Anak-anak masa kini hidup dalam
kepungan media. Mereka menghabiskan waktu 6.5 jam sehari dengan media. Senin
hingga Jumat. Pada saat weekend, jumlahnya semakin meningkat. Dari keseluruhan
waktu yang dihabiskan di depan media, seperempatnya dihabiskan anak-anak muda
di depan lebih dari satu media (misalnya, membaca teks sekaligus mendengarkan
music). Karena itu, kalau jam dobel ini dijumlahkan, maka total waktu yang
dihabiskan di depan media jumlahnya 8.5 jam!
Lantas, media apa saja yang
‘menyentuh’ mereka? TV dan musik adalah yang paling utama. Dalam soal nonton
TV, anak-anak kita menghabiskan waktu sepanjang 3.5 jam, atau nyaris empat jam
kalau ditambah dengan video dan DVD. 1 jam 44 menit rata-rata untuk menyimak
music, entah itu melalui radio, MP3 player, atau handphone. Satu jam rata-rata
di depan computer untuk mengerjakan sesuatu yang bukan pekerjaan rumah, sekitar sejam lagi
untuk main game! Membaca hanya dapat porsi 43 menit saja sehari—di luar
sekolah.
Oke. Kalau rata-rata waktu anak
habis untuk bersentuhan dengan media, maka, berapa lama waktu yang dihabiskan
anak untuk bersekolah? Data UNICEF (1997, diperbaharui 2007) memperlihatkan,
jumlah jam sekolah tidak lebih dari 1100 jam per tahun. Sementara, jumlah jam
menonton TV dua kali lipatnya. Bisakah Anda bayangkan betapa njomplangnya kebiasaan
bersekolah dengan kebiasaan bermedia?
Sekarang, mari kita bandingkan
dengan aktivitas anak lainnya. Kalau 6.5 jam sudah dihabiskan untuk media, maka
2 seperempat jam rata-rata dihabiskan untuk hanging
out dengan orangtua, nyaris
1.5 jam untuk aktivitas fisik sehari-hari, 50 menit atau di bawah satu jam
untuk mengerjakan pekerjaan rumah, dan cukup 32 menit saja untuk membantu
pekerjaan rumah sehari-hari.
Lantas, apa yang disaksikan anak di
media? Apa yang mereka dapatkan di sana? Saya persilakan Anda mengecek sendiri
lagu-lagu yang beredar di sekitar anak-anak, film yang mereka tonton,
acara-acara yang ada di layar kaca, game-game yang mereka mainkan, situs-situs
internet yang berpotensi mereka akses, sampai ke film kartun yang mereka
gemari. Berapa banyak yang diperuntukkan buat anak? Berapa banyak yang
mendidik? Berapa banyak yang dipenuhi adegan kekerasan? Berapa banyak unsur
humor dan komedinya, yang memang cocok buat mereka? Berapa banyak yang bersih
dari unsur-unsur bernuansa erotisme dan sensualitas? Berapa banyak iklan yang
sudah mendidik mereka—anak-anak kita—sebagai calon konsumen di masa depan?
Bapak dan Ibu yang saya sayangi,
apakah fakta-fakta dan temuan-temuan tersebut meresahkan Anda? Kalau ya, dan
saya harapkan memang jawabannya adalah YA, maka, kita perlu duduk bersama untuk
mendiskusikan permasalahan tersebut, serta mencari jalan keluarnya. Media massa memang menyumbangkan
kemajuan yang sangat bernilai, tiada tara. Informasi, pendidikan, berita,
hiburan… semua itu sungguh luarbiasa. Tetapi, media juga ‘mencabut’ hal-hal
yang dulunya menyatukan kita dan menghias masa kecil kita dengan nilai-nilai
dan kenangan yang indah: makan bersama di ruang makan, liburan dan beraktivitas
di alam bebas, ngobrol dan curhat, menyanyikan lagu-lagu daerah, lagu
nasional, lagu anak-anak, main pasaran dan masak-masakan, mengobrak-abrik dapur
dan kebun dengan tanah dan lumpur—sebuah kreativitas yang luarbiasa …
Layaknya koin berkeping dua: ada
yang positif, ada yang negatif. Demikian pula yang namanya media. Yang positif
tentu perlu kita pertahankan. Yang negatif, harus ditinggalkan. Tapi, positif
itu yang bagaimana? Negatif itu seperti apa? Dan, bagaimanamengajari anak-anak
kita agar meninggalkan yang negatif demi yang positif? Nah, itulah inti dari media literacy—sebuah skill
atau keterampilan untuk menggunakan media semaksimal mungkin guna mencerdaskan
kita, mengangkat harkat dan martabat kita, bukannya untuk membodohi kita, dan
meninabobokkan serta mencekoki kita (pun anak-anak kita) dengan kandungan atau
isi media yang buruk dan tidak edukatif.
Media literacy, dalam praktiknya,
membekali audiens atau khalayak media agar:
• Dapat menyeleksi jenis dan isi media
yang dikonsumsi—sesuai dengan usia dan kebutuhannya.
• Dapat mengatur kapan waktu mengonsumsi
media dan membatasi jumlah jamnya.
• Dapat memahami dan mengapresiasi isi
pesan yang dikonsumsi.
• Dapat mengambil manfaat dari isi media
yang dikonsumsi.
• Tidak mudah terkena dampak negatif.
Media literacy hakikatnya
diperkenalkan sejak manusia bersentuhan dengan media. Berhadapan dengan media
tidak cukup hanya punya kemampuan untuk turning
off dan turning on, alias
menghidupkan dan menyalakan medianya saja. Tanpa kemampuan media literacy, kita
tidak lebih menjadi budak media, budak remote control, dan lebih gawat lagi,
korban efek negative media.
Orangtua jaman sekarang memiliki
tantangan berat. Demikian pula sekolah, lingkungan, masyarakat, kementerian
pendidikan, dan Negara pada umumnya. Anak-anak kita akan menjadi digital
natives yang sehari-harinya tidak akan pernah lepas berhadapan dengan media.
Menjadi tugas kita semua untuk memahami bagaimana media berfungsi semestinya
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita dapat memandu putera-putera kita,
dan menyiapkannya menjadi orang yang bertanggungjawab dengan media yang
dipegangnya. Untuk itu, kita tidak harus tahu bagaimana cara merakit computer,
memperbaiki HP, mengetahui lalu lintas protocol internet, dan sebagainya.
TIDAK. Yang harus kita lakukan adalah memahami media literacy, dan
menerapkannya untuk anak-anak kita di rumah, di sekolah, di manapun…. (000)
*Artikel ini dipublikasikan dalam
buletin Semipalar, 2011
0 komentar:
Posting Komentar