Wawancara Kampus PR dengan Santi Indra Astuti
“The audience become the authors” (Trevor Barr, Profesor dari Swinburne University of Technology Australia)
PERTANYAAN itu tepat kiranya menggambarkan fenomena perilaku masyarakat terhadap informasi saat ini. Masyarakat bukan hanya bertindak sebagai pembaca berita, tapi mereka juga bisa menjadi penulis berita itu sendiri.
Fenomena seperti itu kian marak, ketika teknologi informasi, seperti internet, mulai diperkenalkan. Internet mempermudah masyarakat dunia menyalurkan informasi berupa data dalam berbagai format; teks, suara, dan gambar. Internet pun kian menghilangkan kesan eksklusifnya dengan menghadirkan situs-situs gratis. Kehadirannya membuat geliat masyarakat terhadap penyajian informasi semakin besar.
Fenomena tentang masyarakat memproduksi berita seperti ini menyandang istilah sebagai era citizen journalism atau “jurnalisme warga”. Kadang, terdengar juga istilah public journalism atau partisipatory journalism.
Istilah jurnalisme warga merupakan sebuah semangat ideal tentang hak masyarakat terhadap informasi. Pada saat penyajian informasi hanya dimiliki oleh modal-modal besar industri (media massa mainstream--red.), sebagian khalayak mulai menemukan ketidakpuasan terhadap industri media massa. Rasa tidak puas itu, kadang terkait dengan kredo jurnalisme tentang objektivitas, independensi awak media, sudut pandang isu, serta wacana etika di balik produk-produk jurnalisme “konvensional”.
Rasa tidak puas juga terjadi karena perhatian media massa industri hanya terkait pada isu-isu sensasional terkait kepentingan segelintir elite. Mereka seolah melupakan isu-isu masyarakat yang berada di tingkat lokal.
Sementara ini, umumnya pendapat ahli tentang latar belakang munculnya jurnalisme warga, tidak berbeda jauh. Namun, perbedaan terminologi serta kosakata turunan lainnya tentang fenomena tersebut, kian bermunculan. Ruang perdebatan (diskursus) terkait fenomena jurnalisme warga ini, masih terbuka luas.
Kampus memperbincangkan seputar perdebatan itu, dengan seorang pengkaji komunikasi dari Universitas Islam Bandung (Unisba), Santi Indra Astuti. Dosen yang telah menerjemahkan sebuah buku karya Truman Capote berjudul In Cold Blood ini, juga aktif di sebuah lembaga studi, Bandung School of Communication Studies (Bascomms).
Berikut kutipan wawancara Kampus dengan kawan dosen ini pada Sabtu (26/10) bertempat di Tobucil Jln. Aceh No 56, Bandung.
Seperti apakah latar belakang kemunculan “citizen journalism “di dunia?
Sepanjang sejarah yang saya ketahui di PEW Research Center, Pointer Institute maupun dari penjelasan Prof. Jay Rosen dari New York University, kemunculan jurnalisme warga ini sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap praktik jurnalisme “tradisional”.
Ada yang memberi batasannya dengan memberikan kriteria perbedaan dengan praktik jurnalisme tradisional di beberapa titik. Salah satu yang paling penting adalah ketika sudah tidak ada pembedaan pada taraf produsen dan konsumen. Gerakan ini juga muncul, dilandasi oleh adanya kesan bahwa pers umum hanya meliput isu-isu sensasional. Di sisi lain, isu-isu lokal tidak terangkat. Ya, kalau kita mau pakai analisis politik ekonomi, jelas ada masalah advertising di dalamnya. Jadi, yang membuka pendefinisian citizen journalism itu dibuka dari bawah ke atas. Jurnalisme mengambil sumber bisa dari mana saja. Isinya juga bisa dibuat oleh siapa saja.
Jika ini dianggap sebuah gerakan, apakah kelahiran era “citizen journalism muncul” sebagai gerakan alternatif saja?
Soal citizen journalism ini, awalnya muncul sebagai media alternatif. Tapi karena mendapat sambutan dari berbagai pihak, ya geliatnya bukan sekadar alternatif. Bagusnya buat masyarakat umum adalah, jurnalisme menjadi sebuah bidang yang tidak lagi monopolistik dan eksklusif.
Ketika muncul di Amerika, gerakan ini bisa mendapat tempat karena nuansa demokratik yang juga tinggi. Isu-isu tentang first amandement, menyangkut tentang kebebasan berekspresi, dan isu antimonopoli, menimbulkan gerakan yang besar.
Perlu dipahami, bahwa kehadirannya bukan sekadar pemanfaatan teknologi. Ia juga membuka sebuah sistem ekologi media yang baru. Ekologi media tradisional itu dibangun lewat sumber yang searah dan industri media yang sangat monolotik. Industri ini akhirnya menjadi sebuah “kerajaan” yang susah dimasuki oleh orang yang bukan di wilayah profesi jurnalistik. Ekologi media secara sederhana itu, ditentukan oleh pola representasi, distribusi, produksi, dan konsumsi.
Pada jurnalisme tradisional, kita lihat dari produksinya, dikuasai media. Dengan gramatika yang ditentukan oleh si pemilik media. Distribusi dan konsumsinya juga ditentukan. Walaupun khalayak punya kewenangan memilih berita, tapi mereka sudah dikerangkeng dalam satu tata cara konsumsi tertentu. Representasi tentu berdasarkan bahasa yang ditentukan oleh kredo-kredo journalisme yang juga ditentukan oleh media itu sendiri.
Ketika masuk pada kerangka jurnalisme warga, distribusi tidak lagi bisa dipegang oleh pemilik media, tapi oleh siapa saja yang bisa memegang rantai-rantai distribusi. Dalam kerangka produksi, semua orang bisa membuat beritanya sendiri. Produsen bisa menjadi konsumen dan sebaliknya, misalnya, coba lihat beberapa blog yang menjadi incaran media mainstream.
Dengan latar belakang seperti itu, lantas sebenarnya apakah yang menjadi definisi “citizen journalism” itu sendiri?
Pada sebuah diskusi yang saya ikuti dan dihadiri oleh Jay Rosen, ia menolak memberikan definisi citizen journalism. Dia tidak mau memberikan itu, agar masyarakat juga mau memunculkan debat publik dan terus mencari tahu. Karena semangatnya itu, sebanyak-banyaknya orang bisa mendapatkan akses informasi, pemberitaan, terhadap dunia jurnalisme. Orang bertanya yang benar yang mana? Semangatnya ada open source, diskursus publik, dan tidak hanya meletakkan fondasi kebenaran hanya pada institusi tertentu saja.
Jadi tidak ada definisi yang pas?
Tidak ada.
Kalau begitu bagaimana dengan kritik yang muncul, misalnya, etika, akurasi, pertanggungjawaban isi, objektivitas, dan lain-lain yang terkait prinsip jurnalisme?
Kita lihat satu per satu. Objektivitas, siapa yang bisa mengklaim objektivitas saat ini. Sebelum citizen journalism, pertanyaan tentang objektivitas pers itu sudah ada, dan diperdebatkan secara luas. Misalnya, ketika muncul new journalism pada era 1960-an, ketika tokoh-tokohnya seperti Truman Capote yang menilai objektivitas adalah sesuatu yang absurd dan tidak mungkin dalam dunia jurnalistik.
Kritik kedua tentang akurasi. Akurasi yang diajarkan itu kan tentang kaidah 5W+1H? Nah, sepanjang itu sudah tercapai, lalu apa lagi? Justru, pertanyaan akurasi itu dibalikkan pada si wartawan sendiri. Siapakah yang mengalami kejadian pertama kali? Apakah wartawan berada di urutan pertama, kedua, atau ketiga?
Lalu tentang etika, apakah terkait dengan tanggung jawab dan moralitas atau masalah teknis saja? Semangat open source memang membuka wacana lalu, mendekonstruksi struktur formasi gramatik dan sebagainya. Pada akhirnya, semua akan diserahkan pada khalayak sendiri. Mereka yang akan menilai sumber informasi yang seperti apa yang sesuai dengan keinginan mereka. Intinya adalah tidak ada yang menguasai khalayak.
Aktivis citizen journalism sebenarnya memiliki kesempatan melakukan check and recheck fakta. Kesempatan orang memberi pandangan dari segala sisi. Sebenarnya, ada beberapa prinsip yang bisa disebut citizen journalism. Pertama, adalah membuka perdebatan publik. Zaman tahun 1980-an contohnya, koran The Wichita Eagle Kansas, Amerika Serikat, membuat isu pemilihan wali kota dengan Focus Group Discussion bersama komunitas masyarakat. Saat isu didapat dari publik, lalu dilemparkan ke publik itu lagi. Menurut Rosen, diskusi itu bertujuan menghasilkan kebijakan baru atau malah tidak ada kebijakan baru yang muncul.
Apakah banyaknya “blog” merupakan situasi kemunculan “citizen journalism”?
Banyaknya blog itu tidak memunculkan situasi citizen journalism. Tergantung komitmen terhadap publik itu. Model citizen journalism itu akan sangat bervariasi, tergantung dari kultur masing-masing negara. Beberapa pengamat citizen journalism dengan pengamat blogger menentukan situasi jurnalisme warga berdasarkan intensitas dan kontinuitas untuk membuka ruang perdebatan itu.
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?
Itu dia, saya kok belum lihat. Ini mungkin keterbatasan saya. Mungkin Anda sendiri bisa melihatnya, jika prinsipnya seperti di atas.
Di tingkat mahasiswa bagaimana tentang isu ini?
Jangankan itu, isu tentang jurnalisme tradisional yang baik dan benar saja, belum maksimal. Seperti misalnya pengertian tentang objektivitas dan subjektivitas media, masih selalu muncul. Mestinya, itu sudah selesai. Tapi, bukan salah mahasiswa melainkan sistem. Memunculkan public journalism tidak perlu luas, tapi di lingkungannya sendiri saja. Publik kampus sendiri saja. Misalnya saja dengan pers mahasiswa. Tapi lihat saja pers mahasiswa dibiarkan berjalan sendiri-sendiri.***
agus rakasiwikampus_pr@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar