Senin, 22 Mei 2017

GERAKAN ANTI HOAX DI INDONESIA: DARI MANA, MAU KE MANA?


Memperingati Harkitnas 2017
8 Januari 2017, Gerakan Anti Hoax dideklarasikan secara serempak di 5 kota besar di Pulau Jawa. Bandung turut berpartisipasi bersama Jakarta, Semarang, Surabaya dan Temanggung, dengan mendeklarasikan Piagam Masyarakat Bandung Anti Hoax. Kini, lima setengah bulan setelah deklarasi serempak itu dikumandangkan, sudah sampai di mana Gerakan Anti Hoax Indonesia? Sudahkah berhasil meredakan produksi dan sebaran hoax yang bikin rusuh media sosial? Sudahkah berhasil menyambung tali silaturahmi, atau relasi kekerabatan yang retak selepas berantem gegara hoax? Sudahkah, seperti harapan teman-teman, membuat Facebook jadi asyik dan menyenangkan kembali seperti dahulu?
Tulisan ini bermaksud meninjau perjalanan gerakan anti hoax Indonesia, mencermati respons-respons yang muncul terhadap gerakan tersebut, sekaligus mencoba menilai secara objektif maupun subjektif apakah kita sudah berhasil keluar dari pusaran hoax yang melelahkan itu.

Dinamika Isu Hoax
Saya kira saya tak perlu lagi membahas sejarah hoax yang berkepanjangan. Hoax itu sudah jadi santapan sehari-hari, sudah tidak aneh lagi. Ijinkan saya bercerita saja tentang apa yang terjadi pasca Gerakan Anti Hoax dideklarasikan. Cerita ini saya ramu berdasarkan diskusi-diskusi dengan beberapa sahabat lain dan aktivis-aktivis media sosial lainnya, serta observasi yang saya lakukan pada situasi di sekeliling saya--offline dan online. Begini hasil amatan saya.
Pertama, secara umum media massa menginformasikan dan membingkai Deklarasi Anti Hoax sebagai gerakan positif. Tentu saja, ada unsur proximity antara hoax dan media massa. Media massa yang sehat pastilah sudah lama terganggu dengan adanya hoax. Mereka juga tidak menutup mata terhadap keluhan masyarakat, serta menguatirkan dampak melemahnya trust publik terhadap pers.  Di sisi lain, media massa mencium isu ini sebagai sesuatu yang bernilai berita tinggi. Para aktivis gerakan anti hoax bukan orang kemarin sore dalam menyelenggarakan event. Mereka menggandeng tokoh-tokoh penting, mulai dari togatoma, pejabat publik, termasuk selebritis dan figur publik lainnya. Magnitude liputan terhadap topik deklarasi anti hoax pun membesar dengan keterlibatan tokoh-tokoh tersebut. Hal ini berlangsung berhari-hari, sehingga isu anti hoax terus-menerus muncul.
Merefleksikan Gerakan Anti Hoax
Kedua,  jika media massa merespons positif Deklarasi Anti Hoax, bagaimana dengan masyarakat? Bagaimana dengan netizen? Nah ini lain lagi ceritanya. Di berbagai panggung, sambutan masyarakat cukup meriah, kehadiran komunitas-komunitas sebagai pendukung Deklarasi Anti Hoax telah berperan penting dalam melibatkan warga.  Isu anti hoax menjadi isu yang mainstream—semua satu suara: menyepakati bahaya hoax.
Dinamika sesungguhnya baru terlihat di media sosial. Mas Ismail Fahmi, founder Drone Emprit, pada bulan Maret 2017 berbagi pada para peserta Talk Show Tech Talk di Habibie Center ihwal pergerakan isu anti hoax dari hari ke hari selama dua-tiga minggu paska Deklarasi di ranah Twitter. Paparannya sungguh menarik. Sehari setelah gerakan anti hoax dideklarasikan, media sosial masih adem ayem. Pada umumnya netizen merespons positif. Dua – tiga hari setelah gerakan anti hoax diluncurkan, mulai bermunculan opini negatif yang trennya kian membesar. Pelakunya sih itu-itu saja, yaitu akun-akun penyebar provokasi yang dikutip banyak media dan diretweet oleh followernya. Mereka menyebut gerakan Anti Hoax ditunggangi oleh tokoh-tokoh tertentu, sebagai sarana kampanye politik. Tudingan ini sangat manjur karena menjadi semacam ‘turnback’ bagi gerakan anti hoax.
Selaku salah satu inisiator gerakan anti hoax di Bandung, saya merasakan betul dampak dari turnback gerakan anti hoax saat dibingkai menjadi kampanye politik. Gerakan moral dituduh menjadi kampanye politik, ah, jahatnya kalian, kawan. Turnback terhadap gerakan anti hoax di Bandung bahkan dilakukan oleh kalangan akademisi, kolega sesama dosen komunikasi. Sebagaimana mereka lebih percaya pada hoax ketimbang fakta (yang selalu dituding hasil konspirasi atau rekayasa), mereka juga mencap gerakan anti hoax sebagai ‘hoax yang lain lagi’. Mereka seakan mendapatkan amunisi dari beberapa pemikir (atau filsuf?) seperti Rocky Gerung yang dilontarkan dalam sebuah program talk show--pendapatnya berseberangan dengan gerakan anti hoax. Jangan salah, pada situasi seperti ini, gerakan anti hoax juga dicap sebagai gerakan anti Islam dan anti UU Pers—sebuah isu yang akhirnya hilang dengan sendirinya karena Dewan Pers ternyata mendukung Gerakan Anti Hoax dan turut mengampanyekan serta mengedukasi masyarakat agar tidak termakan hoax.
Namun demikian, ada fenomena yang menarik. Black campaign terhadap gerakan anti hoax terjadi di mana-mana. Tetapi, sebarannya bisa dilokalisir dan diminimalkan, berkat hadirnya sejumlah pihak yang berupaya menetralisir hoax dengan memberikan penjelasan ihwal fakta yang sesungguhnya terjadi. Kami menyebut mereka sebagai hoaxbusters. Para hoaxbuster ini, biarpun sedikit sekali jumlahnya, namun terbukti efektif di minggu-minggu pertama. Mereka inilah yang membantu ‘menyeimbangkan kembali’ situasi yang tadinya mendiskreditkan Gerakan Anti Hoax.
Ngomongin tentang Hoax itu harus ngotot!
Ketiga, terlepas dari pro-kontra yang terjadi, Gerakan Anti Hoax mulai melembaga di berbagai organisasi. Pemerintahan menggeliat. Mulai dari institusi kemiliteran sampai PKK mulai menyentuh dan membicarakan hoax. Demikian pula dengan organisasi-organisasi keagamaan dengan organ-organ mereka. Misalnya saja, NUtizen dan Muhammadiyah. Berbagai komunitas, baik yang bersentuhan langsung dengan isu literasi atau tidak, mulai mengangkat isu hoax dalam berbagai diskusi. Mereka prihatin dan ingin tahu lebih banyak lagi. Beberapa profesi malah membentuk satgas anti hoax tersendiri, karena merasa sering dijadikan sasaran hoax. Ada komunitas dokter, komunitas pilot, komunitas guru, dan lain-lain. Ini pertanda bagus.
Apakah hoax sudah berhasil diatasi? Sayangnya, belum. Situasi Indonesia yang dinyatakan ‘darurat hoax’ 5.5 bulan silam, dalam penilaian saya sekarang ini masih belum berubah. Artinya, masih tetap darurat. Deklarasi Anti Hoax ternyata lebih tepat dimaknai sebagai momentum memunculkan kewaspadaan terhadap hoax. Setelah biangnya ketahuan, terkaget-kagetlah kita karena berhadapan dengan berbagai macam jenis hoax—mulai dari framing, disinformasi, misinformasi, satir yang gagal dipahami, dan sebagainya. Kita juga meratap-ratap gegara berhadapan dengan strategi sebaran hoax yang masif, serta berkenalan dengan the so called cyber army dan Anonymous KW13 yang masya Allah, nggak mutu banget. Yang paling epik, kita akhirnya berhadapan dengan berbagai manusia yang mengharamkan ini itu, kecuali hoax. Bebal, tapi keukeuh-nya tingkat dewa.
Bolehlah dibilang kalau sekarang ini kita berada dalam medan perang yang sudah dibuka objeknya, tentaranya, panglimanya, senjatanya, dan strategi serangannya. Namun terlalu dini untuk menyatakan siapa menang siapa kalah. Yang bisa dipastikan, kita kini berada dalam sebuah equilibrium baru, di mana kita harus bersiap-siap untuk ‘berperang’ di level berikutnya. Bukan bermaksud menakut-nakuti. Tetapi, hukum game di mana-mana sama saja: jika levelnya lebih tinggi, maka permainannya otomatis jadi lebih sadis. 
 
Refleksi Situasi Mendatang
Bagi saya, hoax itu virus. Yang mengerikan dari virus itu terkadang bukan inangnya (yang melemah sendiri dalam siklus waktu tertentu), atau sumbernya. Tetapi area sebarannya dan dampak sebaran virus tersebut. Belajar dari dunia medis, pada saat virus mewabah, tindakan yang diambil adalah (1) melokalisir virus untuk mencegah penyebarannya, (2) menetralisir atau mematikan virus, dan (3) melakukan vaksinasi. Berdasarkan analogi ini, maka solusi yang dirumuskan untuk mengatasi hoax adalah:
·         1. Mencetak sebanyak-banyaknya hoaxbuster untuk mencegah sebaran hoax.
·        2.  Membuat pusat verifikasi fakta, aplikasi, clearinghouse, atau apalah sebagai rujukan orang untuk mengecek kebenaran informasi atau menetralisir hoax.
·        3.  Menanamkan kompetensi literasi digital pada masyarakat.
Suasana Diskusi yang Hangat di Los Tjihapit
·        4.  Creative Campaign (Online & Offline)
·       5.   Membuka networking, berjejaring atas dasar solidaritas dan common interest.
·       6. Mengadakan rembug nasional untuk meruntuhkan sekat-sekat echo chamber.
·         7. Dan lain-lain.
Jika ditanya ke arah mana gerakan anti hoax kita sekarang ini, jawabannya bagi saya sederhana saja. Gerakan ini bertitiktolak dari keprihatinan akan parahnya hoax yang dipercaya begitu saja. Itu sebabnya, gerakan Anti Hoax pada dasarnya adalah gerakan moral yang fokusnya pada character building. Arahnya tidak berubah, yaitu pada pencerdasan bangsa. Inilah awal dan akhirnya Gerakan Anti Hoax.  Cuma, kalau dulu, dengan naifnya saya berpikir bahwa gerakan anti hoax telah membuka sebuah pintu, lantas kita tinggal menata dan mengisi ruangnya saja. Sekarang, saya merasa pintu yang telah dibuka mengantarkan kita pada pintu lain yang harus dicapai dengan mendaki puluhan anak tangga. Begitu pintu dibuka, ada hantu-hantu bergentayangan yang tak rela zona nyamannya diganggu, sehingga mengobarkan permusuhan dan berusaha merebut medan dengan segala cara.

Serem? Lama-lama, nggak juga sih. Hoax itu bagaimanapun adalah sebuah permainan. Kalau mau menang ya harus bisa mengendalikan permainan. Jangan malah terpancing dengan permainan orang lain. Selebihnya adalah persoalan menjaga kewarasan, meningkatkan kecerdasan, dan memelihara stamina dan kesehatan agar mampu ‘menangkis’ hoax. Jelas semua ini tidak mudah, apalagi  di tengah masyarakat yang baperan dan emosian seperti di Indonesia. Biarpun demikian, tetap harus  ada yang memulai dan meneruskan gerakan ini. Anda, saya, mereka. KITA.

Setiap orang wajib menjadi HOAXBUSTER!



 

0 komentar: