Memperingati Harkitnas 2017 |
8 Januari 2017, Gerakan
Anti Hoax dideklarasikan secara
serempak di 5 kota besar di Pulau Jawa. Bandung turut berpartisipasi bersama
Jakarta, Semarang, Surabaya dan Temanggung, dengan mendeklarasikan Piagam
Masyarakat Bandung Anti Hoax. Kini, lima setengah bulan setelah deklarasi serempak itu dikumandangkan, sudah sampai di mana
Gerakan Anti Hoax Indonesia? Sudahkah
berhasil meredakan produksi dan sebaran hoax
yang bikin rusuh media sosial? Sudahkah berhasil menyambung tali silaturahmi, atau
relasi kekerabatan yang retak selepas berantem gegara hoax? Sudahkah, seperti harapan teman-teman, membuat Facebook jadi
asyik dan menyenangkan kembali seperti dahulu?
Tulisan ini bermaksud meninjau
perjalanan gerakan anti hoax
Indonesia, mencermati respons-respons yang muncul terhadap gerakan tersebut,
sekaligus mencoba menilai secara objektif maupun subjektif apakah kita sudah
berhasil keluar dari pusaran hoax
yang melelahkan itu.
Dinamika Isu Hoax
Saya kira saya tak perlu
lagi membahas sejarah hoax yang
berkepanjangan. Hoax itu sudah jadi santapan sehari-hari, sudah tidak aneh
lagi. Ijinkan saya bercerita saja tentang apa yang terjadi pasca Gerakan Anti Hoax dideklarasikan. Cerita ini saya
ramu berdasarkan diskusi-diskusi dengan beberapa sahabat lain dan
aktivis-aktivis media sosial lainnya, serta observasi yang saya lakukan pada situasi di sekeliling saya--offline dan online. Begini hasil amatan saya.
Pertama, secara umum media massa menginformasikan dan
membingkai Deklarasi Anti Hoax
sebagai gerakan positif. Tentu saja, ada unsur proximity antara hoax dan
media massa. Media massa yang sehat pastilah sudah lama terganggu dengan adanya
hoax. Mereka juga tidak menutup mata
terhadap keluhan masyarakat, serta menguatirkan dampak melemahnya trust publik terhadap pers. Di sisi lain, media massa mencium isu ini
sebagai sesuatu yang bernilai berita tinggi. Para aktivis gerakan anti hoax bukan orang kemarin sore dalam
menyelenggarakan event. Mereka menggandeng tokoh-tokoh penting, mulai dari
togatoma, pejabat publik, termasuk selebritis dan figur publik lainnya. Magnitude liputan terhadap topik
deklarasi anti hoax pun membesar
dengan keterlibatan tokoh-tokoh tersebut. Hal ini berlangsung berhari-hari,
sehingga isu anti hoax terus-menerus
muncul.
Merefleksikan Gerakan Anti Hoax |
Kedua, jika media
massa merespons positif Deklarasi Anti Hoax,
bagaimana dengan masyarakat? Bagaimana dengan netizen? Nah ini lain lagi
ceritanya. Di berbagai panggung, sambutan masyarakat cukup meriah, kehadiran
komunitas-komunitas sebagai pendukung Deklarasi Anti Hoax telah berperan penting dalam melibatkan warga. Isu anti hoax
menjadi isu yang mainstream—semua
satu suara: menyepakati bahaya hoax.
Dinamika sesungguhnya
baru terlihat di media sosial. Mas Ismail Fahmi, founder Drone Emprit, pada
bulan Maret 2017 berbagi pada para peserta Talk Show Tech Talk di Habibie Center ihwal pergerakan isu anti hoax dari hari ke hari selama dua-tiga
minggu paska Deklarasi di ranah Twitter. Paparannya sungguh menarik. Sehari
setelah gerakan anti hoax
dideklarasikan, media sosial masih adem ayem. Pada umumnya netizen merespons
positif. Dua – tiga hari setelah gerakan anti hoax diluncurkan, mulai bermunculan opini negatif yang trennya kian
membesar. Pelakunya sih itu-itu saja, yaitu akun-akun penyebar provokasi yang
dikutip banyak media dan diretweet oleh followernya. Mereka menyebut gerakan Anti
Hoax ditunggangi oleh tokoh-tokoh tertentu, sebagai sarana kampanye politik.
Tudingan ini sangat manjur karena menjadi semacam ‘turnback’ bagi gerakan anti hoax.
Selaku salah satu
inisiator gerakan anti hoax di
Bandung, saya merasakan betul dampak dari turnback
gerakan anti hoax saat dibingkai menjadi
kampanye politik. Gerakan moral dituduh menjadi kampanye politik, ah, jahatnya
kalian, kawan. Turnback terhadap
gerakan anti hoax di Bandung bahkan
dilakukan oleh kalangan akademisi, kolega sesama dosen komunikasi. Sebagaimana
mereka lebih percaya pada hoax
ketimbang fakta (yang selalu dituding hasil konspirasi atau rekayasa),
mereka juga mencap gerakan anti hoax
sebagai ‘hoax yang lain lagi’. Mereka
seakan mendapatkan amunisi dari beberapa pemikir (atau filsuf?) seperti Rocky
Gerung yang dilontarkan dalam sebuah program talk show--pendapatnya berseberangan dengan gerakan anti hoax. Jangan salah, pada situasi seperti ini, gerakan anti hoax juga dicap sebagai gerakan anti
Islam dan anti UU Pers—sebuah isu yang akhirnya hilang dengan sendirinya karena Dewan
Pers ternyata mendukung Gerakan Anti Hoax
dan turut mengampanyekan serta mengedukasi masyarakat agar tidak termakan hoax.
Namun demikian, ada
fenomena yang menarik. Black campaign
terhadap gerakan anti hoax terjadi di
mana-mana. Tetapi, sebarannya bisa dilokalisir dan diminimalkan, berkat
hadirnya sejumlah pihak yang berupaya menetralisir hoax dengan memberikan penjelasan ihwal fakta yang sesungguhnya
terjadi. Kami menyebut mereka sebagai hoaxbusters.
Para hoaxbuster ini, biarpun
sedikit sekali jumlahnya, namun terbukti efektif di minggu-minggu pertama.
Mereka inilah yang membantu ‘menyeimbangkan kembali’ situasi yang tadinya
mendiskreditkan Gerakan Anti Hoax.
Ngomongin tentang Hoax itu harus ngotot! |
Ketiga, terlepas dari pro-kontra yang terjadi, Gerakan Anti Hoax mulai
melembaga di berbagai organisasi. Pemerintahan
menggeliat. Mulai dari institusi kemiliteran sampai PKK mulai menyentuh dan
membicarakan hoax. Demikian pula
dengan organisasi-organisasi keagamaan dengan organ-organ mereka. Misalnya
saja, NUtizen dan Muhammadiyah. Berbagai komunitas, baik yang bersentuhan langsung dengan isu
literasi atau tidak, mulai mengangkat isu hoax
dalam berbagai diskusi. Mereka prihatin dan ingin tahu lebih banyak lagi. Beberapa profesi
malah membentuk satgas anti hoax
tersendiri, karena merasa sering dijadikan sasaran hoax. Ada komunitas dokter, komunitas pilot, komunitas guru, dan
lain-lain. Ini pertanda bagus.
Apakah hoax sudah berhasil diatasi? Sayangnya,
belum. Situasi Indonesia yang dinyatakan ‘darurat hoax’ 5.5 bulan silam, dalam penilaian saya sekarang ini masih
belum berubah. Artinya, masih tetap darurat. Deklarasi Anti Hoax ternyata lebih tepat dimaknai
sebagai momentum memunculkan kewaspadaan terhadap hoax. Setelah biangnya ketahuan, terkaget-kagetlah kita karena
berhadapan dengan berbagai macam jenis hoax—mulai
dari framing, disinformasi, misinformasi, satir yang gagal dipahami, dan
sebagainya. Kita juga meratap-ratap gegara berhadapan dengan strategi sebaran hoax yang masif, serta berkenalan dengan
the so called cyber army dan Anonymous KW13 yang masya Allah, nggak mutu banget. Yang paling epik, kita akhirnya berhadapan dengan berbagai manusia yang
mengharamkan ini itu, kecuali hoax. Bebal, tapi keukeuh-nya tingkat dewa.
Bolehlah dibilang kalau sekarang ini kita berada dalam medan perang yang
sudah dibuka objeknya, tentaranya, panglimanya, senjatanya, dan strategi
serangannya. Namun terlalu dini untuk menyatakan siapa menang siapa kalah. Yang bisa
dipastikan, kita kini berada dalam sebuah equilibrium
baru, di mana kita harus bersiap-siap untuk ‘berperang’ di level berikutnya.
Bukan bermaksud menakut-nakuti. Tetapi, hukum game di mana-mana sama saja: jika
levelnya lebih tinggi, maka permainannya otomatis jadi lebih sadis.
Refleksi Situasi Mendatang
Bagi saya, hoax itu virus. Yang mengerikan dari
virus itu terkadang bukan inangnya (yang melemah sendiri dalam siklus waktu tertentu), atau sumbernya. Tetapi area sebarannya dan
dampak sebaran virus tersebut. Belajar dari dunia medis, pada saat virus
mewabah, tindakan yang diambil adalah (1) melokalisir virus untuk mencegah
penyebarannya, (2) menetralisir atau mematikan virus, dan (3) melakukan vaksinasi.
Berdasarkan analogi ini, maka solusi yang dirumuskan untuk mengatasi hoax adalah:
· 1. Mencetak
sebanyak-banyaknya hoaxbuster untuk
mencegah sebaran hoax.
· 2. Membuat pusat
verifikasi fakta, aplikasi, clearinghouse,
atau apalah sebagai rujukan orang untuk mengecek kebenaran informasi atau
menetralisir hoax.
· 3. Menanamkan
kompetensi literasi digital pada masyarakat.
Suasana Diskusi yang Hangat di Los Tjihapit |
· 4. Creative Campaign
(Online & Offline)
· 5. Membuka
networking, berjejaring atas dasar solidaritas dan common interest.
· 6. Mengadakan rembug
nasional untuk meruntuhkan sekat-sekat echo chamber.
· 7. Dan lain-lain.
Jika ditanya ke arah mana
gerakan anti hoax kita sekarang ini,
jawabannya bagi saya sederhana saja. Gerakan ini bertitiktolak dari
keprihatinan akan parahnya hoax yang
dipercaya begitu saja. Itu sebabnya, gerakan Anti Hoax pada dasarnya adalah gerakan moral yang fokusnya pada character building. Arahnya tidak
berubah, yaitu pada pencerdasan bangsa. Inilah awal dan akhirnya Gerakan Anti Hoax. Cuma, kalau dulu, dengan naifnya saya berpikir
bahwa gerakan anti hoax telah membuka
sebuah pintu, lantas kita tinggal menata dan mengisi ruangnya saja. Sekarang, saya merasa
pintu yang telah dibuka mengantarkan kita pada pintu lain yang harus dicapai
dengan mendaki puluhan anak tangga. Begitu pintu dibuka, ada hantu-hantu bergentayangan yang tak rela zona nyamannya diganggu, sehingga mengobarkan permusuhan dan berusaha merebut medan dengan segala cara.
Serem? Lama-lama, nggak juga sih. Hoax itu bagaimanapun adalah sebuah
permainan. Kalau mau menang ya harus bisa mengendalikan permainan. Jangan malah
terpancing dengan permainan orang lain. Selebihnya adalah persoalan menjaga
kewarasan, meningkatkan kecerdasan, dan memelihara stamina dan kesehatan agar
mampu ‘menangkis’ hoax. Jelas semua
ini tidak mudah, apalagi di tengah masyarakat
yang baperan dan emosian seperti di Indonesia. Biarpun demikian, tetap harus ada yang memulai dan meneruskan gerakan ini. Anda,
saya, mereka. KITA.
Setiap orang wajib menjadi HOAXBUSTER! |