Communication

Blog ini diperuntukkan bagi para peminat komunikasi, sosial, dan budaya. Dilarang berpolitik sektarian, korupsi juga nggak boleh. Itu dosa lho. Selamat menikmati.

Social

Let's share your story about communication.

Article

In here, you can find my original article.

Kamis, 04 September 2008

POPEYE (BUKAN) SAHABAT KITA


Kita dibesarkan dengan bujukan ini. “Mau jadi sekuat Popeye? Makan bayam ya.” Bayam memang mengandung zat besi. Dan bayam adalah makanan kesukaan Popeye, rahasia kekuatan supernya. Maka, bertahun lamanya kita hidup dalam lingkaran mitos: bayam mengandung zat besi—makan sayur bayam bikin kita sekuat Popeye. Siapa nyana, serial kartun Popeye divonis berbahaya oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), 19 Agustus lalu. Yang berbahaya bukan saja adegan kekerasan dalam serial tersebut, tetapi juga penggambaran relasi antara laki-laki dan perempuan yang dimunculkan oleh karakter-karakter utama Popeye. Duh, ada apa dengan Popeye?

Kontroversi Popeye
Popeye selama ini dipuji-puji sebagai film yang banyak mengandung nilai positif. Pertama, soal makan bayam itu. Popeye mempromosikan manfaat sayur. Ibu-ibu yang memiliki balita merasa terbantu dengan adanya serial Popeye, karena mereka jadi punya alat untuk membujuk balitanya yang susah makan sayur. Kedua, Popeye menawarkan nilai-nilai heroisme: membela si lemah, melawan musuh yang zalim. Popeye berani, tidak kenal takut. Simbol heroisme ini semakin kental dengan seragam Popeye—seorang pelaut.
Tetapi, ternyata ada data dan tafsiran lain menyangkut Popeye, bayam, dan heroismenya. Popeye diciptakan oleh Elzie Crisler Segar pada tahun 1929—awalnya sebagai komik strip di harian King Features. Pada tahun 1933, dimulailah debut Popeye dalam dunia motion pictures. Popularitas Popeye terus bertahan hingga 1957. Masa-masa ketika Popeye berjaya, adalah masa-masa Amerika mengalami depresi, sekaligus perang dunia. Pengetatan ekonomi berlangsung di mana-mana. Ketika Perang Dunia II berlangsung, sumberdaya termasuk sumber pangan banyak diarahkan untuk keperluan perang. Daging, ikan, telur, dan lain-lain. Rakyat di dalam negeri, hanya mendapatkan ‘sisa’-nya. Ya, bayam itu. Serial Popeye membantu ‘membujuk’ rakyat Amerika agar mau ‘berkorban’ demi ‘kepentingan negara’. Popeye menjadi semacam alat propaganda pemerintah AS pada jamannya, agar rakyat tidak mengomel karena kekurangan makanan (berprotein). Tidak apa-apa makan bayam terus-terusan. Toh Popeye bisa jadi superhero karena makan bayam.
Mengapa bayam yang dipilih? Pertama, bayam mudah tumbuh di mana-mana, dan bisa dipanen dengan cepat. Kedua, mengutip hasil penelitian tahun-tahun itu, bayam disimpulkan memiliki kandungan zat besi paling tinggi dibanding sayuran lainnya. Maka, bayam dipilih untuk merepresentasikan kekuatan super. Belakangan, data itu ternyata salah. Kandungan zat besi bayam sama saja dengan sayur lainnya!

Kekerasan dan Relasi yang Mencemaskan
Kita terbahak-bahak melihat Popeye, kita terhibur dengan tingkah polah Popeye dan teman-temannya. Melalui Popeye, kita mendapatkan model tentang bagaimana semestinya seorang pahlawan berperan, bagaimana biang keladi kejahatan mesti ditumpas. Tapi, di sisi lain, Popeye membawa nilai-nilai yang cukup mencemaskan. Salah satunya adalah kandungan kekerasan yang cukup dominan.
Kekerasan muncul akibat konflik, dan konflik diperlukan untuk memamerkan kedigjayaan Popeye. Kalau tidak ada pertempuran dan baku hantam, bagaimana Popeye bisa tampak heroik? Popeye butuh panggung untuk mempertontonkan kekuatannya. Dan panggung itu adalah panggung kekerasan. Kekerasan menjadi jalan untuk menuntaskan masalah. Itulah salah satu yang diajarkan Popeye.
Bukankah setiap cerita butuh konflik? Konflik dapat memperlihatkan kontras antara baik dan buruk, serta memperlihatkan model perilaku yang diizinkan, atau sebaliknya. Benar. Tetapi, pelajaran macam apa yang bisa ditarik dari film berdurasi 20 menitan, di mana sebagian besar isinya adalah baku hantam dan kekerasan? Dalam salah satu episode Popeye, pelaku kekerasan bahkan karakter keponakan Olive, masih kecil dan imut-imut, tapi sangat keji. Ia mengerjai Popeye yang diminta Olive menjaga keponakannya. Intensitas kekerasan yang dilakukan si kecil ini cukup menyeramkan. Popeye dipanah, diseterika, dijepitkan ke pintu, ditusuk, dipukuli. Semua itu dilakukan si kecil dengan penuh suka cita—kekerasan menjadi hiburan baginya. Sementara Olive pergi shopping, pulang tertawa-tawa melihat Popeye babak belur dihajar keponakannya. Kita, penonton, begitu terhibur melihat kejadian itu. Bahkan, anak-anak diajak untuk menyaksikannya! Meminjam istilah Gerbner, begitulah cara kekerasan dikultivasi, atau ditanamkan ke dalam benak anak-anak. Begitulah anak belajar tentang norma dan dunianya—meminjam asumsi Social Learning Theory dari Albert F. Bandura.
Popeye juga mengandung ‘kekerasan’ relasi. Lihatlah bagaimana Olive pasangan Popeye (kadang istri, kadang pacar), bermanis-manis ketika Popeye ada. Kemudian, ketika Popeye pergi, adegan yang sama selalu berulang. Ada orang ketiga yang datang, siapa lagi kalau bukan Brutus (dalam naskah aslinya ternyata bernama Bluto). Entah siapa yang mulai duluan. Kadang-kadang Olive yang kegenitan menggoda Brutus. Seringnya sih Brutus, yang kalau sudah lelah menggoda, dicuekin, lantas menculik Olive. Bagi beberapa pihak, tindakan Brutus bukan sekadar penculikan, tetapi juga bisa ‘dibaca’ sebagai upaya pemerkosaan dan pemaksaan kehendak. Olive menjerit-jerit, Popeye datang dengan kekuatan supernya. Dan, ketika Popeye baku hantam dengan Brutus, maka Olive tertawa kegirangan, berseru-seru agar jagoannya menghajar lawan lebih keras lagi. Begitulah wujud relasi, aksi kekerasan, dan pelecehan yang dicemaskan KPI serta para aktivis melek media terhadap Popeye.

Pentingnya Media Literacy
Peringatan KPI tentang Popeye yang harus diwaspadai, bersama sederet acara lain untuk anak, membuat kita terhenyak. Penelusuran dan ‘pembacaan aktif’ terhadap Popeye membuat kita lebih tertegun lagi. Maka, apakah yang dapat dimaknai dari semua ini?
Pertama, penonton harus lebih kritis dan lebih waspada menghadapi muatan media. Apa yang tampaknya aman ternyata tidak demikian halnya. Program anak-anak juga tidak bisa dikatakan sepenuhnya bebas dari unsur-unsur yang tidak mendidik. Manakala nilai-nilai negatif dan antisosial lebih banyak atau lebih dominan daripada nilai positif dan prososialnya, maka sebuah program ‘layak’ dijauhi demi kepentingan penonton-penonton belia. Inilah tantangan yang terutama dihadapi orangtua, guru, serta pihak-pihak yang terkait dengan perkembangan anak.
Kedua, pemaknaan memang merupakan masalah yang subjektif. Setiap keluarga, setiap kepala, punya ruang makna dan membangun konstruksi makna yang berbeda-beda. Karena itu, apa yang tampaknya keras bagi satu pihak, belum tentu demikian halnya bagi yang lain. Kendati demikian, dalam memilihkan program aman untuk anak, kepentingan anak harus dijadikan sebagai acuan. Jangan jadikan kepentingan dan kepala orang dewasa sebagai rujukan utama. Sesuatu yang tidak bermasalah bagi orang dewasa, bisa jadi hal yang gawat buat anak-anak. Tentu saja, tidak pada tempatnya juga menjadi ekstrim dan anti-media. Tetapi, mengajarkan sesuatu ada tahapannya. Dan orangtua manapun tentu tidak ingin ‘kekerasan’ mampir secara vulgar ke dalam ruang keluarganya.
Ketiga, peringatan KPI terhadap acara TV yang bermasalah hendaknya menjadi momentum untuk menggencarkan media literacy di lingkungan kita. Media literacy, alias melek media, adalah kemampuan untuk berhadapan dengan media secara bijak. Persisnya, kemampuan untuk mengakses media, mengapresiasi pesan-pesan media, mengkritisi media, dan memanfaatkan muatan media demi kepentingan peningkatan kualitas kehidupan. Kita tidak bicara televisi saja, tapi juga semua media yang mengelilingi kita. Radio, buku, film, Internet, termasuk media hiburan elektronik seperti videogame. Seyogyanya, setiap orang yang berinteraksi dengan media, dibekali dengan skill media literacy, sehingga kehadiran media dan program-program yang dibawanya tidak membawa dampak negatif bagi dirinya mau pun lingkungannya.

Dimuat di HU Kompas Edisi Jawa Barat, Kamis 4 September 2008, rubrik Riungan subtitle Tontonan Anak.