Sabtu, 04 Agustus 2007

LASKAR PELANGI: Masa Kecil yang Ageless, Timeless, dan Borderless...

Laskar Pelangi:
Masa Kecil yang Ageless, Timeless, dan Borderless...

Santi Indra Astuti
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi UNISBA, Departemen Jurnalistik.
Pecinta Buku.

Masih ingat Totto-chan? Anak perempuan kecil dalam novel karya Tetsuko Kuronayagi ini pernah begitu memikat komunitas pembaca Indonesia di tahun 80an. Edisi fotokopinya beredar di antara mahasiswa-mahasiswa Bandung aktivis Mesjid Salman, bahkan menginspirasi mereka untuk mendirikan lembaga pendidikan dengan pendekatan yang sama: mendidik yang membebaskan, mendidik yang menghargai keunikan anak-anak. Totto-chan: The Little Girl at the Window karya Tetsuko Kuronayagi, terbit 1981, dan saat ini edisi Indonesianya sudah memasuki cetakan ke delapan. Sebuah buku yang timeless, sekaligus ageless. Kalau buku ini seolah menjadi ‘bacaan wajib’ di kalangan pembaca dewasa serius pada akhir 80-an, maka pada tahun-tahun sekarang, anak-anak SD sudah mulai menyimaknya dengan tekun.

Sekadar mengingatkan, kekuatan buku Tetsuko begitu mengagumkan—ia memaku para pembaca dari jenjang usia yang berbeda. Bukan sekadar bercerita tentang kelucuan tingkah polah seorang Totto-chan, tapi lebih dari itu, buku itu mengajari kita bahwa masa kecil bukanlah the past yang eksklusif milik sang pelaku. Kendati berada dalam satu konteks waktu tertentu, ternyata dunia kecil hidup begitu utuh—intact. Maka dari itu, memoar Tetsuko menjadi ageless. Buku Tetsuko juga menjadi best-seller internasional—inilah bukti bahwa buku tentang masa kecil anak perempuan Jepang di sekolah Tomoe yang progresif menjelang Perang Pasifik itu bersifat cultural transgressing—lintas kultural. Atau mungkin cultural borderless—tidak berbatas kultural, sehingga bisa dinikmati oleh siapa saja, dari latar budaya manapun. Masa kecil (dan esensi pendidikannya) mungkin memang berada dalam ‘bahasa’ atau ‘wacana’ universal yang sama sepanjang waktu di kepala manusia. Namun, tak semua karya yang mengangkat wacana ini menjadi luarbiasa. Agaknya, hanya karya yang disajikan tanpa pretensi egois dan narsistis dari penulisnya-lah yang berpotensi menjadi sebuah karya besar: timeless, ageless, dan borderless.


Lalu, bagaimana dengan “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata?

Laskar Pelangi

“Laskar Pelangi” bertutur tentang masa kecil dan dunia pendidikan khas Indonesia. Lebih spesifik lagi: Melayu Belitong. Lengkap dengan kemelaratan, idealisme yang polos, alam yang liar, juga fantasi yang hadir memikat di setiap tikungan. Sepuluh anggota Laskar Pelangi—demikian mereka menyebut diri--adalah murid SD Muhammadiyah yang hidup dalam kekurangan di rumah mau pun di sekolah. Beberapa di antaranya adalah si jenius Lintang, Mahar sang seniman, Sahara yang judes, Flo yang tomboi, A Kiong yang penggugup, Kucai sang politikus, raksasa Samson, dan Harun si ‘anak kecil yang terperangkap dalam tubuh dewasa’—sebuah metafor yang menarik untuk menggambarkan kondisi keterbelakangan mental Harun. Tokoh ‘aku’ adalah Ikal sang pemimpi, dan dari kacamatanyalah kisah demi kisah dalam masa kecil dan dunia sekolahnya dituturkan dengan menarik, cerdas, penuh humor, tapi juga tragedi yang mengharu-biru. Simak, misalnya, bagaimana sekolah yang miskin diilustrasikan dengan penutup lubang sekat berupa poster bergambar “... seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia memegang sebuah gitar penuh gaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah menghadapi cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia memang telah bertekad bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi... wajah sang pria melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan ... “ Ada dua kalimat di bagian bawah poster yang awalnya tak terbaca oleh Ikal. Namun, “... setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca, aku mengerti bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!”

Seru! Novel ini tidak mengajak pembaca untuk menangisi kemiskinan. Sebaliknya, mengajak kita untuk memandang kemiskinan dengan cara lain, tepatnya melihat sisi lain dari kondisi kekurangan yang mampu melahirkan kreativitas-kreativitas tak terduga. Keterbatasan-keterbatasan yang dialami nyatanya menumbuhkan anggota Laskar Pelangi menjadi karakter-karakter yang unik. Kenakalan-kenakalan kecil bercampur dengan kepolosan yang cerdas, menghadirkan satu adonan menakjubkan tentang bagaimana masa kecil dipersepsi dan dijalani oleh anak-anak yang luarbiasa ini. Mereka menjadi luarbiasa karena hidup dalam keterbatasan, luarbiasa karena dibesarkan dengan idealisme pendidikan yang terasa naif di zaman sekarang, sekaligus luarbiasa karena garis nasib menuntun mereka menjadi sosok-sosok yang tidak pernah terduga oleh siapapun.

Memoar, Sastra Riset

“Laskar Pelangi” bersumber dari kisah nyata penulisnya. Andrea dibesarkan dalam tipikal keluarga menengah Indonesia yang lebih sering beresiko njomplang ke bawah daripada naik ke atas, di sebuah kampung miskin yang berbatasan dengan sebuah ‘kerajaan besar’—PN Timah dengan semua fasilitas yang mewah dan mahal—di tengah asuhan budaya keluarga yang masih kental dengan nilai-nilai Islami. Sekolah yang diceritakan di sini adalah kelas-kelas berdinding kayu, berlantai tanah, beratap bocor, yang kalau malam menjadi kandang hewan. Tanpa poster burung Garuda, foto presiden dan wakil presiden. Amat sederhana bangunan sekolah itu. Tapi persoalan apapun menyangkut pendidikan tak pernah sederhana...

Menariknya, Andrea mengolah semua itu tanpa terjebak pada keberpihakan primordialitas, penyimpulan yang general dan simplistis yang lagi-lagi menyalahkan kesenjangan ekonomi, atau melarikan semua persoalan pada isu-isu normatif yang semata-mata bersandar pada dogma-dogma religius. Lewat tuturan masa kecil di sekolahnya dan narasinya yang begitu peka dan kaya akan amatan sosiokultural, Andrea meyakinkan pembacanya ihwal the magic of childhood memories, serta adanya pintu keajaiban untuk mengubah dunia: pendidikan. Karenanya, sebagaimana Totto-chan berterima kasih pada sang Guru, Shosaku Kobayashi, maka dalam “Laskar Pelangi” tergambar pula kecintaan dan rasa hormat pada para Guru. Bagi Andrea, guru-guru seperti Bu Mus dan Pak Harfan adalah pelita, dalam arti yang sesungguhnya. Kedua karya tersebut mengajak para pembaca untuk berterima kasih pada sang Guru dan merenungkan jasa-jasa mereka tanpa upacara atau nasihat-nasihat klise.

“Laskar Pelangi” merupakan sebuah memoar, dan mengolah memoar menjadi novel yang memikat bukan perkara gampang. Nyatanya, “Laskar Pelangi” menjadi memoar yang sangat menarik. Ia menjadi sebuah karya yang menyentuh secara emosional, tapi juga mencerahkan secara intelektual. Deskripsi yang sangat filmis ihwal nature maupun culture dalam Laskar Pelangi tidak saja mampu menarikan imajinasi membentuk theater of mind di dalam benak. Lebih dari itu, kekayaan referensi lewat kajian literatur yang diolah menjadi bagian-bagian menarik dalam novel ini –mengejutkan—layak pula dijadikan setidaknya sebagai awal dari suatu rujukan ilmiah. Dalam glosarium, tercantum lebih dari seratus entri untuk pelbagai hal, meliputi tetumbuhan (lais—tandarus furcatus, anggrek azalea—tainia shimadai), hewan (kupu-kupu kuning—papilio blumei, cinenen kelabu—sejenis burung), mineral (siderit, zirkonium, topas), pangan (caesar salad, chicken cordon bleu, gangan, jadam), sampai istilah ekonomi dan budaya (trickle down effects, trade off, buntat, agnostik). Agaknya, karya ini mulai mencerminkan apa yang belakangan ini marak disebut-sebut sebagai ‘sastra riset’—karya sastra berbasis riset, yang antara lain dipopulerkan (bukan dipelopori!) oleh novelis-novelis kontemporer Dewi Lestari dan Ayu Utami.

Ageless, Timeless, Borderless

Sebagaimana Totto-chan, “Laskar Pelangi” berkualitas ageless, timeless, dan borderless—biarpun dituturkan dengan latar budaya Melayu Belitung yang sangat kental. Setiap potongan dan perabotan dunia yang hadir di masanya juga merupakan sebuah deskripsi realisme magis-kritis, yang di beberapa bagian mungkin membuat kita merinding karena beraroma Gogol, atau bahkan Marquez (simak: bab 10 “Bodenga”). Dalam “Laskar Pelangi”, Andrea menempatkan masa kecilnya dalam konteks yang tak lepas dari pergolakan sosial budaya, tanpa berlarut-larut atau mengasyikkan diri dalam persoalan itu. Sehingga, novel ini bisa dibaca dari berbagai perspektif: eksotisme dan romantisme masa kecil, ilustrasi kritis-sosiologis terhadap eksploitasi Belitung, atau sekalian saja perdebatan ilmiah tingkat tinggi antara jenius-jenius yang memahami dasar-dasar Principia Newton.

Maka, kalau pun ada sesuatu yang rasanya tidak logis bagi nalar kita, mungkin itu disebabkan pengalaman kita begitu terbatas pada dunia persekolahan dalam bingkai kurikulum pendidikan yang tak pernah baku dan konsisten. Sehingga, terasa tak masuk akal jika seorang Lintang yang berpendidikan SD dari pedalaman Belitung, dan miskin pula, dalam novel ini menantang seorang master fisika jebolan perguruan tinggi terkenal dalam diskusi seputar prinsip-prinsip optik Descartes, Newton, sampai Hooke. Sama pula tak masuk akal—rasanya—anak-anak papa yang sehari-harinya bergulat dengan nasib menjadi buruh pemarut kelapa atau penangkap ikan ini ternyata begitu fasih menyebut-nyebut ‘Tennessee Waltz’ dan Jim Morrison dalam percakapan mereka! Tapi, sekali lagi, walau dibayang-bayangi masa kecil penulisnya, karya ini diluncurkan sebagai novel. Sebuah novel tetaplah novel—batas fakta dan fiksi imajinatif rekaan penulisnya tentu tak perlu diperdebatkan lagi. Memperdebatkan kualitas isi dan penuturannya jelas lebih relevan.

Di tengah booming novel-novel chick-lit dan ‘sastra sexist‘ (bukan pengertian sexist dalam wacana gender, melainkan sexist karena mengekspos seksualitas dan sensualitas!), karya Andrea menjadi alternatif yang mencerahkan sekaligus melegakan. Novel ini berpotensi menjadi satu di antara sedikit karya yang bakal membuat kita tergugah untuk menjenguk kembali sisa-sisa kenangan masa kecil yang mungkin masih kita miliki, serta menghormati sekolah dasar kita, guru-guru kita, lingkungan kecil kita, teman-teman bandel yang kerap menggoda dan dulu begitu menjengkelkan. Mungkin, itulah satu-satunya yang tersisa dari jatidiri kita yang masih memperlihatkan serpih kejujuran, setelah hasrat duniawi menopengi kita dengan beragam citra artifisial untuk meraih semua keinginan dalam kerakusan ambisi kita... (000)

Dimuat di Koran Tempo, Minggu tgl 30 Oktober 2005

0 komentar: