Rabu, 20 Agustus 2008

Media Literacy, upaya membangun masyarakat kritis media

13 Mei 2008, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meminta masyarakat untuk mewaspadai 10 program acara yang dianggap bermasalah yang ditayangkan sembilan stasiun TV swasta nasional Indonesia. Program bermasalah itu adalah “Cinta Bunga” (SCTV), “Dangdut Mania Dadakan 2” (TPI), “Extravaganza” (TransTV), “Jelita” (RCTI), “Mask Rider Blade” (ANTV), “Mister Bego” (ANTV), “Namaku Mentari” (RCTI), “Rubiah” (TPI), “Si Entong” (TPI), dan “Super Seleb Show” (Indosiar). Untuk keduakalinya, 9 Juli lalu, KPI kembali mengumumkan 4 mata acara TV yang bermasalah. “Extravaganza” masih mendapat rapor merah karena untuk kedua kalinya masuk dalam daftar tersebut, diikuti komedi situasi “Suami-Suami Takut Istri”, kartun “One Piece” dan “Ngelenong Nyok”.

Apanya yang bermasalah? Macam-macam. Mulai dari sinetron yang mengumbar kekerasan fisik, kontes-kontesan yang menampilkan kekerasan verbal dalam bentuk ejekan melecehkan, sinetron anak yang mencampuradukkan ajaran agama dengan unsur mistik, sketsa komedi yang menampilkan lelucon berbau seks nan vulgar. Banyak program yang penayangannya tidak tepat waktu. Nyaris semua program bahkan tidak menampilkan klasifikasi acara sesuai dengan usia yang direkomendasikan bagi penontonnya.

Kita semua tahu ini, dan sudah sering keprihatinan akan dampak buruk TV menjadi bahan obrolan di antara kita. Sayang sekali, sebagian besar stasiun TV menanggapi pengumuman ini sambil lalu. Bahkan, General Manager Produksi PT Global Informasi Bermutu (Global TV) Irwan Hendarmin menyatakan, masyarakat memang gandrung pada acara-acara yang dibumbui kekerasan, kemewahan, dan mimpi harapan. Ya ampun, memangnya kita ini sebodoh dan sebiadab itu?

Pentingnya Media Literacy
Berharap pada stasiun TV agar memperbaiki tayangannya kelihatannya merupakan hal yang mustahil. Ada masalah rating, bisnis, dan terutama, kehendak untuk menjaring profit sebanyak mungkin. Maka, pilihan yang realistis adalah membekali penonton dengan keterampilan media literacy atau melek media.

Memiliki keterampilan media literacy, berarti: (1) Dapat menyeleksi jenis dan isi media yang dikonsumsi—sesuai dengan usia dan kebutuhannya; (2) Dapat mengatur kapan waktu mengonsumsi media dan membatasi jumlah jamnya; (3) Dapat memahami dan mengapresiasi isi pesan yang dikonsumsi; (4) Dapat mengambil manfaat dari isi media yang dikonsumsi (Potter, 2007). Tujuan utamanya adalah agar khalayak media tidak mudah terkena dampak negatif.

Aktivitas media literacy dapat diwujudkan dengan banyak cara. Di rumah, misalnya, orangtua dapat menerapkan media literacy dengan mengatur jadwal menonton televisi (cukup 2 jam saja sehari!), menyeleksi tayangan yang aman ditonton anak, dan lebih penting lagi, mendampingi anak menonton TV sambil mendiskusikan baik buruknya acara dan nilai-nilai yang bisa diteladani dari sebuah program. Di sekolah, guru dapat membantu dengan menyisipkan muatan media literacy dalam pelajaran sekolah. Beberapa inovasi kreatif yang dicapai oleh teman-teman guru sangat mengejutkan dan luarbiasa menarik. Supriyadi, seorang guru matematika SD di Malang, menyisipkan pendidikan media literacy dengan meminta anak-anak menghitung jarak aman menonton TV di dalam ruangan. Soal ini diikuti dengan pelajaran persentase—anak diminta menghitung persentase waktu yang dihabiskan untuk menonton TV dalam sehari!

Gerakan media literacy akan semakin sukses jika didukung oleh lingkungan sekitar. Beberapa wilayah di Jokja, Malang, Klaten, dan Solo memberlakukan aturan yang mewajibkan orangtua mematikan TV pada saat ujian sekolah. Tindakan ini tidak sia-sia, prestasi belajar anak meningkat pesat, nilai rapor tidak mengecewakan, angka kelulusan sangat menggembirakan. Beberapa dukuh Sleman dan Turi, di kawasan Jokja, hingga kini masih memberlakukan jam wajib belajar, yang berlangsung selepas maghrib hingga pukul 20.00. Dalam rentang waktu sekitar dua jam, setiap rumahtangga dihimbau agar mematikan televisi, sehingga anak bisa berkonsentrasi penuh untuk belajar. Orangtua, kalau tidak mendampingi anak belajar, diajak untuk bersosialisasi. Kalau masih ada yang nekad menyalakan TV di jam-jam tersebut, tetangga, atau aparat dukuh akan mengingatkan. Sungguh masyarakat yang sehat dan aman!


Hari Tanpa TV
Belakangan ini, mulai muncul upaya untuk menggiatkan media literacy dalam aksi berlingkup nasional. Sejak 2006, sejumlah aktivis media literacy mengadakan aksi Hari Tanpa TV (Turn Off TV Day). Aksi ini diwujudkan dengan himbauan untuk mematikan TV selama sehari pada hari yang dipilih sebagai Hari Tanpa TV, kemudian menggantikan nonton TV dengan kegiatan edukatif lain. Misalnya, bermain, berkebun, membaca buku, rekreasi ke luar rumah, bahkan memasak bersama keluarga!

Aksi ini punya makna ganda. Pertama, menyadarkan publik bahwa menonton TV itu tidak wajib, melainkan sebuah pilihan. Jadi, kalau tidak ada acara yang bagus dan aman ditonton, jangan ragu untuk mematikan televisi! Ganti saja dengan kegiatan lain yang bermanfaat. Kedua, aksi ini menjadi semacam sarana pengungkapan pesan kepada industri TV khususnya, dan bisnis media lain pada umumnya, agar lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang tidak mau lagi disuguhi program-program tak bermutu. Sesungguhnya, media tidak takut pada apapun. Yang mereka takutkan hanyalah khalayak sebagai konsumen program mereka. Bila khalayak minta produk ditarik atau diganti, apalagi sampai memboikot bersama, maka dengan segera produsen—dalam hal ini adalah stasiun televisi—akan segera melakukan perubahan.

Banyak orang mengelirukan kegiatan media literacy sebagai gerakan anti media. Aksi Hari Tanpa TV (Turn Off TV Day) atau Pekan Tanpa TV (Turn Off TV Week) bahkan sering dicap sebagai gerakan anti-televisi. Salah. Aktivitas semacam ini pada dasarnya adalah mengembalikan fungsi media sebagai sumber belajar yang bermanfaat. Jadi, dalam aksi semacam ini, bukan hanya program TV yang buruk saja yang dihimbau agar tidak ditonton. Program TV yang bagus akan direkomendasikan agar ditonton.

It takes a village to raise a child, tutur Hillary Clinton. Membesarkan anak adalah tugas warga sekampung. Maka, dalam kaitannya dengan media literacy, semua harus berperan aktif guna menciptakan lingkungan yang aman bagi anak, dan bebas dari pengaruh buruk media. Hari Tanpa TV 2008 akan jatuh pada hari Minggu, 20 Juli 2008. Masih tersedia cukup waktu, lho, untuk merencanakan apa yang akan dilakukan bersama keluarga guna mengisi waktu ketika TV tidak dinyalakan seharian selama hari itu! (000)



Dimuat di HU Pikiran Rakyat, 9 Juli 2008

0 komentar: