Sabtu, 04 Agustus 2007

Komentar/Wawancara Gatra untuk Rasisme

KOMENTAR TENTANG RASISME DALAM WAWANCARA DENGAN GATRA

1. Kebanyakan literature rasisme berakar dan berhenti pada sejarah kolonialisme. Rasisme dirumuskan sebagai konsep yang muncul dan menyubur seiring dengan merebaknya kolonialisme, tapi Fredrickson punya keberanian untuk melacak akar rasisme lebih jauh lagi, yaitu pada faktor agama, lengkap dengan sejarah, pembongkaran mitos dan tradisi yang melingkupinya. Ini bukan sekadar kecerdasan atau kreativitas, tetapi juga menyangkut keberanian. Saya anggap ini sebuah keberanian yang istimewa, karena jarang-jarang ada orang yang berani mempertanyakan secara kritis sebuah sejarah yang dirajut atau dinarasikan atas dalih dalil-dalil agama.
2. Dalam rasisme yang mengupas sejarah berdasarkan kolonialisme, relasi yang dipersoalkan berkisar sempit, hanya pada hubungan antara superior penjajah dan inferior terjajah. Fredrickson mengupas sejarah rasisme juga dari dalam—yang kalau melihat latarbelakangnya, ia menulis dari sudutpandang seorang Barat yang selalu dianggap superior. Di situ kita melihat bahwa rasisme ternyata punya masalah juga di dalam sosok peradaban bangsa yang dianggap superior.
3. Apa yang diungkapkan Fredrickson menurut saya cukup lengkap. Ada semacam kreativitas dan keberanian untuk mengaitkan rasisme dengan persoalan-persoalan klaim agama yang tak beralasan, yang pada akhirnya bisa membuat kita tidak terlalu naïf lagi sebenarnya memandang perbedaan. Saya terkesan dengan ilustrasi Fredrickson tentang wacana mengapa tidak ada malaikat yang dilukiskan berkulit hitam? Ingat Mimin…
4. Kemudian, dengan singkat Fredrickson juga berhasil merangkum sejarah rasisme dari sudut pandang yang lengkap. Ia melakukan refleksi ke dalam, juga keluar, melintasi batas-batas etnik yang kerap menjadi dasar untuk menyatakan superioritas satu kelompok di atas kelompok lainnya.
5. Selebihnya, saya sepakat dengan Fredrickson bahwa pada dasarnya rasisme dipicu oleh faktor-faktor non etnik. Kalau versi F, rasisme dipicu oleh kepercayaan bahwa perbedaan bersifat permanen dan tak terhapuskan, bertambah parah akibat permainan ideologis yang berjalin dengan kekuasaan. Kalau versi saya, yang kita lihat dalam kekacauan rasisme tidak lain adalah kesombongan/keangkuhan dan kebodohan disertai kemalasan– kebodohan karena tidak menyadari betapa tidak mencukupi dan tidak memadainya pengetahuan kita tentang orang lain.

0 komentar: