Minggu, 05 Agustus 2007

BERITA TV: Sebuah Sirkus di Layar Kaca

Berita TV: Sebuah Sirkus di Layar Kaca
Santi Indra Astuti[1]

Rabu, 30 November 2005 silam, memang bukan hari biasa bagi Probosutedjo. Inilah hari di mana pengusaha yang namanya dekat dengan panggung kekuasaan Orde Baru tersebut akan menjalani eksekusi vonis pengadilan 4 tahun penjara. Bagi pers, peristiwa ini juga bukan kasus biasa—inilah sebuah ujian atas cita-cita penegakan supremasi hukum di Indonesia tatkala berhadapan dengan kekuasaan ekonomi, politik, dan mungkin juga ideologi. Tak heran jika liputan seputar eksekusi ini menempati posisi eksklusif—banyak stasiun televisi menempatkannya sebagai headline news, atau breaking news, memotong acara-acara yang sedang ditayangkan sekitar siang hingga malam hari.
Tapi apa yang tampak di layar kaca dalam liputan berita TV tentang eksekusi Probosutedjo? Sebuah gambaran kekacauan dan hiruk pikuk. Bentrokan yang melibatkan aparat keamanan rumah sakit, atau mungkin bodyguard Probosutedjo, berhadapan dengan puluhan wartawan bersenjata kamera. Ruang sempit yang penuh orang, sama-sama ngotot. Wajah-wajah emosi, action seru saling kejar-kejaran, teriakan-teriakan memperingatkan dan saling ancam dari kedua belah pihak, tangan terkepal dan kamera berseliweran tak tentu arah. Wartawan-wartawan tampak siap berkelahi. Aparat tampak siap meladeni ‘tantangan’. Polisi-polisi kebingungan... semua ini membuat kita tak habis pikir: apa sih sebenarnya yang mau diberitakan di sini? Berita macam apa yang hendak disuguhkan di sini? Pesan apa intinya yang mau disampaikan? Kecuali action siap perang dari wartawan mau pun pengawal-pengawal Probo, tidak terlihat substansi penting dari berita yang ditayangkan sebagai liputan utama berbagai media. Lantas, saat Probosutedjo akhirnya keluar dan melaksanakan perintah eksekusi pengadilan di tengah hiruk-pikuk itu, rasanya kita tidak sedang menyaksikan liputan jurnalistik yang informatif, melainkan sebuah sirkus yang sensasional dan ingar-bingar! Inikah jurnalisme TV? Seperti inikah mutu pemberitaan televisi?

Jurnalisme TV
Pertanyaan seputar kualitas pemberitaan tivi bukan sesuatu yang baru. Sudah lama para periset media menyoal mutu jurnalisme televisi dalam praktik pemberitaan. Beberapa di antaranya, seperti dikumpulkan oleh John Langer dalam “Tabloid Television” (1998) menjabarkan kritik-kritik atas berita televisi sbb.
Pertama, berita televisi dikatakan sebagai komoditas yang diproduksi oleh para manajer berorientasi pasar yang mengorbankan tanggungjawab dan integritas jurnalistik demi memenangkan kompetisi.
Kedua, berita televisi disinyalir lebih merupakan bisnis hiburan yang berupaya mengumpulkan khalayak demi kepentingan komersial. Berita, dengan demikian, bukan sebentuk pengabdian atas idealisme jurnalistik.
Ketiga, berita televisi telah mengesampingkan nilai-nilai jurnalisme profesional demi menyajikan apa yang disebut Langer sebagai ‘gratuitous spectacles’—gambaran-gambaran nan tak perlu.
Akibatnya, berita televisi terasa membingungkan, bak potongan teka-teki rumit tak terselesaikan karena dipenuhi emosionalisme yang mengambang, juga “...eksploitatif” (Langer, 1998). Mengapa pemberitaan di televisi bisa menghadirkan kritik sedemikian keras, padahal praktiknya mengikuti langkah-langkah pelaporan jurnalistik sebagaimana media pers lainnya?
Salah satu sebabnya, berita televisi terlalu bergantung pada citra-citra yang difilmkan (filmed images) sehingga kekurangan kandungan informasi. Selain itu, rutinitas media dalam praktik pemberitaan televisi mengerangka pemberitaan dalam hitungan durasi yang sangat sempit—sekitar 60 hingga 90 detik per 1 item berita, sementara ruang yang tersedia untuk segmen berita tak lebih dari 30 menit, itu pun sudah dikurangi space untuk iklan.
Tentu saja, hal tersebut tak bisa dijadikan poin untuk tawar-menawar. Idealisme jurnalisme bagaimana pun harus ditegakkan, betapa pun sulitnya. Sayangnya, realitas menunjukkan, pemberitaan TV adalah bagian dari sebuah mesin besar bernama industri media, yang di dalamnya tercakup pasar yang dibentuk lewat supply dan demand. Maka, hitung-hitungannya jadi lain, karena pasar yang mengerangka industri televisi berada dalam mekanisme rating. Produk apa pun, ketika masuk dalam mekanisme rating, mau tak mau harus berjuang untuk meraih sebanyak mungkin penonton agar meraih peringkat rating setinggi mungkin. Apa boleh buat, sampai di sini, stasiun televisi terpaksa harus mengucapkan selamat tinggal kepada etika dan idealisme jurnalistik.

Membenahi Kualitas: Bisa!
Jika kemerosotan kualitas pemberitaan semata-mata disebabkan oleh mekanisme rating yang membelenggu idealisme pemberitaan, tak dapatkah kedua hal tersebut didamaikan? Kendati (mungkin) butuh waktu lama, jawabannya adalah ‘bisa!’
Pertama, stasiun televisi harus mengubah paradigma bahwa semua produk televisi harus menghasilkan untung. Untuk itu, jangan bebani divisi pemberitaan dengan target-target rating. Kalau mau cari duit, stasiun televisi bisa memanfaatkan produk lain yang memang ditujukan untuk menghibur dan cari untung—film, sinetron, reality show, kuis-kuis, dsb.
Kedua, benahi manajemen dan kualitas sumber daya manusia. Cari manajer yang tidak semata-mata berorientasi pasar, tapi punya visi jurnalistik yang jelas. Kumpulkan kru yang benar-benar bermutu untuk menjalankan tugas-tugas jurnalistik. Jangan asal saja merekrut—pekerjaan jurnalistik tidak boleh dipandang sebelah mata, karena di sinilah integritas sebuah media dipertaruhkan di muka publik. Tentu saja, tuntutan ini berimplikasi pada sekolah-sekolah jurnalistik agar membenahi pula kurikulum, pengajaran dan kualitas pengajar jurnalistik—jangan cuma bersemangat mengumpulkan mahasiswa baru, tanpa memikirkan kualitas output-nya kelak.
Ketiga, didik publik untuk menjadi masyarakat yang cerdas informasi sekaligus melek media. Sudah saatnya televisi berhenti berdalih sebagai ‘jendela informasi’ yang hanya merefleksikan ‘realitas apa adanya’. Salah. Lewat proses seleksi, penyaringan, dan penstrukturan realitas sebelum menjadi produk yang disebut ‘berita’, televisi telah melakukan praktik-praktik ‘framing’—pengerangkaan wacana. Praktik ini menggiring khalayak pada makna-makna tertentu, opini publik tertentu, bahkan diam-diam memobilisasi publik untuk mencapai konsensus-konsensus tertentu ihwal yang normal dan tidak normal, yang penting dan tidak penting, yang substansial dan yang remeh-temeh, tanpa disadari.
Tentu saja upaya ini tidak bisa semata-mata disandarkan pada kesadaran televisi, tapi juga harus didukung oleh kemauan politik pemerintah dan kesadaran publik guna menuntut yang terbaik bagi mereka. Karena itu, sebagai khalayak yang diposisikan aktif, sudah semestinya kita mencermati dan mengkritisi secara aktif apa pun yang disodorkan televisi kepada kita. Dengan cara ini, niscaya kita bisa membantu televisi membenahi diri.


[1] Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA), Departemen Jurnalistik. Saat ini tergabung sebagai peneliti tamu LIPI dalam kajian seputar media dan khalayak. E-mail dyaning2001@yahoo.com, no telp 081584053900/0274-897486

0 komentar: