Rabu, 20 Agustus 2008

MENGGAGAS MEDIA LITERACY BERBASIS KAMPUS

Industri TV, tak pelak lagi, merupakan salah satu yang paling berkembang saat ini. Modalnya memang besar, tetapi peluang pendapatannya—terlebih lewat iklan—sungguh menggiurkan. Tak heran jika banyak pihak berminat untuk menerjuni bisnis ini. Sayangnya, maraknya stasiun TV, banyaknya program yang disajikan, dan berjubelnya lulusan studi komunikasi di tempat ini, tidak berbanding lurus dengan kualitas program yang ditawarkan.

Sudah dua kali Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dalam kurun waktu Mei-Juli 2008, mengeluarkan daftar program TV bermasalah yang mesti diwaspadai oleh masyarakat. Beberapa program populer, dari berbagai jenis, masuk dalam kategori tersebut. Sinetron “Cinta Bunga” (SCTV), sketsa komedi “Extravaganza” (Trans), kontes “Super Seleb Show” (Indosiar), misalnya, adalah program-program yang ratingnya tinggi, namun mendapat rapor merah KPI. Bahkan, program anak pun tak luput dari teguran KPI. Serial “Si Entong”, misalnya, mengandung unsur penyesatan agama dengan mistik. Serial “Namaku Mentari” menanamkan nilai-nilai yang berbahaya, seperti ‘menghalalkan pencurian’ dengan alasan akan diganti ketika ‘sudah kaya’.

Data ini memang mengejutkan masyarakat, apalagi yang tingkat media literacy atau melek medianya masih rendah, seperti khalayak media di Indonesia. Semestinya, data ini juga melecut studi ilmu komunikasi, yang bejibun banyaknya di tanah air. Sudah begitu banyak lulusan studi ilmu komunikasi yang dihasilkan, dan sebagian besar berkutat di media. Namun, mengapa wajah TV justru semakin tidak ramah pada penontonnya? Mengapa gejala ‘kekerasan media’ justru kian banyak terjadi ketika studi ilmu komunikasi booming? Kemana saja lulusan studi komunikasi, dan, apa saja sih sesungguhnya yang diajarkan di program studi ini selain kemampuan memproduksi acara dan mengoperasionalkan alat?

Media Literacy Sebagai Solusi
Seperti Dewa Janus dalam mitologi Yunani, media pada dasarnya memiliki dua wajah: positif dan negatif. Dalam bentuknya yang positif, media menjadi sumber informasi dan pembelajaran yang bermanfaat. Dalam bentuknya yang negatif, media menjadi semacam Kotak Pandora yang mengekspos khalayak pada ‘penyakit-penyakit baru’: kecanduan nonton, bias realitas, penanaman nilai-nilai buruk, dan sebagainya. Tantangan hidup di zaman serba media seperti sekarang ini adalah bagaimana memanfaatkan media sebaik-baiknya, dan terhindar dari pengaruh buruk media. Inilah media literacy—ihwal bagaimana bersiasat menghadapi media secara cerdas dan kritis.

Media literacy merupakan semacam skill untuk mengakses, memilih, memilah, mengkritisi, dan memanfaatkan media sesuai dengan kebutuhannya. Jika diandaikan media saat ini tengah menjadi virus, maka media literacy akan menjadi antivirusnya. Berbekal kemampuan media literacy, masyarakat dapat terhindar dari efek negatif media.

Idealnya, media literacy diajarkan sejak manusia berhadapan dengan media. Sehingga, dampak buruk media dapat dicegah sedari dini. Itu sebabnya, gerakan media literacy meluas ke banyak lapisan. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, media literacy menjadi tanggungjawab badan regulasi penyiaran/media massa dan departemen yang mengurusi informasi, komunikasi, dan media massa. Jepang dan Kanada mengambil langkah yang lebih serius: memasukkan media literacy sebagai bagian dari kurikulum wajib sekolah dasar dan menengah. Untuk menjaga misi media literacy, Kanada bahkan mengeluarkan kebijakan sertifikasi khusus bagi trainer media literacy. Yang jelas, nyaris di setiap negara, media literacy menjadi isu Departemen Pendidikan.
Media Literacy berbasis kampus
Program studi ilmu komunikasi sesungguhnya bukan hanya lembaga yang mengajarkan seluk-beluk komunikasi. Lebih dari itu, program studi ilmu komunikasi adalah gudangnya sumberdaya manusia yang menguasai isu-isu komunikasi—termasuk, mestinya, memahami isu media literacy. Karena itu, inisiatif menggagas media literacy wajar kiranya jika diharapkan muncul dari kalangan kampus komunikasi.

Media literacy berbasis kampus bisa diwujudkan dalam banyak cara. Misalnya, menggagas muatan media literacy dalam kurikulum. Bentuknya bisa terintegrasi ke dalam mata kuliah, menjadi sisipan mata kuliah yang relevan. Cara ini ditempuh oleh sejumlah perguruan tinggi. Atau, media literacy dijadikan mata kuliah tersendiri.

Perubahan atau modifikasi kurikulum memang tidak mudah. Ini masalah struktural yang prosedurnya sangat birokratis. Tetapi, ada ruang muatan lokal dalam bangun kurikulum yang bisa disiasati. Capaiannya memang berbeda. Jika media literacy menjadi sisipan, yang bisa diberikan sebatas pemahaman dasar yang relevan dengan mata kuliah induknya. Jika dijadikan mata kuliah tersendiri, media literacy bisa dieksplorasi lebih komprehensif, mencakup teori dan—yang lebih penting—terjun langsung dalam aktivitas media literacy.

Memasukkan media literacy ke dalam struktur kurikulum akan menambah legitimasi formal bagi muatan media literacy. Namun, jika pun ini tidak memungkinkan, media literacy bisa dijadikan salah satu alternatif Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Lewat kegiatan ekstrakampus semacam ini, mahasiswa diajak untuk mencermati persoalan riil dalam interaksi antara masyarakat awam dengan media yang powerful. Mereka belajar menjadi peka terhadap masalah lingkungan, dan menambah pengalaman dengan terjun langsung ke tengah masyarakat untuk membangun skill media literacy di tengah publik. Manfaatnya bukan hanya pada masyarakat, tetapi juga pada dirinya sendiri. Dengan menjadi aktivis media literacy, mahasiswa mendapat kesempatan untuk menerapkan hal-hal terbaik yang mereka peroleh dari masa belajarnya di program studi ilmu komunikasi.

Bagi para dosen sendiri, muatan media literacy dapat saling menunjang dengan unsur-unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pertama, advokasi media literacy dapat dimasukkan dalam area pengabdian masyarakat yang merupakan salah satu pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kedua, kegiatan ini dapat ditunjang oleh dharma lainnya, yaitu riset atau penelitian, dalam bentuk kajian media sebagai bagian mediawatch.

Kesimpulannya, sesungguhnya ada banyak pintu masuk untuk menggagas aktivitas media literacy berbasis kampus. Semuanya kini tinggal berpulang pada program studi ilmu komunikasi sendiri dan civitas academica-nya. Setelah selama ini membangun komitmen setia pada industri media massa dengan melatih tenaga kerja trampil, bersediakah kini studi komunikasi memberikan komitmen nyata pada masyarakat lewat advokasi media literacy? Apabila himbauan ini tidak bersambut, sayang sekali. Jangan-jangan, yang harus disadarkan terlebih dulu ihwal pentingnya media literacy bukanlah masyarakat. Melainkan, seperti dinyatakan penyair-cum-pengamat sosial Hikmat Gumelar, justru kalangan civitas academica studi komunikasi sendiri... (000)

Dimuat di HU Pikiran Rakyat, 9 Juli 2008

0 komentar: