Minggu, 05 Agustus 2007

Sejarah Sebagai Pengalaman 'Hidup'

Sejarah Sebagai Pengalaman ‘Hidup’
(Jalan-jalan ke Museum Civil Rights Action di Amerika Serikat)
Oleh: Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si.


History must be remembered, so it won’t repeated again and again....
Sejarah harus diingat, hingga tak akan berulang kembali.

Kata-kata ini rupanya terpateri betul dalam benak para pengelola museum di Amerika Serikat—khususnya museum-museum yang mengangkat peristiwa-peristiwa hitam dalam sejarah mereka. Museum dan sejarah bukanlah bagian dari proyek lupa. Karena itu, bekas-bekas luka akibat tragedi sejarah tak boleh disembunyikan, melainkan harus diekspos agar setiap orang mengetahui dan merasakan luka tersebut. Dengan demikian, di masa mendatang, luka semacam itu tak perlu terjadi lagi. Itulah pelajaran penting yang diperoleh dari kunjungan ke beberapa museum sejarah di Amerika Serikat.

***

Saya adalah bagian dari sebuah kelompok yang beranggotakan 15 orang, berasal dari tiga propinsi di Indonesia: Jawa Barat, Banten, dan Bangka Belitung. Kami terpilih sebagai peserta Community Leadership Program yang diselenggarakan oleh Heartland International dan Center for Civic Education pada bulan Mei 2007, yang berlangsung selama 3 (tiga) minggu. Selain menjalani orientasi tentang pendidikan di Chicago, kami juga dijadwalkan mengunjungi Memphis (ibukota negara bagian Tennessee); Clarksdale dan Oxford di Mississippi; Birmingham, Selma, dan Montgomery di Alabama; dan Atlanta sebagai ibukota negara bagian Georgia. Daerah-daerah ini dikenal sebagai wilayah Deep South, tempat pergolakan perjuangan anti diskriminasi rasial paling sengit terjadi di Amerika Serikat. Inilah oleh-oleh hasil berkunjung ke berbagai museum di sana.

Sejarah Perjuangan Hak-Hak Sipil AS: Dua Tonggak Peristiwa
Sebelum saya ceritakan oleh-oleh dari kunjungan ke berbagai museum di Deep South, agaknya perlu saya paparkan sedikit sejarah perjuangan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Setidaknya ada dua peristiwa bersejarah yang dijadikan tonggak perjuangan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Pertama, Perang Sipil antara wilayah Utara dan Selatan (1861-1865) yang bertujuan menghapuskan perbudakan di seluruh Amerika. Kedua, perjuangan menghapuskan politik segregasi pada kurun waktu tahun 1950-1968. Politik segregasi adalah perbedaan hak dan diskriminasi rasial yang berujung pada pembedaan perlakuan antara warga kulit putih dan kulit berwarna di Amerika Serikat.
Walau terpisah nyaris seratus tahun, kedua peristiwa tidak terlepas satu sama lain. Pada dasarnya, baik Perang Sipil maupun perjuangan desegregasi merupakan upaya warga kulit berwarna atau Afro Amerika untuk menghilangkan diskriminasi rasial yang menindas mereka. Kedua peristiwa menuntut pengorbanan yang tidak sedikit. Apabila Perang Sipil memunculkan Abraham Lincoln sebagai martir dalam perjuangan hak-hak sipil, maka perjuangan desegregasi yang berlangsung seratus tahun sesudah era Lincoln memunculkan Dr. Martin Luther King, Jr. sebagai martirnya.
Dr. Martin Luther King, Jr. (www.news-service.stanford.edu)

Motel Lorraine: Perjalanan Kilas Balik
Perjalanan kami menelusuri jejak-jejak perjuangan hak-hak sipil di AS ini merupakan sebuah kilas balik kehidupan Dr. Martin Luther King, karena diawali dengan kunjungan ke National Civil Rights Museum di Memphis. Di ibukota negara bagian Tennessee inilah Dr. Martin Luther King tewas ditembak. National Civil Rights Museum sendiri dulunya adalah sebuah motel, Motel Lorraine. Pasca penembakan Dr. King, Motel Lorraine masih sempat beroperasi sebelum akhirnya bangkrut. Pemiliknya lalu membentuk yayasan bersama sejumlah simpatisan Dr. King untuk menjadikan tempat itu sebagai museum.

National Civil Rights Museum, bangunan setengah motel (v_ptourist.com)

Di museum inilah pertama kali saya menyadari bahwa sejarah bukan sekadar untuk diceritakan, dengan memajang artefak-artefak yang bisu. Tidak. Sejarah, agar bermakna, harus direkonstruksi menjadi sebentuk pengalaman yang mencubit keras pengunjungnya, sehingga memberkaskan kesan tak terlupakan.
Memasuki Motel Lorraine yang telah disulap menjadi museum, kami berhadapan dengan tembok besar berwarna gelap, yang kalau didekati ternyata merupakan relief terdiri dari ribuan sosok manusia berduyun-duyun mendaki puncak-puncak karang. “Inilah gambaran ihwal sulitnya, dan pedihnya perjuangan menghapuskan diskriminasi rasial,” kata pemandu museum. “Anda bisa melihat, begitu banyak yang berjuang, terinjak-injak, untuk mencapai tempat yang setara, namun tak satupun yang berhasil mencapai puncak...” Sebuah gambaran yang betul-betul gamblang.
Dari situ, kami diajak memasuki sebuah studio kecil untuk menyaksikan dokumenter perjuangan desegregasi tahun 60-an di Amerika Serikat. Lewat dokumenter sepanjang delapan menit itu, pergolakan penghapusan diskriminasi rasial disampaikan secara ringkas, namun padat dan informatif. Dokumenter itu antara lain memperlihatkan peristiwa Boycott Bus di Montgomery, Freedom Ride di sepanjang jalur bis Greyhound di Selatan, March to Freedom dari Selma ke Montgomery di negara bagian Alabama, sampai pertemuan akbar di depan Lincoln Memorial di Washington DC., tempat Dr. King menyampaikan pidatonya yang termasyhur “I Have A Dream.”

Tepat di belakang krans bunga itulah Dr. King ditembak. Salah satu sudut Motel Lorraine yang kini diabadikan sebagai museum, National Civil Rights Museum (www.bluejeans.com).

Dari sana, kami menyusuri lorong demi lorong yang ditata untuk memperlihatkan kronologi penindasan terhadap warga Afro-Amerika di Amerika Serikat, yang dimulai di ‘Lorong Perkebunan.’ Sepanjang lorong ini, terdapat display berupa foto dan keterangan yang ditata secara menarik—sebuah cerita tentang tragedi perbudakan. Selain terdapat foto-foto peristiwa dan lukisan budak yang dirantai dan diperlakukan semena-mena, terpajang pula lukisan dan foto-foto para pejuang anti perbudakan generasi awal seperti Frederick Douglas, Harriet Tubman, dan Sojourner Truth.
Di lorong ini kami berhadapan dengan seorang laki-laki Afro-Amerika. Tadinya, kami kira orang ini sesama pengunjung museum. Tapi, begitu melihat kami, ia langsung mendekati kami dan bertutur. Katanya, ia seorang budak yang berasal dari masa lalu, masa perbudakan. Lewat mesin waktu, ia tak sengaja mampir di masa kita. Lalu ia bercerita tentang pedihnya perbudakan. Caranya berbicara, kostumnya yang compang-camping, ekspresinya yang masygul, dan aksennya yang khas Selatan ala budak perkebunan yang tak terpelajar (“My Missus,” “No, syeeehh...”) membuat saya merinding, karena ia betul-betul seperti budak yang tersesat ke dalam lorong waktu. Happening art yang keren ini berakhir setelah pada menit ke tujuh, ‘budak’ ini mengganggu orang-orang yang mengelilinginya dengan penegasan, “Kalian pikir kalian sekarang adalah manusia bebas? Tidak, kalian masih terbelenggu seperti kami. Kalian masih terbelenggu, kalau kalian hanya diam saja menyaksikan ketidakadilan berserakan di sekitar kalian!” Lalu budak ini terdiam, ekspresinya mendatar kembali. Ia berbalik menatap dinding, menghadapi display itu layaknya seorang pengunjung museum mengamati pajangan foto-foto di dinding. Kami bertepuk tangan kagum. Display itu tak lagi pajangan yang dingin! Seniman ini memberinya sentuhan makna yang membuat kisah-kisah selanjutnya yang kami baca menjadi hidup...

Salah satu sudut National Civil Rights Museum: replica bis yang menggambarkan peristiwa Boycott Bus di Montgomery, dengan Ny. Rosa Parks sebagai tokoh utamanya (www.historycooperative.org).

Lorong-lorong selanjutnya mengembangkan peristiwa demi peristiwa dalam sejarah perjuangan penghapusan politik segregasi, yang secara ringkas telah disampaikan oleh dokumenter tadi. Pada tempat-tempat tertentu, kami bertemu kembali dengan ‘tokoh-tokoh hidup’ yang menyajikan happening art seperti ‘budak’ tadi. Di lorong Boycott Bus yang mengenang peristiwa pemboikotan bis di Montgomery, kami bertemu dengan seorang nyonya dengan dandanan busana tahun 60an. Ia bertutur, “Hatiku sedih mendengar anak-anakku terus bertanya, Mami, aku capek berdiri terus di bis ini, mengapa bangku kosong itu tak boleh kita duduki? Mengapa kita mesti kehujanan di sini? Mengapa kita tidak boleh masuk ke kafe itu dan minum cokelat panas di sana? Tahukah kalian, semua itu ada tulisannya, FOR WHITE ONLY. Bagaimana aku harus menerangkan pada anak-anakku bahwa karena mereka black, maka mereka tak boleh masuk ke sana? Bagaimana harus kujelaskan pada mereka?”
Nyonya itu tidak berteriak-teriak, ia bicara dengan miris, dan tenggorokan saya tersekat mendengarnya. Jantung saya serasa dicekam. Mata saya berkaca-kaca. Kalau budak tadi membuat saya merasa marah pada tuan tanah perkebunan, nyonya ini dengan sukses membuat saya bisa merasakan pedihnya dibanting sebagai ‘bukan manusia.’
Ketika mendekati penghujung lorong yang menceritakan kiprah Dr. King sebagai pejuang hak asasi, kami melewati lorong yang di kiri-kanannya tak ada foto atau tulisan, tapi citraan orang-orang seukuran kami, dikelilingi wartawan foto yang sibuk memotret dan menebarkan blitz. Riuh rendah suasana yang dimunculkan audionya. Saya serasa melewati sebuah lorong mendaki... yang ternyata berujung pada sebuah mimbar tempat Dr. King berdiri, di depan Lincoln Memorial, untuk menyampaikan pidatonya yang terkenal. Rupanya, di sini kami diberi ‘pengalaman’ sebagai orang yang turut hadir dalam March di Washington pada tahun 1967! Ada screen besar yang menampakkan Dr. King dalam peristiwa bersejarah tersebut. Suara Dr. King terdengar lantang, “Free at last. Free at last. Thanks God Almighty, we are free at last!” Gemuruh yang lantas dimunculkan oleh audio, merekam gegap gempita suasana ketika itu, sungguh menggetarkan hati. Sensasinya luar biasa. Kami serasa menjadi bagian dari perjuangan hak asasi manusia ketika itu—menjadi bagian dari sebuah sejarah yang mengubah dunia. Wow!
Tak cukup dua jam dihabiskan di museum itu. Saya sungguh terkesan berada di sana. Cara museum menyiapkan artefaknya betul-betul luarbiasa, hingga seorang outsider dalam sejarah Amerika dengan penguasaan bahasa Inggris pas-pasan seperti saya, bisa terlibat langsung dalam rekonstruksi sejarah, dan merasakan gelora serta emosi dari peristiwa-peristiwa bersejarah yang dihadirkan di sana. National Civil Rights Museum kini menjadi bagian penting dari perjuangan hak sipil dunia, karena dikembangkan pula sebagai Center for Civil Rights Action yang mendokumentasikan perjuangan hak asasi manusia di seluruh dunia. Setiap tahun, organisasi ini juga memberikan Freedom Award kepada tokoh-tokoh yang dianggap berjasa memperjuangkan hak asasi manusia di seluruh dunia.

Slavery and Civil War Museum : Menjadi Budak!
Selain National Civil Rights Museum di Memphis, kami juga berkunjung ke Slavery and Civil War Museum—sebuah museum yang didedikasikan untuk merekam tragedi perbudakan yang memicu Perang Sipil. Letaknya di kota Selma, Alabama. Joanne Harris, pemandu tur kami di kota Selma, sebelumnya wanti-wanti memberitahu kalau di sana nanti kami akan bertemu dengan “ ... a wacko.” Orang gila. “Turuti saja apa maunya, kalian akan baik-baik saja,” katanya. Wah, bikin dag dig dug saja. Betul juga, di depan museum yang tampak kumuh, seorang wanita Afro-Amerika bersurban warna-warni, tinggi besar, dengan rambut dikepang kecil-kecil yang ujungnya diikatkan pada kerang-kerang, menyambut kami dengan tampang sangar. Sebelumnya ia tampak beradu mulut dengan Joanne, kelihatan tak senang dengan kedatangan kami.

