Selasa, 25 Desember 2012

Kita, Media, Dan Anak-Anak


Anak-anak masa kini hidup dalam kepungan media. Mereka menghabiskan waktu 6.5 jam sehari dengan media. Senin hingga Jumat. Pada saat weekend, jumlahnya semakin meningkat. Dari keseluruhan waktu yang dihabiskan di depan media, seperempatnya dihabiskan anak-anak muda di depan lebih dari satu media (misalnya, membaca teks sekaligus mendengarkan music). Karena itu, kalau jam dobel ini dijumlahkan, maka total waktu yang dihabiskan di depan media jumlahnya 8.5 jam!
Lantas, media apa saja yang ‘menyentuh’ mereka? TV dan musik adalah yang paling utama. Dalam soal nonton TV, anak-anak kita menghabiskan waktu sepanjang 3.5 jam, atau nyaris empat jam kalau ditambah dengan video dan DVD. 1 jam 44 menit rata-rata untuk menyimak music, entah itu melalui radio, MP3 player, atau handphone. Satu jam rata-rata di depan computer untuk mengerjakan sesuatu yang bukan pekerjaan rumah, sekitar sejam lagi untuk main game! Membaca hanya dapat porsi 43 menit saja sehari—di luar sekolah.
Oke. Kalau rata-rata waktu anak habis untuk bersentuhan dengan media, maka, berapa lama waktu yang dihabiskan anak untuk bersekolah? Data UNICEF (1997, diperbaharui 2007) memperlihatkan, jumlah jam sekolah tidak lebih dari 1100 jam per tahun. Sementara, jumlah jam menonton TV dua kali lipatnya. Bisakah Anda bayangkan betapa njomplangnya kebiasaan bersekolah dengan kebiasaan bermedia?
Sekarang, mari kita bandingkan dengan aktivitas anak lainnya. Kalau 6.5 jam sudah dihabiskan untuk media, maka 2 seperempat jam rata-rata dihabiskan untuk hanging out dengan orangtua, nyaris 1.5 jam untuk aktivitas fisik sehari-hari, 50 menit atau di bawah satu jam untuk mengerjakan pekerjaan rumah, dan cukup 32 menit saja untuk membantu pekerjaan rumah sehari-hari.
Lantas, apa yang disaksikan anak di media? Apa yang mereka dapatkan di sana? Saya persilakan Anda mengecek sendiri lagu-lagu yang beredar di sekitar anak-anak, film yang mereka tonton, acara-acara yang ada di layar kaca, game-game yang mereka mainkan, situs-situs internet yang berpotensi mereka akses, sampai ke film kartun yang mereka gemari. Berapa banyak yang diperuntukkan buat anak? Berapa banyak yang mendidik? Berapa banyak yang dipenuhi adegan kekerasan? Berapa banyak unsur humor dan komedinya, yang memang cocok buat mereka? Berapa banyak yang bersih dari unsur-unsur bernuansa erotisme dan sensualitas? Berapa banyak iklan yang sudah mendidik mereka—anak-anak kita—sebagai calon konsumen di masa depan?
Bapak dan Ibu yang saya sayangi, apakah fakta-fakta dan temuan-temuan tersebut meresahkan Anda? Kalau ya, dan saya harapkan memang jawabannya adalah YA, maka, kita perlu duduk bersama untuk mendiskusikan permasalahan tersebut, serta mencari jalan keluarnya.  Media massa memang menyumbangkan kemajuan yang sangat bernilai, tiada tara. Informasi, pendidikan, berita, hiburan… semua itu sungguh luarbiasa. Tetapi, media juga ‘mencabut’ hal-hal yang dulunya menyatukan kita dan menghias masa kecil kita dengan nilai-nilai dan kenangan yang indah: makan bersama di ruang makan, liburan dan beraktivitas di alam bebas, ngobrol dan curhat, menyanyikan lagu-lagu daerah, lagu nasional, lagu anak-anak, main pasaran dan masak-masakan, mengobrak-abrik dapur dan kebun dengan tanah dan lumpur—sebuah kreativitas yang luarbiasa …
Layaknya koin berkeping dua: ada yang positif, ada yang negatif. Demikian pula yang namanya media. Yang positif tentu perlu kita pertahankan. Yang negatif, harus ditinggalkan. Tapi, positif itu yang bagaimana? Negatif itu seperti apa? Dan, bagaimanamengajari anak-anak kita agar meninggalkan yang negatif demi yang positif? Nah, itulah inti dari media literacy—sebuah skill atau keterampilan untuk menggunakan media semaksimal mungkin guna mencerdaskan kita, mengangkat harkat dan martabat kita, bukannya untuk membodohi kita, dan meninabobokkan serta mencekoki kita (pun anak-anak kita) dengan kandungan atau isi media yang buruk dan tidak edukatif.
Media literacy, dalam praktiknya, membekali audiens atau khalayak media agar:
      Dapat menyeleksi jenis dan isi media yang dikonsumsi—sesuai dengan usia dan kebutuhannya.
      Dapat mengatur kapan waktu mengonsumsi media dan membatasi jumlah jamnya.
      Dapat memahami dan mengapresiasi isi pesan yang dikonsumsi.
      Dapat mengambil manfaat dari isi media yang dikonsumsi.
      Tidak mudah terkena dampak negatif.
Media literacy hakikatnya diperkenalkan sejak manusia bersentuhan dengan media. Berhadapan dengan media tidak cukup hanya punya kemampuan untuk turning off dan turning on, alias menghidupkan dan menyalakan medianya saja. Tanpa kemampuan media literacy, kita tidak lebih menjadi budak media, budak remote control, dan lebih gawat lagi, korban efek negative media.
Orangtua jaman sekarang memiliki tantangan berat. Demikian pula sekolah, lingkungan, masyarakat, kementerian pendidikan, dan Negara pada umumnya. Anak-anak kita akan menjadi digital natives yang sehari-harinya tidak akan pernah lepas berhadapan dengan media. Menjadi tugas kita semua untuk memahami bagaimana media berfungsi semestinya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita dapat memandu putera-putera kita, dan menyiapkannya menjadi orang yang bertanggungjawab dengan media yang dipegangnya. Untuk itu, kita tidak harus tahu bagaimana cara merakit computer, memperbaiki HP, mengetahui lalu lintas protocol internet, dan sebagainya. TIDAK. Yang harus kita lakukan adalah memahami media literacy, dan menerapkannya untuk anak-anak kita di rumah, di sekolah, di manapun…. (000)

*Artikel ini dipublikasikan dalam buletin Semipalar, 2011

0 komentar: