I.1.
Media Literacy
Media
literacy dikonsepkan sebagai “...the ability to access,
analyse, evaluate and create messages across a variety of contexts (Livingstone,
2003)[1].”
Wikipedia, the free encyclopedia, menyebutkan bahwa media literacy adalah
ketrampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan
telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan yang
berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan
mengapa demikian.
Konsep media
literacy pertama kali diperkirakan muncul pada tahun 1980an, dan kini telah
menjadi standar topik kajian di sekolah-sekolah berbagai negara. Secara logis
dapat dipahami, konsep ini tidak muncul dari kalangan media, melainkan dari
para aktivis dan akademisi yang peduli dengan dampak buruk media massa yang
dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan kapitalis hingga menafikan kepentingan
publik.
Pemikiran
sejumlah tokoh komunikasi-filosof terkemuka memicu lahirnya konsep media
literacy. Sonia Livingstone (2004) mencatat sosok-sosok seperti teorisi
komunikasi Kanada Marshall McLuhan[2],
ahli linguistik Kritis Amerika Noam Chomsky[3],
filosof Prancis Jean Baudrillard[4],
kritikus komunikasi Amerika Serikat Neil Postman[5],
dan perintis media education Amerika: Renee Hobbs[6].
Landasan teoritis media literacy sendiri bersumber dari tradisi
pemikiran Kiri, yang berkembang dalam cultural studies (Leftist
Cultural Studies). Seperti
diungkapkan Livingstone (2004), media literacy adalah “... a synthesizer
of media education projects dating back to 1920s ... act as an umbrella term
for teaching practices that make students aware of the construct of mass media.”
Media
literacy kerap disalahkaprahkan dengan media education. Sesungguhnya,
media literacy perlu dibedakan pengertiannya dari media
education. Media literacy bukanlah media
education, kendati yang terakhir ini kerap menjadi bagian dari yang
pertama. Media education memandang
media dalam fungsi yang senantiasa positif, yaitu sebagai a site of pleasure—dalam
berbagai bentuk. Sedangkan media
literacy yang memakai pendekatan inocculationist berupaya
memproteksi anak-anak dari apa yang dipersepsi sebagai efek buruk media massa.
Penggunaan media dan produk media sebagai bagian dari proses belajar mengajar,
misalnya mempelajari cara memproduksi film independen atau menggunakan
suratkabar sebagai sumber penelusuran data, tergolong dalam media education.
Adapun media literacy bergerak lebih jauh dari itu. Dengan
pendekatan yang lebih kritis, media literacy tidak hanya mempelajari
segi-segi produksi, tetapi juga mempelajari kemungkinan apa saja yang bisa
muncul akibat kekuatan media. Media
literacy mengajari publik memanfaatkan media secara kritis dan bijak.
I.2.
Media Literacy—Melek Media dengan
Pendekatan Inokulasi
Keprihatinan
terhadap dominasi media dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya bukan cuma
monopoli negara-negara berkembang yang tengah mengalami booming sektor
media—baik sebagai sektor publik maupun sektor bisnis-industri. Negara-negara
maju yang memiliki interaksi historis cukup panjang dan intens dengan media pun
ternyata juga menghadapi permasalahan serupa.
Sama dengan permasalahan kita, kehadiran media massa dalam pasar
kapitalisme neoliberal menciptakan ancaman bagi nilai-nilai multikultural yang
hendak disosialisasikan, dan menjebak media hanya pada content yang
itu-itu saja: memanjakan selera (rendah) penonton, untuk menjaga pundi-pundi
pemodal media.
1.2.1.
Pendekatan Inokulasi sebagai Landasan Penerapan Media Literacy
Dalam
visi ideal filosof Juergen Habermas, media dalam sistem yang demokratis
semestinya berfungsi sebagai arena ruang publik. Yang dimaksud dengan ruang
publik adalah wilayah di mana seluruh anggota masyarakat dapat berinteraksi,
bertukar pikiran, dan berdebat tentang masalah-masalah publik, tanpa perlu
merisaukan intervensi penguasa politik dan/atau ekonomi (Sudibyo, 2004:70).
Potensi demokrasi tercipta dalam ruang publik.
Masalahnya,
media sama sekali bukan ruang hampa. Media adalah ajang kontestasi antara
pelbagai kepentingan yang berusaha merebut ruang publik, menghegemoni publik.
Hal ini diilustrasikan oleh Anthony Giddens dalam Structuration Theory, yang
mengandaikan adanya baku sodok (interplay) antara struktur dan agent dalam
proses konstruksi ruang sosial. Ini terlihat dalam fenomena media ketika
berhadapan dengan kekuatan politis negara dan kekuatan ekonomi pasar. Ketika
media dikuasai oleh state regulation, media gagal menciptakan ruang
publik. State regulation mendefinisikan kerangka informasi dalam bingkai
yang dilegitimasi oleh negara. Hal yang sama juga terjadi ketika media dikuasai
oleh kekuatan ekonomi kapitalis. Media, tatkala berhadapan publik, menjadikan
publik sebagai komoditas alih-alih melayani kepentingan publik. Hal sedemikian
tidak bisa diterima karena dalam kerangka etiknya, media massa mengemban fungsi
sosial-politik di samping fungsi ekonomi.
Mengatasi
hal ini, penting kiranya menyimak pendapat Richard Falk (1995). Falk dalam
bukunya On Humane Government: Toward A New Global Politics mengidentifikasi
tiga kekuatan besar dalam era globalisasi: state, market dan civil. Apabila
market dan state bersatu menghadapi civil society, akan
terbentuk inhuman governance. Maka, agar terbentuk pemerintahan yang humane
governance, civil society harus bekerjasama dengan market (Lie,
2004). Kendati demikian, berbicara pasal market media massa di
Indonesia, nyata terlihat bahwa jual-beli yang terjadi belum berlangsung dalam
proses yang memberikan win-win solution. Dalam pasar media massa saat
ini, yang ditandai dengan melemahnya kekuatan state, maka pihak yang
senantiasa diuntungkan adalah media massa, sementara publik tetap saja
dieksploitasi, dikomodifikasi, dijual ke pengiklan dengan harga mahal. Sebagai
balasan atas nilai jualnya, publik tidak disuguhi oleh acara yang mencerdaskan,
tapi lebih banyak diberi pilihan sensasionalitas yang hanya mengumbar emosi
sesaat.
Menghadapi
dunia media massa Indonesia saat ini yang cenderung menyajikan isi tidak
berbobot, solusi yang ditawarkan adalah media literacy dengan pendekatan
inokulasi. Inokulasi merupakan salah satu pendekatan komunikasi yang populer.
Asumsinya, jika akan berhadapan dengan pesan-pesan (persuasif) media, khalayak
perlu diinokulasi—diberi suntikan imunitas tertentu. Dengan demikian, khalayak
tidak akan jatuh menjadi korban ‘virus’ media massa. Inokulasi merupakan sebuah
tindakan intervensi untuk melindungi seseorang dari bahaya tertentu. Dalam hal
ini, media massa-lah yang dianggap sebagai sumber bahaya tersebut. Begitu lahir, atau begitu mengenal media,
seyogyanya manusia harus langsung diberi suntikan imunitas sebagai antivirus
menghadapi ‘virus’ media. Dengan demikian, mereka tidak akan terkena ‘penyakit’
alias efek negatif media.
Apabila
virus yang dimaksud dalam analogi ini adalah media massa, maka antivirusnya
adalah sebuah konsep yang akan dieksplorasi dalam tulisan ini, yaitu media
literacy.
1.2.2.
Konsep dan Operasionalisasi Media Literacy
Media
literacy dikonsepkan sebagai “...the ability to access,
analyse, evaluate and create messages across a variety of contexts (Livingstone,
2003)[7].”
Wikipedia, the free encyclopedia, menyebutkan bahwa media literacy adalah
ketrampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan
telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan yang
berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan
mengapa demikian. Dalam suatu
masyarakat media[8],
di mana kontak dengan media menjadi sesuatu yang esensial dan tak terhindarkan,
media literacy adalah sebuah ketrampilan yang diperlukan oleh
warganegara guna berinteraksi dengan layak dengan media, dan menggunakannya
dengan rasa percaya diri.
Ketrampilan-ketrampilan ini sesungguhnya memang dianggap penting bagi
siapa saja. Namun target utama media literacy adalah kaum muda yang
berada dalam proses peneguhan mental dan fisik.
Dalam
maknanya yang paling luas, literacy (keberaksaraan) termasuk kemampuan
untuk ‘membaca’ dan ‘menulis’ dengan trampil dalam pelbagai bentuk-bentuk
pesan, terutama menimbang dominasi media elektronik berbasis citra. Secara sederhana, media literacy termasuk
ketrampilan-ketrampilan literacy yang diperluas pada seluruh bentuk
pesan, termasuk menulis dan membaca, berbicara dan menyimak, menonton secara
kritis, dan kemampuan untuk menulis sendiri pesan-pesan dengan menggunakan
pelbagai teknologi. Media literacy bukanlah subyek yang baru, dan juga
bukan sekadar tentang televisi, namun merupakan literacy bagi masyarakat
informasi. Media literacy adalah semacam code of conduct bagi masyarakat
di Era Informasi. Konsep ini dijabarkan dalam tiga kriteria:
1. Ability
to subjectively read and comprehend media content (kecakapan untuk
membaca dan memahami isi media secara subjektif), meliputi:
1.1. Ability
to understand the various characteristics of media conveying information (kecakapan
untuk memahami ragam karakteristik media dalam menyampaikan informasi).
1.2. Ability
to analyze, evaluate, and ciritically examine in a social context, and select
information conveyed by media (kecakapan untuk menganalisis,
mengevaluasi, dan secara kritis memeriksa media dalam sebuah konteks sosial,
serta memilih informasi yang disampaikan oleh media).
2. Ability
to access and use media (kecakapan untuk mengakses dan
menggunakan media): ability to select, operate and actively make use of
media apparatus (kecakapan untuk menyeleksi, mengoperasikan, dan secara
aktif memanfaatkan perangkat-perangkat media).
3. Ability
to communicate through the media, especially an interactive communication
ability (kecakapan untuk berkomunikasi melalui media, khususnya
suatu kecakapan komunikasi interaktif): ability to express one’s own ideas
through media in a way that the recipient can understand (kecakapan untuk
mengekspresikan gagasan-gagasan pribadi melalui media dengan suatu cara yang
dapat dipahami oleh penerima pesan).
(The Study Group, 2002)[9]
Meninjau operasionalisasi konsep di atas, tampak jelas
bahwa ketrampilan-ketrampilan yang dijabarkan sesungguhnya diarahkan untuk
membuat manusia tidak gamang berhadapan dengan media, tidak menganggap media
adalah segalanya, tidak tunduk di depan media, dan karena itu, dapat
memanfaatkan media sesuai dengan keperluannya.
Sebagai sebuah payung untuk memahami politik pengemasan
isi media, media literacy memiliki konsep-konsep dasar sbb.:
1. Semua media, pada dasarnya,
adalah konstruksi. Media tidak
menampilkan refleksi sederhana dari realitas eksternal. Media menampilkan
konstruksi yang diatur secara rumit berdasarkan pengambilan keputusan atas
pelbagai kebijakan dan pilihan yang sangat luas. Media literacy bermaksud
melakukan dekonstruksi atas konstruksi ini.
2. Media mengonstruksi
realitas. Bagian terbesar dari media
literacy, karena itu, bukanlah ditujukan untuk mempelajari aspek produksi
media, melainkan untuk memperlihatkan pada kita bagaimana media melakukan
proses konstruksi realitas, sehingga kita bisa
mengenali preconstruction reality (realitas yang belum
dikonstruksi). Media literacy bermaksud menanamkan kesadaran bahwa
medialah yang selama ini telah mengonstruksi realitas kita, bukan kita sendiri.
Karena itu, media literacy bertujuan mengembalikan kuasa konstruksi
realitas itu pada kita sendiri selaku publik atau khalayak media.
3. Khalayak menegosiasikan makna
dalam media. Setiap orang memberikan makna yang berbeda pada apa yang
diperolehnya dari media. Setuju, tidak setuju, tidak berpendapat, semua adalah
bagian dari proses negosiasi khalayak pada media didasarkan latar belakang
kultural, keluarga, preferensi sikap dan nilai, faktor gender, dan sebagainya.
4. Media memiliki
implikasi-implikasi komersial. Media literacy, karena itu, memasukkan
kesadaran akan ‘dasar ekonomi produksi media massa dan bagaimana hal itu
berimplikasi pada isi, teknik, serta distribusi.’ Produksi media adalah sebuah
bisnis yang bertujuan akhir mengumpulkan kapital sebanyak-banyaknya. Media
literacy menginvestigasi pertanyaan seputar kepemilikan, kontrol, dan
efek-efek terkait. Bukan pada efek media semata, tapi pada sosiologi media,
yaitu kekuatan sosial-politik-ekonomi yang menentukan isi media.
5. Media berisi pesan-pesan
bersifat ideologis dengan nilai-nilai tertentu. Tidak ada media yang netral.
Semua produk media dalam taraf tertentu melakukan promosi—untuk dirinya sendiri
maupun untuk menawarkan gaya hidup tertentu. Ini meliputi iklan-iklan produk
atas nama kesejahteraan hidup—a good life—di balik bayang-bayang
konsumerisme, penguatan stereotip domestikasi peran perempuan demi
mempertahankan status quo budaya patriarkis, atau peneguhan peran politis dan ideologi
partai tertentu yang mengatasnamakan pesan-pesan ‘kebangsaan’ dan nilai-nilai
‘patriotisme.’
6. Media memiliki implikasi
sosial politik. Media adalah ajang kontestasi kekuatan sosial politik masyarakat. Media
punya kekuatan yang bisa mengarahkan opini publik pada isu-isu tertentu.
Misalnya, menggiring opini publik pada kandidat presiden tertentu melalui polling
SMS, atau melibatkan partisipasi publik pada isu hak-hak sipil global
seperti epidemi AIDS, kelaparan di Dunia Ketiga, sampai pada pemberantasan
terorisme internasional.
7. Bentuk dan isi berkaitan erat
dengan media. Setiap media, seperti dinyatakan McLuhan,
memiliki tatabahasa tersendiri dan mengodifikasikan realitas dalam cara-cara
yang unik. Media bisa melaporkan peristiwa serupa, namun kemasan pesannya
berbeda-beda. Maka, dengan sendirinya, impresi atas kemasan pesan itupun akan
berbeda-beda.
8. Setiap medium memiliki bentuk
estetik yang unik. Ekspresi keindahan setiap media berbeda-beda, dan kita dimungkinkan untuk
menikmati semuanya, kendati kesan dan preferensi orang akan berbeda-beda hingga
efeknya pun tak sama.
Prinsip-prinsip
ini harus dicakup dalam upaya mengimplementasikan media literacy, entah
itu dalam ranah publik secara informal maupun dalam ranah cultural
maintenance secara formal yang diwujudkan melalui lembaga-lembaga
pendidikan
(Penggalan dari karya tulis LKTI Fikom Unisba 2005 “Media Literacy: Solusi
Mendidik Masyarakat Cerdas di Era Informasi”, Santi Indra Astuti. Hanya untuk
kepentingan pengajaran mata kuliah Filsafat Komunikasi).
[1] Dari sekian banyak definisi media
literacy, inilah definisi yang secara formal dianggap paling mewakili
maksud dan tujuan konsep tersebut. Definisi ini adalah hasil dari konferensi
yang disponsori oleh the Aspen Institute pada tahun 1992. Sedikit berbeda dari
konsep Livingstone, namun mengandung makna dan semangat yang kurang lebih
serupa, hasil konferensi ini menyatakan bahwa media literacy adalah “…
the ability to access, analyze, evaluate and produce ommunication in variety of
forms (Hobbs, 2003).
[2]
Agak sulit menyebut McLuhan sebagai seorang ahli komunikasi semata. Pada
dasarnya, dirinya mencakup mosaik keseluruhan disiplin ilmu yang mengarah pada
konstruksi dunia di masa depan yang tak lepas dari kepungan media. Proposisi
McLuhan yang mendunia, tentang dunia yang disatukan oleh media elektronik
menjadi global village, serta kekuatan media sebagai eksistensi dari
komunikasi itu sendiri—medium is the message—menyejajarkan dirinya
dengan para futurolog lain.
[3]
Sebagai ahli linguistik, nama Noam Chomsky mulai diperhitungkan publik
internasional ketika mengeluarkan teori Language and Mind. Kini
menyibukkan diri sebagai aktivis dan periset media yang gencar mengadvokasi
publik seputar agenda tersembunyi Pemerintah AS yang secara ideologis
ditampilkan oleh media massa AS. Noam Chomsky kemungkinan saat ini menjadi
sosok yang paling dibenci Kabinet Bush, karena mengungkap cacat-cacat media dan
intervensi pemerintah dalam wacana media AS.
[4]
Filosof posmodernis Prancis. Teori Baudrillard yang paling banyak dikutip untuk
wacana-wacana posmodernis adalah Simulacra, yang mengandaikan realitas
dalam dunia yang dikuasai media saat ini bagaikan lapisan-lapisan simulacra
yang terdiri dari floating images—citra simbolik yang mengapung terlepas
dari realitas aslinya. Baudrillard mengisitilahkannya sebagai hyperreality—hiperrealitas.
[5]
Spesialisasinya adalah media ecologist. Bukunya yang mendunia adalah Amusing
Ourselves to Death, sebuah ironi bagi masyarakat kita yang menghibur diri
sampai mati di depan televisi.
[6]
Renee Hobbs adalah aktivis media literacy. Tulisannya dapat dibaca di
pelbagai situs media literacy.
[7] Dari sekian banyak definisi media
literacy, inilah definisi yang secara formal dianggap paling mewakili
maksud dan tujuan konsep tersebut. Definisi ini adalah hasil dari konferensi
yang disponsori oleh the Aspen Institute pada tahun 1992. Sedikit berbeda dari
konsep Livingstone, namun mengandung makna dan semangat yang kurang lebih
serupa, hasil konferensi ini menyatakan bahwa media literacy adalah “…
the ability to access, analyze, evaluate and produce ommunication in variety of
forms (Hobbs, 2003).
[8]
Menarik sekali mengamati pelbagai istilah yang diberikan oleh para aktivis media
literacy untuk dunia saat ini. Mereka tidak saja mengadopsi gagasan para
futurology yang mengajukan konsep the age of Information dengan
‘masyarakat informasi’ sebagai ikonnya. Istilah lain untuk menggambarkan dunia
masa kini adalah media society dan media-saturated environment—sebuah
lingkungan yang jenuh dengan media. Baca Teaching Media Society: Yo! Are You
Hip to This? yang ditulis oleh Rene Hobbs
[9] Definisi
operasional ini bersumber dari kajian The Study Group, lengkapnya adalah the
Study Group on Young People and Media Literacy in the Field of
Broadcasting, sebuah kelompok kajian
yang diprakarsai oleh Kementerian Pos dan Telekomunikasi (MPT) Jepang. Kelompok
ini diketuai oleh Junichi Hamada, Dekan Sekolah Tinggi Kajian-Kajian Informasi
Interdisiplin, bagian dari Insiatif Antarfakultas dalam Kajian-Kajian Informasi
di Universitas Tokyo sejak November 1992.
0 komentar:
Posting Komentar