A. Tentang Sosialisasi dan Konstruksi Realitas
Persepsi manusia terhadap segala
sesuatu yang berlangsung di sekitar dirinya dibangun dari kesadaran akan adanya
nilai-nilai yang memandu manusia untuk mendefinisikan realitas kultural. Kita
memahami sesuatu, melekatkan makna pada peristiwa tertentu, dan berusaha
menjalani realitas keseharian kita, berdasarkan nilai-nilai yang kita
yakini—entah itu disadari atau tidak disadari. Proses penanaman nilai –kerap
diistilahkan sebagai sosialisasi—berlangsung dalam berbagai tahap kehidupan,
melalui berbagai proses.
Pada tahapan early
socialization, umumnya anak mempelajari nilai dari keluarga dan teladan
perilaku yang diberikan oleh orangtuanya. Ketika memasuki tahapan remaja,
lingkungan sekolah dan pertemanan yang lebih luas mulai melakukan peran
sosialisasi nilai terhadap individu, yang kemungkinan berbeda dengan
nilai-nilai keluarga. Pada tahapan dewasa, seiring dengan membesarnya lingkar
pergaulan dan interaksi, individu pun akan mendapatkan sosialisasi nilai dari
lingkungan masyarakat yang lebih luas lagi.
Sebagai
bagian dari unit yang lebih besar—entah itu keluarga, teman-teman, atau
masyarakat, individu tidak pernah bisa melepaskan diri dari sosialisasi nilai-nilai
yang berlangsung dalam ruang sosial. Banyak nilai yang diadopsi, diadaptasi,
kemungkinan bahkan ditolak. Namun proses negosiasi nilai senantiasa berlangsung
secara konstruktif—dan selalu ada nilai yang pada akhirnya melekat pada
individu tersebut. Nilai yang ditolak atau disingkirkan akan diganti dengan
nilai lain yang diterima.
Ada
banyak nilai yang disosialisasikan pada individu. Sebagai bagian dari keluarga,
individu mendapatkan sosialisasi norma-norma keluarga. Misalnya, hormat pada
orangtua, tidak boleh nakal pada adik, pamit keluar rumah, atau menaati jam-jam
tertentu berdasarkan peraturan keluarga.
Sebagai bagian dari lingkungan pertemanan, individu mendapatkan
sosialisasi nilai-nilai seperti kesetiakawanan. Dari lingkungan kerja individu
mendapatkan sosialisasi nilai seperti kedisiplinan dan kerja keras. Sebagai
warga negara dan warga bangsa, individu mendapatkan sosialisasi nilai-nilai
nasionalisme. Sedangkan sebagai bagian dari umat suatu agama, individu
mendapatkan sosialisasi basic values, atau nilai-nilai dasar, yang
diyakini sebagai jalan kebenaran untuk memandu manusia menjalani kehidupannya.
Sosialisasi
nilai tidak terbatas pada unit-unit sosial di atas. Seiring dengan
berkembangnya kompleksitas struktur masyarakat, muncul pula pelbagai pranata
tempat individu melembagakan diri secara sadar maupun tak sadar, menjadi bagian
dari komunitas lembaga tersebut. Pranata atau lembaga tersebut, langsung maupun
tak langsung, turut berperan menyosialisasikan nilai. Misalnya saja, sebagai bagian
dari pranata pendidikan, individu mendapatkan sosialisasi nilai di sekitar etos
moral dan pembelajaran. Sebagai bagian dari kelompok hobi tertentu, katakanlah
kelompok pehobi memancing, individu mendapatkan sosialisasi nilai yang
merefleksikan aktivitas kelompok memancing, seperti kesabaran dan ketekunan.
Sebagai bagian dari khalayak media, individu pun akan mendapatkan sosialisasi
nilai-nilai dari program-program yang disajikan oleh media massa.
Kompleksnya
struktur masyarakat dewasa ini mengakibatkan banyak persinggungan terjadi dalam
proses transfer atau sosialisasi nilai. Demikianlah maka kita bisa melihat
bagaimana pranata pendidikan tidak saja menjadi sarana untuk menyosialisasikan
nilai-nilai pendidikan saja, tetapi juga menjadi sarana untuk menyosialisasikan
nilai-nilai nasionalisme dan family values. Dari sektor media,
menguatnya peran dan dominasi media massa dalam pelbagai bidang kehidupan
masyarakat menyebabkan media massa juga berperan penting sebagai sarana
sosialisasi nilai-nilai –di luar nilai-nilai media itu sendiri. Media melakukan
tugas ini dalam kerangka perannya sebagai pelapor realitas, atau cerminan
realitas.
Nanti dulu,
melaporkan realitas? Benarkah media melaporkan realitas an sich—realitas
apa adanya, sebenar-benarnya terjadi? Mari kita lihat bagaimana konsep dan
kaitan antara media dan realitas. Selanjutnya, mari kita periksa adagium bahwa
‘media adalah cermin realitas.’
B. Tentang realitas
Hal pertama yang harus diingat
dalam memahami teori-teori terkait dengan media dan konstruksi realitas adalah
memahami apa yang disebut dengan ‘realitas.’
Dalam paradigma konstruktivisme, realitas tidak dipandang sebagai
sesuatu yang sudah ada sebagaimana adanya. Realitas dibentuk, realitas
merupakan hasil konstruksi individu-individu dalam proses sosial. Pandangan ini
berseberangan dengan pengertian realitas dalam paradigma positivisme yang
mengandaikan bahwa realitas bersifat terberi—is given, sehingga tinggal
diterima begitu saja oleh manusia, atau dieksplorasi oleh manusia. Dalam
pandangan konstruktivisme, realitas dipandang sebagai hasil campur tangan
manusia. Ini artinya, manusia dinyatakan sebagai sosok aktif yang membentuk
realitas.
Pertanyaannya, sejauhmana manusia
punya kuasa untuk membentuk realitas? Apakah manusia benar-benar ‘otonom’ atau
merdeka dalam membentuk realitasnya sendiri? Kenyataan menunjukkan, tidak semua
manusia memiliki kuasa otonom terhadap dirinya sendiri. Ketika kita menyaksikan
belasan remaja ikut bunuh diri bersama Kurt Cobain—kita melihat betapa kuatnya
pengaruh bintang Nirvana itu dalam membentuk realitas penggemarnya. Ketika kita
merasa sulit membedakan gadis-gadis yang lalu lalang di mal-mal—wangi, berambut
panjang, legam dan lurus, berkulit seputih susu, bertubuh ramping, dan
berbusana ketat memperlihatkan pusar—kita sedang menjadi saksi kuatnya budaya
pop membentuk selera berbusana khalayaknya. Ketika kita terbengong-bengong
menonton kekejaman aksi massa menghakimi
pelaku kriminalitas, lantas menjadi ketakutan akan kenyataan betapa
mengerikannya dunia ini, tidak salah lagi, kita tengah mengonstruksi realitas
kita berdasarkan apa yang kita peroleh dari media massa.
C. Media sebagai refleksi realitas: sebuah klaim yang problematik!
Saat ini, kita hidup dalam sebuah
tatanan masyarakat yang tak bisa lagi dilepaskan dari keberadaan media. Media menjadi ikon abad ini, didewa-dewakan
sebagai solusi bagi semua permasalahan—jangan lupa, abad ini dinobatkan sebagai
the age of information and communication! Tak sekadar menjadi medium informasi,
alias penyampai informasi. Media, lebih jauh lagi bahkan dinobatkan oleh
Marshall McLuhan, seorang teoritisi komunikasi asal Kanada, sebagai the
extension of men—perpanjangan tangan dan indria manusia. Media disebut-sebut berhasil mengalahkan
ruang dan waktu, lewat kecepatan transfer informasi dan daya jangkau yang tidak
terbatas. Demikianlah maka media memasuki ruang kehidupan manusia, membantu
manusia memahami apa yang terjadi di belahan dunia lain, dengan melaporkan
realitas-realitas yang terjadi di luar jangkauan fisik manusia. Media menjadi
cermin realitas, merefleksikannya dan melaporkannya—setidaknya, itulah peran
(baca: dalih!) yang dinyatakan oleh para pekerja media, terutama ketika
dihadapkan pada kritik seputar muatan informasi yang dinilai tidak bermutu.
Lepas
dari kajian efek yang sangat meyakini dampak media, lepas dari kajian analisis
isi yang mempersoalkan pesan prososial dan antisosial dalam muatan media,
kalangan konstruksionis begitu yakin akan kekuatan media massa dalam membentuk
realitas manusia. Pendapat ini bertitik tolak dari kenyataan bahwa media massa
telah menempati posisi yang begitu sentral dalam kehidupan manusia—sejak dini
dalam kehidupannya! Sebuah studi di Israel terhadap pemahaman anak-anak seputar
pesan-pesan dalam serial Teletubbies memperlihatkan, interaksi yang dilandasi
aspek kesadaran terhadap kehadiran media telah dimulai sejak anak-anak bahkan
sejak mereka berusia 3 tahun (Giles, 2003)!
Bagi kaum
konstruksionis (atau konstruktivis), media tidak sekadar melaporkan realitas.
Media juga aktif mengonstruksi realitas. Hasil penelitian Gerbner ihwal media
violence yang melahirkan teori Kultivasi mengilustrasikan kenyataan
tersebut secara gamblang. Dengan meneliti penonton televisi (dengan berbagai
perilaku terkait dengan penggunaan media) ketika berhadapan dengan tayangan
televisi yang lebih banyak didominasi kekerasan, Gerbner dan timnya menemukan
bahwa kalangan pecandu televisi (heavy viewer) menganggap realitas yang
ditampilkan di media tidak ubahnya realitas dunia nyata. Kelompok yang
menyaksikan televisi setidaknya 3-4 jam sehari secara teratur itu bahkan lebih
jauh menyatakan perlunya mempersenjatai diri di ruang publik. Berdasarkan
tayangan televisi yang mereka tonton, mereka menganggap bahwa dunia saat ini
jauh lebih buruk daripada beberapa tahun sebelumnya, bahwa keamanan mereka di
ruang publik sangat terancam dengan tingginya angka-angka kejahatan, bahwa
perang terjadi di mana-mana.
Atas hasil
tersebut, maka disimpulkan bahwa media memiliki kekuatan untuk membius dan
menampilkan secondhand reality. Khalayak yang menganggap realitas media sama
dengan realitas dunia nyata melupakan kenyataan bahwa media melakukan
proses seleksi informasi berlapis-lapis secara ketat sebelum menyajikannya ke
hadapan khalayak. Seleksi tersebut didasari oleh berbagai pertimbangan, mulai
dari pertimbangan atas norma kultural dalam lingkungan sosial, pertimbangan
ideologis organisasi media, hingga
pemenuhan kebutuhan khalayak. Namun, lebih sering, pertimbangan produksi dan distribusi
produk kultural di media dilandasi oleh motif menangguk keuntungan
sebesar-besarnya. Inilah, misalnya, yang terjadi pada stasiun televisi ketika
menayangkan program-program tertentu. Dalam industri televisi dewasa ini,
penayangan program semacam itu lebih
didasari oleh motif kuat untuk menjaring keuntungan besar dengan
memenangkan perang rating dalam industri media (televisi). Parahnya
lagi, penelitian Gerbner yang dilakukan terus tiap tahun hingga saat ini
memperlihatkan bahwa media berhasil mengkultivasi (menanamkan) realitas pilihan
media ke benak pemirsa. Inilah yang menyebabkan khalayak mengaburkan batas
antara realitas media dan realitas nyata, serta gagal mengambil jarak kritis
dengan media.
Penelitian
Gerbner bisa diperdebatkan dari berbagai sisi, terutama ketika dikaitkan dengan
efek media yang sangat powerful. Argumen yang menentang asumsi kultivasi
menunjuk sejumlah faktor lain yang berperan dalam mengonstruksi realitas
seseorang, misalnya institusi pendidikan, lingkungan budaya, dan peran
keluarga. Sisi personal manusia selaku individu sendiri juga sangat kompleks,
dan terbukti mampu memberi kontribusi signifikan dalam pengambilan keputusan.
Jadi, demikian dinyatakan argumentasi tersebut, naif kiranya kalau para periset
hanya menyalahkan media sebagai biang keladi munculnya realitas tandingan yang
kebetulan bercorak negatif. Argumentasi ini bisa diterima, sampai pada taraf
tertentu. Namun, memercayai bahwa media benar-benar melaporkan realitas yang
terjadi di masyarakat juga sangat-sangat naif.
Bagaimanapun, kita hidup di tengah masyarakat yang dikepung oleh media
massa. Tidak mungkin kenyataan tersebut tidak memiliki pengaruh apapun! Media
sedikit banyak punya andil untuk mengonstruksi realitas khalayaknya.
Berger, Peter & Luckmann, Thomas. 1966. The Social
Construction of Reality. Garden City, NY: Doubleday.
Gergen, Mary & Gergen, Kenneth J. 2003. Social
Construction: A Reader. Thousand Oaks, London: SAGE.
Giles, David. 2003. Media Psychology. Mahwah, NJ: LEA.
Perry, David K. 2002. Theory and Research in Mass
Communication. Mahwah, NJ: LEA.
LAMPIRAN. Tentang film dan poin-poin diskusi
Untuk melengkapi materi ini,
disajikan tiga buah film yang bisa memperlihatkan bagaimana praktik konstruksi
realitas dilakukan oleh media, serta bagaimana khalayak media terjebak ke dalam
konstruksi realitas bikinan media (dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan). Film pertama, Wag the Dog, memperlihatkan bagaimana
realitas dikonstruksi untuk kepentingan politik hingga menimbulkan hiruk-pikuk
sirkus media televisi. Film kedua, Sometimes in April, memperlihatkan
bagaimana radio sebagai medium komunikasi massa turut serta menguatkan
stereotip yang memicu genosida nan tragis di Rwanda. Sementara film ketiga, Shattered
Glass, sesungguhnya mengangkat isu tentang celah-celah dalam sistem
verifikasi data yang berusaha menjaga kesakralan fakta-fakta jurnalistik. Namun, untuk kepentingan diskusi materi ini,
dalam film itu kita bisa melihat bagaimana praktik konstruksi realitas juga
dilakukan oleh para jurnalis-jurnalis media yang mengaku berpedoman pada kode
etik jurnalistik...
Usai
menyaksikan film, cobalah Anda eksplorasi pertanyaan-pertanyaan dan isu-isu
berikut ini (yang disampaikan dalam diskusi):
- Perhatikan
bagaimana masing-masing media massa beroperasi untuk membentuk realitas
yang akan disajikan pada khalayaknya. Dengan cara apa media melakukannya?
- Apakah
realitas (yang ditampilkan) media sama dengan realitas yang sesungguhnya?
Dapatkah Anda membaca realitas yang tidak ditampilkan media, atau yang
mereka tutup-tutupi? Apa motivasi di balik penciptaan realitas semu
tersebut? Siapa yang punya kepentingan untuk menciptakan realitas
tersebut?
- Coba
amati bagaimana masyarakat atau khalayak media menyerap realitas yang
ditampilkan media. Apakah mereka memercayainya? Apakah mereka
meragukannya? Apakah mereka mendiskusikannya? Andai realitas yang
ditampilkan media belum tentu sama dengan realitas sesungguhnya, maka,
apakah manusia selaku khalayak media punya kuasa untuk mengonstruksi
realitasnya sendiri secara otonom? Apakah media sendiri, dalam menyeleksi
dan menampilkan realitas, juga punya kuasa otonom untuk mendefinisikan
realitas tersebut? Pihak mana—berdasarkan film yang Anda tonton—yang
benar-benar punya kuasa utuh untuk mendefinisikan realitas bagi pihak
lain?
- Bagaimana
Anda, selaku khalayak media yang tak luput dari pengaruh konstruksi
realitas media, menyikapi kenyataan tersebut? Cobalah berefleksi pada diri
Anda sendiri, apakah Anda merupakan subjek yang otonom terhadap diri Anda,
atau termasuk dalam kelompok massa yang terjebak dalam realitas bentukan
media?
- Gagasan
bahwa diri kita kemungkinan tak lebih dari boneka-boneka yang diciptakan
dan digerakkan oleh media demi kepentingan pasar, cukup mengerikan karena
menghilangkan eksistensi kita sebagai individu yang rasional dan merdeka.
Tapi, dalam situasi seperti sekarang ini, mungkinkan kita melepaskan diri
dari konstruksi realitas media? Bagaimana caranya?
- Gagasan
bahwa realitas yang kita hadapi begitu berlapis-lapis, hingga belum tentu
merupakan realitas nan sesungguhnya juga agak-agak mengerikan. Bagaimana menemukan realitas sejati itu?
Bagaimana membedakan (realitas) yang benar dan mana yang salah? Apakah
sesungguhnya kebenaran itu?
Selamat menonton (untuk yang
sudah pernah menonton, selamat nonton lagi...), selamat berdiskusi, dan
terimakasih telah sudi berpartisipasi dalam acara ini.
____________________________________
[†]Penulis
adalah dosen mata kuliah Filsafat Komunikasi dan Metode Penelitian Komunikasi
di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, bidang kajian Ilmu
Jurnalistik.
[*] Materi
ini merupakan pengantar untuk acara diskusi dan pemutaran film untuk mata
kuliah Filsafat Komunikasi Fikom Unisba kelas C, D, E, Desember 2006.
Terimakasih penulis haturkan kepada Tarlen Handayani selaku pengelola Common
Room yang telah memberikan ruang dan kesempatan untuk melaksanakan diskusi
ini. Terimakasih juga
kepada seluruh peserta diskusi dan acara nonton bersama ini yang telah
meluangkan waktu untuk menghadiri acara ini. Untuk saran-saran, masukan, kritik,
maupun hal-hal lain yang bisa didiskusikan dan dieksplorasi terkait dengan
materi ini, silakan kontak penulis melalui e-mail dyaning2001@yahoo.com atau santi_fikom_unisba@yahoo.com.
0 komentar:
Posting Komentar