Ramadhan di Televisi:
Wacana Infotainment dalam Selubung Religiusitas
Santi Indra Astuti[1]
Ramadhan, sebagaimana hari besar agama lain, menjadi momen yang diistimewakan oleh umat Islam di Indonesia. Hal ini tampak dari persiapan yang dilakukan menjelang Ramadhan—sejak dua minggu, bahkan sebulan menjelang Ramadhan (Moeller, 2005). Misalnya saja, ritus ibadah tradisional seperti padusan, keramas, atau bermaaf-maafan ‘demi hati yang bersih’. Pesantren kilat disiapkan, anggaran belanja ditambah. Pasar dan konsumen turut gempita menyambut bulan suci ini. Pendeknya, secara keseluruhan, bulan Ramadhan seolah menghadirkan perubahan budaya sosial di tengah masyarakat yang bernuansa Islami, lengkap dengan segala simbol dalam penampilan maupun tindakan. Budaya ‘Islami’ ini menggantikan budaya sehari-hari yang biasa diisi dengan pergulatan keras antarmanusia dalam rimba sosial untuk bertahan hidup.
Dalam masyarakat yang dikepung oleh media massa, seperti Indonesia, momen Ramadhan juga tak luput dari perhatian media. Ramadhan tidak hanya disambut masyarakat, tetapi juga dirayakan oleh media massa dalam bentuk penyusunan dan penayangan program-program khusus menyambut Ramadhan, dengan content yang disesuaikan dengan nuansa Ramadhan. Misalnya, tips-tips busana, tata griya, tata boga, rute mudik, hingga pengaturan keuangan di majalah-majalah dan koran. Atau, apa yang dilakukan para artis ketika puasa, ketika pembantu mudik, ketika berlebaran?—tema khas infotainment sepanjang Ramadhan. Dini hari menjadi momen keluarga yang meriah, sama hebohnya dengan saat berbuka puasa—dan itu semua, lagi-lagi, merupakan fenomena khas yang muncul hanya pada saat Ramadhan.
Ihwal Televisi, Khalayak, dan Ramadhan
Berhadapan dengan sekian banyak pilihan media, masyarakat Indonesia tergolong masyarakat yang sangat mendewa-dewakan tontonan televisi. Daya tarik dan daya jangkau televisi yang istimewa menjadikan medium ini rujukan utama bagi masyarakat untuk pelbagai motif penggunaan media, mulai dari motif kognitif seperti mendapatkan informasi, hingga motif tension release berupa katarsis atau eskapisme dalam bentuk pemenuhan kebutuhan hiburan. Tak heran jika antara dunia televisi dan khalayaknya telah terjalin relasi saling berkelindan yang tak terpisahkan—seolah masing-masing memberi napas bagi yang lain. Apa yang ditampilkan televisi dikunyah tanpa ampun oleh masyarakat. Apa yang terjadi di tengah masyarakat, tanpa ayal diekspos—atau dalam beberapa kasus, dieksploitasi—oleh televisi, termasuk dalam ritual-ritual keagamaan. Inilah yang terlihat nyata ketika Ramadhan menjelang.
Dari perspektif komunikasi, khususnya riset media, fenomena maraknya sambutan televisi terhadap Ramadhan menghadirkan sejumlah hal menarik untuk dieksplorasi. Misalnya saja, perubahan konfigurasi jam tayang berikut konsekuensi value-nya. Jam-jam yang semula ‘tidur’, tidak terhitung sebagai jam yang cukup diperhitungkan untuk penayangan acara, sepanjang Ramadhan sontak menjadi jam-jam tayang unggulan (prime time) yang diperebutkan stasiun televisi dan para pengiklan. Ini terjadi pada jam-jam menjelang dan saat sahur. Maka terjadilah perubahan konfigurasi jam tayang. Rekonfigurasi jam tayang ini pada akhirnya menimbulkan konsekuensi lain, yaitu perubahan konfigurasi acara. Ada acara-acara baru yang muncul, ada acara-acara lain yang digeser, ada acara-acara yang di’halus’kan atau diubah jam tayangnya. Misalnya, acara bertema misteri-mistik-supranatural yang menjual hantu-hantuan untuk sementara dikurangi. Bahkan, ada program yang dihapus sementara waktu, seperti “Jakarta Underground” di LaTivi yang biasanya meliput fenomena kehidupan malam di ibukota, atau serial “Baywatch” yang mengisahkan kehidupan keseharian para penjaga pantai yang seksi dalam balutan bikini.
Bukan hanya itu, kajian atas aspek periklanan media memperlihatkan, terdapat perbedaan antara jenis produk yang diiklankan televisi pada masa Ramadhan dan di luar Ramadhan. Studi Keenan & Yeni (2003) menyimpulkan, di bulan Ramadhan, iklan-iklan yang muncul di televisi lebih menekankan pada pesan-pesan Ramadhan. Produk-produk yang berkaitan dengan nuansa lebaran dan puasa lebih banyak diiklankan daripada produk-produk sehari-hari. Banyak produk yang semula tergolong tidak terkait dengan momen keagamaan, saat Ramadhan memanfaatkan momen tersebut untuk menambah nilai guna. Misalnya, Nutri Sari, yang diiklankan menambah kesegaran saat sahur dan berbuka puasa.
Selain itu, karakter-karakter yang biasanya berbusana glamor, di bulan Ramadhan mengubah penampilannya menjadi lebih Islami, dalam arti lebih banyak menggunakan busana muslim yang konservatif. Hal ini memperlihatkan adanya perubahan performance di atas panggung televisi ketika Ramadhan tiba. Artis-artis yang semula berbusana tidak islami, menggunakan busana-busana bernuansa muslim ketika membawakan acara-acara bertema Ramadhan. Bahkan, ini juga terjadi pada acara-acara yang tidak tergolong religius. Contohnya ketika Anissa Bahar yang dalam kesehariannya dikenal sebagai ‘Ratu Goyang Patah-Patah’. Di bulan Ramadhan, sang Ratu mengurangi aksi jogednya yang erotis saat membawakan acara Goyang Dangdut-nya—berkerudung pula! Kerudung itu dicopot ketika
Serangkaian gejala tersebut niscaya berulang kembali ketika Ramadhan kembali menjelang tahun ini. Sebuah stasiun televisi menyediakan waktu sedikitnya 120 menit [2] untuk menghadirkan program Ramadhan dalam berbagai kemasan: ceramah, talk show, program dokumenter, sinetron bertema religius, variety show, film kartun[3], sampai kuis berhadiah. ‘Keseriusan’ menghadirkan program bertema Ramadhan tampak dari pilihan atas format acara hingga elemen-elemen pendukungnya, seperti para aktor, presenter, maupun—tak ketinggalan—ustadz-ustadz yang memiliki kharisma di tengah masyarakat. Kehadiran Ramadhan dari tahun ke tahun senantiasa disambut antusias oleh stasiun-stasiun televisi dengan aneka program. Stasiun-stasiun TV ‘top’ seperti RCTI, SCTV, dan Trans TV mengemas Ramadhan dalam sebuah tema khusus dengan mengetengahkan program spesial Ramadhan terdiri dari sinetron, talk show, ceramah, variety show, dan tebar kuis berhadiah. Rata-rata, stasiun-stasiun televisi lain juga menyusun program serupa, dengan ragam acara yang kurang lebih sama. Format acara tidak jauh berbeda, demikian juga dengan content program itu sendiri. Maklum saja, televisi bagaimanapun adalah ajang produksi budaya yang memiliki aturan main tersendiri, sehingga melahirkan pola produksi dan representasi simbolik yang kurang lebih sama. Tabel berikut memperlihatkan alokasi waktu dan jenis acara yang meramaikan Ramadhan 2006.
Tabel 1. Program Ramadhan di Lima Stasiun Televisi Indonesia
(persen/menit)
Jenis Program
TPI
RCTI
SCTV
METRO
TRANS
Drama
28.57 %
(60)
16.67 %
(30)
16.67 %
(30)
Talk Show
14.29 %
(30)
20 %
(30)
20 %
(30)
14.29 %
(30)
28.57 %
(60)
14.29 %
(30)
News
14.29 %
(30)
Variety Show
57.14 %
(120)
50.01 %
(90)
60 %
(90)
66.68 %
(120)
Doc./
Feature
14.29 %
(30)
16.67 %
(30)
Musik
16.67 %
(30)
Total Durasi
100 %
(210)
100 %
(180)
100 %
(150)
100 %
(180)
100 %
(150)
Tabel 1 memperlihatkan, di antara ragam jenis program yang ditawarkan, variety show yang disiarkan saat sahur masih merupakan ‘dagangan’ utama Ramadhan 2006. Ini terlihat dari porsi besar yang diberikan untuk variety show, rata-rata di atas 50 %, apabila dibandingkan dengan jenis program lainnya. Hanya satu stasiun TV yang memilih tidak menampilkan variety show, yaitu Metro TV dengan Tafsir Al-Misbah[4]. Program Ramadhan Metro TV didominasi oleh talk show (66,67 %).
Namun, di balik meriahnya sambutan televisi terhadap Ramadhan, kontroversi merebak seputar cara televisi merayakan momen ini. Tidak semua pihak bersepakat bahwa kehadiran televisi dengan program-program Ramadhan semata-mata merupakan upaya untuk menyesuaikan diri dengan budaya maupun peristiwa penting di tengah masyarakat. Kajian kritis dari perspektif ekonomi politik memandang, televisi telah melakukan praktik spasialisasi. Ini terlihat dari eksploitasi televisi terhadap ruang-ruang yang sebelumnya merupakan ruang ‘mati’ atau tidak ekonomis, misalnya pada jam-jam sahur. Sebelumnya, jam-jam ini tidak bernilai apa-apa dan cenderung menjadi ‘jam tidur’ saja. Kajian Hoover dan Lundby (1998) mensinyalir gejala komodifikasi religiusitas ketika media massa menjadikan program Ramadhan di televisi sebagai paket-paket unggulan yang dijual dengan harga tinggi kepada pengiklan. Kesimpulan semacam ini merupakan wacana yang tak habis-habisnya dieksplorasi dalam kajian-kajian seputar televangelism, suatu program televisi yang dirancang khusus untuk memenuhi keperluan penyebaran dan pengukuhan eksistensi agama tertentu, di Eropa dan Amerika Serikat.
Lantas, bagaimana dengan Ramadhan dalam dunia pertelevisian Indonesia? Mari kita coba ‘membaca’ program sahur Ramadhan—primadona program televisi sepanjang Ramadhan—di luar program berbuka puasa. ‘Pembacaan’ dilakukan meliputi teks pesan yang disampaikan, cara penyampaian pesan, pilihan komunikator penyampai pesan, dan setting acara. Pada tahun 2004, pembacaan program sahur Ramadhan memberikan hasil sebagai berikut.
Tabel 2
Hasil Pembacaan Program Pengisi Sahur Ramadhan
Aspek yang ‘Dibaca’
Trans
YSY
RCTI
SB
SCTV
SK
TPI
SDS
Indosiar
PAFI
Metro TV
TaM
Kemasan Acara
Komedi Situasi
Komedi
Situasi
Komedi
Komedi Situasi
Komedi Situasi
Ceramah/ Talk Show
Cara Penyampaian Pesan
Banyolan
Banyolan
Banyolan
Banyolan
Banyolan
Serius
Busana
Muslim
Muslim
Muslim
Muslim
Muslim
Santun, menutup aurat, tak selalu ‘busana muslim.’
Kelas yang Direpresentasikan dalam Setting
Adegan, Set Dekor/Properti
Kalangan Menengah ke Atas (Rumah, Gardu
Kamling)
Kalangan Menengah ke Atas
(Rumah, Ruang Publik)
Kalangan Menengah ke Atas
(Studio)
Kalangan Menengah ke Atas
(Rumah, Wartel, Warung, Kafe)
Kalangan Menengah ke Atas
(Kos-kosan, mini market, wartel)
Netral
(Pusat Studi Al Quran, Ciputat)
Komunikator Utama
Artis/ pelawak
Artis/ pelawak
Artis/ pelawak
Artis/
Pelawak
Artis/ pelawak
Ulama
Porsi ulama
8.3 %
10 menit (120 mnt)
8.3-12.5%
10-15 menit (120 mnt)
0 %
Tidak ada
6.7-10%
10-15 menit
(150 mnt)
8.3-12.5% menit (120 mnt)
100 %
60 menit (60 mnt)
Keterangan. YSY : Yuk Sahur Yuk (Trans TV)
SB : Sahur Bareng (RCTI)
SDS : Sahur Dong Sahur (TPI)
SK : Sahur Kita (SCTV)
PAFI : Pondok AFI (Indosiar)
TaM : Tafsir Al-Misbach (Metro)
Dua tahun kemudian, tepatnya Ramadhan 2006, ‘pembacaan’ serupa meliputi aspek yang sama terhadap program sahur kembali dilakukan. Hasilnya terlihat dalam tabel berikut.
Tabel 3
Hasil Pembacaan Program Pengisi Sahur Ramadhan 2006
Aspek yang ‘Dibaca’
Trans TV dan TV7
Kerajaan Sahur
RCTI
Star (Stasiun Ramadhan)
SCTV
Sana Sini Sahur
TPI
Komidi Putarr
Indosiar
Ramadan Di Istana
Metro TV
Tafsir Al Misbach
Kemasan Acara
Komedi Situasi
Komedi
Situasi
Komedi
Komedi Situasi
Komedi Situasi
Ceramah/ Talk Show
Cara Penyampaian Pesan
Banyolan
Banyolan
Banyolan
Banyolan
Banyolan
Serius
Busana
Tertutup
Muslim
Muslim
Muslim
Tertutup
Muslim
Kelas yang Direpresentasikan dalam Setting
Adegan, Set Dekor/Properti
Kalangan Atas (Sebuah ‘Kerajaan’ Antah Berantah )
Kalangan Menengah ke Atas
(Rumah, Ruang Publik)
Kalangan Menengah ke Atas
(Studio)
Warga Jelata
(Rumah, Ruang Publik)
Kalangan Menengah ke Atas
(Istana Negara, elit politik, keluarga presiden)
Netral
(Pusat Studi Al Quran, Ciputat)
Komunikator Utama
Artis/ pelawak
Artis/ pelawak
Artis/ pelawak
Artis/
Pelawak
Artis/ pelawak
Ulama
Porsi ulama
Tidak dominan
Tidak dominan
Tidak ada (bahkan secara tetap diparodikan)
Tidak dominan
Tidak ada (kadang-kadang diparodikan)
Dominan 100 %
(sepanjang program)
Bila dibandingkan, hasil pembacaan program Ramadhan 2004 tidak seberapa berbeda dengan hasil penelitian tahun 2006. Perbedaan utama hanya terlihat dalam nama acara dan setting program. Selebihnya sama saja: genre program tetap didominasi oleh variety show dengan pendekatan komedi situasi, kelas yang direpresentasikan tetap saja kalangan menengah ke atas, demikian pula komunikator utamanya—tetap para artis/pelawak. Porsi ulama malah semakin tidak dominan (dan tidak jelas!) dalam Ramadhan 2006. Bahkan, sebuah stasiun TV mengambil langkah berani (kalau tidak mau dikatakan ‘nekat’): memparodikan sosok ulama yang populer. Ini terlihat dalam program “Sana Sini Sahur” (SCTV). Secara tetap, menjelang akhir acara, dimunculkan Argo ‘Aa Jimi’ yang memparodikan Aa Gym—lengkap dengan turban, gamis, dan petatah-petitih dengan gaya dan nada bicara ulama kondang asal Bandung itu!
Maka, terkecuali program sahur Metro TV, yang diisi dengan “Tafsir Al-Misbach” berupa kajian tafsir Al Quran, program Sahur Ramadhan lainnya tak lebih dari infotainment belaka. Unsur hiburan jauh lebih menonjol dibandingkan porsi dakwah. Kalaupun stasiun televisi berdalih bahwa dakwah juga bisa dilakukan lewat kehidupan sehari-hari dan tidak melulu lewat ceramah ustadz, maka ilustrasi kehidupan yang diketengahkan untuk membungkus program inipun masih jauh dari teladan yang menampilkan nilai-nilai Islami. Penyampaian wacana religius belum kaffah—menyeluruh, dan ini terlihat dari pemaknaan terhadap simbolisasi agama yang terkesan dangkal serta bersifat permukaan saja.
Pembacaan terhadap program-program sahur Ramadhan memperlihatkan sejumlah hal menonjol yang membuat program yang maunya bernuansa agama tersebut akhirnya menjadi tidak konsisten dengan makna religius yang semestinya disampaikan secara verbal maupun non verbal. Inilah yang persisnya terjadi dalam program sahur tersebut:
Pelecehan-pelecehan verbal dalam menyampaikan wacana agama. Ketidaksantunan berperilaku, termasuk dalam menata content pesan yang disampaikan begitu menonjol. Contoh-contoh dalam kuis maupun banyolan antar penghibur tadi memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan verbal.
Migrasi simbolik para artis. Pilihan berbusana muslim yang dikenakan tidak sesuai dengan keseharian mereka, dan ini memperlihatkan keterbatasan pemaknaan bahwa keislaman dapat diwakili oleh busana muslim (yang sesungguhnya merupakan bagian dari tren atau genre fashion yang temporal sifatnya). Tendensi ini terlihat ketika para artis kembali pada busana keseharian yang acap tak menutup aurat saat puasa berakhir.
Menonjolnya semangat konsumerisme, melalui perburuan hadiah-hadiah kuis nyaris di setiap segmen.
Ketidakadilan dalam merepresentasikan masyarakat—media masih berpihak pada kelas atas, dan bukan kelas bawah. Pada gilirannya, ekspos terhadap masyarakat kelas atas ini mengkhianati semangat kesederhanaan Ramadhan.
Peralihan peran ulama kepada para selebritis, khususnya pelawak dan pembanyol. Ini tecermin melalui porsi artis-artis tersebut yang jauh lebih besar dibandingkan peran ulama. Dalam beberapa aspek terkadang bahkan para artis yang diragukan kompetensi agamanya ini ‘merebut’ peran-peran yang biasanya dijalankan oleh para ulama.
Sejumlah fenomena tadi memperlihatkan inkonsistensi pemaknaan dan penyampaian nilai-nilai Islami dalam semangat Ramadhan, yang pada akhirnya menguatkan asumsi kuatnya gejala infotainment-sasi wacana keagamaan. Infotainment[5] berbeda dengan edutainment. Infotainment mengentertainment-kan informasi, tidak ada sangkut pautnya dengan konsep edutainment yang memang berusaha mendidik sambil menghibur. Infotainment adalah informasi yang semata-mata hiburan, bukan demi kepentingan pendidikan dan pencerahan.
Lantas, ketika gejala infotainment begitu menonjol dalam sajian televisi di bulan Ramadhan, hal ini jelas-jelas menjadi paradoks saat dihadapkan pada gagasan Ramadhan sebagai bulan untuk menahan segala hawa nafsu dan menonjolkan empati terhadap kaum yang tidak berpunya. Kalau begitu, bagaimana sesungguhnya program televisi di bulan Ramadhan ini diproduksi? Spirit apa sesungguhnya yang mendasari produksi program televisi di bulan yang diandaikan religius ini?
Televisi: Hiburan, Hiburan, Hiburan ...
Narasumber dari Indosiar[6] menyatakan, kata kunci mendekati khalayak televisi Indonesia adalah hiburan. Khalayak televisi Indonesia merupakan masyarakat yang haus hiburan. Dan mereka menganggap televisi eksis terutama demi pemenuhan fungsi tersebut. Maka, bagi stasiun televisi, pertimbangan apakah sesuatu itu menghibur atau tidak menjadi hal yang paling utama.
Pendekatan ‘demi hiburan’ ini akhirnya mengimbas ke berbagai aspek. Di antaranya, misalnya, dalam memilih pengisi acara. Pertimbangan utama untuk memilih pengisi acara, atau performer, adalah siapapun yang punya potensi menjadi entertainer—termasuk dalam acara bernuansa keagamaan, khususnya dalam memilih para ustadz. Wajah-wajah seperti Aa Gym, dan belakangan ini ustadz Jeffrey S. Buchori yang muda, ganteng, dan gaul menjadi pilihan favorit karena menghibur pemirsa. Ini dikuatkan dengan pernyataan narasumber produser SDS TPI[7]. Ia mengungkapkan, sosok-sosok seperti Quraish Shihab yang serius, misalnya, tidak akan dipilih TPI—karena “...menakutkan pemirsa.” Ustadz Arifin Ilham juga tidak dilirik—“... karena beliau mempertahankan hijab (batas laki-laki dan perempuan) dalam ruang publik, yang jelas tidak dimungkinkan ketika beliau (Arifin Ilham) akan diikutsertakan dalam sebuah komedi situasi yang mengharuskan semua karakternya, termasuk sang ustadz, berbaur dengan pemain lain, tak peduli laki-laki maupun perempuan dalam setting sesuai skenario.”
Menarik bahwa pendekatan komedi menjadi pilihan umum dari ragam hiburan yang disajikan dalam program Ramadhan. Secara implisit, hal ini memperlihatkan bahwa pemaknaan para produser atau stasiun televisi ybs berkisar pada (ber)puasa sebagai momen penuh penderitaan, berat, dan menghadirkan ujian nyata bagi pemirsa. Dengan demikian, untuk menjalani persiapannya, maupun dalam rentang waktu melaksanakan ibadah puasa tersebut, pemirsa perlu dihibur dengan canda tawa sepuasnya hingga lupa pada beratnya ‘penderitaan’ puasa.
Pendekatan komedi sesungguhnya sah-sah saja sebagai suatu alternatif penyajian. Namun, pemaknaan para penghibur di televisi dan lingkungan sekitarnya mengenai apa yang disebut ‘komedi’ itu sendiri rupanya kurang jelas, atau bahkan keliru. Pengertian komedi sesungguhnya berbeda dengan lawak (Basuki, 2005)[8]. Seorang pelawak melakukan segala hal agar orang menertawakan dirinya. Kalau perlu, ia akan melecehkan orang lain, mengucapkan kata-kata atau lelucon kasar tanpa peduli bahwa isinya merupakan kekerasan verbal yang menyakiti pihak lain, atau melakukan slapstick. Seorang komedian tidak demikian. Komedian berupaya membuat orang menertawakan ironi dari materi yang disampaikannya. Ia tidak mengajak orang menertawakan dirinya. Karakter komedian yang dimainkan Jim Carrey dalam film Man on the Moon mengungkapkan, seorang komedian mengajak audiens-nya merasakan “... a true experience.” Dengan demikian, apa yang disampaikan sang komedian akan memberkaskan kesan bagi penontonnya, tidak sekadar hahahihi yang berlalu tanpa arti. Menilik penjelasan-penjelasan tersebut, maka apa yang dilakukan oleh para penghibur Indonesia selama ini baru sebatas berfokus pada lucu-lucuan tanpa memikirkan gagasan substansial (dan edukatif) yang hendak ditinggalkan pada penonton. Inilah yang membuat spiritualitas dalam program sahur Ramadhan yang semestinya sangat kaya hikmah menjadi kering.
Pendekatan komedi itu sendiri selamanya selalu mengandung paradoks, berhubung apa yang disampaikan televisi kerap tidak merefleksikan situasi dan pengalaman-pengalaman khalayak: “The representation of everyday life on television may contradict the viewer’s situation at the moment it proposes itself as a perfect match” (Thwaites, Davis, & Mules, 2002: 147). Kontradiksi ini menyebabkan proses mediasi ditandai bukan oleh suatu union, melainkan oleh disjuncture antara institusi-institusi sosial dan khalayaknya.
Ade Armando[9], pengamat pertelevisian Indonesia sekaligus anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan fenomena tersebut sebagai hal yang wajar, karena acara tersebut dimaksudkan untuk menemani orang sahur yang tidak membutuhkan pemikiran dan perenungan panjang. Hal inilah yang disesalkan oleh pengamat program lain yang mencoba berbicara dari sisi wacana religius—Muhammadun AS[10] mengomentarinya sebagai tragedi selebritisme agama, di mana agama dijadikan sebuah komoditas panggung hiburan, yang berimplikasi serius karena “... agama tidak lagi dihadapkan pada pemeluknya oleh ‘ulama’ dan cendekiawan, namun melalui selebriti di televisi.” Ini dibenarkan oleh Deddy Mizwar (dalam Rahman, 2004), seorang pelakon yang belakangan intens menggeluti tayangan-tayangan bernuansa religius.
RAMADAN bagi televisi adalah komoditas. Karenanya, sebulan penuh mayoritas program televisi tidak beranjak dari ritual seputar bulan suci. Sebagaimana kita ketahui, pada bulan ini, stasiun televisi berlomba-lomba menyajikan program unggulan. Tujuannya tiada lain, ingin meraih hati dan memanjakan pemirsa. Meskipun ujung-ujungnya, televisi tengah menjaring iklan sebagai ”roh kehidupan” tv itu sendiri.
Intinya, seperti pernah diulas oleh Kuntowijoyo dalam Budaya dan Masyarakat (1991), yang terjadi dalam situasi semacam ini adalah kemenangan budaya pasar mengalahkan budaya mesjid. Persoalan agama dibawa menjadi tidak kontekstual dalam peranannya di ruang publik. Kontekstualitas agama sebaliknya dijadikan dalih untuk menghasilkan program Ramadhan, yang pada dasarnya adalah produk industri budaya televisi yang dikerangka para kapitalis media dalam kepentingan-kepentingan kapitalisme.
Pertanyaan selanjutnya yang menarik untuk dieksplorasi adalah adakah kaitan antara representasi nilai dalam produk media dengan mode produksinya? Penelusuran terhadap ragam mode produksi stasiun TV yang diteliti dalam memproduksi program sahur Ramadhan memperlihatkan hasil sbb.
Bagan I
Ragam Mode Produksi Stasiun TV
Stasiun TV bertolok ukur Audience Satisfaction
Mode Produksi:
- Persiapan program sahur sebagaimana program lain, tapi memperhatikan content yang akan disampaikan.
- Tidak menggunakan sistem bintang.
- Menggunakan pendekatan kompetensi.
- Bekerjasama dengan otoritas agama.
Stasiun TV bertolok ukur Rating dan Audience Share
Trans TV, RCTI, SCTV, TPI, Indosiar
Metro TV
Mode Produksi:
- Persiapan program sahur sebagaimana program hiburan TV lainnya.
- Menggunakan sistem bintang
- Menggunakan pendekatan ‘entertainer’.
- Memanfaatkan sumberdaya internal
Pembacaan atas mode-mode produksi yang berbeda-beda ini memberikan petunjuk tentang sejumlah hal penting terkait dengan isi kepala produser (sebagai representasi kebijakan stasiun televisi) dalam menyiapkan program media. Tak hanya itu, bagan di atas juga memperlihatkan hal menarik ihwal rutinitas media.
Rutinitas media, seperti diungkapkan oleh Reese dan Shoemaker (1996), merupakan salah satu ‘kunci’ untuk memahami bagaimana sebuah wacana diproduksi, serta latarbelakang pemikiran apa yang mendasari kreasi wacana tersebut. Keputusan stasiun televisi untuk tidak melibatkan pihak luar sebagai konsultan untuk memproduksi acara keagamaan, misalnya, memperlihatkan betapa produksi wacana religius itu sendiri dianggap sudah merupakan bagian dari rutinitas media. Momen Ramadhan memang istimewa, dan diistimewakan, tapi karena menjadi bagian program reguler tahunan maka proses produksinya sendiri dianggap sebagai rutinitas. Ini tidak hanya berlaku bagi stasiun yang menggunakan rating dan audience share sebagai tolok ukur sukses program, tetapi juga berlaku bagi Metro TV yang menetapkan customer satisfaction sebagai tolok ukur sukses programnya.
Sejumlah literatur memperlihatkan bahwa pengaruh kode produksi media pada institusi agama (dalam pengemasan nilai-nilai syiarnya) sesungguhnya niscaya ada. Hal ini, antara lain, karena program religius di televisi memang termasuk salah satu program yang banyak diproduksi, terutama menjelang hari-hari atau momen-momen keagamaan tertentu. Satu hal yang menarik, terkait dengan faktor discourse practice, Potter (2001:325) mengutip studi Horsfield (1984) yang memperlihatkan bahwa pada dasaranya, pemrograman acara religius di televisi dibentuk oleh kekuatan-kekuatan serupa yang membentuk content televisi secara general. Faktor-faktor utama itu adalah:
Sensationalism: kecenderungan penekanan pada materi-materi produksi yang diperkirakan bakal cepat mendapatkan perhatian dari penonton.
Instant Gratification: Para pemrogram terdorong untuk menyediakan jawaban-jawaban langsung bagi program-program yang mudah didefinisikan konteks maupun permasalahannya. Eksplorasi permasalahan nyaris tidak ada, karena itu jawaban atas pertanyaan yang diangkat dalam diskusi-diskusi agama akan cenderung itu-itu saja.
Oversimplification: penyederhanaan yang berlebihan baik dalam penyajian maupun eksplorasi permasalahan serta jawaban. Pemrograman televisi menghindari pendalaman masalah, serta menuntut analisis atas isu, peristiwa, hubungan manusia yang terlibat di dalamnya berdasarkan faktor-faktor ‘permukaan’ saja dengan bersandar pada karakter-karakter, plot, dan hubungan-hubungan stereotip.
Ketiga faktor ini ternyata tecermin dalam program-program Ramadhan yang disajikan kepada publik. Ditambah dengan penyederhanaan dan standarisasi faktor produksi, maka, lengkaplah sudah inkonsistensi makna Ramadhan yang terjadi dari esensi makna sesungguhnya. Namun, itulah realitas yang terjadi dalam industri televisi kita yang dikerangka dalam kepentingan kapitalisme.
Pada akhirnya, menonton Ramadhan di televisi bisa disimpulkan tak ubahnya ‘membaca’ teks-teks infotainment, bukan membaca wacana religius yang mencerahkan. Apa boleh buat, biarpun klise, jargon Neil Postman (1984) yang sangat terkenal lagi-lagi berlaku di sini: menonton televisi tak lain sebuah praktik ‘amusing ourselves to death’—bersenang-senang sampai mati! Makanya, jangan serius-serius amat nonton tivi...
Santi Indra Astuti.
Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, Departemen Jurnalistik. Saat ini aktif sebagai pengamat sosial-budaya dan periset media dalam sejumlah lembaga, di antaranya Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Lembaga Penelitian Komunikasi Massa Universitas Indonesia (LPPKM UI) dan LIPI.
[1] Tulisan ini disarikan dari tesis berjudul “Ramadhan dalam Bingkai Religius di Televisi: Kajian atas Kognisi Sosial, Mode Produksi, dan Fenomena Infotainment dalam Program Sahur” (2005), Jakarta, UI. Data hasil penelitian ini kemudian diupdate pada tahun 2006.
[2] Global TV.
[3] Global TV, dengan mengusung serial kartun dari Nickelodeon yang popular seperti “Spongebob Squarepants.”
[4] Dari segi rating acara, pada tahun-tahun awal ‘demam’ variety show program sahur, SCTVmerajai. Posisi itu mulai digeser pelahan-lahan oleh stasiun TV lain. Pada 2003, rating program sahur tertinggi ditempati oleh RCTI yang berhasil menggaet Maudy Kusnaedi bersama grup lawak Bagito sebagai host sekaligus bintang utama. Posisi ini digeser oleh Trans TV pada tahun 2004 yang sukses mengetengahkan kuis dan banyolan lewat kolaborasi Tessy (Srimulat), Parto (Patrio) dan Didin (Bagito). Pada tahun 2006, kembali RCTI berjaya dengan Star (Stasiun Ramadan), mengetengahkan duet Ulfa dan Eko Patrio (yang sebelumnya mengangkat program sahur SCTV di tahun-tahun awal produksinya). Sementara SCTV sendiri tahun ini terpaksa gigit jari—“Sana Sini Sahur” gagal meraih rating tinggi. Bahkan terhitung jeblok bila dibandingkan program pengisi sahur stasiun TV lainnya. Selain karena format yang menjenuhkan, dan bintang yang ‘kurang ngetop’, diduga, besaran hadiah kuis yang ditawarkan juga tidak menarik pemirsa (Republika, Selasa 31 Oktober 2006).
[5] Infotainment, mengacu pada Smartpedia, “… also known as soft news, provides
information in a way that is entertaining to its viewers. The information in infotainment programming
consists of mostly celebrity news and human drama.”
[6] Wawancara tanggal 23 Mei 2005, di meeting room Humas Indosiar. Narasumber adalah Rusman Latief, produser program sahur Indosiar Pondok AFI .
[7] Wawancara tanggal 18 Mei 2005, di Library TPI. Narasumber adalah Hasan Bisri, salah satu produser program sahur TPI Sahur Kita.
[8] Basuki menyampaikan hal ini ketika mengevaluasi penampilan grup Bajaj, salah satu finalis Grand Final API (Audisi Pelawak Indonesia) TPI yang ditayangkan pada 4 Juni 2005. Basuki, mantan anggota kelompok lawak Srimulat, kini terhitung sebagai salah satu pelawak senior Indonesia.
[9] Dikutip dari artikel Gatra, Edisi 1, Jumat 14 November 2003. Saling Intip Menjelang Subuh.
[10] Dikutip dari artikel Kompas, Jumat 15 Oktober 2004. Ramadhan dan Fenomena Selebritisme Agama.
0 komentar:
Posting Komentar