Saya dan rekan saya, Kiki, berfoto di depan Slavery and Civil War Museum di Selma, Alabama. Yah, tampilan depannya memang begitu doang... Tapi, pengalaman di dalamnya, sungguh berkesan! (Dokumentasi: pribadi).

Begitu turun dari bis, perempuan ‘gila’ tersebut langsung membentak-bentak kami sambil meneriakkan serangkaian perintah. Dengan bahasa pas-pasan, dibantu oleh penerjemah kami yang juga mengalami perlakuan serupa, kami dibariskan menjadi dua, masing-masing diperintahkan masuk ke sebuah ruang gelap dengan kepala menunduk, badan menempel menghadap di dinding. Satu persatu kami ditarik, dipisahkan memasuki bilik kecil yang betul-betul pekat tanpa cahaya—inilah, katanya, bilik hukuman untuk para budak yang nakal. Saya berbisik-bisik dengan beberapa teman mencoba menerka adegan berikutnya, tapi langsung dibentuk oleh perempuan ini. Kami tahu sedang menjalani rekonstruksi menjadi budak atau warga Afro-Amerika di era segregasi. Tapi kami tak punya bayangan selanjutnya akan ‘diapakan.’
Dari ruangan itu, kami digiring masuk ke sebuah ‘kapal’—inilah adegan penculikan suku-suku pedalaman Afrika. Penyiksaan, penderitaan di dalam kapal, seperti borok yang bernanah, kanibalisme, perkosaan dan budak-budak perempuan yang melahirkan dalam kondisi mengenaskan, mengingatkan pada adegan serupa yang difilmkan Steven Spielberg dalam “Amistad.” Di sela-sela narasinya, perempuan ini menyanyikan petikan-petikan tembang soul yang menyayat. Suaranya boleh juga, tak kalah dengan Aretha Franklin.
Begitulah, ringkasnya, satu demi satu adegan perbudakan kami jalani. Kami berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, kadang-kadang mendengarkan suara tangis menyayat dan gedebak-gedebuk orang dipukuli. Klimaksnya adalah pada adegan lelang di pasar budak.
Sekitar 30 menit kami menjalani drama ini, sebelum akhirnya di satu ruangan, lampu dinyalakan. Kegelapan yang selama ini melingkupi pun sirna. Inilah babak baru dari drama kami. Ternyata, kami semua sudah dikumpulkan berkeliling di ruang besar. Perempuan ‘gila’ itu ada di antara kami. Dengan ramah, penuh senyum, ia memperkenalkan diri. “Sister Avery”, begitulah ia menyebut diri, adalah seorang artis teater dari Memphis yang selama dua tahun ini merancang dan melaksanakan kegiatan sosiodrama perbudakan yang kami jalani. “Saya ingin menyampaikan pesan anti perbudakan pada setiap orang, agar kita semua menjalani hidup dengan penuh kasih sayang, memperlakukan setiap orang dengan setara,” katanya. “Kita semua punya Tuhan, dan kepada Dia kita semua berpaling ketika mengalami penderitaan. Saya ingin menyampaikan pesan bahwa berkat Dia, kita semua dimungkinkan untuk mencapai segalanya.” Sesungguhnya, pesan seperti ini kerap saya dengarkan dalam ceramah ustadz-ustadz di Indonesia. Tapi, pesan kali ini terasa mengesankan karena disampaikan dengan cara yang tidak biasa.

Sister Avery (blus ungu), Joanne (paling kanan) dan ‘korban-korbannya’ (Dok. Pribadi)

Keluar dari museum itu, hati ini terasa ringan. Semangat untuk menjadi manusia yang lebih baik, dan menjadikan dunia ini lebih baik lagi, terasa bergelora. Inilah buah dari kunjungan ke museum. Tidak cuma mendapatkan pengetahuan, tapi pengunjung juga diajak menangkap spirit yang membuat ihwal yang di’museum’kan menjadi sangat bermakna, dan lebih penting lagi, kontekstual untuk masa sekarang.

Itulah sekilas oleh-oleh dari jalan-jalan ke museum Amerika Serikat. Kalau sekarang museum-museum kita masih bermain-main dengan display berupa artefak yang bisu, atau diorama-diorama, bolehlah kini coba digagas momen-momen menarik yang bisa disosiodramakan guna memberi makna lebih bagi pengunjung yang hadir di sana (000)

0 komentar: