Sabtu, 04 Agustus 2007

NGERUMPI DI TELEVISI: Infotainment Tiada Henti

NGERUMPI DI TELEVISI:
Infotainment Tiada Henti
Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si.[1]

Abstrak

Infotainment merupakan salah satu program televisi yang menuai kontroversi. Namun, terlepas dari kenyataan tersebut, infotainment menjadi salah satu sajian wajib televisi Indonesia. Hasil pemetaan program infotainment memperlihatkan, sekitar 5-7 % sajian stasiun televisi terdiri dari infotainment selama hari-hari biasa. Sementara pada akhir pekan, porsi infotainment meningkat hingga mencapai 10 % dari keseluruhan jam siaran stasiun televisi. Ditilik dari waktu penayangannya, infotainment agaknya ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan khalayak perempuan dewasa di kelas menengah ke bawah. Masalahnya adalah kebutuhan macam apa yang bisa dipenuhi dengan sajian infotainment yang didominasi dengan kehidupan para selebritis yang tidak terlalu penting bagi pemberdayaan dan pencerdasan masyarakat.

Kata Kunci: infotainment, khalayak media, media consumption, media habit


Tiada hari tanpa infotainment. Begitulah agaknya wajah pertelevisian kita dewasa ini. Selama tiga tahun belakangan, sajian infotainment mendominasi televisi Indonesia. Betapapun banyak dan pedasnya kritik yang dilontarkan, infotainment tetap tak terkalahkan. Ancaman sebuah ormas keagamaan besar memang sempat ditanggapi dengan hati-hati oleh kalangan televisi maupun produser infotainment. Tapi setelah momennya berlalu, tak terlihat tanda-tanda infotainment akan menyurut. Masyarakat juga tampaknya adem-ayem saja ketika skandal Maria Eva-Yahya Zaini ramai-ramai disorot media dan kehidupan keluarga masing-masing diutak-atik. Padahal, justru perilaku infotainment macam itulah yang dikecam oleh ormas keagamaan tersebut.
Seberapa dominan sesungguhnya infotainment dalam sajian program TV kita? Tulisan berikut ini menyajikan beberapa fakta yang berhasil diekstraksi dari pemetaan program infotainment di Indonesia. Pada intinya tulisan ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama memaparkan hasil-hasil pemetaan. Bagian kedua membahas terminologi infotainment yang ramai diperdebatkan, berikut isu-isu yang menyertainya. Bagian tiga bermaksud mengeksplorasi siapakah yang diposisikan sebagai penonton infotainment, dan mengapa sasarannya adalah kelompok tersebut. Tetapi, sebelum fakta-fakta tersebut kita ungkap bersama, mari perhatikan tabel berikut ini, yang memperlihatkan hasil pemetaan program infotainment di televisi Indonesia.

I. Peta Infotainment di Televisi
Pemetaan program berikut ini dilakukan berdasarkan dua kategori program televisi, yaitu weekdays dan weekend. Asumsinya, pola tayangan televisi berubah dari weekend ke weekdays. Apalagi, sebagian besar format televisi Indonesia membidik gaya hidup segmennya. Logis bila terdapat perbedaan antara pola tayangan weekend dan weekdays, berhubung gaya hidup khalayak juga mengalami perubahan pada hari-hari biasa dan akhir pekan. Pemetaan dilakukan terhadap 11 (sebelas) stasiun televisi nasional—milik negara/publik maupun swasta, untuk melihat gambaran peta penayangan infotainment secara general. Tentu, tidak tertutup kemungkinan program serupa juga ditayangkan di televisi daerah. Berikut adalah hasil pemetaan tersebut.

Tabel 1. Peta Program Infotainment di TV Indonesia (weekdays)[2]

No.
Stasiun TV
Program
Infotainment
Durasi (menit)
Persentase/
Total Jam Siaran
Per program
Total
(sehari)
1
TVRI
-
0
0
0
(20.5 jam)
2
TPI
(3 progr.)
Kassel 2
30
90
7.32
(20.5 jam)
Go Show 2
30
Go Show Sore
30
3
RCTI
(3 progr.)
Go Spot
30
90
7.32
(20.5 jam)
Silet
30
Kabar-Kabari
30
4
SCTV
(4 progr.)
Was Was
30
120
9.30
(21.5 jam)
Otista
30
Ada Gosip
30
Kasak Kusuk
30
5
AnTV
(3 progr.)
Espresso
30
120
9.75
(20.5 jam)
Double Espresso
30
Espresso Prime Time
60
6
Indosiar
(2 progr.)
Kiss
30
60
5
(20 jam)
Kiss Sore
30
7
Metro TV
(2 progr.)
Showbiz On Location
30
60
4.17
(24 jam)
Showbiz On Location
30
8
Trans TV
(4 progr.)
Insert Pagi
30
120
9.76
(20.5 jam)
Insert
30
Kroscek
30
Insert Sore
30
9
Global TV
(1 progr.)
SMS
30
30
2.44
(20.5 jam)
10
Trans 7
(2 progr.)
Infotainment Pagi
30
60
4.88
(20.5 jam)
Infotainment Siang
30
11
LaTV
(2 progr.)
Expose Pagi
30
60
4.88
(20.5 jam)
Expose Siang
30

Tabel di atas memperlihatkan, tampaknya hanya TVRI-lah satu-satunya stasiun televisi yang tidak menyiarkan infotainment. Tak kurang dari 28 program infotainment tampil di layar kaca setiap hari pada periode weekdays, menghabiskan durasi secara keseluruhan sekitar 690 menit atau 11.5 jam. Tidak terlalu banyak hitungannya. Namun, frekuensinya cukup besar. Kecuali TVRI dan Global TV, setiap stasiun televisi rata-rata memiliki program infotainment lebih dari satu. Ada yang mengatur menunya seperti resep minum obat: tiga kali sehari setiap pagi, siang, dan sore. Beberapa mengaturnya secara acak. Dua stasiun televisi bisa dikatakan bersaing dalam menyajikan infotainment. SCTV, AnTV dan Trans TV mengalokasikan durasi sebesar 120 menit untuk infotainment—persentase infotainment dibandingkan tayangan lainnya mencapai angka mendekati 10 persen! Alokasi paling sedikit diberikan oleh Global TV. Satu-satunya program infotainment di stasiun televisi tersebut, yaitu SMS (Seputar Masalah Selebriti) hanya berdurasi tak kurang dari 30 menit.
Yang menarik, rata-rata sajian infotainment berakhir pada saat maghrib. Kecuali AnTV dengan Espresso Prime Time (pk. 20.30-21.30) dan Metro TV dengan Showbiz on Location (pk. 00.30-01.00), stasiun TV lainnya memilih berhenti menyiarkan infotainment begitu memasuki maghrib. Fenomena ini menarik untuk dipertanyakan: apakah karena selling point prime time di atas maghrib begitu tinggi sehingga infotainment dikesampingkan karena dianggap tidak saleable seperti drama, misalnya? Atau, apakah karena sebab-sebab kultural—misalnya, sesudah maghrib secara psikologis infotainment menjadi tidak layak tonton lagi? Jangan-jangan, tersingkirnya infotainment dari program malam dikarenakan kendali remote control berada di tangan para bapak selepas maghrib. Kaum lelaki, sebagaimana diketahui secara luas, tidak dianggap sebagai khalayak potensial bagi program infotainment yang lebih banyak ditonton kaum perempuan. Pelbagai kemungkinan bisa terjadi dan menarik untuk dieksplorasi.
Fenomena tak kalah menarik lainnya dapat dilihat pada segi content. Kecuali Metro TV, stasiun televisi lainnya menjadikan kehidupan ‘selebriti’ dalam negeri sebagai sajian utama. Sementara Showbiz on Location Metro TV membidik kehidupan selebriti luar negeri. Acara itu sendiri adalah program yang dibeli, artinya tidak diproduksi langsung oleh Metro TV. Mengapa memilih Showbiz on Location? Selain disesuaikan dengan karakteristik khalayaknya yang kosmopolit dan international-minded, dengan membeli program dan tidak memproduksi sendiri, Metro TV bisa menyiasati cost production. Sebuah taktik jitu untuk menghemat pengeluaran, tentunya.
Bagaimana peta program infotainment di saat weekend? Adakah perbedaan antara penayangan program infotainment pada hari-hari kerja (weekdays) dan akhir pekan? Perhatikan tabel berikut ini.

Tabel 2. Peta Program Infotainment di TV Indonesia (weekend)[3]

No.
Stasiun TV
Program
Infotainment
Durasi (menit)
Persentase/
Total Jam Siaran
Per program
Total
(sehari)
1
TVRI
-
0
0
0
(20.5 jam)
2
TPI
(2 progr.)
Go Show 2
30
60
4.35
(23 jam)
Go Show Sore
30
3
RCTI
(4 progr.)
Go Spot
30
150
10.87
(23 jam)
Silet Minggu
60
Desas-Desus
30
Kabar-Kabari
30
4
SCTV
(4 progr.)
Was Was
60
150
11.90
(21 jam)
Bibir Plus
30
Hot Shot Ekstra
30
Investigasi Kasak-Kusuk
30
5
AnTV
(1 progr.)
Espresso Weekend
60
60
4.88
(20.5 jam)
6
Indosiar
-
0
0
0
(20.5 jam)
7
Metro TV
(2 progr.)
The Red Collection
30
60
4.17
(24 jam)
Hollywood Highlights
30
8
Trans TV
(4 progr.)
Insert Pagi
30
120
10.87
(23 jam)
Insert
30
Kroscek
30
Insert Sore
30
9
Global TV
(2 progr.)
Red Carpet Special
30
60
4.88
(20.5 jam)
Obsesi
30
10
Trans 7
(3 progr.)
Infotainment Pagi
30
90
6.38
(23.5 jam)
Klise
30
Infotainment Siang
30
11
LaTV
-
0
0
0
(20,5 jam)

Tabel 2 memperlihatkan, terdapat perbedaan ‘perilaku’ stasiun televisi ihwal infotainment pada hari-hari weekend. Kalau pada hari-hari biasa, nyaris semua televisi (kecuali TVRI) menyiarkan program tersebut, pada saat weekend, tercatat 2 (dua) stasiun TV lainnya tidak menyiarkan infotainment yaitu Indosiar dan LaTV. Indosiar memilih mengonsentrasikan diri pada kartun/animasi anak-anak, penayangan film, dan olahraga. Sementara LaTV, selain memperbanyak jam untuk penayangan kartun/animasi anak dan film, juga memperbesar alokasi waktu untuk dokumenter dan reality show. Total tercatat pada saat weekend terdapat 22 program infotainment yang menghabiskan waktu 750 menit—selisih 60 menit lebih banyak dibandingkan hari-hari biasa. Hasil tersebut memperlihatkan, program infotainment pada saat weekend lebih sedikit daripada program infotainment sehari-hari yang mencapai 28 program. Namun, dari segi waktu, alokasi waktu untuk infotainment ternyata lebih banyak saat weekend ketimbang waktu sehari-hari (690 menit). Rupanya, biarpun mata acaranya lebih sedikit, program yang ada justru diperpanjang durasinya. Semisal, Silet Minggu (RCTI) dan Espresso Weekend (AnTV) yang biasanya cukup 30 menit saja, saat weekend ditambah durasinya menjadi dua kali lipat (60 menit).
Di antara stasiun TV yang tetap menyiarkan infotainment pada saat weekend, manakah yang terhitung paling getol menayangkannya? RCTI, SCTV, dan Trans TV tercatat menayangkan 4 program infotainment dalam sehari. Rekor durasi terbanyak dipegang oleh RCTI dan SCTV, yang sama-sama mengalokasikan 2.5 jam untuk infotainment dengan persentase sebesar 10.87 (RCTI) dan 11.90 (SCTV). Hasil ini tak berbeda dengan porsi infotainment di Trans TV sebesar 10.87 % di saat weekend. Persentase program infotainment paling sedikit dimiliki oleh Metro TV—cukup 4.17 % saja untuk dua program infotainmentnya, The Red Collection dan Hollywood Highlights yang masing-masing berdurasi 30 menit.
Guna memahami lebih jelas perbedaan persentase penayangan infotainment antara hari-hari biasa dan akhir pekan, mari kita cermati tabel berikut ini.

Tabel 3. Perbandingan Persentase Program Infotainment di TV Indonesia
(weekdays vs. weekend)

No
Stasiun TV
Persentase Program Infotainment
Weekdays
Weekend
1
TVRI
0
0
2
TPI
7.32
4.35
3
RCTI
7.32
10.87
4
SCTV
9.30
11.90
5
AnTV
9.75
4.88
6
Indosiar
5
0
7
Metro TV
4.17
4.17
8
Trans TV
9.76
10.87
9
Global TV
2.44
4.88
10
Trans 7
4.88
6.38
11
LaTV
4.88
0

Tabel perbandingan ini memperlihatkan tiga kelompok stasiun televisi. Kelompok pertama mengurangi sajian infotainment pada saat weekend, terdiri dari TPI dan AnTV. Kelompok kedua menambah sajian infotainment pada saat weekend, yaitu RCTI, SCTV, Trans TV, Global TV, dan Trans 7. Kelompok ketiga menghapuskan sama sekali sajian infotainment pada saat weekend, yaitu Indosiar dan LaTV. Persentase Metro TV tidak berubah. TVRI juga tetap konsisten tak menyiarkan infotainment.
Pemetaan ini memperlihatkan, infotainment merupakan bagian dari sajian utama televisi—walaupun persentasenya berbeda-beda. Temuan ini dengan demikian menegaskan dua hal: pertama, bahwa televisi kita memang punya karakter sebagai ajang gosip. Kedua, bahwa kehidupan para artis ternyata (diposisikan) memang segala-galanya. Sebagaimana ditegaskan oleh Haryanto (2005), “... para pengelola acara infotainment ini hendak mengatakan bahwa para artis dan kehidupannya adalah yang paling penting sehingga kita—para pemirsa—harus memerhatikan setiap detail kehidupan sang artis” (h. 5). Pemetaan ini memperlihatkan, infotainment dikemas dalam beberapa bentuk dan disiarkan berulang-ulang, sehingga dikesankan sebagai program penting yang tak boleh dilewatkan pemirsa. Tapi, sungguhkah demikian? Betulkah pemirsa tak dapat hidup tanpa infotainment? Pertanyaan ini menghantarkan kita pada diskusi seputar istilah infotainment yang mengundang perdebatan konseptual di antara para pengamat media.

II. Debat Konseptual seputar Infotainment
Apa sesungguhnya makna infotainment? Benarkah pemaknaan umum yang selama ini dipakai oleh televisi Indonesia menyangkut infotainment? Hakekat tujuan apakah sebenarnya yang berada di balik produksi dan penayangan infotainment? Pertanyaan macam inilah yang mengemuka dalam debat konseptual seputar Infotainment.
Infotainment merupakan turunan dari dua kata—information dan entertainment—yang digabungkan menjadi satu. Dilihat dari singkatan ini, infotainment bermaksud menyajikan program yang menginformasikan sekaligus menghibur. Infotainment, dengan demikian, mengemas informasi dan hiburan (entertainment) dalam satu paket. Pengertian ini tidak berbeda jauh dengan definisi Smartpedia yang mengungkapkan bahwa infotainment merupakan “... soft news, provides information in a way that is entertaining to its viewers...” (Branston, 2005). Infotainment itu serius tapi santai. Mengapa informasi harus disajikan secara menghibur? Karena, kalau informasi disajikan terlalu serius, khalayak akan merasa berat mencernanya (Haryanto, 2005).
Pendefinisian infotainment seperti ini jelas memperlihatkan implikasi lain, yaitu bahwa pemirsa televisi diandaikan tidak cukup cerdas mencerna informasi. Sehingga, informasi harus dikemas sedemikian rupa agar terasa menghibur. Sesuatu yang disampaikan secara menghibur, diasumsikan akan lebih mengena dampaknya pada kognisi pemirsa. Definisi ini sesungguhnya agak ‘menyeramkan’ karena kalau pemirsa dianggap tidak mampu mencerna informasi, artinya pemirsa dianggap bodoh. Apa boleh buat, konsep ‘pemirsa bodoh dan mau yang serba instant’ itulah yang diyakini oleh para penyelenggara stasiun televisi hingga mereka berani jor-joran memproduksi dan menyuguhkan infotainment bagi pemirsanya.
Infotainment kebanyakan diisi oleh berita-berita seputar kehidupan artis atau selebritis. Seperti dinyatakan oleh Smartpedia, informasi dalam infotainment programming “... consist mostly of celebrity news and human drama” (Branston, 2005). Ini meliputi berita faktual maupun yang masih berupa rumor alias gosip. Tidak jelas, apa yang dimaksud dengan ‘informasi’ dalam program infotainment, serta bagaimana tolok ukurnya. Informasi dalam infotainment bisa berupa berita-berita bernilai tinggi dan memang signifikan kepentingannya bagi publik (semisal, artis terpilih menjadi anggota DPR mewakili komunitas media, artis terlibat dalam kasus kriminalitas besar, artis memproduksi karya yang prestisius, seniman mendapatkan penghargaan, dll.). Bisa juga, hanya berupa informasi ecek-ecek yang terkesan sepele dan mengada-ada. Tahun 2005, berminggu-minggu lamanya infotainment Indonesia sibuk mempersoalkan siapa suami seorang penyanyi, atau seorang artis yang diketahui hamil dalam status tak bersuami. Siapa ayah sang anak? Infotainment berspekulasi, memburu berita, melakukan investigasi, kadang bahkan sampai membuka posko tersendiri hanya untuk sepotong informasi yang benar-benar tak penting dan seharusnya cuma jadi konsumsi ruang privat. Berita infotainment lainnya: bintang sinetron yang baru naik daun merayakan ulang tahun senilai satu milyar rupiah. Tempat shopping, nongkrong dan gaul selebritis. Putus sambung pasangan artis—begitulah beberapa contoh informasi yang gencar diberitakan infotainment. Contoh-contoh ini memperlihatkan, nilai penting informasi dalam infotainment bersifat longgar, bahkan barangkali tidak ada sama sekali. Yang dimaksud dengan entertainment itu sendiri juga absurd—apakah berita kawin cerai artis, atau rebutan anak yang penuh air mata antar pasangan artis yang bercerai dimaksudkan sebagai hiburan? Apakah pembongkaran aib dan kehidupan pribadi seseorang dimaksudkan sebagai hiburan? Apakah gaya hidup artis—shopping, berlibur, tempat nongkrong—dimaksudkan pula sebagai hiburan?
Pengertian infotainment macam begini ternyata juga sangat kabur dan jauh melenceng dari makna asalnya, ketika konsep ini hadir pertama kali dalam dunia media. Bagaimana asal-muasal munculnya infotainment? Ternyata, ada sejarah tersendiri yang melatari munculnya istilah infotainment. Wawancara dengan Prof. M. Alwi Dahlan, salah satu pakar komunikasi nasional, menyebutkan bahwa konsep infotainment sesungguhnya berasal dari John Hopkins University (JHU) di Baltimore, Amerika Serikat (Astuti, 2005). Universitas yang terkenal dengan riset kedokteran dan aktivisme sosialnya di negara-negara berkembang memiliki jaringan organisasi nirlaba yang bergerak dalam misi kemanusiaan guna meningkatkan kesejahteraan manusia melalui perbaikan aspek kesehatan. Guna mendukung sukses misi kemanusiaan JHU di bidang kesehatan, lembaga ini membentuk Center of Communication Program (CCP)—semacam unit organik yang bertugas mengomunikasikan pesan-pesan kesehatan guna mengubah perilaku kesehatan. Untuk itu, para pakar komunikasi[4] CCP merumuskan pelbagai metode penyampaian pesan-pesan kesehatan yang secara efektif dapat mengubah perilaku secara positif. Salah satu konsep pesan yang dihasilkan adalah infotainment.
Konsep infotainment yang dirumuskan oleh JHU/CCP bertitiktolak dari asumsi bahwa informasi yang disampaikan begitu saja belum tentu dapat menarik khalayak untuk memperhatikan, apalagi mengingat dan menjadikannya sebagai faktor perubahan sikap yang positif. Karena itu, diperlukan sentuhan tertentu agar informasi tersebut menarik perhatian khalayak, hingga pada akhirnya bermakna bagi mereka. Pendekatan yang dipilih dalam penyusunan pesan adalah dengan menyisipkan unsur-unsur entertainment guna menarik perhatian khalayak. Maka muncullah konsep infotainment—informasi yang dibungkus, dikemas, disisipkan, atau diberi sentuhan entertainment sehingga menarik perhatian khalayak dan dapat diterima dengan mudah. Dalam praktiknya, JHU/CCP menyusun program-program yang mengemas pesan dengan menggunakan berbagai alat bantu, seperti drama radio, iklan layanan masyarakat nan atraktif, launching event, pelibatan tokoh masyarakat atau public figure sebagai endorser pesan, sampai konser musik bagi kaum muda untuk mempromosikan pesan-pesan kesehatan tertentu (JHU/CCP, 2001). Demikianlah muasal infotainment.
Menjadi jelas kiranya, konsep infotainment di sini berbeda dengan pemaknaan infotainment ala televisi Indonesia yang mengedepankan sensasionalitas informasi yang mengaduk-aduk privasi tokoh tertentu. Konsep infotainment pada awalnya tampak lebih sesuai jika dimaknai sebagai edutainment.
Pada perkembangan selanjutnya, konsep infotainment diadopsi oleh media, khususnya televisi dan media audiovisual, serta media massa lainnya. Infotainment seolah menjadi ikon baru, atau bagian dari magic formula sekaligus resep wajib media massa untuk mendekati khalayak. Konsep ini juga menarik perhatian para periset, terutama karena kaburnya batas-batas antara informasi dan entertainment, serta menghilangnya tujuan edukasi yang semula menjadi dasar perumusan formula ini. Gill Branston menyebut infotainment berada dalam suatu twilight zone—berhubung meleburnya batas-batas tersebut. Ia mendapati bahwa infotainment tidak saja digunakan untuk mengemas informasi high tech yang ditujukan untuk mendidik kalangan remaja melalui media audiovisual, tetapi juga digunakan untuk sajian-sajian berfokus berita (news centred forms, tetapi bukan program berita) dalam program-program breakfast TV (semisal Good Morning America atau Good Morning di Trans TV dan The Breakfast Club di Metro TV), dan dramatisasi fakta ala program-program kriminalitas (Crimewatch, atau sebangsa Sergap di RCTI, Derap Hukum di SCTV, dan Brutal di LaTV). Tak heran jika televisi cenderung mengarah pada apa yang diistilahkannya sebagai tabloid television (Branston, 2003).
Perdebatan seputar infotainment semakin menarik ketika memasuki dimensi etis. Margaret Nelke (2005) menengarai, meningkatnya popularitas infotainment diakibatkan oleh information overload dalam upaya mengatasi persaingan memenangkan pasar media. Jadi, bukan lagi semata-mata terpusat pada isu bagaimana menyampaikan pesan yang bermakna hingga mengubah khalayak pada perilaku yang lebih positif. Gejala information overload ini terjadi manakala dunia media massa bertransformasi menjadi dunia industri yang berkompetisi menawarkan komoditas yang sama: informasi. Maka, informasi dikemas sedemikian rupa guna mengumpulkan sebanyak-banyaknya khalayak. Tujuannya adalah demi meningkatkan atau mempertahankan peringkat rating, sehingga tarif airtime yang dijual kepada produsen juga meningkat. Nelke mengungkapkan, bahaya yang terkandung dalam konsep infotainment masa kini adalah penghapusan sebagian pesan yang penting-penting (reduksi pesan!) dan pemelintiran pesan sedemikian rupa untuk membangkitkan emotional appeal. Hal ini memunculkan isu-isu etis terkait dengan akurasi fakta, penyederhanaan pesan yang semena-mena, dan lebih jauh lagi, mempersoalkan isu information competence—seberapa kompeten sebenarnya para pekerja media menangani informasi secara baik, benar, dan bertanggungjawab.
Tren infotainment mulai populer di Indonesia pada tahun 2000. Tidak jelas mana yang lebih dulu terkenal: Cek & Ricek (C&R) produksi Ilham Bintang yang mengklaim diri sebagai infotainment pertama di Indonesia (ditayangkan RCTI), atau Kiss yang diproduksi Indosiar. Yang jelas, popularitas kedua program tersebut menyebabkan banyak stasiun televisi dan rumah produksi lain mengekor memproduksi program sejenis.
Berbeda dibanding awal pemunculannya, Infotainment dalam peringkat rating program televisi di Indonesia kini tidak selalu menduduki posisi tinggi. Data peringkat rating Media Scene 2005-2006 memperlihatkan, hanya dua program infotainment yang masuk dalam peringkat 30 besar di televisi masing-masing: Obsesi (Global TV) dan Showbiz On Location (Metro TV). Kendati demikian, eksistensi infotainment dinilai penting oleh televisi Indonesia. Setidaknya, infotainment dan penyiar/host infotainment memiliki kategori penghargaan tersendiri dalam Panasonic Award—sebuah ajang penghargaan program dan insan pertelevisian Indonesia.
Nyata terlihat, program infotainment di Indonesia tak pernah surut, bahkan terus berkembang memunculkan bentuk-bentuk baru. Kalau dulu infotainment sebatas bincang-bincang gosip yang menyajikan rangkaian informasi, kini infotainment juga dikemas dalam bentuk liputan khusus investigasi (semisal, Kroscek). Setiap episodenya difokuskan untuk membahas isu tertentu, seperti spekulasi seputar tewasnya penyanyi Alda. Ada pula infotainment yang mengambil bentuk news round-up, yaitu semacam kompilasi informasi selama periode waktu tertentu, katakanlah selama seminggu. Inilah kemasan yang dipilih untuk program infotainment weekend seperti Espresso Weekend.
Satu dua program infotainment mencoba kelihatan tidak biasa, misalnya mengambil format bincang-bincang di antara dua host. Nuansa ngerumpi lebih terasa di sini, dan uniknya, selalu saja pembawa acara infotainment di Indonesia didominasi oleh presenter perempuan atau presenter laki-laki yang bisa mengimbangi ‘kebawelan’ dan ‘kefemininan’ pasangannya. Program infotainment lain mencoba kelihatan ‘lebih serius’ dengan mengawali tayangannya lewat segmen yang menampilkan posisi ‘rating,’ atau tepatnya persentase peringkat berita-berita yang dinilai ‘seru’ oleh pemirsanya. Peringkat itulah yang nantinya akan menentukan urutan penayangan atau pengulangan informasi. Tapi, tentu saja, seserius apapun penggarapannya, infotainment di Indonesia tetap hanya sebuah segmen tentang kehidupan selebriti—tak lebih dari itu. Jadi, walaupun dilakukan survei dan tracking segala macam, bahkan dibuatkan grafik persentase yang menarik, pemirsa pada intinya tetap disuguhi informasi yang itu-itu juga: spekulasi status pedangdut Maria Eva yang mengaku masih lajang ketika terlibat skandal dengan mantan politisi Yahya Zaini minggu ini merosot ke peringkat empat, dikalahkan oleh informasi pendapat para artis ihwal poligami Abdullah Gymnastiar yang menempati peringkat satu dengan persentase pilihan pemirsa sebesar 80 %. Duh, nggak penting-penting amat gitu lohh ...

III. Pemirsa Indonesia
Penting atau tidak penting, infotainment kadung diposisikan sebagai program signifikan yang telah membombardir penonton Indonesia dari segala penjuru. Akibatnya, penonton televisi yang tadinya cuma sedikit penasaran, kini jadi penasaran betulan. Yang tidak ingin menonton terpaksa mengonsumsi infotainment, berhubung tak ada pilihan lain. Tapi, siapakah sesungguhnya penonton kita? Inilah sedikit gambaran mengenai media consumption dan khalayak media di Indonesia.
Data Media Scene 2005-2006 menyebutkan, khalayak media di Indonesia terbagi menjadi dua segmentasi demografi: urban market lifestyle dan rural market lifestyle. Untuk segmen pertama yaitu urban market lifestyle, lebih jauh lagi diklasifikasikan menjadi 6 (enam) kategori. Inilah data mengenai general psychographic urban market lifestyle, berikut konsumsi media yang mereka lakukan.
Tabel 4. Media Consumption Based on General Psychographic Segmentation
(Urban Market)
General Psychographic Segmentation
Consumption of Past Week (%)
Total
Newspaper
Tabloid
Magazine
TV
Radio
Value-Oriented Passive
11.7
61.8
27.90
14.59
98.71
45.06
Affiliation-Sociable
8.6
67.25
28.65
11.70
100
42.11
Home-loving
13.8
69.45
31.64
19.27
100
44.00
Trend Conscious
18.2
70.33
29.40
18.13
99.73
49.45
Balance-in-Life
42.3
68.64
28.17
15.86
99.29
45.33
Active-Achievement
5.6
58.93
23.21
15.18
100
39.29
(Data Media Scene 2005-2006, h. 34).

Tabel 4 memperlihatkan, persentase terbesar khalayak media di wilayah perkotaan terletak pada kategori Balance-in-Life Segment, yang didefinisikan mengadopsi gaya hidup sbb. (1) Serius berolahraga untuk menjaga stamina dan kesehatan; (2) Gemar melakukan olahraga menantang seperti mendaki gunung; (3) Menyukai olahfisik seperti bertinju dan bergulat; (4) Dalam memilih busana, tidak begitu peduli pada tren fashion; (5) Suka bepergian untuk melewatkan waktu luang; dan (6) Cenderung lebih banyak pria. Data ini tidak memberi petunjuk apapun tentang penonton infotainment yang lebih banyak—konon—didominasi perempuan. Tapi yang perlu dicermati adalah, apapun gaya hidup konsumen media, habit menonton televisinya sangat tinggi—nyaris atau sampai mendekati 100 persen.
Habit dan komposisi khalayak perkotaan berdasarkan gaya hidup ini juga tidak berbeda dengan realitas khalayak pedesaan, seperti disajikan dalam Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Media Consumption based on General Psychographic Segmentation
(Rural Market)
General Psychographic Segmentation
Consumption of Past Week (%)
Total
Newspaper
Tabloid
Magazine
TV
Radio
Value-Oriented Passive
8.4
34.55
14.50
8.58
98.74
78.54
Affiliation-Sociable
15.0
45.45
14.88
10.74
99.17
87.76
Home-loving
1.6
48.74
21.85
13.45
99.58
75.82
Trend Conscious
7.7
30.20
6.71
4.03
100
69.39
Balance-in-Life
41.4
42.72
17.72
14.17
98.43
77.84
Active-Achievement
26.1
35.60
7.33
5.24
99.48
72.58
(Data Media Scene 2005-2006, h. 37).

Tabel 5 menunjukkan persentase media consumption khalayak pedesaan yang ternyata tak berbeda jauh dari pola media consumption khalayak perkotaan. Dapat dilihat, televisi menduduki posisi penting di tengah-tengah khalayak media baik di desa maupun perkotaan.
Selanjutnya, menarik kiranya untuk melihat pola menonton televisi, didasarkan pada faktor gender, usia, dan kelas sosial. Tabel 6 berikut ini memperlihatkan habit menonton televisi berdasarkan faktor gender dan usia, yang dimodifikasi sesuai kepentingan penulisan artikel ini.
Tabel 6. Habit Menonton Televisi Berdasarkan Gender dan Usia
Waktu Menonton TV
Total
Gender
Usia
Laki-laki
Perempuan
15-24
25-34
35-50
Pagi (05.00-11.59)
0.72
42.86
57.14
0.00
14.29
85.71
Siang
(12.00-15.59)
15.53
25.17
74.83
33.77
35.76
30.46
Petang (16.00-18.59)
19.86
36.79
63.21
32.64
24.35
43.01

Tabel 6 sesungguhnya memperlihatkan habit menonton televisi berdasarkan waktu hingga tengah malam. Namun, berhubung infotainment yang dipetakan dalam artikel ini paling banyak disiarkan pagi dan siang hari, maka tabel ini hanya menampilkan kategori waktu sampai sore hari saja.
Data tabel 6 memperlihatkan bahwa penonton televisi di tiga kategori waktu tersebut didominasi oleh perempuan. Terbanyak persentasenya adalah pada kategori waktu siang hari (74.83 %), diikuti oleh kategori waktu petang (63.21 %), disusul kategori waktu pagi (57.14 %). Dari segi usia, persentase terbanyak program pagi berada pada kelas usia 35-50, yaitu 85.71 %, siang hari relatif berimbang, sedangkan pada petang hari, kembali golongan usia 35-50 menjadi pihak yang dominan menonton TV (43.01 %). Data semacam ini memperlihatkan, program infotainment yang sebagian besar disiarkan pagi dan siang hari agaknya memang ditujukan bagi khalayak perempuan yang berusia di atas 24 tahun, atau tepatnya, lebih banyak untuk khalayak perempuan berusia 35-50 tahun.
Bagaimana dengan kelas sosialnya? Tabel berikut ini memberikan gambaran ihwal kepada target kelas sosial mana program-program tersebut diarahkan.

Tabel 7. Habit Menonton Televisi Berdasarkan Kelas Sosial
Waktu Menonton TV
Total
Kelas Sosial (%)
D
C
B
A
Pagi (05.00-11.59)
0.72
57.14
0.00
14.29
28.57
Siang
(12.00-15.59)
15.53
66.23
8.61
14.57
10.60
Petang (16.00-18.59)
19.86
48.19
15.54
20.21
16.06
(Media Scene 2005-2005, h. 36)

Tabel 7 memperlihatkan, program-program pagi, siang, dan petang terbanyak ditonton oleh kelas sosial D. Persentase terbanyak, yaitu sebesar 66.23 % berada pada rentang waktu menonton siang hari, disusul pagi hari (57.14 %). Inilah saat infotainment gencar-gencarnya ditayangkan, dan kepada kelas sosial inilah acara semacam itu ditujukan. Sekadar mengingatkan, kelas sosial D digolongkan sebagai kategori masyarakat berpengeluaran sekitar Rp. 400.000-Rp. 600.000/bulan, dengan total populasi sebesar 18 % dari keseluruhan populasi (2005). Dalam bahasa sehari-hari, kelas sosial ini digolongkan sebagai kelas middle low, alias menengah ke bawah yang taraf hidupnya pas-pasan...

***
Begitulah, infotainment di Indonesia dikatakan sebagai urusan informasi tapi santai. Alasannya, berhubung khalayak Indonesia kesulitan mencerna plain serious information. Konsekuensinya, lihatlah bagaimana khalayak kita diposisikan dan kepada siapa tayangan infotainment dimaksudkan: infotainment ditujukan kepada kelas ekonomi menengah ke bawah, sebagian besar perempuan, kebanyakan ibu-ibu yang berusia di atas 35 tahun! Sebuah kelas yang secara tidak adil acap diidentikkan dengan kebiasaan ngerumpi. Maka, tak heran jika wajah pertelevisian kita berdasarkan pemetaan infotainment ini tampak tak lebih dari sekadar ajang gosip belaka, yang tidak mencerdaskan dan memberdayakan penontonnya ... (000)

Daftar Pustaka
Astuti, Santi Indra. 2005. Ramadhan dalam Bingkai Religius di Televisi: Kajian atas Fenomena Infotainment dalam Program Sahur. Thesis Program Pascasarjana Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.
Branston, Gil. 2002. Infotainment: A Twilight Zone. Dalam Jurnal Innovations vol. 6-3.
Haryanto, Ignatius. 2005. Aku Selebriti, Maka Aku Penting. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
John Hopkins Bloomberg School of Public Health/CCP, 2005. Panduan Lapangan: Merancang Strategi Komunikasi Kesehatan. Jakarta: USAID.
Kompas, 3 Desember 2006. Jadwal Acara Televisi.
Kompas, 6 Desember 2006. Jadwal Acara Televisi.
Media Scene 2005-2006: The Official Guide to Advertising Media in Indonesia, Jakarta: ATVSI.
Nelke, Margaret. 2004. Information Competence or Infotainment—Where are We Heading? (Paper presented at Nord I & D, Knowledge and Change).



[1] Penulis adalah dosen bidang kajian Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA). Saat ini tergabung dalam tim PMB LIPI sebagai peneliti tamu untuk kajian media dan komunikasi massa, sambil melibatkan diri dalam aktivitas media literacy bersama Common Room dan Masyarakat Peduli Media.
[2] Berdasarkan jadwal siaran TV di HU Kompas hari Rabu, 6 Desember 2006.
[3] Berdasarkan jadwal siaran TV di HU Kompas, Minggu, 3 Desember 2006.
[4] Beberapa pakar komunikasi kesehatan di CCP memiliki nama besar dalam disiplin komunikasi. Tercatat misalnya Lawrence D. Kincaid dan Everett M. Rogers yang dikenal sebagai ahli komunikasi pembangunan (wawancara dengan Ibu Fitri Putjuk, Country Representative JHU/CCP di Indonesia, Februari 2005).

0 komentar: