ETERNAL SUNSHINE OF THE SPOTLESS MIND:
Nonton Jim Carrey Kehilangan Memori
di Jiffest 2004
Santi Indra Astuti
Apa yang terjadi tatkala kita bangun dan mendapati bahwa orang yang sangat dekat dengan kita tiba-tiba tak mengenal kita lagi? Apa yang terjadi saat kita menjadi orang asing bagi sosok yang kita pikir, sangat berarti dalam kehidupan kita? Hilang dari memori orang yang sangat berarti dalam kehidupan kita, mestinya tidak cuma membingungkan, tapi juga menyakitkan. Terlebih bila jatidiri kita hilang dari memori orang yang sangat kita cintai.
Demikianlah yang dialami oleh Joel Parrish (Jim Carrey) di suatu pagi yang kelabu. Setelah bertengkar hebat dengan kekasihnya, Clementine Kruczynski (Kate Winslet), Joel bermaksud berbaikan kembali. Ia menyiapkan kado Valentin—aksesoris liontin etnik—buat Clem, dan menemui Clem di tempat kerjanya. Di sana, Joel kaget setengah mati karena Clem bukan saja tidak mengenalinya, tapi bahkan terang-terangan berpacaran dengan seorang pemuda belia, Patrick (Elijah Wood). Apa yang terjadi? Misteri terungkap pelahan-lahan. Ternyata, setelah pertengkaran menyakitkan, Clem begitu frustrasi hingga mendatangi sebuah layanan terapi psikologis, Lacuna Inc., yang menawarkan jasa menghapus memori dari ingatan seseorang. Bisa ditebak, perusahaan semacam ini jadi langganan orang-orang yang frustrasi dan patah hati, termasuk Clem. “Miss Kruczynski sangat sedih, dan ia ingin melanjutkan hidupnya. Maka, ia minta kami menghapus semua memori tentang Anda,” tutur Dr. Howard Mierzwiak (Tom Wilkinson), pemimpin Lacuna.
Dihilangkan dari memori orang yang dicintai, agaknya lebih menyakitkan daripada patah hati itu sendiri. Sakit hati, merasa dikhianati oleh Clem, Joel pun mendaftarkan diri untuk mengikuti terapi serupa: menghilangkan Clem dari memorinya. Maka, ia mengikuti serangkaian terapi di Lacuna. Dalam ketidaksadaran, pelahan memori seputar Clem diidentifikasi, dibuatkan peta dalam otak Joel, dan dihapus lewat program komputer dengan laser. Modusnya persis seperti mendelete file-file komputer. Uniknya, di tengah proses penghapusan itu, Joel menyadari bahwa tindakannya sebenarnya didorong oleh emosi belaka. Susah atau senang, membahagiakan atau menyakitkan, memori tentang Clem adalah bagian hidup yang sesungguhnya tak ingin dihilangkannya. Ia berubah pikiran, ingin membatalkan proses penghapusan memori tersebut. Namun sayang ... Joel sudah telanjur dibius. Maka, yang terjadi selanjutnya adalah perjuangan Joel mencegah penghapusan memori tentang Clem. Sebuah proses sadar yang berlangsung dalam ketidaksadaran. Rangkaian pelarian dari satu lokus memori ke lokus memori lainnya untuk melawan ancaman ketidaksadaran. Sungguh-sungguh absurd. Namun, absurditas macam inilah yang menjadi fokus utama film ini.
Jim Carrey: Rapuh!
Eternal Sunshine of Spotless Mind diproduksi pada 2004, dan diedarkan secara serentak Maret lalu. Skenario film berdurasi 108 menit ini ditulis oleh Charlie Kaufman, penulis skenario spesialis film-film psikologis yang kompleks. Filmnya sendiri disutradarai oleh Michel Gondry, sutradara muda berbakat asal Prancis yang melahirkan film-film bermutu seperti Human Nature (skenarionya juga ditulis oleh Kaufman). Lahir di Versailles, 1963, Gondry dikenal sebagai pembuat iklan untuk sejumlah merek terkenal seperti Gap, Smirnoff, Air France, Nike dan Coca Cola. Pada 1998, film pendeknya “La Lettre” memenangkan FICC Prize pada Festival Film Pendek Oberhausen yang prestisius.
Eternal Sunshine of Spotless Mind bergenre drama, romance, sci-fi, juga komedi (tepatnya, black comedy). Namun dalam banyak situs, para kritikus cenderung mengategorikannya sebagai genre romance drama atau romantic movie. Komedi kecil terselip di sana-sini. Misalnya, adegan ketika resepsionis Lacuna (diperankan oleh Kirsten Dunst) menolak seorang klien yang merengek-rengek minta dihapuskan memorinya untuk kesekian kalinya, “... Maaf, kami tidak bisa melakukannya. Anda ‘kan sudah tiga kali menghapus memori selama seminggu ini...” Tapi, tak ada komedi ala Pet Detective Ace Ventura di sini.
Karakter-karakter kunci yang bermain dalam film ini mengeluarkan kualitas akting terbaiknya. Kate Winslet, seperti biasa, bermain cemerlang. Ia mampu memerankan karakter perempuan muda yang eksentrik, impulsif, pemabuk, bangga sekaligus bingung dengan identitasnya sendiri. Tapi kejutan besar akan dialami penonton tatkala menyaksikan penampilan Jim Carrey. Jim Carrey, 42 tahun, bermain luarbiasa. Dalam film ini, kita akan melihat kualitas keaktoran Jim Carrey yang sesungguhnya. Kita tidak akan bertemu dengan Carrey yang suka melawak, dengan tingkah slapstick yang konyol dan liar, lengkap dengan muka plastik yang dieksploitasi. Sebaliknya, kita akan berhadapan dengan sosok Joel yang rapuh, pendiam, pemalu, peragu ... Inilah Carrey yang tidak bercukur, cengeng, dan sangat biasa-biasa saja. Inilah Carrey yang tidak klimis, lemah, dan acak-acakan. Joel yang gugup, bingung dan salah tingkah, bertemu dengan Clem yang nakal, agresif, dan impulsif. Sangat natural. Chemistry of love diantara Joel dan Clem terbangun secara wajar dalam film ini, hingga terasa indah dan menyakitkan ketika terpaksa berakhir dengan cara yang tidak diinginkan.
Antara Cinta, Patah Hati, dan Memori Manusia
Eternal Sunshine of Spotless Mind tidak menampilkan kisah cinta yang klise. Cinta tidak diwujudkan lewat bunga, puisi, makan malam romantis lewat candlelight dinner, atau bulan madu ke tempat-tempat eksotis. Tidak juga diwujudkan lewat aksi dramatik yang memercikkan darah, kilauan pedang, dan sumpah setia dilatari dentuman petir. Cinta dalam Eternal Sunshine of Spotless Mind diwujudkan lewat perjuangan keras mempertahankan memori tentang kisah cinta itu sendiri, dengan segala sesuatu yang terlibat di dalamnya, menyedihkan maupun menyakitkan.
Film ini istimewa karena menyajikan sudut pandang baru tentang cara memaknai cinta (atau putus cinta!). Patah hati memang tidak harus ditangisi berkepanjangan, atau dibikin frustrasi sampai bunuh diri. Penonton diajak merenungkan, mana yang lebih menyakitkan—patah hati, atau dihapus dari memori secara sengaja? Yang terakhir ini, menurut Charlie Kaufman sang penulis skenario, kelihatannya lebih menyakitkan.
Film ini juga istimewa karena mengajarkan kita betapa berharganya sebuah memori. Film ini lagi-lagi menegaskan kekuatan memori sebagai energi vitalitas penggerak hidup. Film-film ‘keras’ seperti Godfather, atau Kill Bill, misalnya, merekam kekuatan memori yang menyakitkan untuk membalas dendam. Film-film laga sci-fi seperti National Treasure (Nicholas Cage) dan Alien memperlihatkan kekuatan memori warisan turun temurun untuk memburu harta karun maupun musuh abadi. Eternal Sunshine of Spotless Mind juga memperlihatkan kekuatan memori—memori cinta. Memang, kekuatan memori cinta di sini tidak digambarkan sedahsyat the Notebook (Ryan Gosling & Rachel Adams). Namun, dalam kesederhanaan dan kewajaran hubungan antara Joel dan Clem, yang bisa muncul di mana saja, kapan saja, serta dialami oleh siapa saja, siapa bilang memori cinta itu tidak berharga, dan tidak rumit?!
Psikoanalisis Freud bisa diterapkan untuk memandang fenomena ini: tentang ketidaksadaran yang membunuh kesadaran. Perspektif Freudian juga menghantarkan kita pada pertanyaan ini: dimana sesungguhnya ambang batas kesadaran dan ketidaksadaran kita? Kesadaran, ketidaksadaran, dan apa yang tertinggal berupa memori, itulah kata kunci film ini. Charlie Kaufman, sang penulis skenario, secara fasih dan kreatif bermain-main dengan ingatan manusia. Sama halnya dengan skenario terdahulu yang pernah ditulisnya, Being John Malkovich dan Adaptation, Kaufman menyajikan petualangan yang asyik dan menakjubkan ke dalam benak manusia. Ia mengeksplorasi sisi-sisi yang tak pernah terpikirkan oleh penulis skenario Hollywood lainnya.
Dari sisi sinematik, keindahan-keindahan yang tidak biasa dimunculkan oleh sutradara Michel Gondry. Mulai dari permukaan salju retak, suasana dialog di balik selimut dalam temaram cahaya redup di dalam kamar, sampai kesunyian yang hitam mencekam ketika memori Joel tentang Clem pelahan-lahan menghilang ... Angle-angle sinematik film ini menjadikan Eternal Sunshine of Spotless Mind menghadirkan lapisan makna yang bisa diteropong dari pelbagai segi, entah itu berasal dari kekuatan dialog dalam percakapan yang wajar, atau dari bahasa semiotika visual yang kaya, hingga film ini layak ditonton lebih dari sekali.
Tapi ngomong-ngomong, apa sih Eternal Sunshine of Spotless Mind? Kalimat eksotik ini ternyata adalah kutipan dari puisi karya Alexander Pope, penyair Inggris, berjudul Eloise to Abelard: ...how happy is the blameless Vestal’s lot! The world forgetting, by the world forgot. Eternal sunshine of spotless mind! Each pray’r accepted, and each wish resigned...
Santi Indra Astuti
(Penggemar film yang sedang menempuh studi komunikasi dalam program pascasarjana UI)
1 komentar:
minta ya link-nya, buat review. hehehe. makasih :)
Posting Komentar