Rabu, 28 November 2007

ANTARA ANDREA DAN FADJROEL:

ANTARA ANDREA DAN FADJROEL:
SEBUAH SORE YANG HANGAT DI POJOK GRAMEDIA FAIR

Rabu, 28 November 2007, menjadi hari yang hectic buat saya. Seperti biasa, hari saya dimulai dengan menjadi ibu sekaligus tukang ojek—mengantar anak-anak ke sekolah. Beres ngojek, saya memacu motor ke kampus—ada serah terima jabatan dan janjian dengan mahasiswa buat bimbingan. Siangnya, saya punya dua undangan: menghadiri talk show Andrea Hirata dan Ibu Muslimah dengan topik ‘Nobility of Teaching’, sorenya, menjumpai Endah Sulwesi, seorang sahabat penggila buku dalam diskusi buku Fadjroel Rachman.

Yang ingin saya ceritakan adalah dua acara publik yang saya hadiri. Acara Andrea Hirata dihadiri tak kurang dari 1500 pengunjung—demikian klaim panitia. Sebagian besar adalah guru, yang mendapatkan undangan dari PT Telkom untuk mendapatkan buku Andrea Hirata-Laskar Pelangi-gratis, sambil berbincang dengan Ibu Muslimah. Ini acara yang hangar-bingar dan membuat saya semakin hectic. Hectic-nya saya bertambah melihat Andrea dikejar-kejar fans-nya. Begitu histerisnya fans-fans Andrea sampai-sampai mbak Nunny dari Mizan terpaksa jadi tameng sasaran cubitan dan ‘gebukan’ fans Andrea yang gemas karena gagal mendapatkan tandatangan sang Pemimpi. Saya pasang badan untuk memisahkan fans yang histeris dan mbak Nunny yang ‘terguncang’—hehe, Andrea ini sudah punya groupies yang fanatik, rupanya.

Di acara itu, saya senang sekali mendengarkan wejangan dari Bu Muslimah, dan hikmah dari Mas Haidar Bagir—dua tokoh pendidikan yang saya kagumi. Sayang, karena harus masuk kelas dulu, saya datang terlambat sehingga terlewat sesi Andrea, kecuali pada saat tanya jawab. Mbak Tutuk membawakan acara ini dengan bagus. Tapi acara ini secara pribadi terasa tidak menyejukkan karena begitu besar dan megah. Terbentang jarak yang semakin jauh saja terbentang dengan Andrea—ah, ini mungkin perasaan sentimentil saya saja.

Sorenya, saya mendapatkan pengobat hectic yang manis. Acaranya adalah launching sekaligus diskusi buku Fadjroel Rachman, Bulan Jingga Dalam Kepala. Sebuah novel pergerakan, ceritanya. Bukan novelnya yang bikin seru, novel pergerakan ya begitulah ceritanya.... Tapi, momennya itu yang asyik. Kecil, intim, hangat, bersahabat. Semua berinteraksi, bersentuhan. Seperti datang ke kumpul-kumpul arisan dengan kawan-kawan lama. Ada kopi, ada kursi melingkar berdekatan, ada gosip disebarluaskan, ada kenangan lama yang diungkit kembali, ada ledek-ledekan yang menghangatkan suasana, ada lagu-lagu Mukti yang kocak tapi romantis mengalir... saya merasa segar, refresh, rejuvenate. Inilah momen diskusi buku yang nglangut dan ngangeni.

Begitu datang di acara yang sudah setengah jam berlangsung (kali ini telat karena hujan lebat!), kang Andar Manik melambai. Om-om keren ini, dunia nggak pernah perang kalau melihat senyumnya. Sebagai ahli mediasi konflik, kang Andar pantas menyandang aura juru damai karena kehadiran dan keramahannya senantiasa tulus, membuat hati ini nyaman. Seketika juga saya merasa feels at home melihat jajaran narasumber di kursi depan: Hikmah sang Presiden Jatinangor dari Kelompok Diskusi Nalar yang serius-melankolis-tapi-garang (hehe!), kang Jamal yang asa serius tapi lebih sukses ngabodor, mas Kef yang selalu romantis, teh Safrina Noorman—doktor linguistik UPI—yang cerdas, bersahaja, dan teteh-teteh idolaku pisaaaan.... lalu di jajaran hadirin diskusi ada mbak Senny Alwasilah yang aduhduh nggak pernah ada tuanya (dan nggak ada duanya, ya pak Chaedar?), Endah yang jail, saya sangat surprise bertemu dengan bu Yani Lukmayani dari Fakultas MIPA Unisba (Farmasi) di forum itu—orangnya pendiam, so dedicated, tapi ramah dan lembut, sementara Fadjroel sendiri jalan-jalan di antara kami, menyalami, menyapa, meledek—sama sekali tak ada jarak terbentang. Groupies-nya Fadjroel, ya kami-kami ini, hehe. Memuja sekaligus meledek sang bintang habis-habisan. Inilah momen yang bikin saya nggak pengen pulang.

Membandingkan dua momen diskusi tadi, saya akhirnya disadarkan kalau diri ini sudah tua rupanya, jadi tampaknya sudah tidak nyaman lagi dengan segala sesuatu yang hingar-bingar. Mal, diskotik, pub, foodcourt, dan megaresto tidak menarik lagi, lebih asyik kongkow-kongkow di warung kopi. Begitulah, momen-momen yang kecil lebih menarik tampaknya, karena di situ saya bisa berinteraksi dengan intens tanpa topeng dengan sepenuh kejujuran. Otentisitas saya muncul, terbentuk, dan terlindungi. Dan saya bahagia dengan itu (terimakasih, Allah).

Popularitas, atas nama apapun, memang candu. Kalangan atas, jet-set, khalayak, lampu sorot, dan panggung, benar-benar racun, kalau kita tidak kuat mental, tidak tahan banting. Yang dikorbankan adalah diri kita sendiri, dan itu mahal tak tergantikan. Saya tiba-tiba teringat riwayat beberapa selebritis dunia yang memilih untuk lari menyepi dari kerumunan, sekuat tenaga meredam popularitasnya. Johnny Depp yang memutuskan tinggal di Prancis, Pearl Jam yang menghilang setahun, pasangan Brad Pitt-Angelina Jolie yang pindah-pindah keliling dunia (mostly third world countries!), Madonna yang hijrah ke Inggris, atau sekalian saja Marlon Brando yang mengambil jalan superekstrim dengan ‘menjelekkan penampilan’, dan memilih berpeluh di tengah ambisi mengubah padang pasir menjadi padang rumput. Kalau para pemburu infotainment menyebutnya sebagai sensasi, maka analisis psikolog selebriti dan stardomnya menyebutkan, inilah upaya para seleb untuk mempertahankan identitas, karena tak ingin kehilangan otentisitas, kemanusiaannya, dan jenuh dengan pemujaan fansnya. Andrea sudah jadi bintang. Tapi saya berharap, mudah-mudahan, Andrea di tengah kesibukan roadshow-nya, masih punya waktu untuk dirinya, untuk hal-hal kecil dan personal, demi mempertahankan otentisitas dan jatidirinya. Bagaimana pun, he’s somebody really worthed to take care about....:)

0 komentar: