Selasa, 14 Agustus 2007

Media Literacy: Memerdekakan Khalayak dari Kapitalisme Media

Oleh
Santi Indra Astuti[1]

ABSTRAK
22 Juli 2007 lalu menjadi momen yang mestinya sangat penting bagi kalangan peminat, praktisi, dan akademisi studi komunikasi. Di Indonesia, tanggal itu dipilih oleh para aktivis media literacy sebagai Hari Tanpa TV. Pada tanggal tersebut, berlangsung aksi secara serempak di 6 kota: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Makasar. Jauh-jauh hari sebelum aksi berlangsung, para aktivis di keenam kota menghimbau khalayak agar mematikan televisi pada tanggal tersebut. “Lakukan apa saja, kecuali menonton tivi.” Gerakan semacam ini ternyata bukanlah memusuhi (industri) televisi. Melainkan wujud dari aksi media literacy yang ditujukan bagi penguatan khalayak, yang bisa dimaknai pula sebagai upaya memerdekakan khalayak dari dominasi industri kapitalis yang menguasai bisnis media massa. Artikel berikut membahas media literacy lebih jauh lagi, sebagai alternatif kontribusi studi komunikasi guna menghadapi permasalahan kontemporer dalam masyarakat komunikasi dewasa ini.

Kata kunci: media imperialism, media effect, media literacy.

Media Literacy, Pada Mulanya
Di tengah peradaban yang sudah bertransformasi menjadi The Age of Media Society, tak seorang pun meragukan kedigjayaan media massa. Media massa bukan saja menjadi ikon zaman, tapi juga penanda dari setiap perikehidupan yang berlangsung dalam abad ini. Tak sedetik pun momen terlewatkan dari media massa. Tak secelah pun informasi terabaikan. Lebih-lebih lagi, bila kita bicara ihwal televisi.
Di antara media massa lainnya, televisi memang primadonanya. Televisi dianggap sebagai sarana yang relatif murah dan mudah diakses untuk mendapatkan hiburan dan informasi. Sebagai ilustrasi, di Amerika Serikat, terdapat 105.5 juta televisi—99.9% adalah televisi berwarna. Di setiap rumahtangga Amerika Serikat, televisi dinyalakan rata-rata selama 7.5 jam. Rata-rata laki-laki menonton televisi 4 jam 11 menit sehari, sedangkan perempuan menghabiskan waktu sedikit lebih banyak yaitu 4 jam 46 menit. Remaja rata-rata menonton televisi selama 3 jam 4 menit sehari, sementara anak-anak menonton rata-rata 3 jam 7 menit sehari. Sebuah keluarga terdiri dari tiga orang atau lebih menonton televisi setidaknya 60 jam per minggu (Baran, 2003:245).
Bagaimana dengan Indonesia? Jelas bahwa televisi merupakan benda yang bisa ditemukan nyaris di setiap rumahtangga. Rumah sempit berdesakan sekalipun masih menyisakan ruang untuk televisi. Dalam aspek penetrasi media, televisi mencapai angka rata-rata 90% atau lebih di setiap kelas. Anak-anak menonton televisi rata-rata 30-35 jam per minggu, atau 1560-1820 jam per tahun—melebihi jumlah jam belajar yang mencapai angka tak lebih dari 1100 jam per tahun (Guntarto, 2003). Ini seiring dengan data yang menunjukkan bahwa bagi anak-anak, media yang paling menghibur adalah televisi.[2] Ketika mencapai usia SMP, anak-anak setidaknya telah menghabiskan waktu untuk menonton televisi selama 15.000 jam dalam kehidupannya. Bandingkan dengan jumlah jam belajar yang hanya mencapai 11.000 jam saja.[3] Televisi rata-rata ditonton oleh 3-4 anggota keluarga dalam sebuah keluarga di Indonesia beranggotakan 5 orang. Dan ya, penonton perempuan jauh lebih banyak daripada penonton laki-laki. Ilustrasi ini memperlihatkan betapa dominannya posisi televisi baik dalam ruang-ruang keluarga maupun individu.
Namun, di balik kuatnya posisi tersebut, televisi—atau tepatnya, industri televisi—menghadirkan sederet permasalahan. Ini terutama disebabkan oleh content televisi yang acap mengabaikan fungsi pendidikan atau pencerdasan khalayak. Sebagian besar produk televisi adalah program yang bertema kekerasan, pornografi, dan hal-hal yang tidak rasional.[4] Yang jadi korban, lagi-lagi, adalah khalayak sendiri.
Kajian-kajian efek televisi memperlihatkan sejumlah dampak negatif akibat terlalu sering dan terlalu banyak mengonsumsi televisi. Bukan berita baru lagi, kalau siaran televisi mengakibatkan desensitisasi atau penumpulan kepekaan (Astuti, 2006:142). Yang tadinya takut melihat darah ayam disembelih, kini gara-gara keseringan nonton program kekerasan, jadi biasa-biasa saja melihat maling ayam dihakimi massa sampai berdarah-darah, terkencing-kencing. Menonton berita kriminalitas jadi kurang seru rasanya kalau tidak disertai rekonstruksi peristiwa.
Penumpulan kepekaan juga bisa mengakibatkan pergeseran norma. Simak saja layar kaca kita. Sinetron Heart, misalnya, dikeluhkan masyarakat karena memperlihatkan adegan pacaran di antara anak-anak SD, lengkap dengan cemburuan, intrik, dan strategi merebut perhatian sang kecengan! Ini bukan sekadar masalah eksploitasi anak dalam adegan yang mengisahkan realitas orang dewasa, juga bukan sekadar masalah terbukanya kotak perlindungan bagi kepolosan anak yang selalu dijaga agar inosen selamanya. Bukan. Kasus ini memperlihatkan, ketika khalayak mengonsumsi dan ‘membeli’ ideologi kematangan para belia, telah terjadi pergeseran pendefinisian kelas ABG. Kalau dulu, ABG adalah anak-anak tanggung usia SMP, sekitar 14-16 tahun. Kini, yang dikategorikan ABG adalah anak-anak usia SD! Bukankah ini merupakan contoh kasus pergeseran norma, moral, dan kelas masyarakat?
Jane Cantor (1999) mengidentifikasi efek lain: fear effect. Inilah efek yang timbul ketika khalayak terlalu sering diterpa acara kekerasan hingga menganggap perang terjadi di mana-mana, dan bahwa “it’s a mean world to live in!” (Bryant & Zillmann, 2002:145). Di layar kaca, dunia tempat kita tinggal menjadi dunia nan kejam. Penjahat mengintip di mana-mana, sehingga slogan “Waspadalah!” terasa sangat nyata, bukan hanya menjadi sebentuk peringatan, tapi juga menjadi teror tersendiri. Realitasnya sendiri mungkin tidak sebegitunya. Namun, kesulitan membedakan realitas simbolik yang direpresentasikan televisi dengan realitas real yang benar-benar terjadi, mengakibatkan munculnya efek sedemikian.
Pada konteks yang lebih luas, tepatnya pada level sosiokultural, televisi dikeluhkan membawa dampak globalisasi yang menggerus budaya lokal. Ini dipertegas oleh teori media imperialism yang dilontarkan Fred Fejes (1981).

... a great deal of the concern over media imperialism is motivated by the fear of cultural consequences of the transnational media—of threat that such media poses to the integrity and the development of viable national cultures in Third World societies ... little progress has been achieved in understanding specifically the cultural impact of transnational media on Third World societies.
(Tomlinson, dalam Parks & Kumar, 2003:114)

Lewat teori ini, Fejes menyatakan bahwa media imperialism merupakan permasalahan negara-negara Dunia Ketiga tatkala berhadapan dengan kekuatan media transnasional. Isu seputar imperialisme media pada umumnya berkisar pada tantangan yang dihadapkan media pada integritas dan pelestarian budaya lokal/nasional. Glokalisasi, seperti yang dilakukan MTV dengan “Salam Dangdut”, misalnya, bukanlah jawaban atas permasalahan ini. Karena glokalisasi di sisi lain memunculkan, misalnya, adopsi budaya global dalam konteks lokal seperti kontes puteri-puterian meniru kontes Miss Universe dalam tingkat dunia. Atau, matinya kreativitas ketika sinetron-sinetron Indonesia ramai-ramai mencontek drama seri Korea. Nyontek abiss... bukan sekadar mengadaptasi atau menyadur.
Apa televisi tidak punya efek positif? Supaya tulisan ini tidak dikatakan memihak atau berat sebelah, harus dinyatakan bahwa televisi punya dampak positif. Televisi yang menyiarkan pesan-pesan prososial, misalnya, dapat menggugah orang untuk bertindak positif. Lihatlah sukses spektakuler Metro TV dalam memobilisasi dana publik ketika bencana tsunami melanda Aceh (Desember 2004). Atau cerita sukses Joan Ganz Cooney yang berada di balik produksi Sesame Street. Serial yang disebut terakhir ini berawal dari keprihatinan Ms. Cooney, berhubung “... existing shows for 3 through 5 year old children ... did not have education as a primary goal.” Melalui riset untuk mencari metode instruksional terbaik guna mendidik anak-anak prasekolah lewat televisi, lahirlah serial Sesame Street pada tahun 1969. Sesame Street yang menjadi sukses nasional dan model bagi program televisi pendidikan sesudahnya, tidak cuma berhasil meraih pelbagai award. Banyak riset menyimpulkan, serial ini berhasil meningkatkan ketrampilan personal dan sosial anak-anak prasekolah yang menjadi penonton tetapnya (diudarakan sejam setiap minggu di CBS)[5]. Tak heran jika akhirnya Sesame Street menjadi program nasional yang diudarakan pula di televisi-televisi publik. Sayangnya, wajah televisi sendiri secara umum tidak berubah—buktinya, tetap lebih banyak acara televisi yang tidak mencerdaskan. Tak heran jika korban-korban televisi tetap saja berjatuhan.
Bertitik tolak dari keprihatinan seputar dampak negatif televisi, juga media massa lainnya, pada tahun 1980-an, sejumlah aktivis media (kebanyakan dulunya adalah periset dan praktisi media) melahirkan gagasan media literacy. Media literacy pada awalnya dikonsepkan sebagai semacam ketrampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian. Dalam masyarakat media[6], di mana kontak dengan media menjadi sesuatu yang esensial dan tak terhindarkan, media literacy adalah sebuah ketrampilan yang diperlukan oleh warganegara guna berinteraksi dengan layak dengan media, dan menggunakannya dengan rasa percaya diri. Ketrampilan-ketrampilan ini sesungguhnya memang dianggap penting bagi siapa saja. Namun, target utama media literacy adalah kaum muda yang berada dalam proses peneguhan mental dan fisik.

Media Literacy: Upaya Memerdekakan Khalayak
Dalam perkembangannya, konsep media literacy mengalami perkembangan seiring dengan kian banyaknya ‘aktivis’ yang memasuki ranah ini. Tabel berikut ini memperlihatkan ragam konsep media literacy yang berkembang sejauh ini.

Tabel 1. Definisi Media Literacy
Teorisi/perumus
Definisi
Penekanan/fokus
National Leadership Conference on Media literacy (1998, h.3)
The ability to access, analyze, evaluate, and communicate messages.
Skill individu.
Paul Messaris, media scholar (1998, h. 3)
Knowledge about how media functions in society.
Pemahaman individu pada aspek makro (sosiokultural).
Justin Lewis dan Sut Jhally, periset komunikasi massa (1998, h. 3)
Understanding cultural, economic, political, and technological constraints on the creation, production, and transmission of messages.
Pemahaman individu pada aspek mikro (lembaga, pesan) dan aspek makro (sosiokultural).
Alan Rubin, periset media (1998, h. 3)
Media literacy, then, is about understanding the sources and technologies of communication, the codes that are used, the messages that are produced, and the selection, interpretation, and impact of those messages.
Penekanan lebih pada aspek mikro, walaupun ada tinjauan juga pada aspek makro.
William Christ dan James W. Potter, communication scholar (1998, h. 7-8)
Most conceptualizations (of media literacy) include the following elements: media are constructed and construct reality; media have commercial implications; media have ideological and political implications; form and content are related in each medium, each of which has a unique aesthetic, codes, and conventions; and receivers negotiate meaning in media.
Penekanan lebih pada aspek makro, walaupun ada tinjauan juga pada aspek mikro (form dan content).
The Cultural Environment Movement, public interest group (1996, h. 1)
The right to acquire information and skills necessary to participate fully in public deliberation and communication. This requires facility in reading, writing, and storytelling; critical media awareness; computer literacy; and education about the role of communication in society.
Advokasi hak publik, skill individu, perluasan media literacy pada literasi aksara, fungsi sosial media.
The National Communication Association, professional scholarly organization composed of university academics (1996)
Being a critical and reflective consumer of communication requires an understanding of how words, images, graphics, and sounds work together in ways that are subtle and profound. Mass media such as radio, television, and film and electronic media such as telephone, the Internet, and computer conferencing influence the way meanings are created and shared in contemporary society. So great is this impact that in choosing how to send a message and evaluate its effect, communicators need to be aware of the distinctive characteristics of each medium.
Posisi khalayak sebagai konsumen.
(Diolah dari Baran, 2004:51)

Seperti terlihat dalam Tabel 1, definisi media literacy dalam praktiknya akhirnya dipakai dalam berbagai konteks dengan penekanan pada aspek yang berbeda-beda. Mulai dari skill individu, advokasi hak publik, perubahan nilai dalam lingkup sosiokultural, penguatan khalayak sebagai konsumen, dan lain-lain. Sebagaimana diungkapkan Baran (2003), semua definisi benar adanya. Siapa pun dipersilakan menggunakannya sesuai dengan keperluannya.

Menerjemahkan Media Literacy dalam Level Aksi
Tidak disangsikan lagi, media literacy adalah perkara sekaligus pekerjaan besar yang tidak sederhana. Upaya memerdekakan khalayak melalui media literacy, agar efektif, harus dirumuskan lewat pelbagai strategi dan sasaran. Dalam praktiknya, ada yang memaknai gerakan media literacy sebagai bagian dari perjuangan mengubah industri media massa agar tidak kelewat bersifat kapitalis. Ada pula yang memaknai gerakan media literacy sebagai pergulatan kekuasaan[7] atau upaya mengimbangi kuasa ideologis—entah itu kuasa di bawah pengaruh hegemoni state, kelompok kapitalis, atau kekuatan kultural tertentu. Maka, gerakan media literacy pun diterjemahkan dalam berbagai level.
Pada level regulasi, perjuangan dilakukan dengan melakukan upaya-upaya untuk melahirkan perundang-undangan yang menjamin hak-hak publik ketika berhadapan dengan media. Di Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan salah satu wujud perjuangan untuk mengembalikan frekuensi penyiaran pada ranah publik, yang mesti dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Pada level produksi, advokasi dilakukan dengan sasaran para pekerja media. Sedangkan pada level masyarakat, digarap upaya untuk membekali khalayak dengan kemampuan dan kesadaran media literacy. Lebih lengkapnya, perhatikan tabel berikut ini.

Tabel 2. Ragam Gerakan Media Literacy
Level
Tujuan
Sasaran
Aksi Konkret
Regulasi
Menghasilkan perundang-undangan dan regulasi yang menjadi sistem media massa yang sehat, menyediakan payung hukum bagi pelanggaran terhadap hak publik yang dilakukan oleh media massa.
Lembaga legislatif, pemerintah dan organ-organnya, lembaga hukum
Melakukan advokasi lewat pressure group untuk membentuk undang-undang, regulasi, dan komisi-komisi guna mengawasi kinerja dan sistem media massa;
mengupayakan masuknya materi media literacy dalam kurikulum nasional, dll.
Produksi
Teks/
Wacana
Memberi perspektif media literacy pada pekerja media, lembaga, dan owner;
mengubah kebijakan media agar lebih berpihak pada upaya pencerdasan khalayak melalui program-program yang berkualitas;
membantu mengonstruksi pasar dan sistem media massa yang sehat demi kepentingan bersama.
Pekerja media, owner atau pemilik media, penentu kebijakan dalam institusi media.
Perguruan tinggi atau lembaga pendidikan yang memiliki studi komunikasi massa.
Melakukan advokasi pada penentu kebijakan atau owner guna mengubah kebijakan seputar media sehingga lebih berpihak pada kepentingan publik; melakukan pelatihan pada pekerja media untuk menghasilkan program yang berkualitas;
mengupayakan masuknya materi media literacy dalam kurikulum nasional.
Audience
Memberi penguatan pada khalayak agar cerdas, bijak, berdaya, ketika berhadapan dengan media massa.
Masyarakat dalam berbagai kelas dan level, siswa sekolah dalam berbagai tingkat pendidikan, perempuan, dll.
Mengampanyekan gerakan media literacy;
melakukan pelatihan media literacy pada elemen-elemen masyarakat.

Penelusuran literatur memperlihatkan, setiap negara ternyata mengadopsi konsep media literacy secara berbeda. Di Inggris dan Australia, media literacy menjadi bagian kurikulum yang diarahkan dan ditetapkan oleh pemerintah. Di Amerika Serikat, konsep media literacy tidak begitu tersebar meluas karena tidak ada departemen sentral yang mengurusi masalah kurikulum. Otonomi setiap negara bagian begitu besar hingga masing-masing punya kebijakan sendiri-sendiri. Gerakan media literacy di Prancis melibatkan lembaga-lembaga penyiaran publik, sementara di Jerman fungsi ini dilakukan oleh lembaga-lembaga penyiaran regional. Paling tidak, sejak 1992, Jepang menjadi wakil negara Asia yang menaruh kepedulian besar terhadap media literacy. Kementerian Pos dan Informasi (MPT), bersama sejumlah akademisi Universitas Tokyo, merancang skema upaya-upaya untuk mengintegrasikan konsep media literacy, baik dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah secara formal, maupun dalam advokasi pada seluruh elemen masyarakat. Ini meliputi gerakan-gerakan advokasi media literacy pada level pemerintah, media massa, dan LSM. Upaya ini dilakukan secara nasional. Namun, dari keseluruhan negara yang menerapkan media literacy, Kanada agaknya merupakan negara terdepan dalam menjalankan aktivitas media literacy.
Kanada adalah sebuah negara yang penduduknya memiliki kekritisan dan kesadaran kewarganegaraan yang tinggi dalam menyikapi isu-isu dunia, mulai dari isu konservasi lingkungan, hak asasi manusia, hingga perlawanan aktif terhadap kapitalisme neoliberal. Kanada, karenanya, memiliki tradisi aktivitas advokasi dan partisipasi aktif yang menyejarah. Dalam hal media literacy, selain melibatkan media penyiaran publik seperti The Canadian Radio-Television Telecommunications Commission (CRTC), sejak musim gugur 1999, setiap propinsi di Kanada diwajibkan untuk menyelenggarakan program pendidikan media literacy (terutama dalam pelajaran sastra). Ini belum termasuk aktivitas tak tercatat yang dilakukan oleh kelompok-kelompok komunitas di pelbagai pelosok. Keseriusan Kanada dalam ihwal media literacy secara politis juga diwujudkan pemerintah lewat sertifikasi lisensi media literacy—pengajar yang dibolehkan mengajarkan media literacy di sekolah-sekolah hanya mereka yang telah lolos uji sertifikasi lewat uji akademik maupun uji publik. Ada standar-standar kecakapan tertentu yang harus dimiliki, dan ditinjau ulang secara periodik untuk menyesuaikan kualifikasi pemegang lisensi dengan perkembangan zaman, sekaligus guna memastikan bahwa misi media literacy tidak bergeser.
Di Indonesia, gerakan media literacy mulai dilakukan kurang lebih pada tahun 1990-an, seiring dengan munculnya kesadaran dan keprihatinan sejumlah kalangan terhadap pengaruh negatif media massa, dan tidak adanya perubahan signifikan dari kalangan media biarpun sudah dihantam kritik di sana-sini. Berikut adalah peta sederhana sejumlah LSM yang melakukan gerakan media literacy dalam beberapa level di Indonesia.
Tabel 3. LSM yang Melibatkan Diri dalam
Gerakan Media Literacy di Indonesia
Nama Lembaga
Bidang Garapan
Regulasi
Teks/Wacana
Audience
LSPP
(Jakarta)
Pressure group
Penerbitan buku kumpulan riset tentang media, melakukan pelatihan bagi wartawan untuk meningkatkan profesionalisme
-
Kidia/YPMA
(Jakarta)
Pressure group
Riset, Penerbitan buletin tentang program anak (mediawatch), menyusun rating tandingan untuk program anak di televisi
Melakukan kampanye media literacy, mengorganisir kampanye media literacy di 6 kota
KIPPAS (Medan)

Pressure group
Riset, penerbitan buku riset tentang media, pelatihan konsep dan praktik jurnalisme damai bagi wartawan di kawasan konflik

ELSIM (Makasar)
Pressure group
Kajian media
Melakukan kampanye media literacy
LSPS (Surabaya)
Pressure group
Kajian media
Melakukan kampanye media literacy
LKM
(Surabaya)

Riset komunikasi
Melakukan kampanye media literacy
The Habibie Center
(Jakarta)
Pressure group
Menerbitkan buletin mediawatch secara teratur, melakukan diskusi-diskusi

Bandung School of Communication Studies/Bascomms
(Bandung)

Riset
Kampanye media literacy lewat aksi damai, melakukan advokasi ke masyarakat melalui seminar dan talk show, melakukan advokasi dengan sasaran remaja lewat workshop
Bandung Spirit (Bandung)
Pressure group

Kampanye media literacy lewat seminar

Tabel di atas memperlihatkan, tak banyak organisasi nonpemerintah yang melibatkan diri pada aktivitas media literacy.[8] LSM yang tercatat di sini didirikan atas inisiatif cendekiawan komunikasi, mahasiswa, dosen, periset, wartawan/pekerja media, atau peminat dari luar studi komunikasi. Sebagai jenis gerakan aktivisme yang relatif ‘baru’, media literacy di Indonesia menghadapi sejumlah kendala, di antaranya adalah:
Pemahaman seputar pentingnya media literacy masih sangat rendah, bahkan di kalangan kampus atau fakultas ilmu komunikasi sendiri. Padahal, gerakan-gerakan aktivisme biasanya berawal dari kampus. Ironisnya, belum ada satu pun studi komunikasi di Indonesia yang memiliki mata kuliah khusus berkenaan dengan media literacy. Istilah media literacy sendiri belum populer dalam studi komunikasi di Indonesia, bahkan di antara para dosen ilmu komunikasi (apalagi mahasiswanya!). Kemungkinan besar, ini disebabkan kurikulum program studi komunikasi kita masih terlalu berorientasi ‘pasar’ dan industri media massa.
Aktivisme media literacy sendiri dianggap kurang ‘seksi’. Media literacy dipahami secara sepihak sebagai gerakan memusuhi industri televisi, atau media massa pada umumnya. Padahal, lewat gerakan media literacy sesungguhnya masyarakat dapat membantu kalangan media guna membangun industri media yang sehat. Gerakan media literacy sejatinya berorientasi pada penguatan khalayak, bukan pada ‘penggembosan’ industri media.
Masih ada anggapan bahwa masalah media adalah urusan institusi yang berhubungan dengan komunikasi atau media massa. Padahal, mengingat penetrasi media yang luarbiasa, sesungguhnya rendahnya literasi media merupakan masalah siapa saja.
Gagasan media literacy bisa dipandang sebagai upaya mencerdaskan khalayak agar tidak mudah terpengaruh oleh dampak negatif televisi maupun media massa lainnya. Namun, gerakan ini juga dapat dikatakan sebagai perjuangan memerdekakan khalayak media. Di satu sisi, media literacy membekali khalayak dengan kemampuan dan kesadaran kritis ketika berhadapan dengan media massa. Sementara, di sisi lain, gerakan media literacy bermaksud memberdayakan khalayak dengan menanamkan kesadaran bahwa siapa pun di depan media adalah setara; bahwa menonton televisi adalah pilihan; bahwa sebagai konsumen media, mereka berhak menuntut yang terbaik dari produsennya; bahwa sebagai pemilik frekuensi, mereka berhak untuk mengawasi agar ranah publik digunakan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan publik. Inilah makna dari fungsi media literacy dalam memerdekakan khalayak media.

Daftar Pustaka
Astuti, Santi Indra. Mendidik Masyarakat Cerdas di Era Informasi. Dalam Jurnal Etos, Volume I/Th. I/2005.
Astuti, Santi Indra dan Rochmawati. Semarang Dalam Bayang-Bayang Dampak Tayangan Televisi Bertema Kekerasan, Pornografi, dan Mistik/Supranatural. Dalam Hanim, Masayu S. 2006. Dampak Tayangan Pornografi, Kekerasan & Mistik Di Televisi: Studi kasus Palembang dan Semarang. Jakarta: Puslit LIPI.
Baran, Stanley J. 2003. Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture (3rd Edition). New York: McGraw-Hill.
Sparks, Glenn & Cheri Sparks. Effects of Media Violence. Dalam Bryant, Jennings & Dolf Zillmann, 2002. Media Effects: Advances in Theory and Research (2nd Edition). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Guntarto, B. An Assesment of Children’s Television Programmes in Indonesia. Dalam Goonasekera, Anura et.al., 2000. Growing Up With TV: Asian Children’s Experience. Singapore: Asian Media Information and Communication Centre.
Tomlinson, John. Media Imperialism. Dalam Parks, Lisa dan Shanti Kumar. 2003. Planet TV: A Global Television Reader. New York: New York University Press.

Koran
Guntarto, B. Mengapa Hari Tanpa TV itu Penting? Kompas, 21 Juli 2006.







[1] Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si. adalah dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA). Aktif menulis di berbagai media massa seperti Kompas dan Pikiran Rakyat, mengajar di sejumlah lembaga pendidikan komunikasi dan menjadi trainer untuk beberapa lembaga seperti Depsos dan Litbang Kompas. Sejak tiga tahun lalu tercatat sebagai research fellow PMB-LIPI untuk penelitian bidang komunikasi dan kemasyarakatan. Pada tahun 2007 mendirikan Bandung School of Communication Studies (BASCOMMS), sebuah lembaga kajian dan advokasi media yang bergerak dalam lingkup media literacy dan pemberdayaan masyarakat untuk fungsi-fungsi komunikasi sosial.
[2] 91.8 persen anak-anak menganggap televisi lebih menghibur dibandingkan radio dan majalah (Guntarto dalam Goonasekera, 2000:141).
[3] Diungkapkan oleh praktisi creative learning Luna Setiati, Juli 2007, diolah dari Nielsen Media Index.
[4] Penelitian YPMA/Kidia memperlihatkan, dari sekian banyak program televisi untuk anak yang ditayangkan di layer kaca, hanya 15 persen yang aman dikonsumsi. Batasan ‘aman dikonsumsi’ adalah tidak mengandung unsur kekerasan, pornografi, dan hal-hal yang tak rasional (Guntarto, 2006).
[5] Satu-satunya kegagalan Sesame Street dikarenakan kesuksesannya juga: riset menyatakan bahwa semua anak mendapatkan manfaat sosial dan akademis setelah menyaksikan acara ini secara teratur. Namun, manfaat terbesar diperoleh anak-anak dari kelas menengah dan kelas atas. Padahal, target spesifik Sesame Street sesungguhnya anak-anak kelas menengah bawah yang tidak bersekolah formal karena benturan biaya, sehingga program ini diciptakan sebagai semacam sekolah non formal. Sesame Street yang bermaksud membantu menghilangkan kesenjangan pendidikan, ternyata malah memperbesar gap tersebut (Baran, 2003:248-249)

[6] Menarik sekali mengamati pelbagai istilah yang diberikan oleh para aktivis media literacy untuk dunia saat ini. Mereka tidak saja mengadopsi gagasan para futurology yang mengajukan konsep the age of Information dengan ‘masyarakat informasi’ sebagai ikonnya. Istilah lain untuk menggambarkan dunia masa kini adalah media society dan media-saturated environment—sebuah lingkungan yang jenuh dengan media. Baca Teaching Media Society: Yo! Are You Hip to This? yang ditulis oleh Rene Hobbs
[7] Media literacy as the struggle for power dirumuskan dalam The People’s Communication Charter (1996) yang dideklarasikan oleh the Founding Convention of the Cultural Environment Movement (CEM) di St. Louis (Baran, 2003:54).
[8] Tabel ini disusun dengan maksud lain: memancing organisasi yang punya misi serupa untuk turut mengisi entri dalam daftar ini.

0 komentar: