Selasa, 25 Desember 2012

KITA, MEDIA, DAN KONSTRUKSI REALITAS



A. Tentang Sosialisasi dan Konstruksi Realitas

Persepsi manusia terhadap segala sesuatu yang berlangsung di sekitar dirinya dibangun dari kesadaran akan adanya nilai-nilai yang memandu manusia untuk mendefinisikan realitas kultural. Kita memahami sesuatu, melekatkan makna pada peristiwa tertentu, dan berusaha menjalani realitas keseharian kita, berdasarkan nilai-nilai yang kita yakini—entah itu disadari atau tidak disadari. Proses penanaman nilai –kerap diistilahkan sebagai sosialisasi—berlangsung dalam berbagai tahap kehidupan, melalui berbagai proses.
Pada tahapan early socialization, umumnya anak mempelajari nilai dari keluarga dan teladan perilaku yang diberikan oleh orangtuanya. Ketika memasuki tahapan remaja, lingkungan sekolah dan pertemanan yang lebih luas mulai melakukan peran sosialisasi nilai terhadap individu, yang kemungkinan berbeda dengan nilai-nilai keluarga. Pada tahapan dewasa, seiring dengan membesarnya lingkar pergaulan dan interaksi, individu pun akan mendapatkan sosialisasi nilai dari lingkungan masyarakat yang lebih luas lagi.
Sebagai bagian dari unit yang lebih besar—entah itu keluarga, teman-teman, atau masyarakat, individu tidak pernah bisa melepaskan diri dari sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung dalam ruang sosial. Banyak nilai yang diadopsi, diadaptasi, kemungkinan bahkan ditolak. Namun proses negosiasi nilai senantiasa berlangsung secara konstruktif—dan selalu ada nilai yang pada akhirnya melekat pada individu tersebut. Nilai yang ditolak atau disingkirkan akan diganti dengan nilai lain  yang diterima.
Ada banyak nilai yang disosialisasikan pada individu. Sebagai bagian dari keluarga, individu mendapatkan sosialisasi norma-norma keluarga. Misalnya, hormat pada orangtua, tidak boleh nakal pada adik, pamit keluar rumah, atau menaati jam-jam tertentu berdasarkan peraturan keluarga.  Sebagai bagian dari lingkungan pertemanan, individu mendapatkan sosialisasi nilai-nilai seperti kesetiakawanan. Dari lingkungan kerja individu mendapatkan sosialisasi nilai seperti kedisiplinan dan kerja keras. Sebagai warga negara dan warga bangsa, individu mendapatkan sosialisasi nilai-nilai nasionalisme. Sedangkan sebagai bagian dari umat suatu agama, individu mendapatkan sosialisasi basic values, atau nilai-nilai dasar, yang diyakini sebagai jalan kebenaran untuk memandu manusia menjalani kehidupannya.
Sosialisasi nilai tidak terbatas pada unit-unit sosial di atas. Seiring dengan berkembangnya kompleksitas struktur masyarakat, muncul pula pelbagai pranata tempat individu melembagakan diri secara sadar maupun tak sadar, menjadi bagian dari komunitas lembaga tersebut. Pranata atau lembaga tersebut, langsung maupun tak langsung, turut berperan menyosialisasikan nilai. Misalnya saja, sebagai bagian dari pranata pendidikan, individu mendapatkan sosialisasi nilai di sekitar etos moral dan pembelajaran. Sebagai bagian dari kelompok hobi tertentu, katakanlah kelompok pehobi memancing, individu mendapatkan sosialisasi nilai yang merefleksikan aktivitas kelompok memancing, seperti kesabaran dan ketekunan. Sebagai bagian dari khalayak media, individu pun akan mendapatkan sosialisasi nilai-nilai dari program-program yang disajikan oleh media massa.
Kompleksnya struktur masyarakat dewasa ini mengakibatkan banyak persinggungan terjadi dalam proses transfer atau sosialisasi nilai. Demikianlah maka kita bisa melihat bagaimana pranata pendidikan tidak saja menjadi sarana untuk menyosialisasikan nilai-nilai pendidikan saja, tetapi juga menjadi sarana untuk menyosialisasikan nilai-nilai nasionalisme dan family values. Dari sektor media, menguatnya peran dan dominasi media massa dalam pelbagai bidang kehidupan masyarakat menyebabkan media massa juga berperan penting sebagai sarana sosialisasi nilai-nilai –di luar nilai-nilai media itu sendiri. Media melakukan tugas ini dalam kerangka perannya sebagai pelapor realitas, atau cerminan realitas.
Nanti dulu, melaporkan realitas? Benarkah media melaporkan realitas an sich—realitas apa adanya, sebenar-benarnya terjadi? Mari kita lihat bagaimana konsep dan kaitan antara media dan realitas. Selanjutnya, mari kita periksa adagium bahwa ‘media adalah cermin realitas.’

B. Tentang realitas

Hal pertama yang harus diingat dalam memahami teori-teori terkait dengan media dan konstruksi realitas adalah memahami apa yang disebut dengan ‘realitas.’  Dalam paradigma konstruktivisme, realitas tidak dipandang sebagai sesuatu yang sudah ada sebagaimana adanya. Realitas dibentuk, realitas merupakan hasil konstruksi individu-individu dalam proses sosial. Pandangan ini berseberangan dengan pengertian realitas dalam paradigma positivisme yang mengandaikan bahwa realitas bersifat terberi—is given, sehingga tinggal diterima begitu saja oleh manusia, atau dieksplorasi oleh manusia. Dalam pandangan konstruktivisme, realitas dipandang sebagai hasil campur tangan manusia. Ini artinya, manusia dinyatakan sebagai sosok aktif yang membentuk realitas.
            Pertanyaannya, sejauhmana manusia punya kuasa untuk membentuk realitas? Apakah manusia benar-benar ‘otonom’ atau merdeka dalam membentuk realitasnya sendiri? Kenyataan menunjukkan, tidak semua manusia memiliki kuasa otonom terhadap dirinya sendiri. Ketika kita menyaksikan belasan remaja ikut bunuh diri bersama Kurt Cobain—kita melihat betapa kuatnya pengaruh bintang Nirvana itu dalam membentuk realitas penggemarnya. Ketika kita merasa sulit membedakan gadis-gadis yang lalu lalang di mal-mal—wangi, berambut panjang, legam dan lurus, berkulit seputih susu, bertubuh ramping, dan berbusana ketat memperlihatkan pusar—kita sedang menjadi saksi kuatnya budaya pop membentuk selera berbusana khalayaknya. Ketika kita terbengong-bengong menonton kekejaman aksi massa  menghakimi pelaku kriminalitas, lantas menjadi ketakutan akan kenyataan betapa mengerikannya dunia ini, tidak salah lagi, kita tengah mengonstruksi realitas kita berdasarkan apa yang kita peroleh dari media massa.

C. Media sebagai refleksi realitas: sebuah klaim yang problematik!

Saat ini, kita hidup dalam sebuah tatanan masyarakat yang tak bisa lagi dilepaskan dari keberadaan media.  Media menjadi ikon abad ini, didewa-dewakan sebagai solusi bagi semua permasalahan—jangan lupa, abad ini dinobatkan sebagai the age of information and communication! Tak sekadar menjadi medium informasi, alias penyampai informasi. Media, lebih jauh lagi bahkan dinobatkan oleh Marshall McLuhan, seorang teoritisi komunikasi asal Kanada, sebagai the extension of men—perpanjangan tangan dan indria manusia.  Media disebut-sebut berhasil mengalahkan ruang dan waktu, lewat kecepatan transfer informasi dan daya jangkau yang tidak terbatas. Demikianlah maka media memasuki ruang kehidupan manusia, membantu manusia memahami apa yang terjadi di belahan dunia lain, dengan melaporkan realitas-realitas yang terjadi di luar jangkauan fisik manusia. Media menjadi cermin realitas, merefleksikannya dan melaporkannya—setidaknya, itulah peran (baca: dalih!) yang dinyatakan oleh para pekerja media, terutama ketika dihadapkan pada kritik seputar muatan informasi yang dinilai tidak bermutu. 

Lepas dari kajian efek yang sangat meyakini dampak media, lepas dari kajian analisis isi yang mempersoalkan pesan prososial dan antisosial dalam muatan media, kalangan konstruksionis begitu yakin akan kekuatan media massa dalam membentuk realitas manusia. Pendapat ini bertitik tolak dari kenyataan bahwa media massa telah menempati posisi yang begitu sentral dalam kehidupan manusia—sejak dini dalam kehidupannya! Sebuah studi di Israel terhadap pemahaman anak-anak seputar pesan-pesan dalam serial Teletubbies memperlihatkan, interaksi yang dilandasi aspek kesadaran terhadap kehadiran media telah dimulai sejak anak-anak bahkan sejak mereka berusia 3 tahun (Giles, 2003)! 
Bagi kaum konstruksionis (atau konstruktivis), media tidak sekadar melaporkan realitas. Media juga aktif mengonstruksi realitas. Hasil penelitian Gerbner ihwal media violence yang melahirkan teori Kultivasi mengilustrasikan kenyataan tersebut secara gamblang. Dengan meneliti penonton televisi (dengan berbagai perilaku terkait dengan penggunaan media) ketika berhadapan dengan tayangan televisi yang lebih banyak didominasi kekerasan, Gerbner dan timnya menemukan bahwa kalangan pecandu televisi (heavy viewer) menganggap realitas yang ditampilkan di media tidak ubahnya realitas dunia nyata. Kelompok yang menyaksikan televisi setidaknya 3-4 jam sehari secara teratur itu bahkan lebih jauh menyatakan perlunya mempersenjatai diri di ruang publik. Berdasarkan tayangan televisi yang mereka tonton, mereka menganggap bahwa dunia saat ini jauh lebih buruk daripada beberapa tahun sebelumnya, bahwa keamanan mereka di ruang publik sangat terancam dengan tingginya angka-angka kejahatan, bahwa perang terjadi di mana-mana. 
Atas hasil tersebut, maka disimpulkan bahwa media memiliki kekuatan untuk membius dan menampilkan secondhand reality. Khalayak yang menganggap realitas media sama dengan realitas dunia nyata melupakan kenyataan bahwa media melakukan proses seleksi informasi berlapis-lapis secara ketat sebelum menyajikannya ke hadapan khalayak. Seleksi tersebut didasari oleh berbagai pertimbangan, mulai dari pertimbangan atas norma kultural dalam lingkungan sosial, pertimbangan ideologis organisasi media,  hingga pemenuhan kebutuhan khalayak. Namun, lebih sering, pertimbangan produksi dan distribusi produk kultural di media dilandasi oleh motif menangguk keuntungan sebesar-besarnya. Inilah, misalnya, yang terjadi pada stasiun televisi ketika menayangkan program-program tertentu. Dalam industri televisi dewasa ini, penayangan program semacam itu lebih  didasari oleh motif kuat untuk menjaring keuntungan besar dengan memenangkan perang rating dalam industri media (televisi). Parahnya lagi, penelitian Gerbner yang dilakukan terus tiap tahun hingga saat ini memperlihatkan bahwa media berhasil mengkultivasi (menanamkan) realitas pilihan media ke benak pemirsa. Inilah yang menyebabkan khalayak mengaburkan batas antara realitas media dan realitas nyata, serta gagal mengambil jarak kritis dengan media. 
Penelitian Gerbner bisa diperdebatkan dari berbagai sisi, terutama ketika dikaitkan dengan efek media yang sangat powerful.  Argumen yang menentang asumsi kultivasi menunjuk sejumlah faktor lain yang berperan dalam mengonstruksi realitas seseorang, misalnya institusi pendidikan, lingkungan budaya, dan peran keluarga. Sisi personal manusia selaku individu sendiri juga sangat kompleks, dan terbukti mampu memberi kontribusi signifikan dalam pengambilan keputusan. Jadi, demikian dinyatakan argumentasi tersebut, naif kiranya kalau para periset hanya menyalahkan media sebagai biang keladi munculnya realitas tandingan yang kebetulan bercorak negatif. Argumentasi ini bisa diterima, sampai pada taraf tertentu. Namun, memercayai bahwa media benar-benar melaporkan realitas yang terjadi di masyarakat juga sangat-sangat naif.  Bagaimanapun, kita hidup di tengah masyarakat yang dikepung oleh media massa. Tidak mungkin kenyataan tersebut tidak memiliki pengaruh apapun! Media sedikit banyak punya andil untuk mengonstruksi realitas khalayaknya.


Berger, Peter & Luckmann, Thomas. 1966. The Social Construction of Reality. Garden City, NY: Doubleday.
Gergen, Mary & Gergen, Kenneth J. 2003. Social Construction: A Reader. Thousand Oaks, London: SAGE.
Giles, David. 2003. Media Psychology. Mahwah, NJ: LEA.
Perry, David K. 2002. Theory and Research in Mass Communication. Mahwah, NJ: LEA.


LAMPIRAN. Tentang film dan poin-poin diskusi
Untuk melengkapi materi ini, disajikan tiga buah film yang bisa memperlihatkan bagaimana praktik konstruksi realitas dilakukan oleh media, serta bagaimana khalayak media terjebak ke dalam konstruksi realitas bikinan media (dan pihak-pihak lain yang berkepentingan).  Film pertama, Wag  the Dog, memperlihatkan bagaimana realitas dikonstruksi untuk kepentingan politik hingga menimbulkan hiruk-pikuk sirkus media televisi. Film kedua, Sometimes in April, memperlihatkan bagaimana radio sebagai medium komunikasi massa turut serta menguatkan stereotip yang memicu genosida nan tragis di Rwanda. Sementara film ketiga, Shattered Glass, sesungguhnya mengangkat isu tentang celah-celah dalam sistem verifikasi data yang berusaha menjaga kesakralan fakta-fakta jurnalistik.  Namun, untuk kepentingan diskusi materi ini, dalam film itu kita bisa melihat bagaimana praktik konstruksi realitas juga dilakukan oleh para jurnalis-jurnalis media yang mengaku berpedoman pada kode etik jurnalistik...
            Usai menyaksikan film, cobalah Anda eksplorasi pertanyaan-pertanyaan dan isu-isu berikut ini (yang disampaikan dalam diskusi):
  1. Perhatikan bagaimana masing-masing media massa beroperasi untuk membentuk realitas yang akan disajikan pada khalayaknya. Dengan cara apa media melakukannya?
  2. Apakah realitas (yang ditampilkan) media sama dengan realitas yang sesungguhnya? Dapatkah Anda membaca realitas yang tidak ditampilkan media, atau yang mereka tutup-tutupi? Apa motivasi di balik penciptaan realitas semu tersebut? Siapa yang punya kepentingan untuk menciptakan realitas tersebut?
  3. Coba amati bagaimana masyarakat atau khalayak media menyerap realitas yang ditampilkan media. Apakah mereka memercayainya? Apakah mereka meragukannya? Apakah mereka mendiskusikannya? Andai realitas yang ditampilkan media belum tentu sama dengan realitas sesungguhnya, maka, apakah manusia selaku khalayak media punya kuasa untuk mengonstruksi realitasnya sendiri secara otonom? Apakah media sendiri, dalam menyeleksi dan menampilkan realitas, juga punya kuasa otonom untuk mendefinisikan realitas tersebut? Pihak mana—berdasarkan film yang Anda tonton—yang benar-benar punya kuasa utuh untuk mendefinisikan realitas bagi pihak lain?
  4. Bagaimana Anda, selaku khalayak media yang tak luput dari pengaruh konstruksi realitas media, menyikapi kenyataan tersebut? Cobalah berefleksi pada diri Anda sendiri, apakah Anda merupakan subjek yang otonom terhadap diri Anda, atau termasuk dalam kelompok massa yang terjebak dalam realitas bentukan media?
  5. Gagasan bahwa diri kita kemungkinan tak lebih dari boneka-boneka yang diciptakan dan digerakkan oleh media demi kepentingan pasar, cukup mengerikan karena menghilangkan eksistensi kita sebagai individu yang rasional dan merdeka. Tapi, dalam situasi seperti sekarang ini, mungkinkan kita melepaskan diri dari konstruksi realitas media? Bagaimana caranya?
  6. Gagasan bahwa realitas yang kita hadapi begitu berlapis-lapis, hingga belum tentu merupakan realitas nan sesungguhnya juga agak-agak mengerikan.  Bagaimana menemukan realitas sejati itu? Bagaimana membedakan (realitas) yang benar dan mana yang salah? Apakah sesungguhnya kebenaran itu?
Selamat menonton (untuk yang sudah pernah menonton, selamat nonton lagi...), selamat berdiskusi, dan terimakasih telah sudi berpartisipasi dalam acara ini.










____________________________________

[*] Materi ini merupakan pengantar untuk acara diskusi dan pemutaran film untuk mata kuliah Filsafat Komunikasi Fikom Unisba kelas C, D, E, Desember 2006. Terimakasih penulis haturkan kepada Tarlen Handayani selaku pengelola Common Room yang telah memberikan ruang dan kesempatan untuk melaksanakan diskusi ini.  Terimakasih juga kepada seluruh peserta diskusi dan acara nonton bersama ini yang telah meluangkan waktu untuk menghadiri acara ini.  Untuk saran-saran, masukan, kritik, maupun hal-hal lain yang bisa didiskusikan dan dieksplorasi terkait dengan materi ini, silakan kontak penulis melalui e-mail dyaning2001@yahoo.com atau santi_fikom_unisba@yahoo.com.

[†]Penulis adalah dosen mata kuliah Filsafat Komunikasi dan Metode Penelitian Komunikasi di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, bidang kajian Ilmu Jurnalistik. 




0 komentar: