Ketika Pak Dar Pensiun ...
Santi Indra Astuti[*]
Pak Dar—begitu pak Darman menyebut dirinya—adalah kepala sekolah sebuah SD di Jokja, tempat putri saya bersekolah. Tigapuluh dua tahun beliau menjadi guru, enam tahun terakhir dihabiskannya sebagai kepala sekolah di SD putri saya. Pada suatu hari di bulan Desember 2004, putri saya pulang membawa sepucuk surat. Surat fotokopian itu, katanya, diberikan oleh pak Dar untuk semua murid dan orangtuanya. Isinya adalah pemberitahuan pak Dar bahwa tepat di akhir bulan itu, ia akan mengakhiri masa baktinya sebagai pegawai negeri. Ya, pak Dar pamit untuk pensiun ...
Saya membaca surat itu. Sejujurnya, saya tak mengenal pak Dar secara pribadi, kecuali lewat tandatangannya di rapor putri saya. Tapi sungguh, surat pamit pensiun pak Dar itu terasa begitu menyentuh ...
Bapak/Ibu serta anak-anak semua, tutur pak Dar dalam suratnya, sebagai manusia biasa, sudah tentu dalam mengabdi sebagai guru dan kepala sekolah, banyak kekurangan dan kekhilafan dalam hal tingkah laku, tutur kata, yang disengaja atau tidak. Demikian pula dalam hal melayani putra-putri bapak ibu sekalian, banyak sekali kekurangannya, untuk itu saya minta maaf yang sebanyak-banyaknya...
Saya merasa tersentuh dengan apologi ini. Seorang guru SD yang sudah mengabdi puluhan tahun, telah mendidik ratusan, bahkan mungkin ribuan anak menjadi melek huruf, masih berendah hati menyampaikan permintaan maaf atas sesuatu yang dikatakannya sebagai ‘sebentuk pelayanan’. Begitulah rupanya pak Dar memandang pekerjaannya sebagai guru. Ia memosisikan diri sebagai seorang pengabdi masyarakat, yang menjalankan fungsi pelayanan dalam bidang pendidikan. Dengan hati semakin dicekam haru, saya teruskan membaca surat itu.
Kepada bapak ibu, lanjut pak Dar dalam suratnya, saya doakan agar bapak ibu dalam mengasuh dan mendidik putera-putrinya selalu mendapat petunjuk dan bimbingan dari Allah SWT, sehingga putra-putrinya menjadi anak yang berbakti pada orang tua, kelak di kemudian hari menjadi insan yang berguna bagi nusa dan bangsa, serta berbudi pekerti yang luhur.
Sekian tahun mengasuh anak-anak, pak Dar lah orang yang paling memahami hakekat pendidikan dan pengasuhan anak-anak. Pak Dar pula yang memahami betapa pentingnya makhluk-makhluk kecil yang kita sebut ‘anak’. Bagi orang tua, anak memang laksana berlian, permata, mutiara. Tapi, kilapannya tak selalu bisa terlihat. Orang seperti Pak Dar selalu meyakini bahwa kilap itu ada, bahwa anak-anak kita betapapun kucel dan bandelnya senantiasa berharga, sehingga ia tak pernah lelah untuk memolesnya. Pak Dar melakukannya didasari keyakinan bahwa kelak anak-anak itu akan memancarkan kemilau yang bukan untuk dirinya sendiri, atau untuk hiasan dan kebanggaan pemiliknya. Melainkan untuk mencahayai dunia, demi bakti pada kemanusiaan... persis seperti yang dilakukan beliau selama ini.
Dan inilah pesan terakhir dalam surat pak Dar. Kepada anak-anakku, berbaktilah pada orangtuamu. Hormati dan patuhilah ptunjuk dan bimbingan Bapak Ibu Guru agar mereka dengan senang hati mengajar dan mendidik kalian. Saya doakan agar tercapai apa yang menjadi cita-cita kalian ...
Nasihat yang indah. Tidak, tidak terasa klise, karena diutarakan secara tulus oleh seorang pengabdi menjelang berakhirnya masa baktinya. Saya merasa, doa itu bukan cuma buat anak saya, tapi juga buat saya.
Ingatan saya menerawang ke masa beberapa tahun lalu, saat kepala sekolah di SD anak saya terdahulu, di Bandung, hendak pensiun. Jauh-jauh hari sebelum beliau pensiun, orangtua murid sudah ribut kasak-kusuk (heran, darimana ya mereka tahu kalau kepala sekolah ini akan pensiun? Masak sih ada pengumuman kalau ybs akan pensiun tanggal sekian?). Kami ribut mau memberi kenang-kenangan macam apa. Mau memberi ini atau itu, bu Guru Wali Kelas bilang, nggak usah dengan alasan begini atau begitu. Mau memberi yang lain, ada saja yang kasih bocoran, jangan... sama lho dengan kelas lain. Akhirnya, setiap anak (tepatnya orangtuanya) diminta iuran sekian puluh ribu rupiah, atau sesanggupnya. Ketika uang yang terkumpul masih kurang untuk membeli kenang-kenangan yang nggak malu-maluin, beberapa ibu yang ‘berpunya’ turun tangan menyumbang. Maka, kelas kami bisa mempersembahkan sebuah gelang emas sekian gram untuk ibu kepala sekolah sebagai tanda kenang-kenangan menjelang pensiun. Lega rasanya waktu itu, karena ‘muka kelas’ jadi terselamatkan ... Tidak terpikir bahwa ‘memberi’ sebenarnya adalah perkara keikhlasan, bukan soal menjaga gengsi.
Saya tak tahu kapan kepala sekolah itu pensiun, atau kapan kenang-kenangan yang kami ributkan berminggu-minggu itu diserahkan. Saya baru sadar ketika mengurus surat kepindahan anak saya ke Jokja, staf administrasi sekolah memberitahu kalau saya salah menulis nama kepala sekolah. “Yang di rapor itu nama kepala sekolah lama, Bu. Sejak beberapa bulan lalu, kan sudah ganti dengan yang baru ...” Saya terpana. Kepala sekolah lama sudah pergi? Kalau begitu, yang terjadi di antara kami sungguh-sungguh perpisahan yang sangat (tidak) mengesankan! Begitu berbeda dengan perpisahan dengan Pak Dar yang penuh makna...
Delapan tahun terakhir saya menjadi seorang dosen, dan pekerjaan mengajar bukan sesuatu yang mengesankan bagi saya. Selama ini, saya merasa sudah menjadi dosen yang semestinya: saya membingkai proses belajar mengajar sesuai dengan kurikulum, menata agenda kelas sesuai dengan silabus. Saya merasa sudah menjadi dosen yang berhasil: saya toh telah memenuhi poin-poin tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus, melakukan evaluasi objektif lewat formula-formula penilaian, meluluskan setidaknya 60 persen mahasiswa dari kelas yang saya ampu berdasarkan kompetensi yang digariskan oleh silabi...
Namun, membaca surat perpisahan pak Dar, saya merasa sangat-sangat kecil. Anggapan sukses mengajar di ruang kelas jadi terasa begitu semu. Pada taraf tertentu, mungkin saya berhasil mentransfer sebagian pokok pelajaran yang kebetulan saya ketahui lebih dulu dari mahasiswa-mahasiswa di kelas. Materi itu, saya tahu, akan segera dilupakan oleh para peserta kuliah begitu mereka jadi sarjana, atau lebih parah lagi, begitu nilai kelulusan mata kuliah sudah didapatkan. Pak Dar, dan saya yakin, guru-guru pendidikan dasar lainnya, tidak mewariskan hal-hal seperti itu. Mereka membuat murid-muridnya jadi melek huruf, melek angka, melek moral, melek nilai. Mereka membuka pintu adab dan pendidikan bagi siswa-siswanya. Mereka mengajar, membimbing, memberi nilai-nilai moral... Lewat ajaran di dalam kelas, lewat bimbingan di luar sekolah, lewat doa yang mereka panjatkan untuk anak didiknya, mereka memberi sesuatu yang akan terus dibawa oleh siswa-siswanya. Mereka, karena itu, disebut ‘guru’—bukan dosen atau profesor. Mereka mendidik, bukan sekadar mengajari ...
[*] Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA), Bidang Kajian Jurnalistik. Sejak pertengahan 2004 menetap di Jokja.
0 komentar:
Posting Komentar