Dijadikan pengantar penerbit untuk novel Wiesel: The Judges, diterjemahkan oleh Bentang Pustaka (2005)
ELIE WIESEL, PAHLAWAN MALAM YANG MEMBUNGKAM
Ia adalah pengarang besar. Peraih Nobel Perdamaian 1986, pada usia limapuluh delapan tahun. Ia adalah seorang keturunan Rumania kelahiran Sighet, Hongaria. Pun, seorang Yahudi, salah satu saksi mata sekaligus saksi hidup kekejaman NAZI di kamp konsentrasi Buchenwald. Tentu, ia adalah manusia pilihan dari sekitar 40 juta jiwa yang tewas pada masa-masa tersebut. Tak heran, bagi beberapa pihak, ia adalah pahlawan.
Elie Wiesel menyadari betul bakat dan keterpilihannya—ialah satu dari sekian orang yang masih beruntung menghirup hawa dunia, dan bisa menjalani kehidupan yang normal, setelah nyaris dua tahun diteror NAZI secara fisik[1]. Kendati demikian, berbeda dengan orang lain yang mengubur dalam-dalam kenangan mengerikan dalam hidupnya, berpura-pura normal seolah hal buruk itu tak pernah terjadi, Wiesel memutuskan untuk membongkarnya, mengungkapkannya pada dunia, mengomunikasikannya melalui buku-bukunya. Lalu lahirlah La Nuit –Malam—yang monumental itu. Di tangannya, lahir pula sejumlah karya yang terilhami latar pedih nasib Yahudi di tangan NAZI[2].
Tak semua karyanya bercerita tentang relasi NAZI dan Yahudi. Novel yang ada di tangan Anda, dalam beberapa esei kritik, digolongkan dalam thriller berlatar modern[3]. Namun, senantiasa ada benang merah yang mengikat karya-karya Elie Wiesel. Benang merah itu adalah the question of spirituality and humanity. Spiritualitas dan kemanusiaan. Sebuah tema yang memang tak pernah lepas dalam kehidupan Wiesel sendiri--temuan yang diperoleh dari perjuangan bertahan hidup dalam kamp konsentrasi.
Tak seorangpun menyangsikan besarnya rasa kemanusiaan yang dimiliki oleh Elie Wiesel. Malam, demikian juga karya lain yang ditulis sebagai sebentuk memoar dari seorang manusia yang ditakdirkan lepas dari cengkeraman maut, tak sekadar merekam kepedihan, tapi juga menyampaikan betapa berharganya kemanusiaan—yang lebih bernilai dari sepotong nyawa manusia itu sendiri. Wiesel adalah saksi hidup kemanusiaan yang pernah bergulat nyawa dan bahkan bermain-main dengan malaikat maut, yang jaraknya tak lebih dari jempol manusia. Spiritualitas Malam dan karya Wiesel lainnya begitu dalam, intens, memberi hikmah-hikmah luarbiasa, yang hanya mungkin terlahir dari mereka yang pernah merasakan tekanan hidup-mati sesungguhnya.
Wiesel tak sekadar menulis. Ia adalah aktivis yang berada di balik sejumlah konferensi internasional yang berkaitan dengan peringatan Holocaust dan kekejaman NAZI. Ada agenda tersendiri yang agaknya dimiliki Wiesel dengan secara konsisten menggeluti tema-tema Holocaust. Tak sekadar “...the struggle against man’s inhumanity toward man”—tetapi juga karena, baginya, tidak mengomunikasikan pengalamannya, berarti mengkhianati kemanusiaan.
Sebagai saksi hidup dari sebuah tragedy besar kemanusiaan, wajar jika Wiesel merasa paling punya hak untuk bicara soal Holocaust, dan giat mengajak dunia untuk terus mengenang peristiwa itu sebagai kutukan buruk kemanusiaan. Namun, di sisi lain, pada titik inilah kemanusiaan Wiesel mulai dipertanyakan.
Adalah Mark Chmiel[4] yang mempertanyakan kemana larinya kemanusiaan Wiesel dalam tragedi Israel atas Palestina. Tulisan Chmiel, Elie Wiesel and the Question of Palestine, dengan gamblang mengupas kebungkaman Wiesel pada sikap Israel terhadap Palestina. Pada beberapa isu, Wiesel bahkan terkesan bertindak sebagai public relation officer Israel, dengan terang-terangan membela Israel, biarpun status kewarganegaraan resminya adalah warga Amerika Serikat[5]. Pertama, Wiesel dikutip menyatakan bahwa pendudukan Israel atas Palestina adalah “...an innocent occupation.” Atas dasar apa Wiesel menyatakan itu? Tak jelas. Pada sahabatnya, penulis Prancis Francois Mauriac, Wiesel menegaskan bahwa makna kemenangan dalam tradisi Israel adalah kemenangan atas diri sendiri, dan bahwa kemenangan tidak berarti harus menyerang pihak lawan. Aksi militer tentara Israel tak perlu dikuatirkan, karena mereka adalah humane soldiers –tentara-tentara yang manusiawi. Tetapi fakta memperlihatkan, pendudukan Israel senantiasa diwarnai aksi-aksi berdarah yang memakan korban jiwa.
Kedua, Wiesel tak cuma menyatakan bahwa pendudukan Gaza memang perlu. Namun, lebih jauh lagi ia menyatakan bahwa tindakan tersebut tidaklah menyalahi martabat manusia. Secara objektif sejarah mencatat, setidaknya tujuh ratus ribu warga Palestina dipaksa menyingkir pada pendudukan Israel pertama, 1948. Ini belum terhitung tragedi berdarah seperti Biafra yang mengenaskan itu. Rekaman foto para jurnalis internasional memperlihatkan anak-anak Palestina bergelimpangan darah diterpa peluru senapan serdadu Palestina. Wiesel belakangan mengaku menangis melihat tragedi berdarah itu, tapi tetap ‘membungkam’ dalam tulisan maupun pidato internasionalnya.
Ketiga, ketika kritik terhadap kebungkaman Wiesel[6] kian menjadi, inilah jawaban Wiesel: “Bangsa-bangsa yang berdiam diri ketika Holocaust terjadi, sebaiknya tetap diam saja. Dunia yang telah mengutuk dirinya sendiri dengan sikap diam (atas Holocaust) ini sudah tak punya hak lagi untuk menghakimi apa yang dilakukan Israel sekarang.” Wow !
“Saya bukan politisi. Saya tak tahu apa-apa tentang politik,” tutur Wiesel kemudian. “Saya hanya peduli pada dimensi etis dari isu hubungan Israel-Palestina,” lanjutnya. Apa yang disebut sebagai ‘dimensi etis’ itu lantas diuraikannya dalam sebuah tulisan bertajuk “To a Young Palestinian Arab” (1979). Wiesel mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap memburuknya hubungan Israel dan Palestina. Ia mengharapkan kemungkinan rekonsiliasi. Menyangkut korban-korban yang berjatuhan, dan terhadap setiap komplain yang diajukan Palestina, Wiesel membujuk, “Cobalah untuk memahami juga penderitaan warga Yahudi, termasuk hak Yahudi untuk mengklaim tanah leluhur mereka.” Ketika tragedi bom bunuh diri yang dilakukan pihak garis keras Palestina terjadi, Wiesel memberikan tanggapan yang sangat ‘khas Yahudi’, menyebut aksi itu sebagai terorisme yang ditujukan terhadap warga Yahudi yang tak berdosa. Lantas, bagaimana dengan anak-anak Biafra yang tak berdosa, pemuda-pemuda yang dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan, dan ibu-ibu Palestina yang kehilangan suami dan putera-puteri mereka dalam insiden sipil? Jadi, ketika Wiesel membuka suratnya dengan mengangkat isu etis, serta membuka harapan akan rekonsiliasi Arab dan Yahudi pada akhir dekade 70-an, akhir suratnya tidak cuma menegaskan kembali legitimasi Israel atas tanah Palestina, tetapi juga mengkhianati misi kemanusiaannya dengan menafikan penderitaan rakyat Palestina.
Wiesel pada dekade 90an adalah sosok yang tetap gigih mengingatkan dunia akan tragedi kemanusiaan Holocaust. Selama tiga puluh tahun berkarir sebagai aktivis hak asasi manusia, mendeklarasikan diri sebagai sahabat sejati manusia dan kemanusiaan, Wiesel mendapatkan The Congressional Medal of Honor dari pemerintah Amerika Serikat pada 1985. Reputasi Wiesel meluas tak sekadar penulis empatpuluh buku dengan mutu susastra yang hebat, ia juga termasuk salah satu deretan anggota penasihat tepercaya presiden AS. Terkait dengan perkembangan dunia saat ini, Wiesel menyentuh isu-isu kemanusiaan seperti pelanggaran hak asasi di Tibet oleh otoritas China, tragedi pembersihan etnis di Bosnia Herzegovina, bahkan nasib orang-orang perahu asal Vietnam. Ia terus menyerang apa yang disebutnya sebagai ‘sikap diam dunia’ tatkala tragedi kemanusiaan terjadi di berbagai belahan bumi. Ironisnya, Wiesel membungkam ketika pelanggaran kemanusiaan Israel – Palestina mulai dipertanyakan dunia. Orang yang dipahlawankan dunia karena berani membuka ruang dialog yang pedih dengan dirinya sendiri tatkala meriwayatkan kenyataan buruk dalam kamp konsentrasi, ternyata memilih bersikap diam ketika tragedi kemanusiaan lain terang-terangan terjadi di depan matanya—justru pada saat ia berada dalam posisi orang bebas, bukan sebagai tahanan yang terpenjara ...
Gue.
[1] Pendudukan Jerman di Rumania dimulai tahun 1943, sementara Wiesel dan keluarganya digelandang masuk dalam ghetto pada 1944. Belakangan, keluarga mereka tercerai-berai setelah Ibu dan saudari-saudarinya dikirim ke Auschwitz, meninggal di sana. Sementara Wiesel dan Ayahnya dikirim ke kamp konsentrasi Buchenwald—Ayah Wiesel meninggal di sini.
[2] La Nuit adalah bagian pertama dari sebuah trilogy yang diilhami dari tema yang sama. Novel lain berjudul Dawn dan Accident.
[3]The Judges by Elie Wiesel, sebuah esei singkat yang dikutip dari http://www.adirondackreview.com/. Tanggal akses terakhir 10 Januari 2005, pk. 10.15.
[4] Elie Wiesel on the Question of Palestine, ditulis oleh Mark Chmiel. http://www.tikkun.org/magazine/index.cfm/action/tikkun/issue/tik0211/article/021124.html. Tanggal akses terakhir 10 Januari 2004, pk. 10.40.
[5] Elie Wiesel memperoleh kewarnegaraan Amerika Serikat pada 1963, enam tahun setelah ia ditugaskan suratkabar Yediot Ahronot di Tel Aviv untuk meliput isu-isu PBB di New York.
[6] Kritik ini diutarakan oleh berbagai kalangan, mulai dari kalangan cendekiawan seperti Edward F. Said dan Noam Chomsky, agamawan yang diwakili oleh Rabbi Arthur Hertzberg, sampai jurnalis kritis Israel seperti Matti Golan.
0 komentar:
Posting Komentar