Communication

Blog ini diperuntukkan bagi para peminat komunikasi, sosial, dan budaya. Dilarang berpolitik sektarian, korupsi juga nggak boleh. Itu dosa lho. Selamat menikmati.

Social

Let's share your story about communication.

Article

In here, you can find my original article.

Rabu, 26 Desember 2007

Daulat Publik di Abad Informasi

DAULAT PUBLIK DI ABAD INFORMASI
Santi Indra Astuti[1]
(Dimuat di HU Pikiran Rakyat, 27 Desember 2007)

Sejak 1927, majalah TIME memilih tokoh-tokoh paling berpengaruh di dunia. Man of the Year, atau Person of the Year. Yang pernah terpilih adalah nama-nama besar seperti Martin Luther King, Jr. (1964), Ayatollah Khomeini (1979) sampai Bono, Bill dan Melinda Gates (2005). Tapi, tahun 2006, dalam edisi yang semestinya menampilkan Person of the Year, TIME tidak memasang foto siapapun. Pada sampulnya, hanya terpajang foto seperangkat komputer putih, dengan kata YOU tertulis di monitornya.

YOU. Anda. Itulah Person of the Year 2007. Bukan presiden, bukan aktivis, bukan artis. Bukan siapapun. Tokoh penting alias tokoh kunci tahun 2007 adalah kita semua. Publik, khalayak, rakyat, komunitas, masyarakat, orang-orang kebanyakan. Sejak kapan orang biasa (ordinary people) menjadi orang penting (important people)? Jawabannya, sejak tumbuhnya kesadaran bahwa publik bukan lagi khalayak yang bodoh, kosong, dan mengambang. Publik adalah kekuatan, atau wujud kuasa itu sendiri. Publik adalah khalayak yang (semestinya) berdaya.

Banjir Informasi, Kejenuhan Informasi
Dalam konteks Masyarakat Informasi, tahun ini memang harus dimaknai sebagai tahun khalayak. Inilah tahun milik publik. Saat dimana kedaulatan informasi mestinya dikembalikan pada publik. Mengapa publik, atau khalayak, yang menjadi kunci Masyarakat Informasi? Mengapa bukannya pemimpin-pemimpin politik, atau para penguasa teknologi? Nah, mari kita tengok sejenak ‘sejarah’ Masyarakat Informasi. Istilah ini ramai didengungkan pada tahun 80-an, ketika para futurolog seperti Alvin Toeffler, John C. Naisbitt, sampai Francis Fukuyama, meramalkan transformasi Masyarakat Industri menjadi Masyarakat Informasi. Masyarakat Informasi, mengutip definisi Melody (1990) dalam McQuail (1992), adalah masyarakat yang bergantung pada jejaring informasi dan komunikasi elektronik, serta mengalokasikan sebagian besar sumberdayanya bagi aktivitas-aktivitas informasi dan komunikasi. Masyarakat Informasi adalah masyarakat berbasis data digital. Artinya, perikehidupannya dioperasikan lewat pertukaran data digital.

Janji Masyarakat Informasi adalah membebaskan umat manusia dari kesengsaraan, lewat peningkatan kesejahteraan dan demokratisasi yang dicapai berkat pemanfaatan teknologi informasi. Pertukaran informasi secara bebas diyakini sebagai kunci kemajuan. Tak heran jika seluruh dunia berupaya mengejar ketertinggalan teknologi lewat proyek-proyek digitalisasi seperti e-government, e-learning, e-banking, segala macam e-revolution. Media massa berkonvergensi, membuka pelbagai saluran informasi, dan membombardir khalayak dengan (sensasi) informasi berlimpah-ruah.

Sayangnya, limpahan informasi tak kunjung mencerdaskan khalayak. Konvergensi media memang membuka pasar industri yang ramai. Tapi keuntungannya lebih banyak dinikmati oleh para pelaku pasar. Maraknya media massa tidak dibarengi dengan isi yang mendidik. Kunci-kunci akses teknologi tetap dipegang oleh penguasa-penguasa teknologi, yang berkolaborasi dengan aktor-aktor politik dan ekonomi pasar. Lantas, bagaimana mungkin kita bisa bicara soal demokratisasi, kesetaraan, dan pemerataan kesejahteraan?

Maka, pada era ini, kita dipusingkan oleh banjir informasi, perdebatan berlarut seputar hak penguasaan frekuensi, perebutan ranah publik, komodifikasi khalayak, sentralisasi dan censorship, information security, serta penciptaan pasar yang dikendalikan oleh instrumen-instrumen seperti rating. Sementara, khalayak ditinggalkan sendirian, dibiarkan terseret-seret banjir informasi hingga mencapai titik kejenuhan informasi—information saturated. Publik, dalam situasi seperti ini, hanya diposisikan sebagai khalayak pasif. Publik tak lebih dari konsumen, yang habis-habisan dieksploitasi oleh pasar media mau pun bisnis informasi.

Melek Informasi
Ilustrasi tadi memberi kita pelajaran berharga. Masyarakat Informasi mustahil terwujud andai tidak dibarengi dengan pembekalan information literacy (melek informasi) kepada publik. Informasi yang melimpah sesungguhnya bisa menjadi sumberdaya yang bermanfaat, andai publik cukup melek informasi. Melek informasi, berarti bisa mengakses sumber-sumber informasi, bisa menyeleksi informasi sesuai kebutuhannya, bisa menganalisis informasi secara kritis, dan bisa mengelola informasi. Tanpa bekal melek informasi, publik hanya menjadi bulan-bulanan pasar dan penguasa teknologi informasi.

Information literacy dapat dijabarkan setidaknya dalam dua aspek: literacy of Information Technology (IT literacy) dan media literacy. Mengapa IT literacy penting? Tidak ada gunanya melakukan percepatan teknologi atau menyelenggarakan proyek digitalisasi yang mahal, ketika khalayak tidak tahu mau dibawa kemana dengan teknologi tersebut. Mengapa media literacy itu penting? Tidak ada gunanya membuka saluran media massa, dan membombardir khalayak dengan media, ketika ujung-ujungnya publik hanya disuguhi program atau content yang tidak mencerdaskan. Maaf-maaf saja, proyek e-government, e-learning, e-banking, dan lain-lain, akhirnya tak lebih dari otomatisasi perkantoran saja, yang keuntungannya dinikmati oleh makelar proyek dan distributor perangkat elektronik. Sementara, hasil akhirnya sendiri hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.

Sejumlah langkah kini harus dilakukan untuk memberdayakan khalayak agar melek informasi. Pertama, strategi decentring atau pemecahan konsentrasi kekuasaan pada simpul-simpul yang lebih kecil. Dalam konteks Masyarakat Informasi, decentring harus diterjemahkan sebagai pemecahan konsentrasi penguasaan teknologi informasi, yang saat ini hanya terpusat pada lokus-lokus tertentu. Peran pemerintah dalam hal diperlukan sebagai regulator atau fasilitator yang bijak dan berpihak pada publik, tidak egois menghamba pada kepentingan ideologis atau kepentingan pasar. Peran lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga diperlukan, sebagai jembatan penghubung antara pusat-pusat kekuasaan dengan publik.

Adalah suatu indikasi yang baik, jika pemerintah via Depkominfo kini bisa duduk bersama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), guna mendiskusikan langkah-langkah menjadikan frekuensi sebagai ranah publik. Sesungguhnya, ini merupakan upaya decentring untuk memecah konsentrasi penguasaan ranah penyiaran, yang tadinya hanya berada di tangan pemerintah. Proyek Koran Masuk Desa, pengadaan Internet bagi wilayah pedesaan, atau pendirian pusat-pusat informasi masyarakat di tingkat RW juga bisa dibaca sebagai strategi decentring. Tujuannya tidak lain menjadikan teknologi informasi dan pertukaran informasi tak cuma terfokus di kota-kota besar. Namun, bisa dinikmati hingga ke sentra-sentra masyarakat terkecil. Decentring tidak sekadar membuka akses, tapi juga membuka ruang-ruang partisipatori. Informasi yang lazimnya bersifat top down (dari pusat ke pinggiran) kini bisa diseimbangkan dengan alur bottom-up (dari bawah ke atas).

Tapi, decentring saja tidak cukup. Strategi kedua yang harus dilakukan adalah memberdayakan publik lewat pendidikan melek media dan melek informasi. Menempatkan komputer di desa-desa, mengembangkan jaringan internet sampai tingkat RW, tapi tidak dibarengi dengan pendidikan, pelatihan, dan pendampingan mengenai cara memanfaatkannya, sungguh-sungguh merupakan tindakan yang tidak bertanggungjawab. Berapa banyak komputer dan perangkat instalasi Internet yang teronggok tanpa guna di rumah-rumah pemuka desa, atau ketua-ketua RW, gara-gara masyarakat tidak tahu cara menggunakannya? Perlu dilakukan pendataan menyangkut komunitas mana yang memang memerlukannya. Bila komunitas belum membutuhkan teknologi komputer dan Internet, serta tidak punya daya dukung, semisal listrik yang memadai, tentu tidak perlu dipaksakan. Mereka bisa diberdayakan melalui perangkat informasi lain. Itu pun kalau informasi memang diyakini sebagai kunci kemajuan masyarakat. Mengembangkan radio komunitas, mendirikan perpustakaan gratis, atau memberdayakan majelis taklim sebagai pusat pertukaran informasi masyarakat, misalnya, bisa menjadi upaya alternatif untuk membuat masyarakat melek informasi dan melek media.

Dalam konteks media literacy dan information literacy, hal-ihwal apa yang mesti ditransfer pada publik? Pertama-tama adalah pengenalan mengenai jenis-jenis informasi dan media informasi. Selanjutnya, mendampingi publik agar bisa memproduksi sendiri informasi yang dibutuhkan. Dengan cara ini, publik tidak sekadar mampu menyeleksi informasi sesuai dengan kebutuhannya, tetapi juga bisa memelihara content dan mengelola medianya sendiri. Inilah sesungguhnya esensi demokratisasi informasi—publik yang berdaya menjadi produsen, sekaligus konsumen informasi!

Strategi ketiga adalah mengembangkan jejaring advokasi media dan informasi. Jejaring ini penting untuk menguatkan publik, menjamin akses agar senantiasa terbuka ke segala pihak, termasuk melakukan kontrol bersama untuk menjaga agar wahana informasi dan komunikasi tidak lagi dikuasai secara sepihak—oleh siapapun. Stakeholder yang bisa dilibatkan meliputi kalangan pendidik dan akademisi, praktisi atau profesional-profesional media, teknokrat dan industrialis, publik pada umumnya, biro-biro pemerintah, lembaga legislatif, organisasi non pemerintah atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ringkasnya, siapapun yang memiliki concern pada isu pemberdayaan publik, media literacy, information literacy, dan IT literacy.

Dari aspek teknologi, semua ini dimungkinkan berkat berkembangnya teknologi open source, personal-based-technology, dan user-friendly-gadget. Tapi, yang tak kalah penting, hendaknya seluruh strategi pemberdayaan publik dilakukan seiring sejalan. Bukan jamannya lagi menjalankan kebijakan parsial, atau setengah-setengah, karena hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu (dan biasanya bukan publik!). Pada dasarnya, yang mesti dilakukan adalah pekerjaan mahabesar, yaitu menegakkan atau merekonstruksi kedaulatan publik di ranah informasi.

Nah, kembali pada YOU yang dinobatkan sebagai Person of The Year 2006. Mau tahu apa alasan TIME menempatkan Anda semua, kita, sebagai sosok berpengaruh tahun 2006? TIME menulis, “YOU control the Information Age”. Pada kitalah, terletak kendali atas Abad Informasi. Maka, sangat beralasan untuk menjadikan daulat informasi di tangan publik sebagai isu Abad Informasi di tahun-tahun mendatang (000).

[1] Santi Indra Astuti. Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi UNISBA, Bidang Kajian Jurnalistik. Pegiat Bandung School of Communication Studies (BASCOMMS).

Sabtu, 01 Desember 2007

CITIZEN JOURNALISM: RAME-RAME JADI WARTAWAN

CITIZEN JOURNALISM: SEBUAH FENOMENA
Santi Indra Astuti[1]

Benar sekali apa yang dikatakan oleh Steve Outing dalam tulisannya “The 11 Layers of Citizen Journalism”, istilah citizen journalism saat ini menjadi one of the hottest buzzword dalam dunia jurnalistik. Rasanya ketinggalan jaman kalau sampai ketinggalan kata-kata ini. Citizen journalism diucapkan oleh siapapun yang mengamati perkembangan media, baik mereka yang berada di lingkaran dalam media seperti para praktisi, kru dan pemilik media, mau pun mereka yang berada di luar media, seperti para pengamat media. Kurang gaul, rasanya, kalau sampai ketinggalan isu ini.

Bagi yang sudah lama mencermati dinamika dunia jurnalistik dari esensinya yang paling dalam, citizen journalism sebenarnya cuma masalah beda-beda istilah. Spiritnya tetap sama dengan public journalism atau civic journalism yang terkenal pada tahun 80-an. Yaitu, perkara bagaimana menjadikan jurnalisme bukan lagi sebuah ranah yang semata-mata dikuasai oleh para jurnalis. Dikuasai dalam arti diproduksi, dikelola, dan disebarluaskan oleh institusi media, atas nama bisnis ataupun kepentingan politis.

Lantas, apa bedanya fenomena public journalism dengan rame-rame soal citizen journalism sekarang ini? Ada. Perbedaannya, menurut saya, terletak pada kemajuan teknologi media sehingga semangat partisipatoris yang melibatkan publik dalam mendefinisikan isu semakin terakomodasi. Selain itu, kemajuan teknologi media membuat akses publik untuk memasuki ranah jurnalistik semakin terbuka. Semangatnya, sekali lagi, tetap sama. Yaitu, mendekatkan jurnalisme pada publiknya. Bedanya, open source di masa sekarang semakin niscaya saja, ketika teknologi media kian berkembang.


Mendefinisikan citizen journalism
Pada dasarnya, tidak ada yang berubah dari kegiatan jurnalisme yang didefinisikan seputar aktivitas mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan berita. Citizen journalism pada dasarnya melibatkan kegiatan seperti itu. Hanya saja, kalau dalam pemaknaan jurnalisme konvensional (tiba-tiba saja menjadi jurnalisme old school setelah citizen journalism muncul), yang melakukan aktivitas tersebut adalah wartawan, kini publik juga bisa ikut serta melakukan hal-hal yang biasa dilakukan wartawan di lembaga media. Karena itu, Shayne Bowman dan Chris Willis lantas mendefinisikan citizen journalism sebagai ‘...the act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and information”[2].
Ada beberapa istilah yang dikaitkan dengan konsep citizen journalism.
Public journalism, advocacy journalism, participatory journalism, participatory media[3], open source reporting, distributed journalism, citizens media, advocacy journalism, grassroot journalism, sampai we-media. Civic journalism, menurut Wikipedia, bukan citizen journalism karena dilakukan oleh wartawan walau pun semangatnya tetap senada dengan public journalism, yaitu (lebih) mengabdi pada publik dengan mengangkat isu-isu publik. Citizen journalism adalah bentuk spesifik dari citizen media dengan content yang berasal dari publik. Di Indonesia, istilah yang dimunculkan untuk citizen journalism adalah jurnalisme partisipatoris atau jurnalisme warga.
J.D. Lasica, dalam Online Journalism Review (2003)[4], mengategorikan media citizen journalism ke dalam 5 tipe:
1. Audience participation (seperti komenter user yang diattach pada kisah-kisah berita, blog-blog pribadi, foto, atau video footage yang diambil dari handycam pribadi, atau berita lokal yang ditulis oleh anggota komunitas).
2. Situs web berita atau informasi independen (Consumer Reports, Drudge Report).
3. Situs berita partisipatoris murni (OhmyNews).
4. Situs media kolaboratif (Slashdot, Kuro5hin).
5. Bentuk lain dari media ‘tipis’ (mailing list, newsletter e-mail).
6. Situs penyiaran pribadi (situs penyiaran video, seperti KenRadio).
Ada dua hal setidaknya yang memunculkan corak citizen journalism seperti sekarang ini. Pertama, komitmen pada suara-suara publik. Kedua, kemajuan teknologi yang mengubah lansekap modus komunikasi. Sejarah citizen journalism sendiri bisa dilacak sejak konsep public journalism dilontarkan oleh beberapa penggagas, seperti Jay Rosen, Pew Research Center, dan Poynter Institute. Bersama Wichita News, Eagle, Kansas, para penggagas citizen journalism mencobakan konsep public journalism dengan membentuk panel diskusi bagi publik guna mengidentifikasi isu-isu yang dianggap penting bagi publik. Berdasarkan identifikasi tersebut, liputan kemudian disusun.
Public journalism acap dikaitkan dengan konsep advocacy journalism karena beberapa media bergerak lebih jauh tidak saja dengan mengangkat isu, tetapi juga mengadvokasikan isu hingga menjadi sebuah ‘produk’ atau ‘aksi’—mengegolkan undang-undang, menambah taman-taman kota, membuka kelas-kelas untuk kelompok minoritas, membentuk government watch, mendirikan komisi pengawas kampanye calon walikota, dan lain-lain. Public atau citizen journalism juga dikaitkan dengan hyperlocalism karena komitmennya yang sangat luarbiasa pada isu-isu lokal, yang ‘kecil-kecil’ (untuk ukuran media mainstream), sehingga luput dari liputan media mainstream.
Public journalism dengan model seperti ini mendasarkan sebagian besar inisiatif dari lembaga media. Kemajuan teknologi dan ketidakterbatasan yang ditawarkan oleh Internet membuat inisiatif semacam itu dapat dimunculkan dari konsumen atau khalayak. Implikasinya cukup banyak, tidak sekadar mempertajam aspek partisipatoris dan isu yang diangkat.
Citizen journalism: Isu dan Implikasi
Saya termasuk yang meyakini bahwa kemajuan teknologi (komunikasi) mengubah lansekap atau ruang-ruang sosial kita. Perkembangan citizen journalism belakangan ini menakjubkan buat saya—yang dibesarkan dalam tradisi old school journalism—karena mengundang sejumlah implikasi yang tidak kecil. Beberapa di antaranya, yang teramati oleh saya, adalah sbb.
1. Open source reporting: perubahan modus pengumpulan berita. Wartawan tidak menjadi satu-satunya pengumpul informasi. Tetapi, wartawan dalam konteks tertentu juga harus ‘bersaing’ dengan khalayak, yang menyediakan firsthand reporting dari lapangan.
2. Perubahan modus pengelolaan berita. Tidak hanya mengandalkan open source reporting, media kini tidak lagi menjadi satu-satunya pengelola berita, tetapi juga harus bersaing dengan situs-situs pribadi yang didirikan oleh warga demi kepentingan publik sebagai pelaku citizen journalism.
3. Mengaburnya batas produsen dan konsumen berita. Media yang lazimnya memosisikan diri sebagai produsen berita, kini juga menjadi konsumen berita dengan mengutip berita-berita dari situs-situs warga. Demikian pula sebaliknya. Khalayak yang lazimnya diposisikan sebagai konsumen berita, dalam lingkup citizen journalism menjadi produsen berita yang content-nya diakses pula oleh media-media mainstream. Oh my God, duniaaa....
4. Poin 1-2-3 memperlihatkan khalayak sebagai partisipan aktif dalam memproduksi, mengkreasi, mau pun mendiseminasi berita dan informasi. Pada gilirannya faktor ini memunculkan ‘a new balance of power’—distribusi kekuasaan yang baru. Ancaman power yang baru (kalau mau disebut sebagai ancaman) bagi institusi pers bukan berasal dari pemerintah dan ideologi, atau sesama kompetitor, tetapi dari khalayak atau konsumen yang biasanya mereka layani!
5. Isu profesionalisme: apakah setiap pelaku citizen journalism bisa disebut wartawan? Kenyataannya, citizen journalism mengangkat slogan everybody could be a journalist! Apakah blogger bisa disebut sebagai the real journalist?
6. Isu etika: apakah setiap pelaku citizen journalism perlu mematuhi standar-standar jurnalisme yang berlaku di kalangan wartawan selama ini sehingga produknya bisa disebut sebagai karya jurnalistik? Kita bicara soal kaidah jurnalistik yang selama ini diajarkan pada para wartawan—mungkinkah kaidah itu masih berlaku? Lazimnya, yang acap disentuh dalam wacana kaidah jurnalistik adalah soal objektivitas pemberitaan, dan kredibilitas wartawan/media.
7. Isu regulasi: perlukah adanya regulasi bagi pelaku citizen journalism? Kaitannya dengan etika, profesionalisme, komersialiasi, dan mutu content.
8. Isu ekonomi: munculnya situs-situs pelaku citizen journalism yang ramai dikunjungi menimbulkan konsekuensi ekonomi, yaitu pemasang iklan, yang jumlahnya tidak sedikit. Pers, menurut Jay Rosen pada dasarnya adalah media franchise atau public service franchise in journalism. Kalau citizen media kini muncul dan juga bermain dalam ranah komersial, ini hanya merupakan konsekuensi ‘the enlarging of media franchise’. Isu ekonomi juga mengundang perdebatan lain. Kalau tadinya para kontributor citizen journalism memasukkan beritanya secara sukarela, kini mulai muncul perbincangan bagaimana seharusnya membayar mereka. Ada bayaran, tentu ada standar yang harus dipatuhi sesuai bayarannya. Akhirnya, ini mengundang masuknya isu profesionalisme—sesuatu yang dalam konteks tertentu akhirnya malah ‘berlawanan’ dengan semangat citizen journalism.
9. Bagaimana nasib the old school journalism di masa depan dengan munculnya citizen journalism? Apakah tradisi old school journalism akan tetap bertahan di masa depan?
Itulah beberapa isu yang akan selalu diangkat dan didiskusikan dalam seminar mana pun yang berbicara ihwal citizen journalism.
Citizen journalism di Indonesia
Saya mulai mengamati fenomena public journalism di pertengahan 1990-an. Satu hal yang menggelitik saya adalah apakah konsep development journalism atau jurnalisme pembangunan yang diajarkan dalam kurikulum studi jurnalistik tahun 1980-1995an (saya adalah salah satu produknya!) merupakan wujud public journalism? Saya putuskan, TIDAK. Pertama, aspek partisipatorinya tidak nyata. Isu tetap diputuskan oleh media yang bersangkutan (acap atas ‘restu’ Departemen Penerangan)—walau slogan pembangunan, di manapun, selalu menyatakan mengabdikan diri pada kepentingan publik. Kedua, ideologi jurnalisme pembangunan pada dasarnya adalah ideologi komunikasi pembangunan yang sudah bangkrut di tahun 80-an (dibangkrutkan oleh para penggagasnya sendiri seperti Everett M. Rogers), karena dianggap terlalu ideologis, utopis, dan totaliter.
Saya tertarik mengamati geliat citizen journalism di Indonesia lewat diskusi dengan teman-teman aktivis soal open source reporting yang tampaknya senada betul dengan tulisan-tulisan Pepih Nugraha di harian Kompas, yang mengangkat hal-ihwal participatory journalism. Saya mengikuti Indonesiasatu.net yang memproklamirkan diri sebagai jurnalisme warga. Undangannya untuk menjenguk situs ini meyakinkan, tampilannya tergarap dengan baik (walau updatingnya lambat), ada profil warga teladan, tapi jujur saja saya kecewa karena tidak menemukan sesuatu yang berbeda dengan harian lain. Ini seperti membaca berita lokal dari koran lokal yang bisa diakses lewat online media lokal, tanpa situs ini perlu memproklamirkan diri sebagai (sosok) pengusung jurnalisme warga. Hyperlocalism yang saya bayangkan bukan seperti ini. Begitu banyak berita gado-gado tanpa struktur gagasan yang jelas, tanpa memperlihatkan pada pengunjung situsnya ini sebenarnya mau dibawa ke mana. Ini murni open source reporting, tapi saya bertanya-tanya, apa ini wujud citizen journalism (alih-alih citizen reporting)?
Pesta Blogger Indonesia semakin menguatkan seruan citizen journalism. Menjamurnya blog di mana-mana memang fenomena luarbiasa (13.000 blog didirikan setiap hari!). Tapi, ketika mengunjungi beberapa blog yang katanya banyak di-hit, saya hanya mendapatkan curhat-curhat personal tanpa melihat apa pentingnya ini bagi publik? (Walau, jujur saja, saya menikmati curhat personal itu). Atau, isu publik macam apa yang mestinya bisa dimaknai dari curhat personal tersebut? Saya beranggapan, blog memang membuka kemungkinan open source reporting, menjamurnya blog dan blogger adalah kondisi yang kondusif untuk memunculkan citizen journalism, tapi sekadar ngeblog saja tidak cukup untuk diberi predikat sudah ber-citizen journalism. Citizen journalism, dengan kata lain, is not that easy!
Sehari setelah Pesta Blogger Indonesia usai, Harian Republika mengumumkan lewat iklan besar-besaran akan menjadikan medianya sebagai pengusung jurnalisme warga dengan mengundang partisipasi warga lewat ruang yang disediakan bagi mereka untuk sejumlah isu: laporan utama, laporan traveling, sampai berbagi resep. Sejauh ini saya lihat berbagi resep-lah yang menjadi wujud jurnalisme warga di Republika. Penulis resepnya jadi jurnalis, dan Ibu saya emoh ikut-ikutan karena tidak tahan dengan predikat ‘jurnalis warga’ lewat resepnya. “Saya emoh jadi wartawan! Apalagi karena resep saya,” kata Ibu saya. “Berbagi resep ya berbagi resep ajalah, kenapa mesti jadi karya jurnalistik?” kata teman ngerumpi saya. “Sejak kapan resep masakan jadi berita jurnalisme warga?” ini kata rekan yang lebih serius, hehe.... Buat Republika, ini taktik bagus buat enlarging audience—dan enlarging outreach. Mudah-mudahan dampaknya bagus pada sirkulasi dan iklan. Namun untuk menyebut ini sebagai wujud citizen journalism, saya masih risi, terus-terang saja. Saya lebih suka menyebutnya sebagai open access.
Dari beberapa fenomena tadi, saya belajar banyak hal. Salah satunya adalah soal isu. Saya belajar dari situ bahwa untuk masuk dalam dunia citizen journalism, tampaknya yang mesti dibawa bukan sekadar kemampuan standar pelaporan dan penyusunan berita ala 5W + 1 H. Tapi juga persoalan bagaimana menjadikan isu ‘the public becomes personal, the personal becomes public’. Tanpa itu, saya pikir, publik cuma mendapatkan sederetan informasi tanpa makna. Sebuah situs citizen journalism menjadi milik citizen, milik publik, kalau banyak pengunjungnya. Maka, pengelola citizen journalism harus mampu memelihara kandungan situsnya, dan mengundang partisipasi publik, untuk membuka diskusi dalam frame yang jelas (soal mutu, bolehlah diperdebatkan). Tanpa semua ini, situs sebagus apapun, dan sebombastis apapun slogan jurnalismenya, hanya menjadi situs yang sunyi—diisi, ditonton, dikeploki oleh pengelolanya sendiri. Sayang, karena resources yang begitu potensial, jadi tersia-sia.
Bagaimanapun, saya gembira dengan fenomena baru dan tantangan serius yang dimunculkan oleh citizen journalism. Saya kira efeknya akan baik buat keduanya, baik bagi publik maupun bagi media mainstream. Sebagaimana sistem pers kuat dibingkai dan dipengaruhi oleh local culture, saya juga percaya, wujud citizen journalism sendiri pada akhirnya akan bervariasi sesuai dengan local culture komunitas yang mengusungnya. Nah, rame-rame jadi citizen journalist? Mengapa tidak? (000)
Rujukan
Outing, Steve. The 11 Layers of Citizen Journalism. http://www.poynter.org/content/content_view.asp?id=83126. Tanggal akses terakhir 13 November 2007, pk. 10.12.
Rosen, Jay. Blogger vs. Journalism. Poynter Institute Proceedings. mobcasting.blogspot.com/2005/01/jay-rosen-why-bloggers-vs-journalists.html - 16k. Tanggal akses terakhir 28 November 2007, pk. 16.53.










[1] Disampaikan dalam seminar “Rame-rame Jadi Wartawan”. Balaikota Bandung, 1 Desember 2007. Kontak penulis: dyaning2001@yahoo.com., www.communicare-santi.blogspot.com.
[2] Dikutip dari laporan seminal We Media: How Audiences are Shaping the Future of News and Information.
[3] Participatory Media is media of, by, and for the people where for the first time the producers, editors and consumers of information are the same. (Citizen Journalism iTalk, tanggal akses terakhir 29 November 2007, pk. 22.32).
[4] Lagi-lagi dikutip dari Wikipedia

Rabu, 28 November 2007

Membunuh Rating

Dimuat dalam Kolom Fokus Pikiran Rakyat, Minggu 25 November 2007

(Lagi-lagi) Soal ”Rating”
Oleh Santi Indra Astuti

Intan selamanya tidak akan pernah mati, Rado juga, apalagi Superman. Yang bisa membunuh mereka bukan bibi yang culas, mertua yang galak, atau alien bersenjatakan Kryptonite. Hanya satu yang bisa membunuh mereka semua, serempak dan seketika, rating.
Adalah rating yang selama ini menjadi penentu hidup matinya sebuah program di televisi. Rating mengukur banyaknya pemirsa yang menyaksikan sebuah program pada satu waktu. Besaran lain, audience share, mengukur peta banyaknya pemirsa di berbagai stasiun televisi pada satu periode tertentu. Rating dan audience share bersama-sama mengukur kekuatan sebuah program televisi dibandingkan dengan program lainnya. Keduanya menjadi parameter yang menentukan nilai tukar, alias harga iklan sebuah program di televisi.
Rating tidak mengukur kualitas sebuah program, tetapi melulu menguantifikasi nilai tukarnya. Dengan cara ini, rating mendatangkan pemasukan bagi stasiun televisi.
Sialnya, karena tidak mengukur kualitas program, maka tengok macam apa sampah-sampah yang memenuhi layar kaca kita. Sinetron-sinetron yang mengajarkan konsumtivisme dan penyelesaian masalah dengan kekerasan. Infotainment yang membuka ruang-ruang privat dan mengeksposnya pada publik. Liputan kriminalitas berdarah-darah yang menumpulkan kepekaan terhadap kemanusiaan. Begitulah, ketika dikritik, stasiun televisi berdalih, program ini rating-nya tinggi, mencerminkan selera pemirsa. Walhasil, tak heran jika banyak pihak memprotes rating. Rating dianggap sebagai bagian dari projek pembodohan bangsa yang dilakukan televisi.
Dalam episode Padamu Negeri di Metro TV minggu ini, bertema ”Televisi Sebagai Guru Bangsa”, masalah rating kembali diwacanakan. Pertanyaannya adalah, setujukah jika rating digunakan sebagai parameter untuk mengukur kesuksesan program. Para aktivis media jelas-jelas menjawab tidak. Lucunya, jawaban kalangan industri juga didominasi oleh opsi tidak. Jawaban ini menarik karena memperlihatkan perubahan paradigma kalangan industri yang selama ini begitu mendewakan rating. Mereka mulai mempertanyakan validitas rating--apakah rating memang benar-benar mengukur selera pemirsa? Ini pertanyaan yang bagus karena bisa mengawali wacana tentang mengapa kita harus lagi-lagi menyoal rating.
Setidaknya ada 3 hal yang menjadi alasan mengapa rating tidak bisa dipercaya. Pertama, isu metodologis. Rating diukur dengan pendekatan kuantitatif, yang melulu mengukur besaran orang yang menonton, bukan pendapat mengenai mutu acara. Sampel responden juga dipertanyakan, apakah mewakili kuantitas dan karakteristik populasinya? Soal lokasi pemilihan sampel juga dilontarkan. Apakah sampel memang mencerminkan kelompok masyarakat dengan pelbagai variasinya? Jangan-jangan, yang diukur segmen tertentu saja. Alasan kedua berkenaan dengan isu reliabilitas yang terkait erat dengan tingkat keterpercayaan. Hasil rating AGB Nielsen selama ini memang melewati proses audit. Namun, auditnya bersifat internal. Tidak ada proses eksternal-audit yang dilakukan oleh lembaga independen yang berkualitas terhadap klaim-klaim riset AGB Nielsen. Kredibilitas dan akuntabilitas hasil rating, karena itu, layak dipermasalahkan. Alasan ketiga berfokus pada kenyataan bahwa AGB Nielsen adalah satu-satunya lembaga rating yang beroperasi di Indonesia. Tidak ada lembaga lain yang menjadi pembanding. Lantas, bagaimana publik mau percaya terhadap rating tersebut? AGB Nielsen dalam kondisi ini jelas bisa main klaim sendiri--seperti yang dilakukan selama ini--dan bersama stasun televisi plus biro iklan. Mereka mencekoki publik yang tidak melek media dengan ideologi rating di atas segalanya.
Menjadi berita yang menggembirakan jika kalangan industri kini mulai mempertanyakan keabsahan penghitungan rating. Lebih menggembirakan lagi jika pertanyaan tersebut dilandasi kehendak untuk menyehatkan televisi kita, bukan mencari metode lebih canggih untuk memeras profit dengan mengorbankan selera pemirsa. Pemerintah semestinya tidak tinggal diam. Wajibkan lembaga rating yang ada untuk menjalani audit eksternal secara rutin. Daripada sibuk berebut wewenang dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), akan lebih baik jika pemerintah via Menkominfo berinisiatif merangkul akademisi dan aktivis media untuk menyusun rating tandingan, lewat board of program review atau forum panel yang mengukur kualitas program melalui pendekatan alternatif, seperti metode kualitatif.***
Penulis, Research and Development - Bandung School of Communication Studies (Bascomms), dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba.

Blog (bukan) Penanda Jurnalisme Warga?

Wawancara Kampus PR dengan Santi Indra Astuti

“The audience become the authors” (Trevor Barr, Profesor dari Swinburne University of Technology Australia)

PERTANYAAN itu tepat kiranya menggambarkan fenomena perilaku masyarakat terhadap informasi saat ini. Masyarakat bukan hanya bertindak sebagai pembaca berita, tapi mereka juga bisa menjadi penulis berita itu sendiri.
Fenomena seperti itu kian marak, ketika teknologi informasi, seperti internet, mulai diperkenalkan. Internet mempermudah masyarakat dunia menyalurkan informasi berupa data dalam berbagai format; teks, suara, dan gambar. Internet pun kian menghilangkan kesan eksklusifnya dengan menghadirkan situs-situs gratis. Kehadirannya membuat geliat masyarakat terhadap penyajian informasi semakin besar.
Fenomena tentang masyarakat memproduksi berita seperti ini menyandang istilah sebagai era citizen journalism atau “jurnalisme warga”. Kadang, terdengar juga istilah public journalism atau partisipatory journalism.
Istilah jurnalisme warga merupakan sebuah semangat ideal tentang hak masyarakat terhadap informasi. Pada saat penyajian informasi hanya dimiliki oleh modal-modal besar industri (media massa mainstream--red.), sebagian khalayak mulai menemukan ketidakpuasan terhadap industri media massa. Rasa tidak puas itu, kadang terkait dengan kredo jurnalisme tentang objektivitas, independensi awak media, sudut pandang isu, serta wacana etika di balik produk-produk jurnalisme “konvensional”.
Rasa tidak puas juga terjadi karena perhatian media massa industri hanya terkait pada isu-isu sensasional terkait kepentingan segelintir elite. Mereka seolah melupakan isu-isu masyarakat yang berada di tingkat lokal.
Sementara ini, umumnya pendapat ahli tentang latar belakang munculnya jurnalisme warga, tidak berbeda jauh. Namun, perbedaan terminologi serta kosakata turunan lainnya tentang fenomena tersebut, kian bermunculan. Ruang perdebatan (diskursus) terkait fenomena jurnalisme warga ini, masih terbuka luas.
Kampus memperbincangkan seputar perdebatan itu, dengan seorang pengkaji komunikasi dari Universitas Islam Bandung (Unisba), Santi Indra Astuti. Dosen yang telah menerjemahkan sebuah buku karya Truman Capote berjudul In Cold Blood ini, juga aktif di sebuah lembaga studi, Bandung School of Communication Studies (Bascomms).
Berikut kutipan wawancara Kampus dengan kawan dosen ini pada Sabtu (26/10) bertempat di Tobucil Jln. Aceh No 56, Bandung.
Seperti apakah latar belakang kemunculan “citizen journalism “di dunia?
Sepanjang sejarah yang saya ketahui di PEW Research Center, Pointer Institute maupun dari penjelasan Prof. Jay Rosen dari New York University, kemunculan jurnalisme warga ini sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap praktik jurnalisme “tradisional”.
Ada yang memberi batasannya dengan memberikan kriteria perbedaan dengan praktik jurnalisme tradisional di beberapa titik. Salah satu yang paling penting adalah ketika sudah tidak ada pembedaan pada taraf produsen dan konsumen. Gerakan ini juga muncul, dilandasi oleh adanya kesan bahwa pers umum hanya meliput isu-isu sensasional. Di sisi lain, isu-isu lokal tidak terangkat. Ya, kalau kita mau pakai analisis politik ekonomi, jelas ada masalah advertising di dalamnya. Jadi, yang membuka pendefinisian citizen journalism itu dibuka dari bawah ke atas. Jurnalisme mengambil sumber bisa dari mana saja. Isinya juga bisa dibuat oleh siapa saja.
Jika ini dianggap sebuah gerakan, apakah kelahiran era “citizen journalism muncul” sebagai gerakan alternatif saja?
Soal citizen journalism ini, awalnya muncul sebagai media alternatif. Tapi karena mendapat sambutan dari berbagai pihak, ya geliatnya bukan sekadar alternatif. Bagusnya buat masyarakat umum adalah, jurnalisme menjadi sebuah bidang yang tidak lagi monopolistik dan eksklusif.
Ketika muncul di Amerika, gerakan ini bisa mendapat tempat karena nuansa demokratik yang juga tinggi. Isu-isu tentang first amandement, menyangkut tentang kebebasan berekspresi, dan isu antimonopoli, menimbulkan gerakan yang besar.
Perlu dipahami, bahwa kehadirannya bukan sekadar pemanfaatan teknologi. Ia juga membuka sebuah sistem ekologi media yang baru. Ekologi media tradisional itu dibangun lewat sumber yang searah dan industri media yang sangat monolotik. Industri ini akhirnya menjadi sebuah “kerajaan” yang susah dimasuki oleh orang yang bukan di wilayah profesi jurnalistik. Ekologi media secara sederhana itu, ditentukan oleh pola representasi, distribusi, produksi, dan konsumsi.
Pada jurnalisme tradisional, kita lihat dari produksinya, dikuasai media. Dengan gramatika yang ditentukan oleh si pemilik media. Distribusi dan konsumsinya juga ditentukan. Walaupun khalayak punya kewenangan memilih berita, tapi mereka sudah dikerangkeng dalam satu tata cara konsumsi tertentu. Representasi tentu berdasarkan bahasa yang ditentukan oleh kredo-kredo journalisme yang juga ditentukan oleh media itu sendiri.
Ketika masuk pada kerangka jurnalisme warga, distribusi tidak lagi bisa dipegang oleh pemilik media, tapi oleh siapa saja yang bisa memegang rantai-rantai distribusi. Dalam kerangka produksi, semua orang bisa membuat beritanya sendiri. Produsen bisa menjadi konsumen dan sebaliknya, misalnya, coba lihat beberapa blog yang menjadi incaran media mainstream.
Dengan latar belakang seperti itu, lantas sebenarnya apakah yang menjadi definisi “citizen journalism” itu sendiri?
Pada sebuah diskusi yang saya ikuti dan dihadiri oleh Jay Rosen, ia menolak memberikan definisi citizen journalism. Dia tidak mau memberikan itu, agar masyarakat juga mau memunculkan debat publik dan terus mencari tahu. Karena semangatnya itu, sebanyak-banyaknya orang bisa mendapatkan akses informasi, pemberitaan, terhadap dunia jurnalisme. Orang bertanya yang benar yang mana? Semangatnya ada open source, diskursus publik, dan tidak hanya meletakkan fondasi kebenaran hanya pada institusi tertentu saja.
Jadi tidak ada definisi yang pas?
Tidak ada.
Kalau begitu bagaimana dengan kritik yang muncul, misalnya, etika, akurasi, pertanggungjawaban isi, objektivitas, dan lain-lain yang terkait prinsip jurnalisme?
Kita lihat satu per satu. Objektivitas, siapa yang bisa mengklaim objektivitas saat ini. Sebelum citizen journalism, pertanyaan tentang objektivitas pers itu sudah ada, dan diperdebatkan secara luas. Misalnya, ketika muncul new journalism pada era 1960-an, ketika tokoh-tokohnya seperti Truman Capote yang menilai objektivitas adalah sesuatu yang absurd dan tidak mungkin dalam dunia jurnalistik.
Kritik kedua tentang akurasi. Akurasi yang diajarkan itu kan tentang kaidah 5W+1H? Nah, sepanjang itu sudah tercapai, lalu apa lagi? Justru, pertanyaan akurasi itu dibalikkan pada si wartawan sendiri. Siapakah yang mengalami kejadian pertama kali? Apakah wartawan berada di urutan pertama, kedua, atau ketiga?
Lalu tentang etika, apakah terkait dengan tanggung jawab dan moralitas atau masalah teknis saja? Semangat open source memang membuka wacana lalu, mendekonstruksi struktur formasi gramatik dan sebagainya. Pada akhirnya, semua akan diserahkan pada khalayak sendiri. Mereka yang akan menilai sumber informasi yang seperti apa yang sesuai dengan keinginan mereka. Intinya adalah tidak ada yang menguasai khalayak.
Aktivis citizen journalism sebenarnya memiliki kesempatan melakukan check and recheck fakta. Kesempatan orang memberi pandangan dari segala sisi. Sebenarnya, ada beberapa prinsip yang bisa disebut citizen journalism. Pertama, adalah membuka perdebatan publik. Zaman tahun 1980-an contohnya, koran The Wichita Eagle Kansas, Amerika Serikat, membuat isu pemilihan wali kota dengan Focus Group Discussion bersama komunitas masyarakat. Saat isu didapat dari publik, lalu dilemparkan ke publik itu lagi. Menurut Rosen, diskusi itu bertujuan menghasilkan kebijakan baru atau malah tidak ada kebijakan baru yang muncul.
Apakah banyaknya “blog” merupakan situasi kemunculan “citizen journalism”?
Banyaknya blog itu tidak memunculkan situasi citizen journalism. Tergantung komitmen terhadap publik itu. Model citizen journalism itu akan sangat bervariasi, tergantung dari kultur masing-masing negara. Beberapa pengamat citizen journalism dengan pengamat blogger menentukan situasi jurnalisme warga berdasarkan intensitas dan kontinuitas untuk membuka ruang perdebatan itu.
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?
Itu dia, saya kok belum lihat. Ini mungkin keterbatasan saya. Mungkin Anda sendiri bisa melihatnya, jika prinsipnya seperti di atas.
Di tingkat mahasiswa bagaimana tentang isu ini?
Jangankan itu, isu tentang jurnalisme tradisional yang baik dan benar saja, belum maksimal. Seperti misalnya pengertian tentang objektivitas dan subjektivitas media, masih selalu muncul. Mestinya, itu sudah selesai. Tapi, bukan salah mahasiswa melainkan sistem. Memunculkan public journalism tidak perlu luas, tapi di lingkungannya sendiri saja. Publik kampus sendiri saja. Misalnya saja dengan pers mahasiswa. Tapi lihat saja pers mahasiswa dibiarkan berjalan sendiri-sendiri.***
agus rakasiwikampus_pr@yahoo.com

ANTARA ANDREA DAN FADJROEL:

ANTARA ANDREA DAN FADJROEL:
SEBUAH SORE YANG HANGAT DI POJOK GRAMEDIA FAIR

Rabu, 28 November 2007, menjadi hari yang hectic buat saya. Seperti biasa, hari saya dimulai dengan menjadi ibu sekaligus tukang ojek—mengantar anak-anak ke sekolah. Beres ngojek, saya memacu motor ke kampus—ada serah terima jabatan dan janjian dengan mahasiswa buat bimbingan. Siangnya, saya punya dua undangan: menghadiri talk show Andrea Hirata dan Ibu Muslimah dengan topik ‘Nobility of Teaching’, sorenya, menjumpai Endah Sulwesi, seorang sahabat penggila buku dalam diskusi buku Fadjroel Rachman.

Yang ingin saya ceritakan adalah dua acara publik yang saya hadiri. Acara Andrea Hirata dihadiri tak kurang dari 1500 pengunjung—demikian klaim panitia. Sebagian besar adalah guru, yang mendapatkan undangan dari PT Telkom untuk mendapatkan buku Andrea Hirata-Laskar Pelangi-gratis, sambil berbincang dengan Ibu Muslimah. Ini acara yang hangar-bingar dan membuat saya semakin hectic. Hectic-nya saya bertambah melihat Andrea dikejar-kejar fans-nya. Begitu histerisnya fans-fans Andrea sampai-sampai mbak Nunny dari Mizan terpaksa jadi tameng sasaran cubitan dan ‘gebukan’ fans Andrea yang gemas karena gagal mendapatkan tandatangan sang Pemimpi. Saya pasang badan untuk memisahkan fans yang histeris dan mbak Nunny yang ‘terguncang’—hehe, Andrea ini sudah punya groupies yang fanatik, rupanya.

Di acara itu, saya senang sekali mendengarkan wejangan dari Bu Muslimah, dan hikmah dari Mas Haidar Bagir—dua tokoh pendidikan yang saya kagumi. Sayang, karena harus masuk kelas dulu, saya datang terlambat sehingga terlewat sesi Andrea, kecuali pada saat tanya jawab. Mbak Tutuk membawakan acara ini dengan bagus. Tapi acara ini secara pribadi terasa tidak menyejukkan karena begitu besar dan megah. Terbentang jarak yang semakin jauh saja terbentang dengan Andrea—ah, ini mungkin perasaan sentimentil saya saja.

Sorenya, saya mendapatkan pengobat hectic yang manis. Acaranya adalah launching sekaligus diskusi buku Fadjroel Rachman, Bulan Jingga Dalam Kepala. Sebuah novel pergerakan, ceritanya. Bukan novelnya yang bikin seru, novel pergerakan ya begitulah ceritanya.... Tapi, momennya itu yang asyik. Kecil, intim, hangat, bersahabat. Semua berinteraksi, bersentuhan. Seperti datang ke kumpul-kumpul arisan dengan kawan-kawan lama. Ada kopi, ada kursi melingkar berdekatan, ada gosip disebarluaskan, ada kenangan lama yang diungkit kembali, ada ledek-ledekan yang menghangatkan suasana, ada lagu-lagu Mukti yang kocak tapi romantis mengalir... saya merasa segar, refresh, rejuvenate. Inilah momen diskusi buku yang nglangut dan ngangeni.

Begitu datang di acara yang sudah setengah jam berlangsung (kali ini telat karena hujan lebat!), kang Andar Manik melambai. Om-om keren ini, dunia nggak pernah perang kalau melihat senyumnya. Sebagai ahli mediasi konflik, kang Andar pantas menyandang aura juru damai karena kehadiran dan keramahannya senantiasa tulus, membuat hati ini nyaman. Seketika juga saya merasa feels at home melihat jajaran narasumber di kursi depan: Hikmah sang Presiden Jatinangor dari Kelompok Diskusi Nalar yang serius-melankolis-tapi-garang (hehe!), kang Jamal yang asa serius tapi lebih sukses ngabodor, mas Kef yang selalu romantis, teh Safrina Noorman—doktor linguistik UPI—yang cerdas, bersahaja, dan teteh-teteh idolaku pisaaaan.... lalu di jajaran hadirin diskusi ada mbak Senny Alwasilah yang aduhduh nggak pernah ada tuanya (dan nggak ada duanya, ya pak Chaedar?), Endah yang jail, saya sangat surprise bertemu dengan bu Yani Lukmayani dari Fakultas MIPA Unisba (Farmasi) di forum itu—orangnya pendiam, so dedicated, tapi ramah dan lembut, sementara Fadjroel sendiri jalan-jalan di antara kami, menyalami, menyapa, meledek—sama sekali tak ada jarak terbentang. Groupies-nya Fadjroel, ya kami-kami ini, hehe. Memuja sekaligus meledek sang bintang habis-habisan. Inilah momen yang bikin saya nggak pengen pulang.

Membandingkan dua momen diskusi tadi, saya akhirnya disadarkan kalau diri ini sudah tua rupanya, jadi tampaknya sudah tidak nyaman lagi dengan segala sesuatu yang hingar-bingar. Mal, diskotik, pub, foodcourt, dan megaresto tidak menarik lagi, lebih asyik kongkow-kongkow di warung kopi. Begitulah, momen-momen yang kecil lebih menarik tampaknya, karena di situ saya bisa berinteraksi dengan intens tanpa topeng dengan sepenuh kejujuran. Otentisitas saya muncul, terbentuk, dan terlindungi. Dan saya bahagia dengan itu (terimakasih, Allah).

Popularitas, atas nama apapun, memang candu. Kalangan atas, jet-set, khalayak, lampu sorot, dan panggung, benar-benar racun, kalau kita tidak kuat mental, tidak tahan banting. Yang dikorbankan adalah diri kita sendiri, dan itu mahal tak tergantikan. Saya tiba-tiba teringat riwayat beberapa selebritis dunia yang memilih untuk lari menyepi dari kerumunan, sekuat tenaga meredam popularitasnya. Johnny Depp yang memutuskan tinggal di Prancis, Pearl Jam yang menghilang setahun, pasangan Brad Pitt-Angelina Jolie yang pindah-pindah keliling dunia (mostly third world countries!), Madonna yang hijrah ke Inggris, atau sekalian saja Marlon Brando yang mengambil jalan superekstrim dengan ‘menjelekkan penampilan’, dan memilih berpeluh di tengah ambisi mengubah padang pasir menjadi padang rumput. Kalau para pemburu infotainment menyebutnya sebagai sensasi, maka analisis psikolog selebriti dan stardomnya menyebutkan, inilah upaya para seleb untuk mempertahankan identitas, karena tak ingin kehilangan otentisitas, kemanusiaannya, dan jenuh dengan pemujaan fansnya. Andrea sudah jadi bintang. Tapi saya berharap, mudah-mudahan, Andrea di tengah kesibukan roadshow-nya, masih punya waktu untuk dirinya, untuk hal-hal kecil dan personal, demi mempertahankan otentisitas dan jatidirinya. Bagaimana pun, he’s somebody really worthed to take care about....:)

Senin, 26 November 2007

Melembagakan Social Enterpreneurship Di Lingkungan Perguruan Tinggi

(Memenangkan Hadiah Ke-2 Lomba Karya Tulis Ilmiah Dosen Unisba 2007, 18 November 2007)

ABSTRAK
Kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang perlu diatasi dengan melibatkan peran serta banyak pihak, termasuk kalangan perguruan tinggi. Dari sekian banyak strategi mengentaskan kemiskinan, pendekatan social enterpreneurship yang bertumpu pada semangat kewirausahaan untuk tujuan-tujuan perubahan sosial, kini semakin banyak digunakan karena dianggap mampu memberikan hasil yang optimal. Konsep atau pendekatan ini layak diujicobakan dalam lingkup perguruan tinggi karena gagasan dasarnya sebenarnya sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya aspek pengabdian masyarakat. Caranya adalah dengan menerjemahkan konsep social enterpreneurship pada empat level: kelembagaan, regulasi, aksi, dan audit/monitoring evaluasi.

I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Kemiskinan sesungguhnya telah menjadi masalah dunia sejak berabad-abad lalu. Namun, realitasnya, hingga kini kemiskinan masih menjadi bagian dari persoalan terberat dan paling krusial di dunia ini. Teknologi boleh semakin maju, negara-negara merdeka semakin banyak, dan negara-negara kaya boleh saja kian bertambah (pun semakin kaya!). Tetapi, jumlah orang miskin di dunia tak kunjung berkurang. Kemiskinan bahkan telah bertransformasi menjadi wajah teror yang menghantui dunia.
Bagaimana gambaran kemiskinan yang melingkupi kita saat ini? Data World Bank 2006 menunjukkan, setidaknya terdapat 1,1 milyar penduduk miskin di dunia. Jumlah penduduk miskin di Indonesia (yang dikategorikan supermiskin[1] oleh World Bank) pada tahun 2007 mencapai 39 juta orang atau 17,75 persen dari total populasi. Untuk wilayah Jawa Barat, yang punya cita-cita meningkatkan poin IPM menjadi 80 pada 2008, jumlah penduduk miskin mencapai 5,46 juta orang, atau sekitar 13,55 persen dari total penduduk miskin di Indonesia[2]. Memprihatinkan, karena data ini memperlihatkan adanya peningkatan penduduk miskin di Jawa Barat sebanyak 317.000 orang![3] Ini berarti, program-program pengentasan kemiskinan yang digagas pemerintah pusat maupun daerah telah gagal mengentaskan penduduk Jawa Barat dari cengkeraman kemiskinan.
Seiring berkembangnya pemikiran bahwa kemiskinan adalah masalah struktural, maka upaya untuk mengatasi kemiskinan pun kini dikaitkan dengan perbaikan sistem dan struktur, tidak semata-mata bertumpu pada aksi sesaat berupa crash program. Sebuah upaya yang kini populer adalah mengembangkan konsep social enterpreneurship (selanjutnya disingkat SE—pen.), atau kewirausahaan sosial, yang bermaksud menggandengkan kekuatan kapitalisme dengan komitmen sosial bagi komunitas di sekitarnya.
Makalah ini tidak bermaksud membahas metode dan operasionalisasi Grameen Bank. Sesuai dengan tema karya tulis yang difokuskan pada upaya perguruan tinggi dalam mengentaskan kemiskinan, makalah ini menggagas alternatif-alternatif yang bisa dilakukan oleh kalangan perguruan tinggi untuk berperan-aktif mengatasi persoalan kemiskinan, disemangati oleh spirit SE.

1.2 Perumusan Masalah
Bertitiktolak dari latar belakang permasalahan, maka masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sbb. “Bagaimana melembagakan konsep SE di lingkungan perguruan tinggi untuk membantu mengatasi masalah kemiskinan?” Permasalahan yang general ini kemudian dibagi menjadi beberapa identifikasi permasalahan, sbb.
Bagaimana konsep SE diterjemahkan sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi?
Bagaimana rumusan skema langkah-langkah dalam melembagakan SE di lingkungan perguruan Tinggi?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan utama penulisan adalah menggambarkan bagaimana kemiskinan dapat coba diatasi melalui peran perguruan tinggi lewat strategi pelembagaan SE. Tujuan ini secara spesifik terbagi menjadi:
Penerjemahan konsep SE sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Perumusan skema langkah-langkah dalam melembagakan SE di lingkungan Perguruan Tinggi.
Manfaat yang bisa diperoleh dari karya tulis ini adalah sbb.
Pada level praktis, penelitian ini memperlihatkan sebuah skema yang applicable untuk melembagakan konsep SE di lingkungan Perguruan Tinggi.
Pada level sosial, melalui skema SE Unisba dapat turut serta menyumbangkan alternatif solusi mengatasi persoalan-persoalan kemiskinan, terutama di lingkungannya.

2. Kerangka Pemikiran
Ragangan, atau kerangka pemikiran, berisi uraian logis mengenai konsep-konsep yang terkait dengan permasalahan. Dalam membincangkan kemiskinan, sebagai penghantar menuju pada pembahasan, setidaknya ada tiga hal yang perlu dijadikan landasan diskusi. Hal pertama berkenaan dengan pembahasan mengenai konsep-konsep kemiskinan dalam upaya memahami kompleksitas permasalahan kemiskinan. Kedua, gambaran mengenai kemiskinan di Jawa Barat sebagai upaya mengaitkan pembahasan makalah dengan konteks permasalahan yang dihadapi di lapangan. Ketiga, uraian konsep SE yang dijadikan pendekatan utama dalam makalah ini untuk memberikan solusi sesuai dengan tema penelitian.

2.1. Mendefinisikan Kemiskinan
The poor will always be with us. Inilah idiom populer tentang kemiskinan yang dikutip oleh sosiolog kemiskinan paling populer saat ini, Zygmunt Baumant (1998:1). Idiom tersebut memberi makna bahwa kemiskinan—dan orang-orang miskin—adalah kondisi inheren dalam masyarakat manapun, dulu dan sekarang, kemungkinan di masa depan jika dunia tak berubah. Poverty, atau kemiskinan pada dasarnya adalah kondisi kekurangan. Ada banyak cara memaknai ‘kekurangan’, karena itu, Wikipedia merinci setidaknya terdapat 3 pendekatan dalam mendefinisikan kemiskinan.
a) Kemiskinan yang dideskripsikan sebagai kekurangan material need. Kemiskinan, dalam hal ini, didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sebuah komunitas kekurangan esensial untuk memenuhi standar kehidupan minimum yang terdiri dari sandang, pangan, papan (sumberdaya material).
b) Kemiskinan yang dideskripsikan dari aspek hubungan dan kebutuhan sosial, seperti social exclusion (pengucilan sosial), ketergantungan, dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat, termasuk pendidikan dan informasi.
c) Kemiskinan yang dideskripsikan sebagai kurangnya pendapatan dan kemakmuran—yang ditetapkan berdasarkan indikator-indikator tertentu. Dari sinilah munculnya pemilahan kemiskinan secara global berdasarkan pendapatan harian keluarga, yaitu kurang dari $1 atau $2 sehari.
Konkretnya, survei data riset World Bank “Voices of the Poor”, terhadap 20.000 penduduk miskin di 23 negara (termasuk Indonesia!), faktor-faktor kemiskinan dapat diidentifikasi sebagai kehidupan yang sulit, lokasi yang terpencil, keterbatasan fisik, hubungan timpang gender, problem dalam hubungan sosial, kurangnya keamanan, penyalahgunaan kekuasaan, lembaga yang tidak memberdayakan, terbatasnya kapabilitas, dan lemahnya organisasi komunitas (Wikipedia, 2007).
Jelas, permasalahan kemiskinan bukan terletak pada ketidakmampuan memenuhi standar-standar ekonomi yang didasarkan pada ukuran material resources. Adapula kondisi kekurangan social resources yang menyebabkan kemiskinan. Itu sebabnya kemiskinan begitu kompleks, mencakup berbagai bidang, hingga kemiskinan acap pula disebut sebagai plural poverty—kemiskinan plural. Guna mengatasi kemiskinan, Wikipedia merinci sejumlah strategi sbb.
Strategi pertumbuhan ekonomi.
Penciptaan pasar bebas.
Bantuan langsung.
Perubahan lingkungan sosial dan kapabilitas warga miskin.
Millenium Development Goals.
Pendekatan berbasis kultural.
Di Indonesia, pada tahun 1970-an, pendekatan yang digunakan untuk mengatasi kemiskinan adalah pemenuhan kebutuhan dasar[4]. Ini meliputi pemenuhan kebutuhan pangan senilai 2100 kalori per orang/hari, adanya fasilitas kesehatan dasar, air bersih, sanitasi, tempat tinggal, dan akses pendidikan. Memasuki dekade 1990-an, upaya pengentasan kemiskinan difokuskan pada pemberdayaan masyarakat, dengan cara meningkatkan kapabilitas SDM. Ini ditempuh lewat pembangunan infrastruktur pedesaan, distribusi aset ekonomi dan modal usaha, serta penguatan kelembagaan masyarakat melalui program berskala nasional meliputi IDT (Inpres Desa Tertinggal), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), hingga KDP (Kecamatan Development Program). Kini, yang coba diterapkan dalam pembangunan nasional adalah pendekatan berbasis hak (rights based approach). Wujudnya adalah Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), yang secara pelahan diupayakan melalui pemenuhan sepuluh hak-hak dasar, yaitu hak atas pangan, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, tanah, lingkungan hidup dan sumber daya alam, rasa aman, dan hak untuk berpartisipasi. Dalam rumusannya, SNPK memperlihatkan adanya pergeseran paradigma kemiskinan—yang kini tidak lagi terbatas pada upaya mencukupi kebutuhan material, tetapi juga meliputi pemenuhan kebutuhan sosial.

2.2. Gambaran Kemiskinan di Jawa Barat
Sebelum menyoal wajah kemiskinan di Jawa Barat, mari sejenak kita cermati data-data ‘kekayaan’ propinsi yang strategis ini. Pertama, Jawa Barat adalah propinsi terkaya di Indonesia dalam kategori populasi penduduk (39 juta jiwa, yang artinya sekitar 17.80% dari total populasi Indonesia), mengalahkan Jawa Tengah (32 juta jiwa) dan Jawa Timur (36 juta jiwa). Jawa Barat adalah propinsi kedua terpadat setelah DKI Jakarta (1126 jiwa/km2). Nilai APBD Jawa Barat pada tahun anggaran 2007 sebesar Rp 5,2 trilyun rupiah. Namun, sumber pemasukan sesungguhnya tidak cuma berasal dari pos APBD propinsi. Digabungkan dengan DIPA, Dana Dekon, dan APBD-APBD Daerah Tingkat II, angka keseluruhannya bisa mencapai Rp. 45-47 milyar! Gubernur Jawa Barat H. Danny Setiawan bahkan berani mengasumsikan, bila dibagikan maka seorang warga Jawa Barat kebagian setidaknya Rp. 1 juta per tahun.[5]
Dari segi sosial budaya, masyarakat Jawa Barat dikenal sebagai masyarakat agamis—dominan Islam. Toleransi umat beragama boleh dibanggakan, dan potensi konflik tergolong rendah. Jawa Barat juga dikenal sebagai gudangnya warga yang kreatif, sehingga keunggulan wisatanya, misalnya, tidak perlu mengandalkan sumberdaya alam. Wisata belanja dan lifestyle menjadi unggulan Bandung. Bahkan, awal tahun ini, masyarakat industri kreatif Bandung memproklamirkan Jawa Barat dan Bandung sebagai ikon industri kreatif. Sesungguhnya, ini modal sosial yang penting. Tanpa penanganan serius dari pemerintah lokal saja, industri kreatif Jawa Barat sudah mampu unjuk gigi. Apalagi kalau ditangani pemerintah secara serius.
Namun, Jawa Barat juga memiliki segudang permasalahan, di antaranya kebijakan birokrasi yang tidak kondusif bagi pertumbuhan industri maupun pengentasan kemiskinan, penanganan masalah sosial yang masih bersifat sporadis dan reaksioner, kerusakan lingkungan dan penataan wilayah yang parah, serta kegagalan pemerintah propinsi merumuskan target dan rencana pembangunan yang visioner dan realistis. Ambisi pemerintah propinsi yang menetapkan peningkatan poin IPM menjadi 80 pada tahun 2008, misalnya, tidak dibarengi langkah nyata perbaikan infrastruktur maupun kebijakan, sehingga tahun ini IPM hanya meningkat tak lebih dari 0.71.[6]
Bagaimana wajah kemiskinan di Jawa Barat? Bulan Agustus 2007, BPS melansir data yang mengejutkan. Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat bertambah 317.000 jiwa. Totalnya, 5,45 juta jiwa atau 13.5% dari total penduduk Jawa Barat. Proporsi antara warga miskin perkotaan dan pedesaan relatif berimbang—sebanyak 51% warga miskin bermukim di pedesaan, jumlahnya mencapai 2,8 juta jiwa. Bicara soal lokasi, wilayah Pantura menjadi kantong-kantong kemiskinan di Jawa Barat. Diperkirakan 5 juta penduduk miskin berada di sabuk Pantura[7].
Profil kemiskinan di Jawa Barat cukup memprihatinkan. Sumbangan terbesar kemiskinan, yaitu sebesar 73%, diakibatkan ketidakmampuan mencukupi kebutuhan makanan. Fluktuasi harga beras dan kini, harga minyak, menjadi biang keladinya. Belum lagi transisi konversi energi—yang tentunya punya dampak sosial-ekonomi yang cukup signifikan. Daya beli yang rendah, dan tingginya pengangguran juga menjadi persoalan, di samping kenaikan UMR yang tidak memadai bila dibandingkan dengan kebutuhan fisik minimum keluarga[8].
Tahun lalu, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat sebesar 5,14 juta jiwa. Dilihat dari data penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), jumlah keluarga miskin di Jabar 1,06 juta keluarga, kategori sangat miskin 615.875 keluarga, dan hampir miskin mencapai 1,22 juta keluarga. Kenaikan angka penduduk miskin tahun ini menunjukkan kegagalan program-program pengentasan kemiskinan di Jawa Barat.
Sama halnya dengan propinsi Indonesia lainnya, pelbagai strategi nasional pengentasan kemiskinan pernah menyentuh Jawa Barat. Mulai dari IDT, P2KP, JPS, hingga BLT. Selain itu, masih terdapat pula Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS), Program Beasiswa dan Bantuan Operasional Sekolah untuk Sekolah Dasar dan Menengah serta Ibtidaiyah (DB-BOS), JPS Khusus Bidang Sosial, Prakarsa Khusus untuk Penganggur Perempuan (PKPP), Padat Karya Perkotaan (PKP), Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE). Mengingat tingginya intensitas kemiskinan di Jawa Barat, nilai proyek yang diserap propinsi ini senantiasa tergolong tinggi. Sebagai gambaran, untuk P2KP yang tahun ini digabungkan dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di bawah payung Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri), dana yang digelontorkan untuk Propinsi Jawa Barat mencapai Rp. 276,020 milyar untuk 220 kecamatan. Sebanyak 123 kecamatan di pedesaan menerima dana sebesar Rp. 133,850 milyar. Sisanya, 97 kecamatan di perkotaan menerima Rp. 142,170 milyar[9].
Selain program pengentasan kemiskinan nasional, Propinsi Jawa Barat juga memiliki program penanggulangan tersendiri, berupa:
Program Dakabalarea (Kepgub No. 2/Th. 1999).
Gerakan Rereongan Sarupi.
Gerakan Jumat Bersih.
Gerakan SARASA.
Program Raksa Desa.
Program Pendanaan Kompetensi IPM (PPK-IPM) (Kepgub No. 34/Th. 2005).
Program Dakabalarea yang merupakan program pemberian kredit dengan pola bagi hasil kepada pengusaha mikro & usaha kecil hingga th. 2005 telah menggulirkan dana tak kurang dari Rp. 93.657.109.350 dari target Rp. 66.770.000.000 untuk 3.065 kelompok dengan jumlah anggota sebanyak 26.886 orang. Sedangkan dana yang digelontorkan melalui PPK IPM[10] pada tahun 2006 mencapai Rp. 190 milyar, diperuntukkan bagi 9 kabupaten/kota yang proposalnya terpilih[11]. Untuk tahun 2007, 6 kabupaten/kota terpilih berhak mendapatkan dana senilai Rp. 315 milyar. Khusus untuk kota Bandung, dana Bantuan Langsung Mandiri (BLM) yang dikucurkan tahun 2007 mencapai Rp. 8.8 milyar[12].
Upaya pemerintah melalui inisiatif pendanaan dan penyusunan program seperti ini sesungguhnya mencerminkan kehendak serius mengentaskan kemiskinan. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata masih mengandung kelemahan. Seperti diungkapkan oleh Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, upaya selama bertahun-tahun menghabiskan dana milyaran rupiah mudah sekali digoncangkan oleh kenaikan BBM atau fluktuasi harga sembako[13]. Sejumlah pengamat menilai, kegagalan tersebut dikarenakan antara lain faktor pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang relatif tinggi, akibat jumlah penduduk usia sekolah yang putus sekolah dan terpaksa masuk pasar kerja, serta jumlah migran yang masuk untuk tujuan bekerja. Padahal, di sisi lain, jumlah kesempatan kerja relatif stagnan, karena pertumbuhan ekonomi belum cukup tinggi, laju investasi asing belum optimal, dan iklim usaha belum kondusif.[14]
Berhubung kemiskinan adalah masalah yang kompleks, tentu penanganannya tidak bisa distrukturkan secara tersentralisir. Penanganan kemiskinan juga menuntut kepekaan sosiokultural. Kucuran dana dan modal saja tidak cukup, pembukaan kesempatan kerja juga belum tentu memberdayakan, malah bisa menimbulkan ketergantungan. Tetapi, di sisi lain, penanganan kemiskinan secara sporadis, tanpa disain atau skema penanggulangan terpadu yang jelas indikator pencapaiannya, juga dapat menggagalkan upaya mengeluarkan orang dari lingkaran kemiskinan. Dalam konteks inilah konsep social enterpreneurship mau pun social enterpreneurs layak diperkenalkan, karena pendekatan ini berupaya menanggulangi kemiskinan lewat disain atau skema pengentasan kemiskinan yang matang, didukung oleh sosok-sosok yang kompeten.

2.3. Social Enterpreneurship: Sebuah Wacana
Tri Mumpuni Wiyatno adalah orang yang selalu yakin bahwa desa merupakan sumber kekuatan ekonomi yang belum tergarap optimal. Banyak persoalan pembangunan akan terselesaikan, jika desa menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru yang mandiri. Ia mewujudkan gagasannya dengan menyebarluaskan teknologi mikrohidro untuk membangun pembangkit listrik skala kecil ke desa-desa. Maria Hartiningsih[15], seorang jurnalis cum pejuang feminis di Indonesia melaporkan, bersama lembaganya Institut Bisnis Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) Tri Mumpuni turun ke desa-desa, memberi pelatihan manajemen air ramah lingkungan kepada penduduk setempat. Rakyat desa juga kemudian dilatih memelihara alat, menghitung energi yang disalurkan, serta biaya yang diperlukan karena umumnya mikrohidro dikelola secara swadaya. Begitu energi listrik dialirkan dari rumah ke rumah, berbagai kegiatan ekonomi bisa dikembangkan.
Di belahan dunia lain, tepatnya di Palmares do Sul, Brazil Utara, Fabio Rosa bergelut dengan masalah yang sama. 25 juta penduduk Brazil tidak punya akses pada listrik. Akibatnya, standar hidup mereka rendah. Tak ada kulkas, lampu, apalagi komputer. Biaya penyediaan listrik untuk mencahayai sebuah desa pada awal tahun 1980an, membubung tinggi pada angka 7.000 dollar. Ini sama artinya dengan 5 kali lipat income seorang petani miskin selama sepuluh tahun! Fabio Rosa menjadikan Palmares sebagai model eksperimen listrik pedesaannya yang pertama. Pada 1992, ia memutuskan mendirikan perusahaan profit—Sistemas de Tecnologia Adequada Agroelectro (STA Agroelectro)—dan mulai menyebarkan teknologinya ke desa-desa. Lewat skema pembiayaan yang ekonomis, ditambah dengan pola ekonomi produktif yang diperkenalkannya, STA berhasil melistriki tak kurang dari 800.000 rumah tangga.
John Wood adalah seorang eksekutif Microsoft bergaji milyaran. Titik balik kehidupan Wood datang dalam sebuah liburan ke Nepal. Ia bertemu dengan seorang guru, yang mengajaknya memanjat pegunungan selama 3 jam untuk melihat sekolahnya. Sebuah sekolah yang hanya punya satu kelebihan: murid yang banyak. Lain-lainnya persis seperti di Indonesia: kurang guru, kurang sarana dan prasarana, termasuk perpustakaan. John Wood tersentuh, dan tahun berikutnya ia datang membawa 3500 buku untuk sekolah itu, dan sekolah-sekolah lain. Ia memutuskan meninggalkan Microsoft, mendirikan organisasi Room to Read, dan saat ini telah mendirikan tak kurang dari 3600 perpustakaan di Asia. John Wood bersama organisasinya juga melibatkan diri dalam penyusunan program-program alternative pendidikan dasar di Asia dan Afrika.
Sebuah frase yang menyatukan Tri Mumpuni, Fabio Rosa, dan John Wood adalah restless people (Bornstein, 2004: 1). Orang-orang yang gelisah. Inilah orang-orang yang mencoba memecahkan masalah dalam skala besar. Mereka sadar bahwa lilitan kemiskinan baru bisa dilepaskan jika seseorang itu berdaya: berdaya ekonominya, berdaya mentalnya, berdaya lingkungan sosial-politiknya. Mereka adalah social innovator, atau social entrepreneurs. Mereka punya gagasan-gagasan kuat untuk memperbaiki kehidupan orang lain, meningkatkan kualitas masyarakat. Mereka menyusun kerangka besar perubahan tersebut, dan berjuang mempraktikkannya di pelbagai pelosok dunia.
Lantas, apa yang dimaksud dengan SE? Pertama-tama perlu dibahas definisi kewirausahaan atau enterpreneurship. Kewirausahaan didefinisikan sebagai individu (kelompok) yang dapat mengidentifikasi kesempatan berdasarkan kemampuan, keinginan, dan kepercayaan yang dimilikinya, serta membuat pertimbangan dan keputusan yang berkaitan dengan upaya menyelaraskan sumber daya dalam pencapaian keuntungan personal (Otuteye & Sharma, 2004 dalam Palestine, 2007)[16]. Pada intinya, kewirausahaan adalah kemampuan untuk menangkap peluang dan dengan cara yang inovatif menciptakan nilai tambah pada sesuatu yang tidak ada menjadi ada[17].
Di mana pun, model enterpreneurship atau kewirausahaan mengandung dua prinsip: otonomi dan penentuan nasib sendiri (self-determination). Prinsip otonomi diterjemahkan sebagai advokasi masyarakat, sedangkan prinsip penentuan nasib sendiri (self-determination) diterjemahkan sebagai prinsip kewirausahaan (Palestin, 2007). Selama ini, kewirausahaan senantiasa dikaitkan dengan upaya memberdayakan diri/lembaga dalam konteks ekonomi untuk menunjang kehidupan. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah apa bedanya model kewirausahaan ekonomi konvensional dengan definisi kewirausahaan sosial.
Menurut Dave Roberts dan Christine Woods (2007), “social entrepreneurship is a construct that bridges an important gap between business and benevolence; it is the application of entrepreneurship in the social sphere”.[18] Sederhananya begini: social entrepreneurship adalah penerapan prinsip kewirausahaan dalam lingkup sosial, yang ditujukan untuk mencapai perubahan sosial tertentu.
Kewirausahaan sosial bisa dijalankan atas nama perseorangan, bisa juga secara kelembagaan. Namun, karena skala perubahan yang diharapkan sangat besar, maka lazimnya kewirausahaan sosial dijalankan oleh badan-badan khusus untuk itu. Bagan berikut ini memperlihatkan rentang bentuk kelembagaan di antara dua kutub: perusahaan bisnis tradisional di sebelah kiri, dan LSM tradisional di sebelah kanan.
Sumber: http://www.csef.ca/what_is_a_social_entrepreneur.php

Gerakan-gerakan yang murni SE berada dalam simpul hybrid social enterprise, berupa badan yang didirikan dengan tujuan melakukan aksi sosial, sehingga segala upaya pendanaan, kegiatan, mau pun fundraising dibingkai dalam kerangka tersebut.
Bagaimana gerakan SE menjadi bagian dari upaya pengentasan kemiskinan? Contoh paling gamblang diberikan oleh Professor M. Yunus lewat Grameen Bank di Bangladesh. Didirikan sebagai bagian dari action research Universitas Chittagong (1976), Grameen Bank memberikan kredit mikro bagi komunitas miskin di Bangladesh. Jumlahnya hanya $27, digulirkan pada 42 keluarga. Namun, uang setara dengan Rp. 243.000,- itu mampu melepaskan keluarga-keluarga tersebut dari jeratan rentenir.
Kini, lebih dari 2100 cabang Grameen Bank didirikan di seluruh Bangladesh. Menurut catatan Wall Street Journal, seperlima kreditnya sudah setahun ini macet. Tapi, jurnal yang sama juga mencatat, tingkat pengembalian kredit mencatat rekor 98% untuk nasabah-nasabah perempuan. Setengah dari peminjamnya (mendekati 50 juta nasabah), juga dinyatakan berhasil melepaskan diri dari kemiskinan absolut. Ini terlihat dari standar yang diukur melalui indikator anak-anak yang bersekolah sesuai tingkat umurnya, kemampuan memberi makan keluarga tiga kali sehari, toilet dan air minum yang bersih, rumah beratap, dan kemampuan pengembalian pinjaman sebesar 300 taka (atau senilai 4 dollar) per minggu.
Grameen Bank merupakan contoh organisasi SE yang berhasil. Agar bisa mencapai kesuksesan yang sama, organisasi SE mesti memenuhi prinsip-prinsip inovasi dalam praktik sbb.:
Institutionalize Listening. Komitmen kuat untuk menyimak, mendengar suara-suara di lapangan.
Pay attention to the exceptional. Yang dimaksud adalah kepekaan mengenali informasi yang tak diduga, khususnya keberhasilan-keberhasilan tak terduga.
Design real solutions for real people. Kelebihan social enterpreneur adalah mereka sangat peka dan realistis dengan perilaku manusia.
Focus on human qualities.
(Bronstein, 2004: 200-211)
Adalah tantangan yang luarbiasa berat untuk bisa menemukan orang-orang seperti ini. Pendekatan SE kini coba dipromosikan dalam makalah ini sebagai landasan bagi perguruan tinggi untuk berkontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan. Bagaimana konkretnya, dapat dilihat pada pembahasan berikut.
3. Pembahasan: Melembagakan SE di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai Upaya Mengentaskan Kemiskinan
SE, kendati bukan konsep yang relatif baru, perlu dipromosikan sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan kemiskinan, yang didalamnya terkandung persoalan struktur, sosial politik, kebudayaan. Pendekatan ini punya kelebihan: membumi, melibatkan setiap stakeholder secara aktif, dan bertumpu pada inisiatif serta pemecahan solusi yang berasal dari masyarakat. Bagaimana perguruan tinggi dapat berperan di sini?
Pertama-tama, mari kita ingat bahwa institusi pendidikan tinggi di Indonesia dibingkai oleh pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri Dharma Perguruan Tinggi mengandung tiga dharma, yaitu: (1) Pendidikan dan Pengajaran; (2) Penulisan Karya Ilmiah; dan (3) Pengabdian pada Masyarakat. Sangat eksplisit terlihat bahwa pendekatan SE sebenarnya adalah wujud dari aspek ketiga, yaitu pengabdian masyarakat. Jadi, bicara soal tempat, SE punya tempat dan posisi yang jelas dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Dengan segala keterbatasannya, sesungguhnya PT punya potensi besar untuk mengatasi persoalan bangsa, utamanya mengentaskan kemiskinan, bertitiktolak dari pendekatan SE. Caranya adalah dengan melembagakan konsep SE di lingkungan PT. Hal ini dapat dicapai melalui dua langkah besar: (1) menerjemahkan konsep SE dengan pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi maupun visi-misi spesifik PT (dalam kasus Unisba, menerjemahkan konsep SE pada 3M); dan (2) Menerjemahkan pendekatan SE dalam level aksi.
3.1. Menerjemahkan Konsep SE dalam Konteks Perguruan Tinggi.
Menimbang literatur-literatur SE dalam tinjauan pustaka, maka SE dalam lingkup perguruan tinggi harus diterjemahkan menjadi aktivitas yang realistis, kreatif, mengikat, berkesinambungan, melibatkan seluruh civitas academica, dan melembaga.
Realistis, maksudnya program-program SE disesuaikan dengan kebutuhan lapangan dan ketersediaan resources yang dimiliki perguruan tinggi maupun komunitas.
Kreatif, maksudnya aktivitas SE mesti didesain secara kreatif guna menemukan solusi terbaik.
Mengikat, maksudnya ada satu desain besar dan timeframe yang jelas, serta indikator-indikator guna mengukur tingkat keberhasilan program.
Berkesinambungan, maksudnya program SE didesain bukan untuk memberikan hasil sesaat, tetapi lebih mementingkan upaya-upaya kecil namun berkelanjutan sehingga dampaknya lebih lama terasa.
Melibatkan seluruh civitas academica, maksudnya tidak menjadikan SE sebagai proyeknya salah satu stakeholder universitas saja, misalnya dosen. Pihak lain seperti mahasiswa atau tenaga-tenaga lain perlu diberi kesempatan dan pengalaman untuk berkiprah. Sehingga, gerakan SE menjadi gerakan bersama.
Melembaga, maksudnya diinstitusionalisasikan secara resmi sehingga bisa mengikat komitmen dan memberikan jaminan keorganisasian yang jelas.
Demikianlah prinsip-prinsip yang harus terkandung dalam setiap aksi SE. Apabila sudah jelas prinsip-prinsip, tujuan, mau pun visi-misinya, apabila PT memang benar-benar sudah memutuskan akan serius berkiprah dalam SE, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana mengoperasionalkan rencana besar ini dalam langkah-langkah konkret.
3.2. Mengoperasionalkan SE di Lingkungan Perguruan Tinggi
Langkah-langkah untuk mengoperasionalkan SE di lingkungan PT dapat dirumuskan dengan mengacu pada level kelembagaan, level regulasi, level aksi, dan level audit. Ketika level-level operasional ini disilangkan dengan prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka hasilnya adalah matriks, sbb.

Matriks Operasionalisasi Social Enterpreneurship Untuk Perguruan Tinggi
No.
Pelembagaan
SE
Tridharma Perguruan Tinggi
Pendidikan dan Pengajaran
Penelitian dan Karya Ilmiah
Pengabdian Masyarakat
1
Level Kelembagaan
Mendirikan SE Center di tingkat universitas
Melakukan konsolidasi kelembagaan
Melakukan pemetaan resources
Menjalin relasi dan melakukan lobi-lobi internal maupun eksternal, apakah itu dengan pemerintah, lembaga legislatif, sesama perguruan tinggi, maupun kontak dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki program corporate social responsibility.
Fundraising: langkah dan aksi fundraising yang tidak norak dan mengandalkan pihak luar semata, tapi elegan dan sesuai dengan semangat SE.
Mempublikasikan jurnal-jurnal program SE.
Merencanakan award-award (internal): SE Award Unisba, misalnya, untuk mahasiswa, dosen, dan pusat kajian yang terpilih.
Berkompetisi mengikuti award-award dari dalam dan luar negeri (eksternal): dari Pemerintah, Kementerian, organisasi funding seperti Skoll Enterprise, Schwab Foundation, Ashoka International, dll.
Menyusun rencana jangka panjang dan jangka pendek.
Merumuskan affirmative actions untuk melembagakan SE, mis. merencanakan program-program pelatihan berbasis SE.
2
Level Regulasi
Memberlakukan kurikulum wajib SE di tingkat fakultas
Memberlakukan ketentuan penyisihan porsi penelitian dan karya ilmiah berwajah SE
Memberlakukan ketentuan pengabdian masyarakat berbasis SE
3
Level Aksi
Mendata mata kuliah yang berpotensi dijadikan bagian kurikulum wajib SE.
Menyusun dan melaksanakan program-program penelitian berbasis SE.
Menyusun dan melaksanakan PKM berbasis SE
Menyusun atau mendampingi penyusunan silabi berbasis SE.
Melatih dosen agar berwawasan SE.
Melakukan pelatihan bagi penelitian berbasis SE.
Melakukan pelatihan bagi PKM berbasis SE.
4
Level Audit/Monev:
Mengembangkan panduan audit monev berbasis SE. Apa saja indikator-indikatornya?
Mengembangkan indikator-indikator audit monev program pendidikan dan pengajaran berbasis SE.

Mengembangkan indikator-indikator audit monev program penelitian dan karya ilmiah berbasis SE.

Mengembangkan indikator-indikator audit monev PKM berbasis SE.

Menyusun program-program audit monev secara teratur di bidang pendidikan pengajaran dengan indikator berbasis SE.
Menyusun program-program audit monev secara teratur di bidang penelitian dan karya ilmiah dengan indikator berbasis SE.
Menyusun program-program audit monev secara teratur untuk PKM dengan indikator berbasis SE.
Melakukan audit monev dalam program pendidikan dan pengajaran berdasarkan indikator-indikator berbasis SE.
Melakukan audit monev dalam program penelitian dan karya ilmiah berdasarkan indikator-indikator berbasis SE.
Melakukan audit monev dalam program PKM berdasarkan indikator-indikator berbasis SE.
Ketr. SE = Social Enterpreneurship.

Matriks yang disajikan di sini hanya sekadar stimulan untuk merumuskan langkah-langkah konkret yang bisa dilakukan PT untuk mengentaskan kemiskinan dengan pendekatan social enterpreneurship. Walau demikian, stimulan ini dapat dijadikan pijakan awal apabila PT memang serius ingin berkontribusi mengentaskan kemiskinan, sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki.

3.3. Melembagakan SE di Unisba: Studi Kasus SE di Kelas Filsafat Komunikasi
Sesungguhnya, Unisba memiliki potensi luarbiasa untuk memberi kontribusi bagi pengentasan kemiskinan. Unisba mempunyai modal sosial dari segi kelembagaan, sumberdaya manusia, potensi jejaring dan relasi, power, serta potensi keuangan dan fasilitas. Modalitas brainware, hardware, software-nya jelas sudah ada. Unisba juga bukan universitas yang terpisah dari lingkungan sosialnya secara geografis. Terletak di Tamansari dan Ciburial, warga Unisba punya kesempatan untuk berinteraksi secara intens dengan persoalan sosial, sehingga tidak perlu kerepotan mencari target sasaran. Apalagi, Kelurahan Tamansari maupun kawasan Ciburial adalah wilayah urban yang memerlukan penataan dan pembinaan serius.
Dalam lingkup kelas, penulis mencoba bereksperimen menerapkan pendekatan SE untuk mata kuliah Filsafat Komunikasi. Kepada mahasiswa, diberikan tugas kelompok melakukan kerja volunteer di wilayah Bandung. Lewat tugas ini, diharapkan mahasiswa mendapatkan pengalaman bersentuhan langsung dengan permasalahan sosial, sehingga dapat menjadi stimulan untuk menerapkan SE di masa mendatang. Tujuan lain yang diharapkan adalah adanya kesempatan untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan, sambil memperbaiki kualitas kepribadian.
Laporan-laporan yang dikumpulkan mau pun dipresentasikan hasilnya di luar dugaan. Terbentuk sepuluh kelompok beranggotakan 2-5 orang, dengan kiprah meliputi:
Volunteer Food-Not-Bombs, sebuah organisasi yang menampung sayuran reject dari supermarket maupun pasar sayur petani Lembang, namun masih layak-olah. Sayuran dimasak untuk anak-anak jalanan di Taman Lansia, Cilaki.
Reader di Panti Wyata Guna. Membacakan dan mencarikan buku-buku yang diperlukan pelajar penghuni Wyata Guna.
Konselor bagi siswa-siswi SMU XX yang menghadapi permasalahan keluarga dan problematika belajar.
Volunteer di Panti Wredha dan Panti Asuhan. Kegiatannya antara lain merayakan 17 Agustusan di Panti Asuhan dan Panti Wredha sambil menyelenggarakan bursa amal.
Volunteer di Panti Asuhan Bayi Sehat Muhammadiyah.
Trainer musik untuk anak-anak jalanan. Menyelenggarakan konser anak jalanan, yang kini laris ditanggap di pelbagai event.
Mengorganisasikan tim kebersihan di lingkungan kos-kosan. Kini tidak terbatas pada kos-kosannya sendiri tapi juga meluas ke kosan lain di wilayahnya.
Kakak asuh bagi anak-anak SD dari keluarga tidak mampu. Kelompok ini bukan saja secara teratur menyisihkan uang untuk membiayai SPP (Rp 25.000 s.d. Rp 75.000), tetapi juga mengupayakan buku-buku bekas (pelajaran maupun bacaan yang sehat) dan menjadi mentor belajar. Sasaran mereka adalah anak-anak yatim/piatu yang orangtuanya single parent, bekerja sebagai buruh atau pembantu.
Volunteer bagi TK di wilayah ekonomi kelas bawah. Kegiatan selain di dalam kelas adalah menyelenggarakan lomba 17 Agustusan dan jalan-jalan ke Kebun Binatang.
Volunteer untuk Harm Reduction, sebuah organisasi penanggulangan narkoba.
Dalam presentasi, anggota kelompok ini saling sharing, merefleksikan pengalaman masing-masing. Hal yang menarik adalah mereka sama-sama tergerak untuk meneruskan keterlibatannya. Mereka juga jadi lebih memahami realitas di lapangan, permasalahan sosial di Bandung, serta terpicu semangatnya untuk memberi kontribusi bagi sesamanya. Dalam konteks ini, pendekatan SE berhasil memberikan pencerahan dan pengalaman. Pengelolaan kelas sangat low cost, karena dengan prinsip otonomi, partisipasi, serta self-determination, mahasiswa bisa berbuat banyak dan menemukan solusi-solusi kreatif.
Pendekatan ini layak diujicobakan sebagai bagian penciptaan kurikulum berwajah SE. Padahal, ini baru level aksi institusional, sebatas menyentuh salah satu kemungkinan aspek SE di lingkungan perguruan tinggi, seperti tergambar dalam matriks tadi.

4. Penutup
Kemiskinan bagaikan benang kusut. Mengurai kompleksitasnya butuh waktu, motivasi, komitmen, dan upaya setiap pihak. Konsep SE yang dipromosikan sebagai pendekatan membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk memanfaatkan potensinya bagi upaya penanggulangan kemiskinan. Berikut adalah kesimpulan karya tulis ini.
1. Dari segi konsep, pendekatan SE sesungguhnya merupakan wujud prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian masyarakat. Namun, agar lebih applicable, SE perlu dilakukan lewat aktivitas yang realistis, kreatif, mengikat, berkesinambungan, melibatkan seluruh civitas academica, dan melembaga.
2. Guna menerjemahkan pendekatan SE pada level yang operasional, PT dapat mengikuti skema atau langkah-langkah yang telah diidentifikasi dalam matriks, meliputi level kelembagaan, regulasi, aksi, dan audit/monitoring-evaluasi.
Terkait dengan kesimpulan dan tujuan penulisan makalah ini, maka saran-saran yang dapat diberikan mencakup beberapa hal:
1. Untuk lingkup eksternal, PT perlu meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi dengan pihak-pihak terkait seperti Pemda, sesama PT, pihak swasta, atau para pebisnis yang punya concern terhadap perubahan sosial lewat program-program CSR.
2. Pada lingkup internal kelembagaan, PT perlu sesegera mungkin melakukan initial assesment dan mengonsolidasikan resources-nya sebagai persiapan awal untuk berkiprah dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Termasuk menyiapkan SDM yang bermutu lewat pelatihan dan upgrading.
Menutup tulisan ini, penulis ingin mengutipkan sebuah hikmah dari kehidupan Rasulullah Muhammad SAW. Terlepas dari gaya hidup sederhana (zuhud) yang diterapkannya, Rasulullah ternyata menaruh perhatian pada masalah kemiskinan. Rasulullah acap menyatakan bahwa kemiskinan membawa kekufuran (HR. Abu Nua’im yang diriwayatkan oleh Anas). Oleh karena itu, mencegah mengurangi kemiskinan merupakan salah satu tindakan sosial nan mulia. Karena, dapat mengurangi peluang kejahatan dan penyimpangan akidah. Itu sebabnya, dalam beberapa riwayat dikisahkan betapa bijaknya Rasulullah menyikapi kejahatan yang diakibatkan oleh kemiskinan. Rasulullah juga mengajarkan sikap hidup dan doa-doa untuk menghindarkan manusia terjebak dalam kemiskinan.
Riwayat Rasulullah memperlihatkan pentingnya mengupayakan penanggulangan kemiskinan. Perguruan tinggi, dalam kasus ini, jelas mengemban tanggungjawab sosial untuk berkiprah di sini. Sudah saatnya perguruan tinggi mendobrak status dan fungsi ekonomi yang lebih dominan, berhenti didominasi dan diposisikan sebagai sekrup industri, dan mulai secara serius memikirkan bagaimana mengatasi permasalahan bangsa, tanpa tergiring lagi-lagi dalam pemikiran berparadigma ‘proyek cari duit’ dan ‘cari nama’.***

Daftar Pustaka

Buku.
Bauman, Zygmunt. 1998. Works, Consumerism, and the New Poor. Philadelphia: Open University Press.
Bornstein, David. 2004. How to Change the World: Social Enterpreneurs and the Power of New Ideas. Oxford: Oxford University Press.
Wood, John. 2006. Leaving Microsoft to Change The World (diterjemahkan oleh Widi Nugroho menjadi “Kisah Menakjubkan Seorang Pendiri 3600 Perpustakaan di Asia). Jokja: Bentang.

Koran.
Bawazier, Fuad. Super Miskin. Artikel Opini dalam HU Republika, 16 April 2007.
Hartiningsih, Maria. Energi Tri Mumpuni. Artikel Opini Kompas, 7 Oktober 2005.
Kustiman, Erwin. Kemiskinan, Bahaya Laten Jawa Barat. Artikel Opini dalam HU Pikiran Rakyat, Agustus 2007.
Natsir, Irwan. Perencanaan Daerah. Artikel Opini dalam HU Pikiran Rakyat, 10 Januari 2007.
Jumlah Penduduk Miskin Jawa Barat Bertambah. Berita HU Pikiran Rakyat, 9 Mei 2007.
Diperlukan Strategi Baru Atasi Kemiskinan. Berita HU Pikiran Rakyat, 24 Desember 2005.
Gatot Johanes Silalahi. Kesempatan Wirausaha Bagi Mahasiswa. Sinar Harapan, 2003. www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/2005/0108/ukm3.html
Peranan Kewirausahaan dalam Masyarakat. Berita HU Republika, 19 Maret 2003.

Internet.
Bondan Palestin. 10 Januari 2007. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat. http://bondankomunitas.blogspot.com.
Prabowo, Agus dan Didy Wurjanto. Tiga Pilar Pengentasan Kemiskinan. www.kimpraswil.go.id
Roberts, Dave dan Christine Woods. Changing the World in a Shoestring: The Concept of SE. www.businessjournal.com. Tanggal akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.55 WIB.
Suara Pembaruan Daily dalam http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups. Tanggal akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.45 WIB.
Disinkom, Jumat 31 Agustus 2007. www.bandung.go.id. Tanggal akses terakhir 21 September 2007, pk. 19.33 WIB.
www.bandung.go.id. Tanggal akses terakhir 22 September 2007, pk. 01.50 WIB

Sumber lain:
Makalah berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat.” Dalam Seminar Nasional “Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan” Bogor, 21 Agustus 2007. Bandung: Pemkot Bandung.
[1] Disebut supermiskin karena memiliki penghasilan di bawah 1 dollar sehari, yang berarti tidak bisa memenuhi basic needs. Data BPS memperlihatkan, tingkat pendapatan kelompok ini tak lebih dari Rp. 5.095,- (Republika, 16 April 2007).
[2] Suara Pembaruan Daily dalam http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups. Tanggal akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.45 WIB.
[3] Kompas, 2 Agustus 2007.

[4] Agus Prabowo dan Didy Wurjanto, Tiga Pilar Pengentasan Kemiskinan. www.kimpraswil.go.id.
[5] Irwan Natsir, Perencanaan Daerah, HU Pikiran Rakyat 10 Januari 2007.
[6] Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) menyatakan, pembangunan Jabar pada 2006 masih menyimpan banyak persoalan yang harus dibenahi. ”Parameter makro berupa IPM hanya meningkat 0,71 poin atau menurun dibandingkan 2005 (0,99). IPM Jabar pada 2006 hanya 70,05 dari target 75,60. Ini harus menjadi perhatian karena target IPM 80 pada 2010 tinggal menyisakan 3 tahun lagi,” ungkap juru bicara FPKS, Tate Qomarudin (HU Pikiran Rakyat, 9 Mei 2007)
[7] Erwin Kustiman, Kemiskinan Bahaya Laten Jawa Barat (HU Pikiran Rakyat, 2007).
[8] Data Litbang Kompas (2007) merinci, terjadi kenaikan rata-rata upah minimum regional di Jabar hanya 4,04 persen, dari Rp 899.122 menjadi Rp 935.450 per bulan. Namun, proporsi kenaikan ini lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan pengeluaran masyarakat per bulan. Pengeluaran per kapita per bulan meningkat 12,79 persen. Apa artinya naik penghasilan 4.04 persen kalau pengeluaran pun bertambah 12.79%?
[9] Disinkom, Jumat 31 Agustus 2007. www.bandung.go.id.
[10] PPK IPM merupakan inisiatif Pemda Jabar untuk menanggulangi kemiskinan dengan memberi stimulus pada kepada Pemerintah Kab/Kota untuk dapat menggalang potensi stakeholders pembangunannya,
guna merumuskan langkah dan strategi dalam peningkatan IPM di daerah masing-masing dan menuliskannya dalam sebuah proposal yang diajukan kepada Gubernur. Data Seminar Nasional “Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan” Bogor, 21 Agustus 2007. Makalah berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat.”
[11] Komposisi penggunaan dana meliputi 30% untuk bidang pendidikan, 25% bidang
kesehatan dan 45% untuk bidang ekonomi peningkatan daya beli. Data Seminar Nasional “Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan” Bogor, 21 Agustus 2007. Makalah berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat.”
[12] www.bandung.go.id. Tanggal akses terakhir 22 September 2007, pk. 01.50 WIB.
[13] “Diperlukan Strategi Baru Atasi Kemiskinan”. Berita HU Pikiran Rakyat, 24 Desember 2005.
[14] Erwin Kustiman, Kemiskinan, Ancaman Laten Jawa Barat. HU Pikiran Rakyat, 27 Juni 2005.
[15] Kompas, 7 Oktober 2005. Energi Tri Mumpuni.
[16] Bondan Palestin. 10 Januari 2007. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat. http://bondankomunitas.blogspot.com.
[17] Republika, 19 Maret 2003. Peranan Kewirausahaan dalam Masyarakat.
[18] Changing The World On A Shoestring: The Concept of Social Enterpreneurship. Journal of Business Review.

Defisit Kepemimpinan

Ini sebuah unek-unek, ketika berbagai nama muncul dalam bursa calon presiden Republik Indonesia mau pun pemimpin Jawa Barat. Semestinya menjadi kenyataan menyedihkan, tatkala fakta menunjukkan bahwa nama-nama yang tengah digadang sebagai calon pemimpin sebagian besar tak lebih dari nama-nama daur ulang. Nyaris tidak ada nama baru yang muncul. Selain didominasi politisi lama, kandidat incumbent alias pejabat yang tengah memimpin juga menghiasi daftar yang diklaim sebagai ‘calon pemimpin’.
Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta orang, Indonesia mestinya punya banyak sekali sosok yang memiliki kapasitas sebagai pemimpin. Namun, betapa mengecewakan karena nama yang beredar dalam jajaran elit kepemimpinan negara ini, orangnya itu-itu juga. Padahal, kita sama-sama tahu track record-nya di masa lalu, terutama kegagalan yang bersangkutan memenuhi janji-janji semasa kampanye.
Inilah rupanya salah satu wujud krisis kepemimpinan. Yaitu, ketika kita mengalami defisit kepemimpinan, sehingga tampak seolah tak ada pilihan sosok lain untuk menjadi pemimpin. Sebuah negara, masyarakat, atau organisasi yang mengalami defisit kepemimpinan sesungguhnya disebabkan hanya oleh satu hal saja: tidak adanya sistem kondusif yang memunculkan pemimpin-pemimpin handal.
A leader not just being born, he/she is being made. Itulah kalimat sakti yang acap dilontarkan oleh suhu-suhu leadership. Barangkali memang ada orang-orang tertentu yang berbakat menjadi pemimpin. Ini masalah karakter bawaan, trait personality. Tetapi, jelas, tidak cukup menjadi pemimpin hanya dengan dilahirkan saja. Seorang pemimpin muncul di tengah massanya, karena memang dibentuk demikian. Salah satu kunci sukses pembentukan pemimpin terletak pada sistem yang memungkinkan hal itu terjadi. Faktor ruang, karena itu, menjadi hal yang sangat penting.
Adalah Ikujiro Nonaka, yang berupaya menghubungkan pentingnya ruang dengan penciptaan struktur yang sehat. Bertitiktolak dari teori-teori kontingensi dalam manajemen yang menekankan hubungan antara struktur dan penciptaan pengetahuan, Profesor Nonaka mengajukan konsep ba yang dalam bahasa Jepang diterjemahkan sebagai “places” atau “ruang”. Mengutip filosof Jepang Kitaro Nishida, setiap ba hakekatnya memiliki dimensi fisik, relasional, dan spiritual.
Dimensi fisik ba terdiri dari ruang-ruang pertemuan dan ruang-ruang publik. Ini dapat dibangun antara lain melalui kota-kota yang bersahabat dengan publik, penciptaan struktur bangunan pemerintah yang ramah bagi warganegara, disain ruang kota yang memanusiakan penduduknya, dan jejaring transportasi yang menjamin dan memudahkan pergerakan dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa menghabiskan energi dan emosi. Dimensi relasional terdiri dari pola-pola interaksi, emosi, dan gagasan. Budaya organisasi, dinamika proses, dan mekanisme dialog merupakan salah satu wujudnya. Ada pun dimensi spiritual, yang merupakan tacit knowledge, tidak lain merupakan ruang-ruang spiritual sumber kreativitas, visi, dan energi komunitas. Nonaka yakin, dimensi spiritual ba akan terbangun dengan sendirinya jika disertai ‘keberesan’ dimensi fisik dan relasionalnya. Namun, penting dipahami, energi ba tidak muncul sendirian. Ketiga dimensi bersifat coexist, sama-sama ada.
Tugas seorang pemimpin adalah membangun dan memanfaatkan ba baik di dalam mau pun di luar lembaga—melintas batas-batas struktur organisasi. Ba bukan masalah tempat, bukan masalah kepribadian. Melainkan persoalan konteks yang disebarkan menjadi milik bersama, sehingga mentransformasi pengetahuan-pengetahuan individual menjadi pengetahuan bersama, yang difokuskan pada pencapaian tujuan bersama komunitas. Ba, dengan kata lain, mentransendensi kapabilitas individual menjadi kesadaran akan pentingnya tujuan-tujuan bersama.
Dari perspektif ba, kelemahan organisasi atau struktur pemerintahan sekarang ini terletak pada perhatian yang hanya difokuskan terhadap satu faktor: relasional. Kepemimpinan lazimnya dimaknai sebagai jejaring kekuasaan yang harus dibangun di antara individu-individu kunci maupun objek kekuasaan. Sedikit sekali perhatian yang diberikan pada dua dimensi lainnya: fisik dan spiritual. Hal ini mungkin bisa menjelaskan mengapa menjelang pemilu, para petinggi parpol dan pejabat publik di Indonesia sibuk membangun hubungan dengan konstituen masing-masing. Sementara, usai dirinya terpilih, akses yang telah dibangun dengan konstituen dilupakan (lagi).
Dimensi relasional ba lebih jauh lagi mengajarkan kita bahwa variabel kunci dalam menentukan sukses pembinaan pemimpin bukanlah sang Pemimpin sendiri, melainkan orang-orang yang dibinanya. Ketika seorang pemimpin hanya berfokus pada dirinya sendiri (plus kroni-kroninya), itu berarti ia telah gagal menciptakan ba, dengan kata lain, abai membangun sistem yang mampu melahirkan pemimpin baru. Ketika seorang pemimpin atau mantan pemimpin dilamar untuk menjadi kandidat the next leader, yang bersangkutan hendaknya jangan asal mengiyakan saja—terharu, bangga, apalagi sampai terpesona oleh dirinya sendiri. Kalau sampai lamaran tersebut diterima, semestinya sang pemimpin berintrospeksi, apakah telah terjadi kegagalan sistemik dalam masa pemerintahannya selama ini, sehingga tak ada calon pemimpin baru—sehingga, ia terpaksa mencalonkan diri kembali? Kata-kata ‘terpaksa’ itu mesti digarisbawahi, karena tampaknya tidak tercantum dalam kamus para (calon) pemimpin kita.***

Dimuat di Kompas Edisi Jawa Barat, Senin 6 November 2007, Rubrik Forum