Senin, 26 November 2007

Melembagakan Social Enterpreneurship Di Lingkungan Perguruan Tinggi

(Memenangkan Hadiah Ke-2 Lomba Karya Tulis Ilmiah Dosen Unisba 2007, 18 November 2007)

ABSTRAK
Kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang perlu diatasi dengan melibatkan peran serta banyak pihak, termasuk kalangan perguruan tinggi. Dari sekian banyak strategi mengentaskan kemiskinan, pendekatan social enterpreneurship yang bertumpu pada semangat kewirausahaan untuk tujuan-tujuan perubahan sosial, kini semakin banyak digunakan karena dianggap mampu memberikan hasil yang optimal. Konsep atau pendekatan ini layak diujicobakan dalam lingkup perguruan tinggi karena gagasan dasarnya sebenarnya sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya aspek pengabdian masyarakat. Caranya adalah dengan menerjemahkan konsep social enterpreneurship pada empat level: kelembagaan, regulasi, aksi, dan audit/monitoring evaluasi.

I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Kemiskinan sesungguhnya telah menjadi masalah dunia sejak berabad-abad lalu. Namun, realitasnya, hingga kini kemiskinan masih menjadi bagian dari persoalan terberat dan paling krusial di dunia ini. Teknologi boleh semakin maju, negara-negara merdeka semakin banyak, dan negara-negara kaya boleh saja kian bertambah (pun semakin kaya!). Tetapi, jumlah orang miskin di dunia tak kunjung berkurang. Kemiskinan bahkan telah bertransformasi menjadi wajah teror yang menghantui dunia.
Bagaimana gambaran kemiskinan yang melingkupi kita saat ini? Data World Bank 2006 menunjukkan, setidaknya terdapat 1,1 milyar penduduk miskin di dunia. Jumlah penduduk miskin di Indonesia (yang dikategorikan supermiskin[1] oleh World Bank) pada tahun 2007 mencapai 39 juta orang atau 17,75 persen dari total populasi. Untuk wilayah Jawa Barat, yang punya cita-cita meningkatkan poin IPM menjadi 80 pada 2008, jumlah penduduk miskin mencapai 5,46 juta orang, atau sekitar 13,55 persen dari total penduduk miskin di Indonesia[2]. Memprihatinkan, karena data ini memperlihatkan adanya peningkatan penduduk miskin di Jawa Barat sebanyak 317.000 orang![3] Ini berarti, program-program pengentasan kemiskinan yang digagas pemerintah pusat maupun daerah telah gagal mengentaskan penduduk Jawa Barat dari cengkeraman kemiskinan.
Seiring berkembangnya pemikiran bahwa kemiskinan adalah masalah struktural, maka upaya untuk mengatasi kemiskinan pun kini dikaitkan dengan perbaikan sistem dan struktur, tidak semata-mata bertumpu pada aksi sesaat berupa crash program. Sebuah upaya yang kini populer adalah mengembangkan konsep social enterpreneurship (selanjutnya disingkat SE—pen.), atau kewirausahaan sosial, yang bermaksud menggandengkan kekuatan kapitalisme dengan komitmen sosial bagi komunitas di sekitarnya.
Makalah ini tidak bermaksud membahas metode dan operasionalisasi Grameen Bank. Sesuai dengan tema karya tulis yang difokuskan pada upaya perguruan tinggi dalam mengentaskan kemiskinan, makalah ini menggagas alternatif-alternatif yang bisa dilakukan oleh kalangan perguruan tinggi untuk berperan-aktif mengatasi persoalan kemiskinan, disemangati oleh spirit SE.

1.2 Perumusan Masalah
Bertitiktolak dari latar belakang permasalahan, maka masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sbb. “Bagaimana melembagakan konsep SE di lingkungan perguruan tinggi untuk membantu mengatasi masalah kemiskinan?” Permasalahan yang general ini kemudian dibagi menjadi beberapa identifikasi permasalahan, sbb.
Bagaimana konsep SE diterjemahkan sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi?
Bagaimana rumusan skema langkah-langkah dalam melembagakan SE di lingkungan perguruan Tinggi?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan utama penulisan adalah menggambarkan bagaimana kemiskinan dapat coba diatasi melalui peran perguruan tinggi lewat strategi pelembagaan SE. Tujuan ini secara spesifik terbagi menjadi:
Penerjemahan konsep SE sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Perumusan skema langkah-langkah dalam melembagakan SE di lingkungan Perguruan Tinggi.
Manfaat yang bisa diperoleh dari karya tulis ini adalah sbb.
Pada level praktis, penelitian ini memperlihatkan sebuah skema yang applicable untuk melembagakan konsep SE di lingkungan Perguruan Tinggi.
Pada level sosial, melalui skema SE Unisba dapat turut serta menyumbangkan alternatif solusi mengatasi persoalan-persoalan kemiskinan, terutama di lingkungannya.

2. Kerangka Pemikiran
Ragangan, atau kerangka pemikiran, berisi uraian logis mengenai konsep-konsep yang terkait dengan permasalahan. Dalam membincangkan kemiskinan, sebagai penghantar menuju pada pembahasan, setidaknya ada tiga hal yang perlu dijadikan landasan diskusi. Hal pertama berkenaan dengan pembahasan mengenai konsep-konsep kemiskinan dalam upaya memahami kompleksitas permasalahan kemiskinan. Kedua, gambaran mengenai kemiskinan di Jawa Barat sebagai upaya mengaitkan pembahasan makalah dengan konteks permasalahan yang dihadapi di lapangan. Ketiga, uraian konsep SE yang dijadikan pendekatan utama dalam makalah ini untuk memberikan solusi sesuai dengan tema penelitian.

2.1. Mendefinisikan Kemiskinan
The poor will always be with us. Inilah idiom populer tentang kemiskinan yang dikutip oleh sosiolog kemiskinan paling populer saat ini, Zygmunt Baumant (1998:1). Idiom tersebut memberi makna bahwa kemiskinan—dan orang-orang miskin—adalah kondisi inheren dalam masyarakat manapun, dulu dan sekarang, kemungkinan di masa depan jika dunia tak berubah. Poverty, atau kemiskinan pada dasarnya adalah kondisi kekurangan. Ada banyak cara memaknai ‘kekurangan’, karena itu, Wikipedia merinci setidaknya terdapat 3 pendekatan dalam mendefinisikan kemiskinan.
a) Kemiskinan yang dideskripsikan sebagai kekurangan material need. Kemiskinan, dalam hal ini, didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sebuah komunitas kekurangan esensial untuk memenuhi standar kehidupan minimum yang terdiri dari sandang, pangan, papan (sumberdaya material).
b) Kemiskinan yang dideskripsikan dari aspek hubungan dan kebutuhan sosial, seperti social exclusion (pengucilan sosial), ketergantungan, dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat, termasuk pendidikan dan informasi.
c) Kemiskinan yang dideskripsikan sebagai kurangnya pendapatan dan kemakmuran—yang ditetapkan berdasarkan indikator-indikator tertentu. Dari sinilah munculnya pemilahan kemiskinan secara global berdasarkan pendapatan harian keluarga, yaitu kurang dari $1 atau $2 sehari.
Konkretnya, survei data riset World Bank “Voices of the Poor”, terhadap 20.000 penduduk miskin di 23 negara (termasuk Indonesia!), faktor-faktor kemiskinan dapat diidentifikasi sebagai kehidupan yang sulit, lokasi yang terpencil, keterbatasan fisik, hubungan timpang gender, problem dalam hubungan sosial, kurangnya keamanan, penyalahgunaan kekuasaan, lembaga yang tidak memberdayakan, terbatasnya kapabilitas, dan lemahnya organisasi komunitas (Wikipedia, 2007).
Jelas, permasalahan kemiskinan bukan terletak pada ketidakmampuan memenuhi standar-standar ekonomi yang didasarkan pada ukuran material resources. Adapula kondisi kekurangan social resources yang menyebabkan kemiskinan. Itu sebabnya kemiskinan begitu kompleks, mencakup berbagai bidang, hingga kemiskinan acap pula disebut sebagai plural poverty—kemiskinan plural. Guna mengatasi kemiskinan, Wikipedia merinci sejumlah strategi sbb.
Strategi pertumbuhan ekonomi.
Penciptaan pasar bebas.
Bantuan langsung.
Perubahan lingkungan sosial dan kapabilitas warga miskin.
Millenium Development Goals.
Pendekatan berbasis kultural.
Di Indonesia, pada tahun 1970-an, pendekatan yang digunakan untuk mengatasi kemiskinan adalah pemenuhan kebutuhan dasar[4]. Ini meliputi pemenuhan kebutuhan pangan senilai 2100 kalori per orang/hari, adanya fasilitas kesehatan dasar, air bersih, sanitasi, tempat tinggal, dan akses pendidikan. Memasuki dekade 1990-an, upaya pengentasan kemiskinan difokuskan pada pemberdayaan masyarakat, dengan cara meningkatkan kapabilitas SDM. Ini ditempuh lewat pembangunan infrastruktur pedesaan, distribusi aset ekonomi dan modal usaha, serta penguatan kelembagaan masyarakat melalui program berskala nasional meliputi IDT (Inpres Desa Tertinggal), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), hingga KDP (Kecamatan Development Program). Kini, yang coba diterapkan dalam pembangunan nasional adalah pendekatan berbasis hak (rights based approach). Wujudnya adalah Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), yang secara pelahan diupayakan melalui pemenuhan sepuluh hak-hak dasar, yaitu hak atas pangan, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, tanah, lingkungan hidup dan sumber daya alam, rasa aman, dan hak untuk berpartisipasi. Dalam rumusannya, SNPK memperlihatkan adanya pergeseran paradigma kemiskinan—yang kini tidak lagi terbatas pada upaya mencukupi kebutuhan material, tetapi juga meliputi pemenuhan kebutuhan sosial.

2.2. Gambaran Kemiskinan di Jawa Barat
Sebelum menyoal wajah kemiskinan di Jawa Barat, mari sejenak kita cermati data-data ‘kekayaan’ propinsi yang strategis ini. Pertama, Jawa Barat adalah propinsi terkaya di Indonesia dalam kategori populasi penduduk (39 juta jiwa, yang artinya sekitar 17.80% dari total populasi Indonesia), mengalahkan Jawa Tengah (32 juta jiwa) dan Jawa Timur (36 juta jiwa). Jawa Barat adalah propinsi kedua terpadat setelah DKI Jakarta (1126 jiwa/km2). Nilai APBD Jawa Barat pada tahun anggaran 2007 sebesar Rp 5,2 trilyun rupiah. Namun, sumber pemasukan sesungguhnya tidak cuma berasal dari pos APBD propinsi. Digabungkan dengan DIPA, Dana Dekon, dan APBD-APBD Daerah Tingkat II, angka keseluruhannya bisa mencapai Rp. 45-47 milyar! Gubernur Jawa Barat H. Danny Setiawan bahkan berani mengasumsikan, bila dibagikan maka seorang warga Jawa Barat kebagian setidaknya Rp. 1 juta per tahun.[5]
Dari segi sosial budaya, masyarakat Jawa Barat dikenal sebagai masyarakat agamis—dominan Islam. Toleransi umat beragama boleh dibanggakan, dan potensi konflik tergolong rendah. Jawa Barat juga dikenal sebagai gudangnya warga yang kreatif, sehingga keunggulan wisatanya, misalnya, tidak perlu mengandalkan sumberdaya alam. Wisata belanja dan lifestyle menjadi unggulan Bandung. Bahkan, awal tahun ini, masyarakat industri kreatif Bandung memproklamirkan Jawa Barat dan Bandung sebagai ikon industri kreatif. Sesungguhnya, ini modal sosial yang penting. Tanpa penanganan serius dari pemerintah lokal saja, industri kreatif Jawa Barat sudah mampu unjuk gigi. Apalagi kalau ditangani pemerintah secara serius.
Namun, Jawa Barat juga memiliki segudang permasalahan, di antaranya kebijakan birokrasi yang tidak kondusif bagi pertumbuhan industri maupun pengentasan kemiskinan, penanganan masalah sosial yang masih bersifat sporadis dan reaksioner, kerusakan lingkungan dan penataan wilayah yang parah, serta kegagalan pemerintah propinsi merumuskan target dan rencana pembangunan yang visioner dan realistis. Ambisi pemerintah propinsi yang menetapkan peningkatan poin IPM menjadi 80 pada tahun 2008, misalnya, tidak dibarengi langkah nyata perbaikan infrastruktur maupun kebijakan, sehingga tahun ini IPM hanya meningkat tak lebih dari 0.71.[6]
Bagaimana wajah kemiskinan di Jawa Barat? Bulan Agustus 2007, BPS melansir data yang mengejutkan. Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat bertambah 317.000 jiwa. Totalnya, 5,45 juta jiwa atau 13.5% dari total penduduk Jawa Barat. Proporsi antara warga miskin perkotaan dan pedesaan relatif berimbang—sebanyak 51% warga miskin bermukim di pedesaan, jumlahnya mencapai 2,8 juta jiwa. Bicara soal lokasi, wilayah Pantura menjadi kantong-kantong kemiskinan di Jawa Barat. Diperkirakan 5 juta penduduk miskin berada di sabuk Pantura[7].
Profil kemiskinan di Jawa Barat cukup memprihatinkan. Sumbangan terbesar kemiskinan, yaitu sebesar 73%, diakibatkan ketidakmampuan mencukupi kebutuhan makanan. Fluktuasi harga beras dan kini, harga minyak, menjadi biang keladinya. Belum lagi transisi konversi energi—yang tentunya punya dampak sosial-ekonomi yang cukup signifikan. Daya beli yang rendah, dan tingginya pengangguran juga menjadi persoalan, di samping kenaikan UMR yang tidak memadai bila dibandingkan dengan kebutuhan fisik minimum keluarga[8].
Tahun lalu, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat sebesar 5,14 juta jiwa. Dilihat dari data penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), jumlah keluarga miskin di Jabar 1,06 juta keluarga, kategori sangat miskin 615.875 keluarga, dan hampir miskin mencapai 1,22 juta keluarga. Kenaikan angka penduduk miskin tahun ini menunjukkan kegagalan program-program pengentasan kemiskinan di Jawa Barat.
Sama halnya dengan propinsi Indonesia lainnya, pelbagai strategi nasional pengentasan kemiskinan pernah menyentuh Jawa Barat. Mulai dari IDT, P2KP, JPS, hingga BLT. Selain itu, masih terdapat pula Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS), Program Beasiswa dan Bantuan Operasional Sekolah untuk Sekolah Dasar dan Menengah serta Ibtidaiyah (DB-BOS), JPS Khusus Bidang Sosial, Prakarsa Khusus untuk Penganggur Perempuan (PKPP), Padat Karya Perkotaan (PKP), Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE). Mengingat tingginya intensitas kemiskinan di Jawa Barat, nilai proyek yang diserap propinsi ini senantiasa tergolong tinggi. Sebagai gambaran, untuk P2KP yang tahun ini digabungkan dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di bawah payung Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri), dana yang digelontorkan untuk Propinsi Jawa Barat mencapai Rp. 276,020 milyar untuk 220 kecamatan. Sebanyak 123 kecamatan di pedesaan menerima dana sebesar Rp. 133,850 milyar. Sisanya, 97 kecamatan di perkotaan menerima Rp. 142,170 milyar[9].
Selain program pengentasan kemiskinan nasional, Propinsi Jawa Barat juga memiliki program penanggulangan tersendiri, berupa:
Program Dakabalarea (Kepgub No. 2/Th. 1999).
Gerakan Rereongan Sarupi.
Gerakan Jumat Bersih.
Gerakan SARASA.
Program Raksa Desa.
Program Pendanaan Kompetensi IPM (PPK-IPM) (Kepgub No. 34/Th. 2005).
Program Dakabalarea yang merupakan program pemberian kredit dengan pola bagi hasil kepada pengusaha mikro & usaha kecil hingga th. 2005 telah menggulirkan dana tak kurang dari Rp. 93.657.109.350 dari target Rp. 66.770.000.000 untuk 3.065 kelompok dengan jumlah anggota sebanyak 26.886 orang. Sedangkan dana yang digelontorkan melalui PPK IPM[10] pada tahun 2006 mencapai Rp. 190 milyar, diperuntukkan bagi 9 kabupaten/kota yang proposalnya terpilih[11]. Untuk tahun 2007, 6 kabupaten/kota terpilih berhak mendapatkan dana senilai Rp. 315 milyar. Khusus untuk kota Bandung, dana Bantuan Langsung Mandiri (BLM) yang dikucurkan tahun 2007 mencapai Rp. 8.8 milyar[12].
Upaya pemerintah melalui inisiatif pendanaan dan penyusunan program seperti ini sesungguhnya mencerminkan kehendak serius mengentaskan kemiskinan. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata masih mengandung kelemahan. Seperti diungkapkan oleh Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, upaya selama bertahun-tahun menghabiskan dana milyaran rupiah mudah sekali digoncangkan oleh kenaikan BBM atau fluktuasi harga sembako[13]. Sejumlah pengamat menilai, kegagalan tersebut dikarenakan antara lain faktor pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang relatif tinggi, akibat jumlah penduduk usia sekolah yang putus sekolah dan terpaksa masuk pasar kerja, serta jumlah migran yang masuk untuk tujuan bekerja. Padahal, di sisi lain, jumlah kesempatan kerja relatif stagnan, karena pertumbuhan ekonomi belum cukup tinggi, laju investasi asing belum optimal, dan iklim usaha belum kondusif.[14]
Berhubung kemiskinan adalah masalah yang kompleks, tentu penanganannya tidak bisa distrukturkan secara tersentralisir. Penanganan kemiskinan juga menuntut kepekaan sosiokultural. Kucuran dana dan modal saja tidak cukup, pembukaan kesempatan kerja juga belum tentu memberdayakan, malah bisa menimbulkan ketergantungan. Tetapi, di sisi lain, penanganan kemiskinan secara sporadis, tanpa disain atau skema penanggulangan terpadu yang jelas indikator pencapaiannya, juga dapat menggagalkan upaya mengeluarkan orang dari lingkaran kemiskinan. Dalam konteks inilah konsep social enterpreneurship mau pun social enterpreneurs layak diperkenalkan, karena pendekatan ini berupaya menanggulangi kemiskinan lewat disain atau skema pengentasan kemiskinan yang matang, didukung oleh sosok-sosok yang kompeten.

2.3. Social Enterpreneurship: Sebuah Wacana
Tri Mumpuni Wiyatno adalah orang yang selalu yakin bahwa desa merupakan sumber kekuatan ekonomi yang belum tergarap optimal. Banyak persoalan pembangunan akan terselesaikan, jika desa menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru yang mandiri. Ia mewujudkan gagasannya dengan menyebarluaskan teknologi mikrohidro untuk membangun pembangkit listrik skala kecil ke desa-desa. Maria Hartiningsih[15], seorang jurnalis cum pejuang feminis di Indonesia melaporkan, bersama lembaganya Institut Bisnis Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) Tri Mumpuni turun ke desa-desa, memberi pelatihan manajemen air ramah lingkungan kepada penduduk setempat. Rakyat desa juga kemudian dilatih memelihara alat, menghitung energi yang disalurkan, serta biaya yang diperlukan karena umumnya mikrohidro dikelola secara swadaya. Begitu energi listrik dialirkan dari rumah ke rumah, berbagai kegiatan ekonomi bisa dikembangkan.
Di belahan dunia lain, tepatnya di Palmares do Sul, Brazil Utara, Fabio Rosa bergelut dengan masalah yang sama. 25 juta penduduk Brazil tidak punya akses pada listrik. Akibatnya, standar hidup mereka rendah. Tak ada kulkas, lampu, apalagi komputer. Biaya penyediaan listrik untuk mencahayai sebuah desa pada awal tahun 1980an, membubung tinggi pada angka 7.000 dollar. Ini sama artinya dengan 5 kali lipat income seorang petani miskin selama sepuluh tahun! Fabio Rosa menjadikan Palmares sebagai model eksperimen listrik pedesaannya yang pertama. Pada 1992, ia memutuskan mendirikan perusahaan profit—Sistemas de Tecnologia Adequada Agroelectro (STA Agroelectro)—dan mulai menyebarkan teknologinya ke desa-desa. Lewat skema pembiayaan yang ekonomis, ditambah dengan pola ekonomi produktif yang diperkenalkannya, STA berhasil melistriki tak kurang dari 800.000 rumah tangga.
John Wood adalah seorang eksekutif Microsoft bergaji milyaran. Titik balik kehidupan Wood datang dalam sebuah liburan ke Nepal. Ia bertemu dengan seorang guru, yang mengajaknya memanjat pegunungan selama 3 jam untuk melihat sekolahnya. Sebuah sekolah yang hanya punya satu kelebihan: murid yang banyak. Lain-lainnya persis seperti di Indonesia: kurang guru, kurang sarana dan prasarana, termasuk perpustakaan. John Wood tersentuh, dan tahun berikutnya ia datang membawa 3500 buku untuk sekolah itu, dan sekolah-sekolah lain. Ia memutuskan meninggalkan Microsoft, mendirikan organisasi Room to Read, dan saat ini telah mendirikan tak kurang dari 3600 perpustakaan di Asia. John Wood bersama organisasinya juga melibatkan diri dalam penyusunan program-program alternative pendidikan dasar di Asia dan Afrika.
Sebuah frase yang menyatukan Tri Mumpuni, Fabio Rosa, dan John Wood adalah restless people (Bornstein, 2004: 1). Orang-orang yang gelisah. Inilah orang-orang yang mencoba memecahkan masalah dalam skala besar. Mereka sadar bahwa lilitan kemiskinan baru bisa dilepaskan jika seseorang itu berdaya: berdaya ekonominya, berdaya mentalnya, berdaya lingkungan sosial-politiknya. Mereka adalah social innovator, atau social entrepreneurs. Mereka punya gagasan-gagasan kuat untuk memperbaiki kehidupan orang lain, meningkatkan kualitas masyarakat. Mereka menyusun kerangka besar perubahan tersebut, dan berjuang mempraktikkannya di pelbagai pelosok dunia.
Lantas, apa yang dimaksud dengan SE? Pertama-tama perlu dibahas definisi kewirausahaan atau enterpreneurship. Kewirausahaan didefinisikan sebagai individu (kelompok) yang dapat mengidentifikasi kesempatan berdasarkan kemampuan, keinginan, dan kepercayaan yang dimilikinya, serta membuat pertimbangan dan keputusan yang berkaitan dengan upaya menyelaraskan sumber daya dalam pencapaian keuntungan personal (Otuteye & Sharma, 2004 dalam Palestine, 2007)[16]. Pada intinya, kewirausahaan adalah kemampuan untuk menangkap peluang dan dengan cara yang inovatif menciptakan nilai tambah pada sesuatu yang tidak ada menjadi ada[17].
Di mana pun, model enterpreneurship atau kewirausahaan mengandung dua prinsip: otonomi dan penentuan nasib sendiri (self-determination). Prinsip otonomi diterjemahkan sebagai advokasi masyarakat, sedangkan prinsip penentuan nasib sendiri (self-determination) diterjemahkan sebagai prinsip kewirausahaan (Palestin, 2007). Selama ini, kewirausahaan senantiasa dikaitkan dengan upaya memberdayakan diri/lembaga dalam konteks ekonomi untuk menunjang kehidupan. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah apa bedanya model kewirausahaan ekonomi konvensional dengan definisi kewirausahaan sosial.
Menurut Dave Roberts dan Christine Woods (2007), “social entrepreneurship is a construct that bridges an important gap between business and benevolence; it is the application of entrepreneurship in the social sphere”.[18] Sederhananya begini: social entrepreneurship adalah penerapan prinsip kewirausahaan dalam lingkup sosial, yang ditujukan untuk mencapai perubahan sosial tertentu.
Kewirausahaan sosial bisa dijalankan atas nama perseorangan, bisa juga secara kelembagaan. Namun, karena skala perubahan yang diharapkan sangat besar, maka lazimnya kewirausahaan sosial dijalankan oleh badan-badan khusus untuk itu. Bagan berikut ini memperlihatkan rentang bentuk kelembagaan di antara dua kutub: perusahaan bisnis tradisional di sebelah kiri, dan LSM tradisional di sebelah kanan.
Sumber: http://www.csef.ca/what_is_a_social_entrepreneur.php

Gerakan-gerakan yang murni SE berada dalam simpul hybrid social enterprise, berupa badan yang didirikan dengan tujuan melakukan aksi sosial, sehingga segala upaya pendanaan, kegiatan, mau pun fundraising dibingkai dalam kerangka tersebut.
Bagaimana gerakan SE menjadi bagian dari upaya pengentasan kemiskinan? Contoh paling gamblang diberikan oleh Professor M. Yunus lewat Grameen Bank di Bangladesh. Didirikan sebagai bagian dari action research Universitas Chittagong (1976), Grameen Bank memberikan kredit mikro bagi komunitas miskin di Bangladesh. Jumlahnya hanya $27, digulirkan pada 42 keluarga. Namun, uang setara dengan Rp. 243.000,- itu mampu melepaskan keluarga-keluarga tersebut dari jeratan rentenir.
Kini, lebih dari 2100 cabang Grameen Bank didirikan di seluruh Bangladesh. Menurut catatan Wall Street Journal, seperlima kreditnya sudah setahun ini macet. Tapi, jurnal yang sama juga mencatat, tingkat pengembalian kredit mencatat rekor 98% untuk nasabah-nasabah perempuan. Setengah dari peminjamnya (mendekati 50 juta nasabah), juga dinyatakan berhasil melepaskan diri dari kemiskinan absolut. Ini terlihat dari standar yang diukur melalui indikator anak-anak yang bersekolah sesuai tingkat umurnya, kemampuan memberi makan keluarga tiga kali sehari, toilet dan air minum yang bersih, rumah beratap, dan kemampuan pengembalian pinjaman sebesar 300 taka (atau senilai 4 dollar) per minggu.
Grameen Bank merupakan contoh organisasi SE yang berhasil. Agar bisa mencapai kesuksesan yang sama, organisasi SE mesti memenuhi prinsip-prinsip inovasi dalam praktik sbb.:
Institutionalize Listening. Komitmen kuat untuk menyimak, mendengar suara-suara di lapangan.
Pay attention to the exceptional. Yang dimaksud adalah kepekaan mengenali informasi yang tak diduga, khususnya keberhasilan-keberhasilan tak terduga.
Design real solutions for real people. Kelebihan social enterpreneur adalah mereka sangat peka dan realistis dengan perilaku manusia.
Focus on human qualities.
(Bronstein, 2004: 200-211)
Adalah tantangan yang luarbiasa berat untuk bisa menemukan orang-orang seperti ini. Pendekatan SE kini coba dipromosikan dalam makalah ini sebagai landasan bagi perguruan tinggi untuk berkontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan. Bagaimana konkretnya, dapat dilihat pada pembahasan berikut.
3. Pembahasan: Melembagakan SE di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai Upaya Mengentaskan Kemiskinan
SE, kendati bukan konsep yang relatif baru, perlu dipromosikan sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan kemiskinan, yang didalamnya terkandung persoalan struktur, sosial politik, kebudayaan. Pendekatan ini punya kelebihan: membumi, melibatkan setiap stakeholder secara aktif, dan bertumpu pada inisiatif serta pemecahan solusi yang berasal dari masyarakat. Bagaimana perguruan tinggi dapat berperan di sini?
Pertama-tama, mari kita ingat bahwa institusi pendidikan tinggi di Indonesia dibingkai oleh pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri Dharma Perguruan Tinggi mengandung tiga dharma, yaitu: (1) Pendidikan dan Pengajaran; (2) Penulisan Karya Ilmiah; dan (3) Pengabdian pada Masyarakat. Sangat eksplisit terlihat bahwa pendekatan SE sebenarnya adalah wujud dari aspek ketiga, yaitu pengabdian masyarakat. Jadi, bicara soal tempat, SE punya tempat dan posisi yang jelas dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Dengan segala keterbatasannya, sesungguhnya PT punya potensi besar untuk mengatasi persoalan bangsa, utamanya mengentaskan kemiskinan, bertitiktolak dari pendekatan SE. Caranya adalah dengan melembagakan konsep SE di lingkungan PT. Hal ini dapat dicapai melalui dua langkah besar: (1) menerjemahkan konsep SE dengan pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi maupun visi-misi spesifik PT (dalam kasus Unisba, menerjemahkan konsep SE pada 3M); dan (2) Menerjemahkan pendekatan SE dalam level aksi.
3.1. Menerjemahkan Konsep SE dalam Konteks Perguruan Tinggi.
Menimbang literatur-literatur SE dalam tinjauan pustaka, maka SE dalam lingkup perguruan tinggi harus diterjemahkan menjadi aktivitas yang realistis, kreatif, mengikat, berkesinambungan, melibatkan seluruh civitas academica, dan melembaga.
Realistis, maksudnya program-program SE disesuaikan dengan kebutuhan lapangan dan ketersediaan resources yang dimiliki perguruan tinggi maupun komunitas.
Kreatif, maksudnya aktivitas SE mesti didesain secara kreatif guna menemukan solusi terbaik.
Mengikat, maksudnya ada satu desain besar dan timeframe yang jelas, serta indikator-indikator guna mengukur tingkat keberhasilan program.
Berkesinambungan, maksudnya program SE didesain bukan untuk memberikan hasil sesaat, tetapi lebih mementingkan upaya-upaya kecil namun berkelanjutan sehingga dampaknya lebih lama terasa.
Melibatkan seluruh civitas academica, maksudnya tidak menjadikan SE sebagai proyeknya salah satu stakeholder universitas saja, misalnya dosen. Pihak lain seperti mahasiswa atau tenaga-tenaga lain perlu diberi kesempatan dan pengalaman untuk berkiprah. Sehingga, gerakan SE menjadi gerakan bersama.
Melembaga, maksudnya diinstitusionalisasikan secara resmi sehingga bisa mengikat komitmen dan memberikan jaminan keorganisasian yang jelas.
Demikianlah prinsip-prinsip yang harus terkandung dalam setiap aksi SE. Apabila sudah jelas prinsip-prinsip, tujuan, mau pun visi-misinya, apabila PT memang benar-benar sudah memutuskan akan serius berkiprah dalam SE, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana mengoperasionalkan rencana besar ini dalam langkah-langkah konkret.
3.2. Mengoperasionalkan SE di Lingkungan Perguruan Tinggi
Langkah-langkah untuk mengoperasionalkan SE di lingkungan PT dapat dirumuskan dengan mengacu pada level kelembagaan, level regulasi, level aksi, dan level audit. Ketika level-level operasional ini disilangkan dengan prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka hasilnya adalah matriks, sbb.

Matriks Operasionalisasi Social Enterpreneurship Untuk Perguruan Tinggi
No.
Pelembagaan
SE
Tridharma Perguruan Tinggi
Pendidikan dan Pengajaran
Penelitian dan Karya Ilmiah
Pengabdian Masyarakat
1
Level Kelembagaan
Mendirikan SE Center di tingkat universitas
Melakukan konsolidasi kelembagaan
Melakukan pemetaan resources
Menjalin relasi dan melakukan lobi-lobi internal maupun eksternal, apakah itu dengan pemerintah, lembaga legislatif, sesama perguruan tinggi, maupun kontak dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki program corporate social responsibility.
Fundraising: langkah dan aksi fundraising yang tidak norak dan mengandalkan pihak luar semata, tapi elegan dan sesuai dengan semangat SE.
Mempublikasikan jurnal-jurnal program SE.
Merencanakan award-award (internal): SE Award Unisba, misalnya, untuk mahasiswa, dosen, dan pusat kajian yang terpilih.
Berkompetisi mengikuti award-award dari dalam dan luar negeri (eksternal): dari Pemerintah, Kementerian, organisasi funding seperti Skoll Enterprise, Schwab Foundation, Ashoka International, dll.
Menyusun rencana jangka panjang dan jangka pendek.
Merumuskan affirmative actions untuk melembagakan SE, mis. merencanakan program-program pelatihan berbasis SE.
2
Level Regulasi
Memberlakukan kurikulum wajib SE di tingkat fakultas
Memberlakukan ketentuan penyisihan porsi penelitian dan karya ilmiah berwajah SE
Memberlakukan ketentuan pengabdian masyarakat berbasis SE
3
Level Aksi
Mendata mata kuliah yang berpotensi dijadikan bagian kurikulum wajib SE.
Menyusun dan melaksanakan program-program penelitian berbasis SE.
Menyusun dan melaksanakan PKM berbasis SE
Menyusun atau mendampingi penyusunan silabi berbasis SE.
Melatih dosen agar berwawasan SE.
Melakukan pelatihan bagi penelitian berbasis SE.
Melakukan pelatihan bagi PKM berbasis SE.
4
Level Audit/Monev:
Mengembangkan panduan audit monev berbasis SE. Apa saja indikator-indikatornya?
Mengembangkan indikator-indikator audit monev program pendidikan dan pengajaran berbasis SE.

Mengembangkan indikator-indikator audit monev program penelitian dan karya ilmiah berbasis SE.

Mengembangkan indikator-indikator audit monev PKM berbasis SE.

Menyusun program-program audit monev secara teratur di bidang pendidikan pengajaran dengan indikator berbasis SE.
Menyusun program-program audit monev secara teratur di bidang penelitian dan karya ilmiah dengan indikator berbasis SE.
Menyusun program-program audit monev secara teratur untuk PKM dengan indikator berbasis SE.
Melakukan audit monev dalam program pendidikan dan pengajaran berdasarkan indikator-indikator berbasis SE.
Melakukan audit monev dalam program penelitian dan karya ilmiah berdasarkan indikator-indikator berbasis SE.
Melakukan audit monev dalam program PKM berdasarkan indikator-indikator berbasis SE.
Ketr. SE = Social Enterpreneurship.

Matriks yang disajikan di sini hanya sekadar stimulan untuk merumuskan langkah-langkah konkret yang bisa dilakukan PT untuk mengentaskan kemiskinan dengan pendekatan social enterpreneurship. Walau demikian, stimulan ini dapat dijadikan pijakan awal apabila PT memang serius ingin berkontribusi mengentaskan kemiskinan, sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki.

3.3. Melembagakan SE di Unisba: Studi Kasus SE di Kelas Filsafat Komunikasi
Sesungguhnya, Unisba memiliki potensi luarbiasa untuk memberi kontribusi bagi pengentasan kemiskinan. Unisba mempunyai modal sosial dari segi kelembagaan, sumberdaya manusia, potensi jejaring dan relasi, power, serta potensi keuangan dan fasilitas. Modalitas brainware, hardware, software-nya jelas sudah ada. Unisba juga bukan universitas yang terpisah dari lingkungan sosialnya secara geografis. Terletak di Tamansari dan Ciburial, warga Unisba punya kesempatan untuk berinteraksi secara intens dengan persoalan sosial, sehingga tidak perlu kerepotan mencari target sasaran. Apalagi, Kelurahan Tamansari maupun kawasan Ciburial adalah wilayah urban yang memerlukan penataan dan pembinaan serius.
Dalam lingkup kelas, penulis mencoba bereksperimen menerapkan pendekatan SE untuk mata kuliah Filsafat Komunikasi. Kepada mahasiswa, diberikan tugas kelompok melakukan kerja volunteer di wilayah Bandung. Lewat tugas ini, diharapkan mahasiswa mendapatkan pengalaman bersentuhan langsung dengan permasalahan sosial, sehingga dapat menjadi stimulan untuk menerapkan SE di masa mendatang. Tujuan lain yang diharapkan adalah adanya kesempatan untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan, sambil memperbaiki kualitas kepribadian.
Laporan-laporan yang dikumpulkan mau pun dipresentasikan hasilnya di luar dugaan. Terbentuk sepuluh kelompok beranggotakan 2-5 orang, dengan kiprah meliputi:
Volunteer Food-Not-Bombs, sebuah organisasi yang menampung sayuran reject dari supermarket maupun pasar sayur petani Lembang, namun masih layak-olah. Sayuran dimasak untuk anak-anak jalanan di Taman Lansia, Cilaki.
Reader di Panti Wyata Guna. Membacakan dan mencarikan buku-buku yang diperlukan pelajar penghuni Wyata Guna.
Konselor bagi siswa-siswi SMU XX yang menghadapi permasalahan keluarga dan problematika belajar.
Volunteer di Panti Wredha dan Panti Asuhan. Kegiatannya antara lain merayakan 17 Agustusan di Panti Asuhan dan Panti Wredha sambil menyelenggarakan bursa amal.
Volunteer di Panti Asuhan Bayi Sehat Muhammadiyah.
Trainer musik untuk anak-anak jalanan. Menyelenggarakan konser anak jalanan, yang kini laris ditanggap di pelbagai event.
Mengorganisasikan tim kebersihan di lingkungan kos-kosan. Kini tidak terbatas pada kos-kosannya sendiri tapi juga meluas ke kosan lain di wilayahnya.
Kakak asuh bagi anak-anak SD dari keluarga tidak mampu. Kelompok ini bukan saja secara teratur menyisihkan uang untuk membiayai SPP (Rp 25.000 s.d. Rp 75.000), tetapi juga mengupayakan buku-buku bekas (pelajaran maupun bacaan yang sehat) dan menjadi mentor belajar. Sasaran mereka adalah anak-anak yatim/piatu yang orangtuanya single parent, bekerja sebagai buruh atau pembantu.
Volunteer bagi TK di wilayah ekonomi kelas bawah. Kegiatan selain di dalam kelas adalah menyelenggarakan lomba 17 Agustusan dan jalan-jalan ke Kebun Binatang.
Volunteer untuk Harm Reduction, sebuah organisasi penanggulangan narkoba.
Dalam presentasi, anggota kelompok ini saling sharing, merefleksikan pengalaman masing-masing. Hal yang menarik adalah mereka sama-sama tergerak untuk meneruskan keterlibatannya. Mereka juga jadi lebih memahami realitas di lapangan, permasalahan sosial di Bandung, serta terpicu semangatnya untuk memberi kontribusi bagi sesamanya. Dalam konteks ini, pendekatan SE berhasil memberikan pencerahan dan pengalaman. Pengelolaan kelas sangat low cost, karena dengan prinsip otonomi, partisipasi, serta self-determination, mahasiswa bisa berbuat banyak dan menemukan solusi-solusi kreatif.
Pendekatan ini layak diujicobakan sebagai bagian penciptaan kurikulum berwajah SE. Padahal, ini baru level aksi institusional, sebatas menyentuh salah satu kemungkinan aspek SE di lingkungan perguruan tinggi, seperti tergambar dalam matriks tadi.

4. Penutup
Kemiskinan bagaikan benang kusut. Mengurai kompleksitasnya butuh waktu, motivasi, komitmen, dan upaya setiap pihak. Konsep SE yang dipromosikan sebagai pendekatan membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk memanfaatkan potensinya bagi upaya penanggulangan kemiskinan. Berikut adalah kesimpulan karya tulis ini.
1. Dari segi konsep, pendekatan SE sesungguhnya merupakan wujud prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian masyarakat. Namun, agar lebih applicable, SE perlu dilakukan lewat aktivitas yang realistis, kreatif, mengikat, berkesinambungan, melibatkan seluruh civitas academica, dan melembaga.
2. Guna menerjemahkan pendekatan SE pada level yang operasional, PT dapat mengikuti skema atau langkah-langkah yang telah diidentifikasi dalam matriks, meliputi level kelembagaan, regulasi, aksi, dan audit/monitoring-evaluasi.
Terkait dengan kesimpulan dan tujuan penulisan makalah ini, maka saran-saran yang dapat diberikan mencakup beberapa hal:
1. Untuk lingkup eksternal, PT perlu meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi dengan pihak-pihak terkait seperti Pemda, sesama PT, pihak swasta, atau para pebisnis yang punya concern terhadap perubahan sosial lewat program-program CSR.
2. Pada lingkup internal kelembagaan, PT perlu sesegera mungkin melakukan initial assesment dan mengonsolidasikan resources-nya sebagai persiapan awal untuk berkiprah dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Termasuk menyiapkan SDM yang bermutu lewat pelatihan dan upgrading.
Menutup tulisan ini, penulis ingin mengutipkan sebuah hikmah dari kehidupan Rasulullah Muhammad SAW. Terlepas dari gaya hidup sederhana (zuhud) yang diterapkannya, Rasulullah ternyata menaruh perhatian pada masalah kemiskinan. Rasulullah acap menyatakan bahwa kemiskinan membawa kekufuran (HR. Abu Nua’im yang diriwayatkan oleh Anas). Oleh karena itu, mencegah mengurangi kemiskinan merupakan salah satu tindakan sosial nan mulia. Karena, dapat mengurangi peluang kejahatan dan penyimpangan akidah. Itu sebabnya, dalam beberapa riwayat dikisahkan betapa bijaknya Rasulullah menyikapi kejahatan yang diakibatkan oleh kemiskinan. Rasulullah juga mengajarkan sikap hidup dan doa-doa untuk menghindarkan manusia terjebak dalam kemiskinan.
Riwayat Rasulullah memperlihatkan pentingnya mengupayakan penanggulangan kemiskinan. Perguruan tinggi, dalam kasus ini, jelas mengemban tanggungjawab sosial untuk berkiprah di sini. Sudah saatnya perguruan tinggi mendobrak status dan fungsi ekonomi yang lebih dominan, berhenti didominasi dan diposisikan sebagai sekrup industri, dan mulai secara serius memikirkan bagaimana mengatasi permasalahan bangsa, tanpa tergiring lagi-lagi dalam pemikiran berparadigma ‘proyek cari duit’ dan ‘cari nama’.***

Daftar Pustaka

Buku.
Bauman, Zygmunt. 1998. Works, Consumerism, and the New Poor. Philadelphia: Open University Press.
Bornstein, David. 2004. How to Change the World: Social Enterpreneurs and the Power of New Ideas. Oxford: Oxford University Press.
Wood, John. 2006. Leaving Microsoft to Change The World (diterjemahkan oleh Widi Nugroho menjadi “Kisah Menakjubkan Seorang Pendiri 3600 Perpustakaan di Asia). Jokja: Bentang.

Koran.
Bawazier, Fuad. Super Miskin. Artikel Opini dalam HU Republika, 16 April 2007.
Hartiningsih, Maria. Energi Tri Mumpuni. Artikel Opini Kompas, 7 Oktober 2005.
Kustiman, Erwin. Kemiskinan, Bahaya Laten Jawa Barat. Artikel Opini dalam HU Pikiran Rakyat, Agustus 2007.
Natsir, Irwan. Perencanaan Daerah. Artikel Opini dalam HU Pikiran Rakyat, 10 Januari 2007.
Jumlah Penduduk Miskin Jawa Barat Bertambah. Berita HU Pikiran Rakyat, 9 Mei 2007.
Diperlukan Strategi Baru Atasi Kemiskinan. Berita HU Pikiran Rakyat, 24 Desember 2005.
Gatot Johanes Silalahi. Kesempatan Wirausaha Bagi Mahasiswa. Sinar Harapan, 2003. www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/2005/0108/ukm3.html
Peranan Kewirausahaan dalam Masyarakat. Berita HU Republika, 19 Maret 2003.

Internet.
Bondan Palestin. 10 Januari 2007. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat. http://bondankomunitas.blogspot.com.
Prabowo, Agus dan Didy Wurjanto. Tiga Pilar Pengentasan Kemiskinan. www.kimpraswil.go.id
Roberts, Dave dan Christine Woods. Changing the World in a Shoestring: The Concept of SE. www.businessjournal.com. Tanggal akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.55 WIB.
Suara Pembaruan Daily dalam http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups. Tanggal akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.45 WIB.
Disinkom, Jumat 31 Agustus 2007. www.bandung.go.id. Tanggal akses terakhir 21 September 2007, pk. 19.33 WIB.
www.bandung.go.id. Tanggal akses terakhir 22 September 2007, pk. 01.50 WIB

Sumber lain:
Makalah berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat.” Dalam Seminar Nasional “Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan” Bogor, 21 Agustus 2007. Bandung: Pemkot Bandung.
[1] Disebut supermiskin karena memiliki penghasilan di bawah 1 dollar sehari, yang berarti tidak bisa memenuhi basic needs. Data BPS memperlihatkan, tingkat pendapatan kelompok ini tak lebih dari Rp. 5.095,- (Republika, 16 April 2007).
[2] Suara Pembaruan Daily dalam http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups. Tanggal akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.45 WIB.
[3] Kompas, 2 Agustus 2007.

[4] Agus Prabowo dan Didy Wurjanto, Tiga Pilar Pengentasan Kemiskinan. www.kimpraswil.go.id.
[5] Irwan Natsir, Perencanaan Daerah, HU Pikiran Rakyat 10 Januari 2007.
[6] Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) menyatakan, pembangunan Jabar pada 2006 masih menyimpan banyak persoalan yang harus dibenahi. ”Parameter makro berupa IPM hanya meningkat 0,71 poin atau menurun dibandingkan 2005 (0,99). IPM Jabar pada 2006 hanya 70,05 dari target 75,60. Ini harus menjadi perhatian karena target IPM 80 pada 2010 tinggal menyisakan 3 tahun lagi,” ungkap juru bicara FPKS, Tate Qomarudin (HU Pikiran Rakyat, 9 Mei 2007)
[7] Erwin Kustiman, Kemiskinan Bahaya Laten Jawa Barat (HU Pikiran Rakyat, 2007).
[8] Data Litbang Kompas (2007) merinci, terjadi kenaikan rata-rata upah minimum regional di Jabar hanya 4,04 persen, dari Rp 899.122 menjadi Rp 935.450 per bulan. Namun, proporsi kenaikan ini lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan pengeluaran masyarakat per bulan. Pengeluaran per kapita per bulan meningkat 12,79 persen. Apa artinya naik penghasilan 4.04 persen kalau pengeluaran pun bertambah 12.79%?
[9] Disinkom, Jumat 31 Agustus 2007. www.bandung.go.id.
[10] PPK IPM merupakan inisiatif Pemda Jabar untuk menanggulangi kemiskinan dengan memberi stimulus pada kepada Pemerintah Kab/Kota untuk dapat menggalang potensi stakeholders pembangunannya,
guna merumuskan langkah dan strategi dalam peningkatan IPM di daerah masing-masing dan menuliskannya dalam sebuah proposal yang diajukan kepada Gubernur. Data Seminar Nasional “Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan” Bogor, 21 Agustus 2007. Makalah berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat.”
[11] Komposisi penggunaan dana meliputi 30% untuk bidang pendidikan, 25% bidang
kesehatan dan 45% untuk bidang ekonomi peningkatan daya beli. Data Seminar Nasional “Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan” Bogor, 21 Agustus 2007. Makalah berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat.”
[12] www.bandung.go.id. Tanggal akses terakhir 22 September 2007, pk. 01.50 WIB.
[13] “Diperlukan Strategi Baru Atasi Kemiskinan”. Berita HU Pikiran Rakyat, 24 Desember 2005.
[14] Erwin Kustiman, Kemiskinan, Ancaman Laten Jawa Barat. HU Pikiran Rakyat, 27 Juni 2005.
[15] Kompas, 7 Oktober 2005. Energi Tri Mumpuni.
[16] Bondan Palestin. 10 Januari 2007. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat. http://bondankomunitas.blogspot.com.
[17] Republika, 19 Maret 2003. Peranan Kewirausahaan dalam Masyarakat.
[18] Changing The World On A Shoestring: The Concept of Social Enterpreneurship. Journal of Business Review.

0 komentar: