Dimuat di HU Kompas, Sabtu 24 Juni 2006 halaman 7 (cihui! Dua artikel gue dimuat di Kompas bulan ini...)
Bencana, Wujud Penderitaan Nan Agung
Santi Indra Astuti[*]
Rabindranath Tagore pernah menuturkan, “Penderitaan itu agung. Tapi manusia lebih agung lagi.” Kata-kata ini dikutip oleh Dominique Lapierre dalam novelnya yang sangat menggugah, City of Joy, untuk menggambarkan pergulatan manusia di kawasan kumuh Anand Nagar dalam mengatasi kepapaan dan kemalangan mereka. Kalimat ini pulalah yang seakan bergema kembali di Yogya, pascagempa 27 Mei 2006. Gempa yang menewaskan sekitar 5800 jiwa, dan menghancurkan lebih dari 216 ribu rumah, dengan kerugian ratusan milyar rupiah, ternyata tidak disikapi dengan kesedihan berkepanjangan.
Etos Kerja yang Tahan Banting
Lima hari setelah gempa mengguncang, sejumlah relawan independen di wilayah Bantul menjadi saksi kenyataan yang mencengangkan. Beberapa warga di sana tampak mengenakan kaos oblong bertuliskan “Kami bukan pengemis.” Wajah-wajah sedih memang masih terlihat. Tapi helaan napas warga setempat tak lagi melulu bergelayut duka, melainkan acap merupakan sengal-sengal kelelahan setelah kerja keras membereskan puing, atau membantu mengangkuti dan mendistribusikan bantuan.
Di Dukuh Kepatihan, Kalasan, pada hari ketiga bencana, warga mulai berupaya membangun dapur umum sendiri. Sehingga, saat sumur-sumur bisa difungsikan kembali, praktis para relawan tinggal memastikan aliran suplai dapur umum saja. Seiring dengan beroperasinya dapur umum secara mandiri, warga setempat juga mulai bangkit bergotong royong menata kehidupan mereka sendiri.
Tanpa menunggu realisasi janji pemerintah untuk mengucurkan dana, korban gempa pada umumnya sudah mulai bekerja bakti. Di Dukuh Kepatihan, warga punya target membereskan reruntuhan 2-3 rumah setiap hari, sambil membangun tempat berteduh sementara bagi setiap keluarga. Hanya selang dua hari setelah dapur umum difungsikan dan kerja bakti dimulai, ibu-ibu setempat yang sehari-hari punya home industry rempeyek memberanikan diri untuk meminta modal agar bisa berproduksi kembali. Dengan uang sebesar delapan puluh ribu rupiah, hasil sumbangan instant para simpatisan, ibu-ibu yang gagah berani ini mulai memproduksi rempeyek dan menjualnya ke pasar-pasar. Rumah saja belum jadi, kok sudah ingin jualan lagi? Jawabannya sederhana saja: “Malu tho, masak dikasih terus...”
Fakta ini memperlihatkan, bahwa di balik sikap nrimo khas Jawa yang kerap dikambinghitamkan sebagai penghambat kemajuan, tersimpan etos kerja dan semangat produktif yang betul-betul tahan banting. Kesadaran bahwa nasib hanyalah cakra penggilingan yang tak henti berputar, ternyata disertai kekeraskepalaan tak sudi menyerah pada deraan nasib. Bencana dan penderitaan kolektif justru membuat masyarakat korban gempa lebih cepat bangkit. Mereka mampu saling menguatkan diri untuk menghadapi masa depan.
Solidaritas, Humor, dan Ilmu Ngglethek
Penderitaan yang ‘dinikmati’ bersama juga memunculkan kualitas kemanusiaan lain yang tak kalah luarbiasa. Ada solidaritas yang terbangun di seluruh pelosok Indonesia. Ini terlihat dari aktivitas penggalangan dana yang berlangsung di mana-mana, oleh siapa saja. Di Yogya sendiri, warga yang selamat bergotong royong membuka dapur umum. Biarpun hanya bisa menyumbang beberapa nasi bungkus, atau gudhangan, tepatnya sego kucing seharga enam ratus rupiah per bungkus, kepedulian warga setempat membuat korban merasa dirinya tidaklah sendirian. Solidaritas semacam ini muncul spontan tanpa perlu digerakkan oleh momen-momen Deklarasi Hari Solidaritas Nasional, yang beberapa tahun silam disertai konvoi pejabat dan acara gerak jalan ke daerah-daerah.
Dalam kesusahan, di balik isu penjarahan bantuan, acap ditemukan sikap tidak mementingkan diri sendiri. Rekan relawan dari De Britto bertutur ihwal seorang nenek yang sebatangkara di wilayah Berbah, salah satu lokasi gempa terparah. Ketika diberi jatah ransum setelah sekian hari wilayahnya tak tersentuh bantuan, sang nenek malah balik bertanya: apakah yang lain sudah kebagian? Sementara itu, di balik kelangkaan barang akibat sentra produksi yang hancur dan terhambatnya alur distribusi, para pedagang di pasar-pasar tradisional bermodal pas-pasan memilih tidak menaikkan harga, malah menurunkannya. “Selamat saja sudah untung, orang susah kok mau ditambah susah lagi.” Begitu prinsip mereka. Sikap tak egois dan mendahulukan kepentingan sesama ini sungguh sangat menyentuh. Tak heran jika di wilayah yang hancur ini, warganya dalam hitungan hari sudah mampu tersenyum lagi, bahkan dengan enteng menertawakan nasib mereka. Ini terungkap dari perkataan seorang pengungsi asal Bantul yang mengaku sebagai “Gelandangan baru yang nambah-nambahin jumlah gelandangan di Indonesia, hehehe..”
Mentalitas super macam apa yang dimiliki oleh manusia-manusia ini? Mengapa mereka bisa sedemikian tabah dan begitu cepat bangkit—bahkan mampu menertawakan ironi kehidupan dan memelesetkan penderitaan mereka? Meminjam istilah Sindhunata, inilah ‘ilmu ngglethek’, yaitu “ilmu tertawa dan menertawakan hidup.” Ngglethek tingkat tinggi, menurut Sindhunata, adalah saat di mana kita bisa tertawa atas tertawa kita, yang ternyata belum tertawa apa-apa... mereka yang pandai tertawa ini, dialah yang paling cepat sampai pada vanitas vanitatum mundi, kesia-siaan dari segala kesia-siaan hidup ini. Jadi, di balik ilmu ngglethek. tersimpan filosofi kehidupan yang menyadarkan manusia bahwa “... untuk mengalami kepuasan, kita justru harus rela kehilangan segala kepuasan yang dicita-citakan” (Sindhunata, 2004:77). Inilah saripati hidup! Dan dalam hal ini, korban gempa Yogya telah berhasil lulus ujian ilmu ngglethek tingkat tinggi dengan nilai A plus.
Lantas, apa implikasi dari kualitas mental semacam ini, jika dikaitkan dengan penanganan korban pasca gempa? Jelas, pemerintah dan LSM-LSM semestinya lebih berhati-hati dan cermat dalam merencanakan bentuk-bentuk bantuan. Jangan sampai keputusan mengucurkan dana rekonstruksi merusak semangat solidaritas dan gotong-royong yang telah berakar di tengah masyarakat. Kebijakan ekonomi dan pemulihan industri kecil juga mesti dipikirkan secara matang agar tak merusak etos kerja dan semangat produktif di antara warga korban gempa.
Pesan dari lokasi bencana sebenarnya sederhana saja. Dengarkan suara rakyat, mereka lebih tahu apa yang dibutuhkan dan harus dilakukan. Korban yang menderita terbukti sungguh agung. Mereka mampu menyikapi penderitaannya secara arif, ketimbang kita yang berusaha menunjukkan wajah simpati dan sedih, tapi sebenarnya merasa gembira dan lega karena lolos dari bencana...(000)
[*] Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Komunikasi UNISBA, bermukim di Yogya.
0 komentar:
Posting Komentar