Communication

Blog ini diperuntukkan bagi para peminat komunikasi, sosial, dan budaya. Dilarang berpolitik sektarian, korupsi juga nggak boleh. Itu dosa lho. Selamat menikmati.

Social

Let's share your story about communication.

Article

In here, you can find my original article.

Kamis, 04 September 2008

POPEYE (BUKAN) SAHABAT KITA


Kita dibesarkan dengan bujukan ini. “Mau jadi sekuat Popeye? Makan bayam ya.” Bayam memang mengandung zat besi. Dan bayam adalah makanan kesukaan Popeye, rahasia kekuatan supernya. Maka, bertahun lamanya kita hidup dalam lingkaran mitos: bayam mengandung zat besi—makan sayur bayam bikin kita sekuat Popeye. Siapa nyana, serial kartun Popeye divonis berbahaya oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), 19 Agustus lalu. Yang berbahaya bukan saja adegan kekerasan dalam serial tersebut, tetapi juga penggambaran relasi antara laki-laki dan perempuan yang dimunculkan oleh karakter-karakter utama Popeye. Duh, ada apa dengan Popeye?

Kontroversi Popeye
Popeye selama ini dipuji-puji sebagai film yang banyak mengandung nilai positif. Pertama, soal makan bayam itu. Popeye mempromosikan manfaat sayur. Ibu-ibu yang memiliki balita merasa terbantu dengan adanya serial Popeye, karena mereka jadi punya alat untuk membujuk balitanya yang susah makan sayur. Kedua, Popeye menawarkan nilai-nilai heroisme: membela si lemah, melawan musuh yang zalim. Popeye berani, tidak kenal takut. Simbol heroisme ini semakin kental dengan seragam Popeye—seorang pelaut.
Tetapi, ternyata ada data dan tafsiran lain menyangkut Popeye, bayam, dan heroismenya. Popeye diciptakan oleh Elzie Crisler Segar pada tahun 1929—awalnya sebagai komik strip di harian King Features. Pada tahun 1933, dimulailah debut Popeye dalam dunia motion pictures. Popularitas Popeye terus bertahan hingga 1957. Masa-masa ketika Popeye berjaya, adalah masa-masa Amerika mengalami depresi, sekaligus perang dunia. Pengetatan ekonomi berlangsung di mana-mana. Ketika Perang Dunia II berlangsung, sumberdaya termasuk sumber pangan banyak diarahkan untuk keperluan perang. Daging, ikan, telur, dan lain-lain. Rakyat di dalam negeri, hanya mendapatkan ‘sisa’-nya. Ya, bayam itu. Serial Popeye membantu ‘membujuk’ rakyat Amerika agar mau ‘berkorban’ demi ‘kepentingan negara’. Popeye menjadi semacam alat propaganda pemerintah AS pada jamannya, agar rakyat tidak mengomel karena kekurangan makanan (berprotein). Tidak apa-apa makan bayam terus-terusan. Toh Popeye bisa jadi superhero karena makan bayam.
Mengapa bayam yang dipilih? Pertama, bayam mudah tumbuh di mana-mana, dan bisa dipanen dengan cepat. Kedua, mengutip hasil penelitian tahun-tahun itu, bayam disimpulkan memiliki kandungan zat besi paling tinggi dibanding sayuran lainnya. Maka, bayam dipilih untuk merepresentasikan kekuatan super. Belakangan, data itu ternyata salah. Kandungan zat besi bayam sama saja dengan sayur lainnya!

Kekerasan dan Relasi yang Mencemaskan
Kita terbahak-bahak melihat Popeye, kita terhibur dengan tingkah polah Popeye dan teman-temannya. Melalui Popeye, kita mendapatkan model tentang bagaimana semestinya seorang pahlawan berperan, bagaimana biang keladi kejahatan mesti ditumpas. Tapi, di sisi lain, Popeye membawa nilai-nilai yang cukup mencemaskan. Salah satunya adalah kandungan kekerasan yang cukup dominan.
Kekerasan muncul akibat konflik, dan konflik diperlukan untuk memamerkan kedigjayaan Popeye. Kalau tidak ada pertempuran dan baku hantam, bagaimana Popeye bisa tampak heroik? Popeye butuh panggung untuk mempertontonkan kekuatannya. Dan panggung itu adalah panggung kekerasan. Kekerasan menjadi jalan untuk menuntaskan masalah. Itulah salah satu yang diajarkan Popeye.
Bukankah setiap cerita butuh konflik? Konflik dapat memperlihatkan kontras antara baik dan buruk, serta memperlihatkan model perilaku yang diizinkan, atau sebaliknya. Benar. Tetapi, pelajaran macam apa yang bisa ditarik dari film berdurasi 20 menitan, di mana sebagian besar isinya adalah baku hantam dan kekerasan? Dalam salah satu episode Popeye, pelaku kekerasan bahkan karakter keponakan Olive, masih kecil dan imut-imut, tapi sangat keji. Ia mengerjai Popeye yang diminta Olive menjaga keponakannya. Intensitas kekerasan yang dilakukan si kecil ini cukup menyeramkan. Popeye dipanah, diseterika, dijepitkan ke pintu, ditusuk, dipukuli. Semua itu dilakukan si kecil dengan penuh suka cita—kekerasan menjadi hiburan baginya. Sementara Olive pergi shopping, pulang tertawa-tawa melihat Popeye babak belur dihajar keponakannya. Kita, penonton, begitu terhibur melihat kejadian itu. Bahkan, anak-anak diajak untuk menyaksikannya! Meminjam istilah Gerbner, begitulah cara kekerasan dikultivasi, atau ditanamkan ke dalam benak anak-anak. Begitulah anak belajar tentang norma dan dunianya—meminjam asumsi Social Learning Theory dari Albert F. Bandura.
Popeye juga mengandung ‘kekerasan’ relasi. Lihatlah bagaimana Olive pasangan Popeye (kadang istri, kadang pacar), bermanis-manis ketika Popeye ada. Kemudian, ketika Popeye pergi, adegan yang sama selalu berulang. Ada orang ketiga yang datang, siapa lagi kalau bukan Brutus (dalam naskah aslinya ternyata bernama Bluto). Entah siapa yang mulai duluan. Kadang-kadang Olive yang kegenitan menggoda Brutus. Seringnya sih Brutus, yang kalau sudah lelah menggoda, dicuekin, lantas menculik Olive. Bagi beberapa pihak, tindakan Brutus bukan sekadar penculikan, tetapi juga bisa ‘dibaca’ sebagai upaya pemerkosaan dan pemaksaan kehendak. Olive menjerit-jerit, Popeye datang dengan kekuatan supernya. Dan, ketika Popeye baku hantam dengan Brutus, maka Olive tertawa kegirangan, berseru-seru agar jagoannya menghajar lawan lebih keras lagi. Begitulah wujud relasi, aksi kekerasan, dan pelecehan yang dicemaskan KPI serta para aktivis melek media terhadap Popeye.

Pentingnya Media Literacy
Peringatan KPI tentang Popeye yang harus diwaspadai, bersama sederet acara lain untuk anak, membuat kita terhenyak. Penelusuran dan ‘pembacaan aktif’ terhadap Popeye membuat kita lebih tertegun lagi. Maka, apakah yang dapat dimaknai dari semua ini?
Pertama, penonton harus lebih kritis dan lebih waspada menghadapi muatan media. Apa yang tampaknya aman ternyata tidak demikian halnya. Program anak-anak juga tidak bisa dikatakan sepenuhnya bebas dari unsur-unsur yang tidak mendidik. Manakala nilai-nilai negatif dan antisosial lebih banyak atau lebih dominan daripada nilai positif dan prososialnya, maka sebuah program ‘layak’ dijauhi demi kepentingan penonton-penonton belia. Inilah tantangan yang terutama dihadapi orangtua, guru, serta pihak-pihak yang terkait dengan perkembangan anak.
Kedua, pemaknaan memang merupakan masalah yang subjektif. Setiap keluarga, setiap kepala, punya ruang makna dan membangun konstruksi makna yang berbeda-beda. Karena itu, apa yang tampaknya keras bagi satu pihak, belum tentu demikian halnya bagi yang lain. Kendati demikian, dalam memilihkan program aman untuk anak, kepentingan anak harus dijadikan sebagai acuan. Jangan jadikan kepentingan dan kepala orang dewasa sebagai rujukan utama. Sesuatu yang tidak bermasalah bagi orang dewasa, bisa jadi hal yang gawat buat anak-anak. Tentu saja, tidak pada tempatnya juga menjadi ekstrim dan anti-media. Tetapi, mengajarkan sesuatu ada tahapannya. Dan orangtua manapun tentu tidak ingin ‘kekerasan’ mampir secara vulgar ke dalam ruang keluarganya.
Ketiga, peringatan KPI terhadap acara TV yang bermasalah hendaknya menjadi momentum untuk menggencarkan media literacy di lingkungan kita. Media literacy, alias melek media, adalah kemampuan untuk berhadapan dengan media secara bijak. Persisnya, kemampuan untuk mengakses media, mengapresiasi pesan-pesan media, mengkritisi media, dan memanfaatkan muatan media demi kepentingan peningkatan kualitas kehidupan. Kita tidak bicara televisi saja, tapi juga semua media yang mengelilingi kita. Radio, buku, film, Internet, termasuk media hiburan elektronik seperti videogame. Seyogyanya, setiap orang yang berinteraksi dengan media, dibekali dengan skill media literacy, sehingga kehadiran media dan program-program yang dibawanya tidak membawa dampak negatif bagi dirinya mau pun lingkungannya.

Dimuat di HU Kompas Edisi Jawa Barat, Kamis 4 September 2008, rubrik Riungan subtitle Tontonan Anak.

Rabu, 20 Agustus 2008

Media Literacy, upaya membangun masyarakat kritis media

13 Mei 2008, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meminta masyarakat untuk mewaspadai 10 program acara yang dianggap bermasalah yang ditayangkan sembilan stasiun TV swasta nasional Indonesia. Program bermasalah itu adalah “Cinta Bunga” (SCTV), “Dangdut Mania Dadakan 2” (TPI), “Extravaganza” (TransTV), “Jelita” (RCTI), “Mask Rider Blade” (ANTV), “Mister Bego” (ANTV), “Namaku Mentari” (RCTI), “Rubiah” (TPI), “Si Entong” (TPI), dan “Super Seleb Show” (Indosiar). Untuk keduakalinya, 9 Juli lalu, KPI kembali mengumumkan 4 mata acara TV yang bermasalah. “Extravaganza” masih mendapat rapor merah karena untuk kedua kalinya masuk dalam daftar tersebut, diikuti komedi situasi “Suami-Suami Takut Istri”, kartun “One Piece” dan “Ngelenong Nyok”.

Apanya yang bermasalah? Macam-macam. Mulai dari sinetron yang mengumbar kekerasan fisik, kontes-kontesan yang menampilkan kekerasan verbal dalam bentuk ejekan melecehkan, sinetron anak yang mencampuradukkan ajaran agama dengan unsur mistik, sketsa komedi yang menampilkan lelucon berbau seks nan vulgar. Banyak program yang penayangannya tidak tepat waktu. Nyaris semua program bahkan tidak menampilkan klasifikasi acara sesuai dengan usia yang direkomendasikan bagi penontonnya.

Kita semua tahu ini, dan sudah sering keprihatinan akan dampak buruk TV menjadi bahan obrolan di antara kita. Sayang sekali, sebagian besar stasiun TV menanggapi pengumuman ini sambil lalu. Bahkan, General Manager Produksi PT Global Informasi Bermutu (Global TV) Irwan Hendarmin menyatakan, masyarakat memang gandrung pada acara-acara yang dibumbui kekerasan, kemewahan, dan mimpi harapan. Ya ampun, memangnya kita ini sebodoh dan sebiadab itu?

Pentingnya Media Literacy
Berharap pada stasiun TV agar memperbaiki tayangannya kelihatannya merupakan hal yang mustahil. Ada masalah rating, bisnis, dan terutama, kehendak untuk menjaring profit sebanyak mungkin. Maka, pilihan yang realistis adalah membekali penonton dengan keterampilan media literacy atau melek media.

Memiliki keterampilan media literacy, berarti: (1) Dapat menyeleksi jenis dan isi media yang dikonsumsi—sesuai dengan usia dan kebutuhannya; (2) Dapat mengatur kapan waktu mengonsumsi media dan membatasi jumlah jamnya; (3) Dapat memahami dan mengapresiasi isi pesan yang dikonsumsi; (4) Dapat mengambil manfaat dari isi media yang dikonsumsi (Potter, 2007). Tujuan utamanya adalah agar khalayak media tidak mudah terkena dampak negatif.

Aktivitas media literacy dapat diwujudkan dengan banyak cara. Di rumah, misalnya, orangtua dapat menerapkan media literacy dengan mengatur jadwal menonton televisi (cukup 2 jam saja sehari!), menyeleksi tayangan yang aman ditonton anak, dan lebih penting lagi, mendampingi anak menonton TV sambil mendiskusikan baik buruknya acara dan nilai-nilai yang bisa diteladani dari sebuah program. Di sekolah, guru dapat membantu dengan menyisipkan muatan media literacy dalam pelajaran sekolah. Beberapa inovasi kreatif yang dicapai oleh teman-teman guru sangat mengejutkan dan luarbiasa menarik. Supriyadi, seorang guru matematika SD di Malang, menyisipkan pendidikan media literacy dengan meminta anak-anak menghitung jarak aman menonton TV di dalam ruangan. Soal ini diikuti dengan pelajaran persentase—anak diminta menghitung persentase waktu yang dihabiskan untuk menonton TV dalam sehari!

Gerakan media literacy akan semakin sukses jika didukung oleh lingkungan sekitar. Beberapa wilayah di Jokja, Malang, Klaten, dan Solo memberlakukan aturan yang mewajibkan orangtua mematikan TV pada saat ujian sekolah. Tindakan ini tidak sia-sia, prestasi belajar anak meningkat pesat, nilai rapor tidak mengecewakan, angka kelulusan sangat menggembirakan. Beberapa dukuh Sleman dan Turi, di kawasan Jokja, hingga kini masih memberlakukan jam wajib belajar, yang berlangsung selepas maghrib hingga pukul 20.00. Dalam rentang waktu sekitar dua jam, setiap rumahtangga dihimbau agar mematikan televisi, sehingga anak bisa berkonsentrasi penuh untuk belajar. Orangtua, kalau tidak mendampingi anak belajar, diajak untuk bersosialisasi. Kalau masih ada yang nekad menyalakan TV di jam-jam tersebut, tetangga, atau aparat dukuh akan mengingatkan. Sungguh masyarakat yang sehat dan aman!


Hari Tanpa TV
Belakangan ini, mulai muncul upaya untuk menggiatkan media literacy dalam aksi berlingkup nasional. Sejak 2006, sejumlah aktivis media literacy mengadakan aksi Hari Tanpa TV (Turn Off TV Day). Aksi ini diwujudkan dengan himbauan untuk mematikan TV selama sehari pada hari yang dipilih sebagai Hari Tanpa TV, kemudian menggantikan nonton TV dengan kegiatan edukatif lain. Misalnya, bermain, berkebun, membaca buku, rekreasi ke luar rumah, bahkan memasak bersama keluarga!

Aksi ini punya makna ganda. Pertama, menyadarkan publik bahwa menonton TV itu tidak wajib, melainkan sebuah pilihan. Jadi, kalau tidak ada acara yang bagus dan aman ditonton, jangan ragu untuk mematikan televisi! Ganti saja dengan kegiatan lain yang bermanfaat. Kedua, aksi ini menjadi semacam sarana pengungkapan pesan kepada industri TV khususnya, dan bisnis media lain pada umumnya, agar lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang tidak mau lagi disuguhi program-program tak bermutu. Sesungguhnya, media tidak takut pada apapun. Yang mereka takutkan hanyalah khalayak sebagai konsumen program mereka. Bila khalayak minta produk ditarik atau diganti, apalagi sampai memboikot bersama, maka dengan segera produsen—dalam hal ini adalah stasiun televisi—akan segera melakukan perubahan.

Banyak orang mengelirukan kegiatan media literacy sebagai gerakan anti media. Aksi Hari Tanpa TV (Turn Off TV Day) atau Pekan Tanpa TV (Turn Off TV Week) bahkan sering dicap sebagai gerakan anti-televisi. Salah. Aktivitas semacam ini pada dasarnya adalah mengembalikan fungsi media sebagai sumber belajar yang bermanfaat. Jadi, dalam aksi semacam ini, bukan hanya program TV yang buruk saja yang dihimbau agar tidak ditonton. Program TV yang bagus akan direkomendasikan agar ditonton.

It takes a village to raise a child, tutur Hillary Clinton. Membesarkan anak adalah tugas warga sekampung. Maka, dalam kaitannya dengan media literacy, semua harus berperan aktif guna menciptakan lingkungan yang aman bagi anak, dan bebas dari pengaruh buruk media. Hari Tanpa TV 2008 akan jatuh pada hari Minggu, 20 Juli 2008. Masih tersedia cukup waktu, lho, untuk merencanakan apa yang akan dilakukan bersama keluarga guna mengisi waktu ketika TV tidak dinyalakan seharian selama hari itu! (000)



Dimuat di HU Pikiran Rakyat, 9 Juli 2008

Media Literacy, upaya membangun masyarakat kritis media

13 Mei 2008, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meminta masyarakat untuk mewaspadai 10 program acara yang dianggap bermasalah yang ditayangkan sembilan stasiun TV swasta nasional Indonesia. Program bermasalah itu adalah “Cinta Bunga” (SCTV), “Dangdut Mania Dadakan 2” (TPI), “Extravaganza” (TransTV), “Jelita” (RCTI), “Mask Rider Blade” (ANTV), “Mister Bego” (ANTV), “Namaku Mentari” (RCTI), “Rubiah” (TPI), “Si Entong” (TPI), dan “Super Seleb Show” (Indosiar). Untuk keduakalinya, 9 Juli lalu, KPI kembali mengumumkan 4 mata acara TV yang bermasalah. “Extravaganza” masih mendapat rapor merah karena untuk kedua kalinya masuk dalam daftar tersebut, diikuti komedi situasi “Suami-Suami Takut Istri”, kartun “One Piece” dan “Ngelenong Nyok”.

Apanya yang bermasalah? Macam-macam. Mulai dari sinetron yang mengumbar kekerasan fisik, kontes-kontesan yang menampilkan kekerasan verbal dalam bentuk ejekan melecehkan, sinetron anak yang mencampuradukkan ajaran agama dengan unsur mistik, sketsa komedi yang menampilkan lelucon berbau seks nan vulgar. Banyak program yang penayangannya tidak tepat waktu. Nyaris semua program bahkan tidak menampilkan klasifikasi acara sesuai dengan usia yang direkomendasikan bagi penontonnya.

Kita semua tahu ini, dan sudah sering keprihatinan akan dampak buruk TV menjadi bahan obrolan di antara kita. Sayang sekali, sebagian besar stasiun TV menanggapi pengumuman ini sambil lalu. Bahkan, General Manager Produksi PT Global Informasi Bermutu (Global TV) Irwan Hendarmin menyatakan, masyarakat memang gandrung pada acara-acara yang dibumbui kekerasan, kemewahan, dan mimpi harapan. Ya ampun, memangnya kita ini sebodoh dan sebiadab itu?

Pentingnya Media Literacy
Berharap pada stasiun TV agar memperbaiki tayangannya kelihatannya merupakan hal yang mustahil. Ada masalah rating, bisnis, dan terutama, kehendak untuk menjaring profit sebanyak mungkin. Maka, pilihan yang realistis adalah membekali penonton dengan keterampilan media literacy atau melek media.

Memiliki keterampilan media literacy, berarti: (1) Dapat menyeleksi jenis dan isi media yang dikonsumsi—sesuai dengan usia dan kebutuhannya; (2) Dapat mengatur kapan waktu mengonsumsi media dan membatasi jumlah jamnya; (3) Dapat memahami dan mengapresiasi isi pesan yang dikonsumsi; (4) Dapat mengambil manfaat dari isi media yang dikonsumsi (Potter, 2007). Tujuan utamanya adalah agar khalayak media tidak mudah terkena dampak negatif.

Aktivitas media literacy dapat diwujudkan dengan banyak cara. Di rumah, misalnya, orangtua dapat menerapkan media literacy dengan mengatur jadwal menonton televisi (cukup 2 jam saja sehari!), menyeleksi tayangan yang aman ditonton anak, dan lebih penting lagi, mendampingi anak menonton TV sambil mendiskusikan baik buruknya acara dan nilai-nilai yang bisa diteladani dari sebuah program. Di sekolah, guru dapat membantu dengan menyisipkan muatan media literacy dalam pelajaran sekolah. Beberapa inovasi kreatif yang dicapai oleh teman-teman guru sangat mengejutkan dan luarbiasa menarik. Supriyadi, seorang guru matematika SD di Malang, menyisipkan pendidikan media literacy dengan meminta anak-anak menghitung jarak aman menonton TV di dalam ruangan. Soal ini diikuti dengan pelajaran persentase—anak diminta menghitung persentase waktu yang dihabiskan untuk menonton TV dalam sehari!

Gerakan media literacy akan semakin sukses jika didukung oleh lingkungan sekitar. Beberapa wilayah di Jokja, Malang, Klaten, dan Solo memberlakukan aturan yang mewajibkan orangtua mematikan TV pada saat ujian sekolah. Tindakan ini tidak sia-sia, prestasi belajar anak meningkat pesat, nilai rapor tidak mengecewakan, angka kelulusan sangat menggembirakan. Beberapa dukuh Sleman dan Turi, di kawasan Jokja, hingga kini masih memberlakukan jam wajib belajar, yang berlangsung selepas maghrib hingga pukul 20.00. Dalam rentang waktu sekitar dua jam, setiap rumahtangga dihimbau agar mematikan televisi, sehingga anak bisa berkonsentrasi penuh untuk belajar. Orangtua, kalau tidak mendampingi anak belajar, diajak untuk bersosialisasi. Kalau masih ada yang nekad menyalakan TV di jam-jam tersebut, tetangga, atau aparat dukuh akan mengingatkan. Sungguh masyarakat yang sehat dan aman!


Hari Tanpa TV
Belakangan ini, mulai muncul upaya untuk menggiatkan media literacy dalam aksi berlingkup nasional. Sejak 2006, sejumlah aktivis media literacy mengadakan aksi Hari Tanpa TV (Turn Off TV Day). Aksi ini diwujudkan dengan himbauan untuk mematikan TV selama sehari pada hari yang dipilih sebagai Hari Tanpa TV, kemudian menggantikan nonton TV dengan kegiatan edukatif lain. Misalnya, bermain, berkebun, membaca buku, rekreasi ke luar rumah, bahkan memasak bersama keluarga!

Aksi ini punya makna ganda. Pertama, menyadarkan publik bahwa menonton TV itu tidak wajib, melainkan sebuah pilihan. Jadi, kalau tidak ada acara yang bagus dan aman ditonton, jangan ragu untuk mematikan televisi! Ganti saja dengan kegiatan lain yang bermanfaat. Kedua, aksi ini menjadi semacam sarana pengungkapan pesan kepada industri TV khususnya, dan bisnis media lain pada umumnya, agar lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang tidak mau lagi disuguhi program-program tak bermutu. Sesungguhnya, media tidak takut pada apapun. Yang mereka takutkan hanyalah khalayak sebagai konsumen program mereka. Bila khalayak minta produk ditarik atau diganti, apalagi sampai memboikot bersama, maka dengan segera produsen—dalam hal ini adalah stasiun televisi—akan segera melakukan perubahan.

Banyak orang mengelirukan kegiatan media literacy sebagai gerakan anti media. Aksi Hari Tanpa TV (Turn Off TV Day) atau Pekan Tanpa TV (Turn Off TV Week) bahkan sering dicap sebagai gerakan anti-televisi. Salah. Aktivitas semacam ini pada dasarnya adalah mengembalikan fungsi media sebagai sumber belajar yang bermanfaat. Jadi, dalam aksi semacam ini, bukan hanya program TV yang buruk saja yang dihimbau agar tidak ditonton. Program TV yang bagus akan direkomendasikan agar ditonton.

It takes a village to raise a child, tutur Hillary Clinton. Membesarkan anak adalah tugas warga sekampung. Maka, dalam kaitannya dengan media literacy, semua harus berperan aktif guna menciptakan lingkungan yang aman bagi anak, dan bebas dari pengaruh buruk media. Hari Tanpa TV 2008 akan jatuh pada hari Minggu, 20 Juli 2008. Masih tersedia cukup waktu, lho, untuk merencanakan apa yang akan dilakukan bersama keluarga guna mengisi waktu ketika TV tidak dinyalakan seharian selama hari itu! (000)

Dimuat di HU Pikiran Rakyat, 9 Juli 2008

MENGGAGAS MEDIA LITERACY BERBASIS KAMPUS

Industri TV, tak pelak lagi, merupakan salah satu yang paling berkembang saat ini. Modalnya memang besar, tetapi peluang pendapatannya—terlebih lewat iklan—sungguh menggiurkan. Tak heran jika banyak pihak berminat untuk menerjuni bisnis ini. Sayangnya, maraknya stasiun TV, banyaknya program yang disajikan, dan berjubelnya lulusan studi komunikasi di tempat ini, tidak berbanding lurus dengan kualitas program yang ditawarkan.

Sudah dua kali Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dalam kurun waktu Mei-Juli 2008, mengeluarkan daftar program TV bermasalah yang mesti diwaspadai oleh masyarakat. Beberapa program populer, dari berbagai jenis, masuk dalam kategori tersebut. Sinetron “Cinta Bunga” (SCTV), sketsa komedi “Extravaganza” (Trans), kontes “Super Seleb Show” (Indosiar), misalnya, adalah program-program yang ratingnya tinggi, namun mendapat rapor merah KPI. Bahkan, program anak pun tak luput dari teguran KPI. Serial “Si Entong”, misalnya, mengandung unsur penyesatan agama dengan mistik. Serial “Namaku Mentari” menanamkan nilai-nilai yang berbahaya, seperti ‘menghalalkan pencurian’ dengan alasan akan diganti ketika ‘sudah kaya’.

Data ini memang mengejutkan masyarakat, apalagi yang tingkat media literacy atau melek medianya masih rendah, seperti khalayak media di Indonesia. Semestinya, data ini juga melecut studi ilmu komunikasi, yang bejibun banyaknya di tanah air. Sudah begitu banyak lulusan studi ilmu komunikasi yang dihasilkan, dan sebagian besar berkutat di media. Namun, mengapa wajah TV justru semakin tidak ramah pada penontonnya? Mengapa gejala ‘kekerasan media’ justru kian banyak terjadi ketika studi ilmu komunikasi booming? Kemana saja lulusan studi komunikasi, dan, apa saja sih sesungguhnya yang diajarkan di program studi ini selain kemampuan memproduksi acara dan mengoperasionalkan alat?

Media Literacy Sebagai Solusi
Seperti Dewa Janus dalam mitologi Yunani, media pada dasarnya memiliki dua wajah: positif dan negatif. Dalam bentuknya yang positif, media menjadi sumber informasi dan pembelajaran yang bermanfaat. Dalam bentuknya yang negatif, media menjadi semacam Kotak Pandora yang mengekspos khalayak pada ‘penyakit-penyakit baru’: kecanduan nonton, bias realitas, penanaman nilai-nilai buruk, dan sebagainya. Tantangan hidup di zaman serba media seperti sekarang ini adalah bagaimana memanfaatkan media sebaik-baiknya, dan terhindar dari pengaruh buruk media. Inilah media literacy—ihwal bagaimana bersiasat menghadapi media secara cerdas dan kritis.

Media literacy merupakan semacam skill untuk mengakses, memilih, memilah, mengkritisi, dan memanfaatkan media sesuai dengan kebutuhannya. Jika diandaikan media saat ini tengah menjadi virus, maka media literacy akan menjadi antivirusnya. Berbekal kemampuan media literacy, masyarakat dapat terhindar dari efek negatif media.

Idealnya, media literacy diajarkan sejak manusia berhadapan dengan media. Sehingga, dampak buruk media dapat dicegah sedari dini. Itu sebabnya, gerakan media literacy meluas ke banyak lapisan. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, media literacy menjadi tanggungjawab badan regulasi penyiaran/media massa dan departemen yang mengurusi informasi, komunikasi, dan media massa. Jepang dan Kanada mengambil langkah yang lebih serius: memasukkan media literacy sebagai bagian dari kurikulum wajib sekolah dasar dan menengah. Untuk menjaga misi media literacy, Kanada bahkan mengeluarkan kebijakan sertifikasi khusus bagi trainer media literacy. Yang jelas, nyaris di setiap negara, media literacy menjadi isu Departemen Pendidikan.
Media Literacy berbasis kampus
Program studi ilmu komunikasi sesungguhnya bukan hanya lembaga yang mengajarkan seluk-beluk komunikasi. Lebih dari itu, program studi ilmu komunikasi adalah gudangnya sumberdaya manusia yang menguasai isu-isu komunikasi—termasuk, mestinya, memahami isu media literacy. Karena itu, inisiatif menggagas media literacy wajar kiranya jika diharapkan muncul dari kalangan kampus komunikasi.

Media literacy berbasis kampus bisa diwujudkan dalam banyak cara. Misalnya, menggagas muatan media literacy dalam kurikulum. Bentuknya bisa terintegrasi ke dalam mata kuliah, menjadi sisipan mata kuliah yang relevan. Cara ini ditempuh oleh sejumlah perguruan tinggi. Atau, media literacy dijadikan mata kuliah tersendiri.

Perubahan atau modifikasi kurikulum memang tidak mudah. Ini masalah struktural yang prosedurnya sangat birokratis. Tetapi, ada ruang muatan lokal dalam bangun kurikulum yang bisa disiasati. Capaiannya memang berbeda. Jika media literacy menjadi sisipan, yang bisa diberikan sebatas pemahaman dasar yang relevan dengan mata kuliah induknya. Jika dijadikan mata kuliah tersendiri, media literacy bisa dieksplorasi lebih komprehensif, mencakup teori dan—yang lebih penting—terjun langsung dalam aktivitas media literacy.

Memasukkan media literacy ke dalam struktur kurikulum akan menambah legitimasi formal bagi muatan media literacy. Namun, jika pun ini tidak memungkinkan, media literacy bisa dijadikan salah satu alternatif Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Lewat kegiatan ekstrakampus semacam ini, mahasiswa diajak untuk mencermati persoalan riil dalam interaksi antara masyarakat awam dengan media yang powerful. Mereka belajar menjadi peka terhadap masalah lingkungan, dan menambah pengalaman dengan terjun langsung ke tengah masyarakat untuk membangun skill media literacy di tengah publik. Manfaatnya bukan hanya pada masyarakat, tetapi juga pada dirinya sendiri. Dengan menjadi aktivis media literacy, mahasiswa mendapat kesempatan untuk menerapkan hal-hal terbaik yang mereka peroleh dari masa belajarnya di program studi ilmu komunikasi.

Bagi para dosen sendiri, muatan media literacy dapat saling menunjang dengan unsur-unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pertama, advokasi media literacy dapat dimasukkan dalam area pengabdian masyarakat yang merupakan salah satu pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kedua, kegiatan ini dapat ditunjang oleh dharma lainnya, yaitu riset atau penelitian, dalam bentuk kajian media sebagai bagian mediawatch.

Kesimpulannya, sesungguhnya ada banyak pintu masuk untuk menggagas aktivitas media literacy berbasis kampus. Semuanya kini tinggal berpulang pada program studi ilmu komunikasi sendiri dan civitas academica-nya. Setelah selama ini membangun komitmen setia pada industri media massa dengan melatih tenaga kerja trampil, bersediakah kini studi komunikasi memberikan komitmen nyata pada masyarakat lewat advokasi media literacy? Apabila himbauan ini tidak bersambut, sayang sekali. Jangan-jangan, yang harus disadarkan terlebih dulu ihwal pentingnya media literacy bukanlah masyarakat. Melainkan, seperti dinyatakan penyair-cum-pengamat sosial Hikmat Gumelar, justru kalangan civitas academica studi komunikasi sendiri... (000)

Dimuat di HU Pikiran Rakyat, 9 Juli 2008