistem pendidikan yang ‘ditinggalkan’ oleh keluarga dan masyarakat lantas berhadapan dengan subsistem sekolah sebagai institusi pendidikan formal? Yang kita saksikan adalah kurikulum sekolah (yang sialnya, bukan cuma kaku-rigid-formal, tapi juga terkesan kurang dinamis dan kurang persiapan dalam mengakomodir perkembangan) berhadapan dengan the hidden curriculum media. Hasilnya adalah kekalahan demi kekalahan. Subsistem sekolah tidak bisa berbuat banyak, tatkala waktu anak lebih banyak tersita untuk berinteraksi dengan media, ketimbang menekuni sekolah. Sistem pendidikan kita memang masih jauh dari ideal, tapi tentu bukan kondisi dominasi media atas sistem pendidikan seperti ini yang diharapkan.
Lantas, solusi apa yang kiranya dapat ditawarkan untuk mengatasi keadaan sedemikian? Pertanyaan ini menghantarkan kita pada bahasan selanjutnya, yang ditujukan untuk memperkenalkan sebuah konsep yang kemungkinan masih baru, bahkan bagi para praktisi komunikasi dan pendidikan di Indonesia dewasa ini: media literacy.

6.2. Media Literacy—Melek Media dengan Pendekatan Inokulasi
Keprihatinan terhadap dominasi media dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya bukan cuma monopoli negara-negara berkembang yang tengah mengalami booming sektor media—baik sebagai sektor publik maupun sektor bisnis-industri. Negara-negara maju yang memiliki interaksi historis cukup panjang dan intens dengan media pun ternyata juga menghadapi permasalahan serupa. Sama dengan permasalahan kita, kehadiran media massa dalam pasar kapitalisme neoliberal menciptakan ancaman bagi nilai-nilai multikultural yang hendak disosialisasikan, dan menjebak media hanya pada content yang itu-itu saja: memanjakan selera (rendah) penonton, untuk menjaga pundi-pundi pemodal media.

6.2.1. Pendekatan Inokulasi sebagai Landasan Penerapan Media Literacy
Dalam visi ideal filosof Juergen Habermas, media dalam sistem yang demokratis semestinya berfungsi sebagai arena ruang publik. Yang dimaksud dengan ruang publik adalah wilayah di mana seluruh anggota masyarakat dapat berinteraksi, bertukar pikiran, dan berdebat tentang masalah-masalah publik, tanpa perlu merisaukan intervensi penguasa politik dan/atau ekonomi (Sudibyo, 2004:70). Potensi demokrasi tercipta dalam ruang publik.
Masalahnya, media sama sekali bukan ruang hampa. Media adalah ajang kontestasi antara pelbagai kepentingan yang berusaha merebut ruang publik, menghegemoni publik. Hal ini diilustrasikan oleh Anthony Giddens dalam Structuration Theory, yang mengandaikan adanya baku sodok (interplay) antara struktur dan agent dalam proses konstruksi ruang sosial. Ini terlihat dalam fenomena media ketika berhadapan dengan kekuatan politis negara dan kekuatan ekonomi pasar. Ketika media dikuasai oleh state regulation, media gagal menciptakan ruang publik. State regulation mendefinisikan kerangka informasi dalam bingkai yang dilegitimasi oleh negara. Hal yang sama juga terjadi ketika media dikuasai oleh kekuatan ekonomi kapitalis. Media, tatkala berhadapan publik, menjadikan publik sebagai komoditas alih-alih melayani kepentingan publik. Hal sedemikian tidak bisa diterima karena dalam kerangka etiknya, media massa mengemban fungsi sosial-politik di samping fungsi ekonomi.
Mengatasi hal ini, penting kiranya menyimak pendapat Richard Falk (1995). Falk dalam bukunya On Humane Government: Toward A New Global Politics mengidentifikasi tiga kekuatan besar dalam era globalisasi: state, market dan civil. Apabila market dan state bersatu menghadapi civil society, akan terbentuk inhuman governance. Maka, agar terbentuk pemerintahan yang humane governance, civil society harus bekerjasama dengan market (Lie, 2004). Kendati demikian, berbicara pasal market media massa di Indonesia, nyata terlihat bahwa jual-beli yang terjadi belum berlangsung dalam proses yang memberikan win-win solution. Dalam pasar media massa saat ini, yang ditandai dengan melemahnya kekuatan state, maka pihak yang senantiasa diuntungkan adalah media massa, sementara publik tetap saja dieksploitasi, dikomodifikasi, dijual ke pengiklan dengan harga mahal. Sebagai balasan atas nilai jualnya, publik tidak disuguhi oleh acara yang mencerdaskan, tapi lebih banyak diberi pilihan sensasionalitas yang hanya mengumbar emosi sesaat.
Menghadapi dunia media massa Indonesia saat ini yang cenderung menyajikan isi tidak berbobot, solusi yang ditawarkan adalah media literacy dengan pendekatan inokulasi. Inokulasi merupakan salah satu pendekatan komunikasi yang populer. Asumsinya, jika akan berhadapan dengan pesan-pesan (persuasif) media, khalayak perlu diinokulasi—diberi suntikan imunitas tertentu. Dengan demikian, khalayak tidak akan jatuh menjadi korban ‘virus’ media massa. Inokulasi merupakan sebuah tindakan intervensi untuk melindungi seseorang dari bahaya tertentu. Dalam hal ini, media massa-lah yang dianggap sebagai sumber bahaya tersebut. Begitu lahir, atau begitu mengenal media, seyogyanya manusia harus langsung diberi suntikan imunitas sebagai antivirus menghadapi ‘virus’ media. Dengan demikian, mereka tidak akan terkena ‘penyakit’ alias efek negatif media.
Apabila virus yang dimaksud dalam analogi ini adalah media massa, maka antivirusnya adalah sebuah konsep yang akan dieksplorasi dalam tulisan ini, yaitu media literacy.

6.2.2. Konsep dan Operasionalisasi Media Literacy
Media literacy dikonsepkan sebagai “...the ability to access, analyse, evaluate and create messages across a variety of contexts (Livingstone, 2003)[8].” Wikipedia, the free encyclopedia, menyebutkan bahwa media literacy adalah ketrampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian. Dalam suatu masyarakat media[9], di mana kontak dengan media menjadi sesuatu yang esensial dan tak terhindarkan, media literacy adalah sebuah ketrampilan yang diperlukan oleh warganegara guna berinteraksi dengan layak dengan media, dan menggunakannya dengan rasa percaya diri. Ketrampilan-ketrampilan ini sesungguhnya memang dianggap penting bagi siapa saja. Namun target utama media literacy adalah kaum muda yang berada dalam proses peneguhan mental dan fisik.
Dalam maknanya yang paling luas, literacy (keberaksaraan) termasuk kemampuan untuk ‘membaca’ dan ‘menulis’ dengan trampil dalam pelbagai bentuk-bentuk pesan, terutama menimbang dominasi media elektronik berbasis citra. Secara sederhana, media literacy termasuk ketrampilan-ketrampilan literacy yang diperluas pada seluruh bentuk pesan, termasuk menulis dan membaca, berbicara dan menyimak, menonton secara kritis, dan kemampuan untuk menulis sendiri pesan-pesan dengan menggunakan pelbagai teknologi. Media literacy bukanlah subyek yang baru, dan juga bukan sekadar tentang televisi, namun merupakan literacy bagi masyarakat informasi. Media literacy adalah semacam code of conduct bagi masyarakat di Era Informasi. Konsep ini dijabarkan dalam tiga kriteria:
Ability to subjectively read and comprehend media content (kecakapan untuk membaca dan memahami isi media secara subjektif), meliputi:
1.1. Ability to understand the various characteristics of media conveying information (kecakapan untuk memahami ragam karakteristik media dalam menyampaikan informasi).
1.2. Ability to analyze, evaluate, and ciritically examine in a social context, and select information conveyed by media (kecakapan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan secara kritis memeriksa media dalam sebuah konteks sosial, serta memilih informasi yang disampaikan oleh media).
Ability to access and use media (kecakapan untuk mengakses dan menggunakan media): ability to select, operate and actively make use of media apparatus (kecakapan untuk menyeleksi, mengoperasikan, dan secara aktif memanfaatkan perangkat-perangkat media).
Ability to communicate through the media, especially an interactive communication ability (kecakapan untuk berkomunikasi melalui media, khususnya suatu kecakapan komunikasi interaktif): ability to express one’s own ideas through media in a way that the recipient can understand (kecakapan untuk mengekspresikan gagasan-gagasan pribadi melalui media dengan suatu cara yang dapat dipahami oleh penerima pesan).
(The Study Group, 2002)[10]
Meninjau operasionalisasi konsep di atas, tampak jelas bahwa ketrampilan-ketrampilan yang dijabarkan sesungguhnya diarahkan untuk membuat manusia tidak gamang berhadapan dengan media, tidak menganggap media adalah segalanya, tidak tunduk di depan media, dan karena itu, dapat memanfaatkan media sesuai dengan keperluannya.
Sebagai sebuah payung untuk memahami politik pengemasan isi media, media literacy memiliki konsep-konsep dasar sbb.:
1. Semua media, pada dasarnya, adalah konstruksi. Media tidak menampilkan refleksi sederhana dari realitas eksternal. Media menampilkan konstruksi yang diatur secara rumit berdasarkan pengambilan keputusan atas pelbagai kebijakan dan pilihan yang sangat luas. Media literacy bermaksud melakukan dekonstruksi atas konstruksi ini.
2. Media mengonstruksi realitas. Bagian terbesar dari media literacy, karena itu, bukanlah ditujukan untuk mempelajari aspek produksi media, melainkan untuk memperlihatkan pada kita bagaimana media melakukan proses konstruksi realitas, sehingga kita bisa mengenali preconstruction reality (realitas yang belum dikonstruksi). Media literacy bermaksud menanamkan kesadaran bahwa medialah yang selama ini telah mengonstruksi realitas kita, bukan kita sendiri. Karena itu, media literacy bertujuan mengembalikan kuasa konstruksi realitas itu pada kita sendiri selaku publik atau khalayak media.
3. Khalayak menegosiasikan makna dalam media. Setiap orang memberikan makna yang berbeda pada apa yang diperolehnya dari media. Setuju, tidak setuju, tidak berpendapat, semua adalah bagian dari proses negosiasi khalayak pada media didasarkan latar belakang kultural, keluarga, preferensi sikap dan nilai, faktor gender, dan sebagainya.
4. Media memiliki implikasi-implikasi komersial. Media literacy, karena itu, memasukkan kesadaran akan ‘dasar ekonomi produksi media massa dan bagaimana hal itu berimplikasi pada isi, teknik, serta distribusi.’ Produksi media adalah sebuah bisnis yang bertujuan akhir mengumpulkan kapital sebanyak-banyaknya. Media literacy menginvestigasi pertanyaan seputar kepemilikan, kontrol, dan efek-efek terkait. Bukan pada efek media semata, tapi pada sosiologi media, yaitu kekuatan sosial-politik-ekonomi yang menentukan isi media.
5. Media berisi pesan-pesan bersifat ideologis dengan nilai-nilai tertentu. Tidak ada media yang netral. Semua produk media dalam taraf tertentu melakukan promosi—untuk dirinya sendiri maupun untuk menawarkan gaya hidup tertentu. Ini meliputi iklan-iklan produk atas nama kesejahteraan hidup—a good life—di balik bayang-bayang konsumerisme, penguatan stereotip domestikasi peran perempuan demi mempertahankan status quo budaya patriarkis, atau peneguhan peran politis dan ideologi partai tertentu yang mengatasnamakan pesan-pesan ‘kebangsaan’ dan nilai-nilai ‘patriotisme.’
6. Media memiliki implikasi sosial politik. Media adalah ajang kontestasi kekuatan sosial politik masyarakat. Media punya kekuatan yang bisa mengarahkan opini publik pada isu-isu tertentu. Misalnya, menggiring opini publik pada kandidat presiden tertentu melalui polling SMS, atau melibatkan partisipasi publik pada isu hak-hak sipil global seperti epidemi AIDS, kelaparan di Dunia Ketiga, sampai pada pemberantasan terorisme internasional.
7. Bentuk dan isi berkaitan erat dengan media. Setiap media, seperti dinyatakan McLuhan, memiliki tatabahasa tersendiri dan mengodifikasikan realitas dalam cara-cara yang unik. Media bisa melaporkan peristiwa serupa, namun kemasan pesannya berbeda-beda. Maka, dengan sendirinya, impresi atas kemasan pesan itupun akan berbeda-beda.
8. Setiap medium memiliki bentuk estetik yang unik. Ekspresi keindahan setiap media berbeda-beda, dan kita dimungkinkan untuk menikmati semuanya, kendati kesan dan preferensi orang akan berbeda-beda hingga efeknya pun tak sama.
Prinsip-prinsip ini harus dicakup dalam upaya mengimplementasikan media literacy, entah itu dalam ranah publik secara informal maupun dalam ranah cultural maintenance secara formal yang diwujudkan melalui lembaga-lembaga pendidikan.

6.2.3. Penerapan Media Literacy di Negara-Negara Lain
Penelusuran literatur memperlihatkan, setiap negara ternyata mengadopsi konsep media literacy secara berbeda. Di Inggris dan Australia, media literacy menjadi bagian kurikulum yang diarahkan dan ditetapkan oleh pemerintah. Di Amerika Serikat, konsep media literacy tidak begitu tersebar meluas karena tidak ada departemen sentral yang mengurusi masalah kurikulum. Otonomi setiap negara bagian begitu besar hingga masing-masing punya kebijakan sendiri-sendiri. Gerakan media literacy di Prancis melibatkan lembaga-lembaga penyiaran publik, sementara di Jerman fungsi ini dilakukan oleh lembaga-lembaga penyiaran regional. Paling tidak sejak 1992, Jepang menjadi wakil negara Asia yang menaruh kepedulian besar terhadap media literacy. Kementerian Pos dan Informasi (MPT) bersama sejumlah akademisi Universitas Tokyo merancang skema upaya-upaya untuk mengintegrasikan konsep media literacy, baik dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah secara formal, maupun dalam advokasi pada seluruh elemen masyarakat. Ini meliputi gerakan-gerakan advokasi media literacy pada level pemerintah, media massa, dan LSM. Upaya ini dilakukan secara nasional. Namun, dari keseluruhan negara yang menerapkan media literacy, Kanada agaknya merupakan negara terdepan dalam menjalankan aktivitas media literacy.
Kanada adalah sebuah negara yang penduduknya memiliki kekritisan dan kesadaran kewarganegaraan yang tinggi dalam menyikapi isu-isu dunia, mulai dari isu konservasi lingkungan, hak asasi manusia, hingga perlawanan aktif terhadap kapitalisme neoliberal. Kanada, karenanya, memiliki tradisi aktivitas advokasi dan partisipasi aktif yang menyejarah. Dalam hal media literacy, selain melibatkan media penyiaran publik seperti The Canadian Radio-Television Telecommunications Commission (CRTC), sejak musim gugur 1999, setiap propinsi di Kanada diwajibkan untuk menyelenggarakan program pendidikan media literacy (terutama dalam pelajaran sastra). Ini belum termasuk aktivitas tak tercatat yang dilakukan oleh kelompok-kelompok komunitas di pelbagai pelosok. Keseriusan Kanada dalam ihwal media literacy secara politis juga diwujudkan pemerintah lewat sertifikasi lisensi media literacy—pengajar yang dibolehkan mengajarkan media literacy di sekolah-sekolah hanya mereka yang telah lolos uji sertifikasi lewat uji akademik maupun uji publik. Ada standar-standar kecakapan tertentu yang harus dimiliki, dan ditinjau ulang secara periodik untuk menyesuaikan kualifikasi pemegang lisensi dengan perkembangan zaman, sekaligus guna memastikan bahwa misi media literacy tidak bergeser.
Bagaimana dengan Indonesia? Gerakan media literacy masih tergolong baru. Jangankan dalam kurikulum sekolah, konsep ini bahkan tidak disinggung sama sekali dalam kurikulum fakultas-fakultas komunikasi. Kendati demikian, bukan berarti gerakan media literacy ini tidak ada. Setidaknya, walau masih bergerak di wilayah lokal, upaya komunitas-komunitas masyarakat maupun kelompok-kelompok studi dalam memperkenalkan dan menyelenggarakan media literacy sudah berjalan. Di Bandung, misalnya, kendati tidak dideklarasikan secara formal-eksklusif, sebuah toko buku komunitas di kawasan Dago bernama Tobucil secara teratur menyelenggarakan diskusi-diskusi media dengan tema-tema tertentu. Beberapa tema yang pernah diangkat terkait dengan media literacy adalah Media and Violence, Film and Women, Media and War, dan Ekonomi-Politik Media. Program yang dimulai sejak tahun lalu itu masih berlangsung hingga kini. Program serupa juga dilakukan secara rutin, dalam bentuk diskusi dan pemutaran film, di Program Studi Filsafat Universitas Parahyangan Bandung, lewat unit kegiatan Kinesofia. Di Jakarta, beberapa toko buku komunitas seperti QB, Aksara, dan Kinokuniya bekerjasama dengan sejumlah penerbit, LSM, Kedutaan Besar asing, serta akademisi menyelenggarakan diskusi reguler guna mengimplementasikan prinsip-prinsip media literacy. Demikianlah gerakan media literacy sudah dimulai lewat jejaring sosial, bergerak dari satu sel ke sel lain di tengah masyarakat.

6.2.4. Mewujudkan media literacy di Indonesia: Belajar dari Pengalaman Jepang
Seperti telah disinggung di atas, konsep media literacy masih tergolong baru. Kendati demikian, hal ini tidak perlu menimbulkan pesimisme karena walaupun tergolong baru, sudah ada elemen-elemen masyarakat yang mulai bergerak. Gerakan ini perlu didukung hingga media literacy menjadi agenda nasional yang didukung masyarakat secara nasional dan secara politis dilembagakan pemerintah sama halnya dengan gerakan-gerakan anti korupsi, gerakan solidaritas nasional, gerakan konservasi lingkungan, dan gerakan perlindungan HAM dan kebebasan pers.
Untuk mewujudkan impian ini, kita bisa menimba pengalaman dari negara lain yang sudah lebih dulu mengimplementasikan media literacy sebagai agenda nasional. Dari sekian banyak negara yang sudah ‘melek’ media literacy, Jepang adalah model yang bisa diteladani, dengan asumsi: (1) Sebagai sesama ‘saudara Asia’, Jepang memiliki kesamaan karakteristik dengan Indonesia. Contohnya saja, budaya Jepang bersifat paternalistik dan patriarkis; (2) Saat ini, dalam beberapa hal, media massa Jepang dan Indonesia saat ini nyaris sama liberalnya; (3) Kendati bersifat liberal, sesungguhnya kultur Jepang dan Indonesia masih belum begitu permisif untuk pemikiran-pemikiran alternatif yang bersifat kritis. Kata ‘kritis’ dalam budaya Jepang cukup sensitif. Karena itu, harus disampaikan secara hati-hati berhubung bisa menimbulkan konotasi ‘tak santun’ dan tidak menghormati tradisi serta orangtua—suatu tradisi yang masih mengakar hingga sekarang. Hal ini kurang lebih juga sama di Indonesia, terutama dalam wilayah-wilayah yang menerapkan birokrasi hierarkis—baik formal (misalnya di tempat kerja) maupun nonformal (misalnya dalam lingkungan kekerabatan). Penulis berasumsi, kesamaan karakteristik dan ‘pengalaman budaya’ akan memudahkan upaya mengadopsi strategi menjadikan media literacy sebagai agenda nasional.
Selanjutnya, inilah langkah-langkah Kementerian Pos dan Telekomunikasi Jepang, bekerjasama dengan Universitas Tokyo untuk media literacy. Cetakbiru ini dipublikasikan dalam situs web Center of Media Literacy sejak Oktober 2002.

1. Identifikasi Isu dan Permasalahan Terkait dengan Media Literacy
Isu-isu dan permasalahan yang berhubungan dengan media literacy melibatkan upaya advokasi dan sosialisasi serta implementasi dalam tahapan-tahapan sbb.
(1) Pengenalan media literacy. Ini meliputi sosialisasi dan penyamaan persepsi seputar media literacy. Di Jepang, tahapan pertama bergerak dalam tataran kecakapan memanfaatkan komputer dan media komunikasi lain untuk memproduksi pesan. Kemudian dilanjutkan pada tataran kecakapan untuk membaca dan memahami isi media, sebelum meningkat ke tataran mengkritisi media dan berpartisipasi aktif dalam berinteraksi dengan media.
(2) Penempatan dalam kurikulum. Sekolah-sekolah Jepang, dari perspektif mengembangkan kecakapan untuk menangani informasi, mengembangkan langkah-langkah media literacy yang diintegrasikan dalam kurikulum sekolah.
(3) Mengembangkan pendekatan praktis di Jepang. Dengan berbagi pengalaman, informasi, serta hasil riset dengan negara-negara lain, Jepang berusaha mencari cara-cara paling praktis dan sederhana untuk menyosialisasikan media literacy. Saat ini, pusat media literacy Jepang di bawah Kementerian Pos dan Telekomunikasi telah memproduksi sendiri video dan bahan-bahan pelatihan media literacy yang disesuaikan dengan kondisi budaya Jepang.
(4) Pendekatan-pendekatan belajar aktif (Active Learning). Pendekatan pasif melalui instruksi kelas disadari tidak mencukupi. Penerapan perspektif belajar aktif; yaitu berpikir dan menerapkan prinsip media literacy dalam kasus sehari-hari, diyakini memberi dampak signifikan bagi sosialisasi konsep media literacy.
(5) Mengembangkan kerjasama dengan semua pihak yang berkepentingan dengan media literacy.
Berdasarkan identifikasi atas isu dan permasalahan terkait dengan media literacy, lantas dirumuskan upaya-upaya untuk menyosialisasikan media literacy.
2. Upaya-upaya untuk Menyebarkan Media Literacy
(1) Menanamkan kesadaran dan mengembangkan prinsip-prinsip dasar media literacy. The Study Group yang didirikan sebagai hasil kerjasama pemerintah dan akademisi informasi di Universitas Tokyo mempublikasikan buletin berisi isu-isu media literacy, di samping menyelenggarakan workshop dan riset-riset media literacy.
(2) Mengembangkan lingkungan yang kondusif untuk menerapkan media literacy. Ini dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya:
- Mengembangkan materi media literacy untuk pelbagai kelompok usia yang potensial dari latar belakang pendidikan maupun profesi yang berbeda-beda, dan disampaikan dalam berbagai media maupun bentuk-bentuk komunikasi.
- mempromosikan pendidikan media literacy sebagai bagian dari pendidikan formal di sekolah.
- mengembangkan sumberdaya manusia untuk instruktur dan fasilitator media literacy.
- membuka dan mengintensifkan interaksi antara lembaga penyiaran (dalam berbagai bentuk) dan khalayak. Saat ini, para broadcaster Jepang telah mendirikan organisasi mediasi, atau semacam ombudsman, yang menengahi kepentingan broadcaster dengan kepentingan publik. Lembaga independen ini bernama the Broadcast and Human Rights/Other Related Rights Organization (BRO) dan Young People’s Committee, tugasnya saat ini adalah menanggapi opini-opini dan keluhan-keluhan dari khalayak seputar media.
Upaya-upaya ini lantas diimplementasikan dalam pelbagai aktivitas yang bisa kita simak dalam sub bab berikut ini.
3. Sistem dan Aktivitas Pendidikan Media Literacy di Setiap Sektor
Sektor
Sistem dan Aktivitas Media Literacy
Pemerintahan
1. Sejumlah perwakilan the Study Group di daerah melaporkan pendeklarasian dan pengakuan seputar pentingnya media literacy, diikuti dengan pemberian arahan-arahan oleh pemerintah via Kementerian Postel dan Kementerian Pendidikan.
2. Pemerintah lokal berinisiatif menyelenggarakan kursus-kursus media literacy untuk warga setempat.
Pendidikan Sekolah
Dalam setiap kurikulum dan ‘Period of Integrated Study’, secara sistematis direncanakan setiap aktivitas yang melibatkan penggunaan komputer, Internet, dan media lain secara aktif.
Media Massa
· Broadcaster dilibatkan untuk memproduksi program-program media literacy untuk sekolah dasar.
· Broadcaster membuat standar verifikasi program (self-verification program) dan program-program yang lebih merefleksikan opini khalayak.
· Broadcaster membuat riset-riset internal.
· The Newspaper Foundation for Education and Culture menyelenggarakan program the Newspaper in Education (NIE), yaitu suatu aktivitas pendidikan di mana guru-guru dan murid menggunakan koran sebagai bahan pelajaran, atau untuk melengkapi materi di sekolah.
LSM, organisasi publik, kelompok komunitas, organisasi profesi.
· Kelompok-kelompok warganegara menyelenggarakan analisis program-program dan aktivitas-aktivitas penyiaran, seperti menerjemahkan dokumen luarnegeri seputar media literacy.
· Kelompok guru mengambil inisiatif untuk melaksanakan upaya-upaya praktis seperti bertukar informasi seputar kurikulum yang melibatkan media literacy secara praktis.
Akademisi/ Periset
· Subjek media literacy mulai diajarkan di universitas-universitas.
· Publikasi materi pendidikan terkait dengan Media literacy telah dipublikasikan sejak 1996, dan dilaporkan meningkat selama dua-tiga tahun belakangan ini.
· National Institute for Educational Research Japan, bekerjasama dengan sejumlah lembaga riset lain, menyelenggarakan proyek riset terkait dengan media literacy terpadu berskala-besar.

Demikianlah langkah-langkah yang dilakukan pemerintah Jepang untuk mewujudkan media literacy awareness. Tantangan yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia, serta peluang yang dimiliki, tentu berbeda. Kendati demikian, langkah-langkah pemerintah Jepang bisa dijadikan acuan untuk menyusun agenda nasional media literacy, disesuaikan dengan kondisi sosial-politik-kultural bangsa Indonesia. Untuk saat ini, ketika gerakan media literacy masih berupa aktivitas-aktivitas lokal, upaya yang paling realistis adalah melakukan advokasi kepada publik untuk menguatkan gerakan media literacy sehingga gaungnya cukup signifikan untuk mempengaruhi kebijakan publik secara nasional. Momentum berdirinya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang tengah berupaya menyosialisasikan standar produksi dan penyiaran yang ramah bagi keluarga serta anak-anak, sekaligus menjamurnya mediawatch yang berupaya mengembalikan media pada visi melayani publik, merupakan saat yang tepat untuk meluncurkan gerakan media literacy. Kalangan kampus, terutama universitas yang memiliki Fakultas atau Bidang Kajian Komunikasi, seperti UNISBA, bisa memulai inisiatif ini.

VII. Kesimpulan dan Saran
7.1. Kesimpulan
(1) Identifikasi pada permasalahan yang melibatkan dunia pendidikan dan media massa dalam konteks krisis multidimensi di sektor pendidikan dewasa ini memperlihatkan bahwa pendidikan di Indonesia tengah menghadapi tantangan cukup serius dari media massa yang menyajikan the hidden curriculum berupa eksploitasi kekerasan, seks dan sensasionalitas, yang mengikis nilai-nilai luhur kemanusiaan dan menyimpang jauh dari tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.
(2) Guna mengatasi dan mengantisipasi tantangan yang bersumber dari dominasi media massa dalam kehidupan masyarakat saat ini, perlu dimulai dan diperkuat gerakan media literacy. Konsep dasar media literacy adalah “...the ability to access, analyse, evaluate and create messages across a variety of contexts (kecakapan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan pesan-pesan media dalam beragam konteks).” Konsep ini pada intinya membekali publik dengan kemampuan untuk memanfaatkan informasi media secara bijak dan cerdas. Melalui konsep ini, dominasi media massa berikut efek negatifnya yang mengancam sektor pendidikan dapat dikurangi.
(3) Konsep media literacy sebagai alternatif mengatasi ancaman media massa bagi pendidikan dan peningkatan kualitas bangsa dapat diterapkan di Indonesia dengan belajar pada kasus Jepang, yang sejak tahun 1996 melakukan gerakan media literacy. Jepang memiliki model penerapan media literacy yang diterapkan dalam berbagai sektor, mulai dari sektor pemerintah, pendidikan sekolah, media massa, LSM, dan akademisi/periset.
7.2. Saran
(1) Gerakan media literacy yang sudah dimulai dalam level lembaga komunitas/lokal perlu didukung oleh segenap elemen masyarakat, termasuk pemerintah dan kalangan universitas, sehingga bisa menjadi agenda nasional.
(2) Fakultas Ilmu Komunikasi atau kampus-kampus yang memiliki bidang kajian komunikasi hendaknya memprakarsai gerakan media literacy minimal di tingkat lokal. Selaku akademisi, semestinya lembaga-lembaga pendidikan semacam ini sudah berpaling dari paradigma lama yang hanya berkutat pada pelatihan produksi program dan media saja. Fakultas-fakultas komunikasi seharusnya mengimbangi kurikulumnya dengan menggalang aksi penyadaran publik mengenai efek negatif media yang bersumber dari praktik-praktik konstruksi realitas sosial media.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Santi Indra. 2004. Membangun Masyarakat Melek Media (Artikel dalam HU Pikiran Rakyat, Agustus 2004).
Astuti, Santi Indra & Yenni Yuniati. 2004. Rekonstruksi Konsep Keamanan Perempuan Berdasarkan Informasi Kriminalitas di Media Massa (Studi Kualitatif dengan Pendekatan Fenomenologis). Penelitian yang dibiayai LPPM Unisba thn 2003-2004. Bandung: LPPM Unisba.
Berger, Arthur Asa. 1998. Media Research Techniques (2nd edition). London: SAGE Publications.
______, 2003. Media & Society (A Critical Perspective). Maryland, USA: Rowman & Littlefield Publisher.
Chavanu, Bakari. 1989. 10 Classroom Approaches to Media Literacy. Artikel dalam The Media Literacy Resource Guide. Ontario: Ontario Ministry of Education.
Croteau, David & William Hoynes. 1997. Media/Society: Industries, Images, and Audiences. California, USA: SAGE Publications.
Effendy, Onong Uchjana. 2000. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti.
Fiddler, Roger. 2003. Mediamorphosis. Jakarta: Aksara.
Hobbs, Renee. Teaching Media Literacy: Yo! Are You Hip to This? Diakses dari www.medialit.org/reading_room/article211.html. Tanggal akses terakhir 12 September 2004.
Hoover, Stewart M. & Knut Lundby. 1997. Rethinking Media, Religion, and Culture. London: SAGE Publications.
Jolls, Tessa. Media Literacy Core Concepts. Diakses dari www.learnlb.org/media/core. Tanggal akses terakhir 12 September 2004.
Lie, Anita. Media, Sentra ke 4 Pendidikan (artikel dalam HU Kompas edisi Selasa, 7 September 2004, hal. 4-5).
Masterman, Len. Media Literacy Concepts. Diakses dari www.frontier.net/-demon/Library/Media_Literacy/body_media_literacy. Tanggal akses terakhir 12 September 2004.
McQuail, Denis. 1992. Media Performance: Mass Communication and The Public Interest. London: SAGE Publications.
Mulyana, Deddy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda.
Nasution, M.A. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Pongtuluran, Aris. Wawasan Kebangsaan dalam Pendidikan. Diakses dari http://www1.bpkpenabur.or.id./kwiyata/83/pokok1. Tanggal akses terakhir 12 September 2004.
Potter, James W. 2002. Media Literacy. New York: SAGE Publication.
Sonia Livingstone, The Changing Nature and Uses of Media Literacy. Diakses dari www. lse.ac.uk/collections/media@lse/mediaWorkingPaper/ewpNumber4. Tanggal akses terakhir 12 September 2004.
Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Jogjakarta: LkiS.
Wikipedia Encyclopedia. Media Literacy. Diakses dari en.wikipedia.org/wiki/Media_literacy. Tanggal akses terakhir 12 September 2004.
Tomlin, Barbara. Media Literacy in the Classroom. Diakses dari www.indiana.edu/-w505b/Barbing.html. Tanggal akses terakhir 12 September 2004.
Turner, Graeme. 1992. British Cultural Studies: An Introduction (2nd Edition). London: Routledge.
Media Literacy: Ability of Young People to Function in the Media Society (Report of the Study Group on Young People and Media Literacy in the Field of Broadcasting). 23 Juni 2000. Diakses dari http://www.soumu.go.jp/joho_tsusin/eng/Releases/Broadcasting/news%20000623_1.html.
Walsh, Bill. Expanding the Definition of Media Literacy. Diakses dari www.media-awareness.ca/.../educational/teaching_backgrounders/media_literacy/expanding_ddefinition.ofm. Tanggal akses terakhir 12 September 2004.
Wisudo, P. Bambang. Pendidikan Indonesia: Terpuruk di Tengah Kompetisi (artikel HU Kompas edisi Sabtu, 4 September 2004, hal. 49).
______, Pendidikan di India: Pusat Keunggulan Menuju Negara Maju (artikel HU Kompas edisi Sabtu, 4 September 2004, hal. 50).
Yin, Robert K. 1998. Case Study. London: SAGE Publications.
Zillman, Dolf & Jennings Bryant (eds.) 2002. Media Effects: Advances in Theory and Research (2nd Ed.). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Tayangan Televisi semakin Memperkeruh Moral Publik (berita HU Media Indonesia, edisi Kamis, 15 Juli 2004).
Media Massa Hambat Rekonstruksi Kebudayaan (berita HU Kompas edisi Kamis, 9 September 2004, hal. 9).
Media Massa dan Pola Asuh Picu Demonstrasi (berita HU Kompas edisi Sabtu, 11 September 2004).
Posisi Televisi dalam Rekonstruksi Kebudayaan: Pertarungan Nilai Lokal dan Globalisasi (berita HU Kompas edisi Selasa, 14 September 2004).




[1] 10 persen dari karyawan inti Microsoft berkebangsaan India (Kompas, edisi Sabtu 4 September 2004, dalam artikel berjudul “Pendidikan di India: Pusat Keunggulan Menuju Negara Maju”).
[2] Dari sekian banyak definisi media literacy, inilah definisi yang secara formal dianggap paling mewakili maksud dan tujuan konsep tersebut. Definisi ini adalah hasil dari konferensi yang disponsori oleh the Aspen Institute pada tahun 1992. Sedikit berbeda dari konsep Livingstone, namun mengandung makna dan semangat yang kurang lebih serupa, hasil konferensi ini menyatakan bahwa media literacy adalah “… the ability to access, analyze, evaluate and produce ommunication in variety of forms (Hobbs, 2003).
[3] Agak sulit menyebut McLuhan sebagai seorang ahli komunikasi semata. Pada dasarnya, dirinya mencakup mosaik keseluruhan disiplin ilmu yang mengarah pada konstruksi dunia di masa depan yang tak lepas dari kepungan media. Proposisi McLuhan yang mendunia, tentang dunia yang disatukan oleh media elektronik menjadi global village, serta kekuatan media sebagai eksistensi dari komunikasi itu sendiri—medium is the message—menyejajarkan dirinya dengan para futurolog lain.
[4] Sebagai ahli linguistik, nama Noam Chomsky mulai diperhitungkan publik internasional ketika mengeluarkan teori Language and Mind. Kini menyibukkan diri sebagai aktivis dan periset media yang gencar mengadvokasi publik seputar agenda tersembunyi Pemerintah AS yang secara ideologis ditampilkan oleh media massa AS. Noam Chomsky kemungkinan saat ini menjadi sosok yang paling dibenci Kabinet Bush, karena mengungkap cacat-cacat media dan intervensi pemerintah dalam wacana media AS.
[5] Filosof posmodernis Prancis. Teori Baudrillard yang paling banyak dikutip untuk wacana-wacana posmodernis adalah Simulacra, yang mengandaikan realitas dalam dunia yang dikuasai media saat ini bagaikan lapisan-lapisan simulacra yang terdiri dari floating images—citra simbolik yang mengapung terlepas dari realitas aslinya. Baudrillard mengisitilahkannya sebagai hyperreality—hiperrealitas.
[6] Spesialisasinya adalah media ecologist. Bukunya yang mendunia adalah Amusing Ourselves to Death, sebuah ironi bagi masyarakat kita yang menghibur diri sampai mati di depan televisi.
[7] Renee Hobbs adalah aktivis media literacy. Tulisannya dapat dibaca di pelbagai situs media literacy.
[8] Dari sekian banyak definisi media literacy, inilah definisi yang secara formal dianggap paling mewakili maksud dan tujuan konsep tersebut. Definisi ini adalah hasil dari konferensi yang disponsori oleh the Aspen Institute pada tahun 1992. Sedikit berbeda dari konsep Livingstone, namun mengandung makna dan semangat yang kurang lebih serupa, hasil konferensi ini menyatakan bahwa media literacy adalah “… the ability to access, analyze, evaluate and produce ommunication in variety of forms (Hobbs, 2003).
[9] Menarik sekali mengamati pelbagai istilah yang diberikan oleh para aktivis media literacy untuk dunia saat ini. Mereka tidak saja mengadopsi gagasan para futurology yang mengajukan konsep the age of Information dengan ‘masyarakat informasi’ sebagai ikonnya. Istilah lain untuk menggambarkan dunia masa kini adalah media society dan media-saturated environment—sebuah lingkungan yang jenuh dengan media. Baca Teaching Media Society: Yo! Are You Hip to This? yang ditulis oleh Rene Hobbs
[10] Definisi operasional ini bersumber dari kajian The Study Group, lengkapnya adalah the Study Group on Young People and Media Literacy in the Field of Broadcasting, sebuah kelompok kajian yang diprakarsai oleh Kementerian Pos dan Telekomunikasi (MPT) Jepang. Kelompok ini diketuai oleh Junichi Hamada, Dekan Sekolah Tinggi Kajian-Kajian Informasi Interdisiplin, bagian dari Insiatif Antarfakultas dalam Kajian-Kajian Informasi di Universitas Tokyo sejak November 1992.

1 komentar:

mohon izin tulisannya sy copy untuk keperluan perkuliahan dan kebajikan, trims