Sabtu, 04 Agustus 2007

Menggugat Infotainment

Menggugat Infotainment!
Oleh
Santi Indra Astuti[1]

Sarah Azhari marah-marah karena privasinya diganggu kru infotainment. Ironis. Saat ia mempersoalkan hak untuk melindungi privasinya dari kejaran pemburu ‘berita seleb’, infotainment justru bersorak karena mendapatkan berita bagus. Realitas yang ditampilkan pada publik oleh infotainment adalah peristiwa Sarah ‘menganiaya’ kru infotainment. Esensi di baliknya, ihwal perdebatan seputar etika profesi pekerja infotainment dan perlindungan privasi seseorang, justru tidak terangkat. Dalam dunia post simulacrum, realitas baru memang dibangun berlapis-lapis hingga menutupi realitas sesungguhnya. Namun, apa sesungguhnya persoalan infotainment Indonesia?
Pertama-tama adalah ketidakjelasan mengenai konsep dan definisi infotainment itu sendiri. Kedua, menyangkut cara kerja dan etika kru infotainment, yang berujung pada gugatan seputar sah-tidaknya mereka menyandang ‘gelar’ wartawan yang menjalankan kerja jurnalistik. Ketiga, perdebatan seputar batas-batas hak individu dan privasi. Keempat, persoalan infotainment sesungguhnya masalah klasik industri budaya yang dikomodifikasi, sehingga akan selalu ada persoalan kelima, keenam, ketujuh dan seterusnya ...
Bagi para pengamat media massa dan budaya pop, kenyataan betapa infotainment menjadi salah satu tayangan populer yang sukses membius masyarakat juga merupakan masalah tersendiri. Apakah ini persoalan khalayak yang tidak cerdas? Atau industri budaya yang tak beretika? Atau pembuktian tesis imperialisme kultural? Ignatius Haryanto mengupas tuntas perkara infotainment, yang ditelaah dari pelbagai perspektif, dalam bukunya yang berjudul lumayan provokatif : “Aku Selebriti, maka Aku Penting.”

Infotainment: Konsep yang Kabur...
Perseteruan, perselingkuhan, nikah, cerai, konflik, jadian, bubaran, punya pacar baru. Inilah topik-topik umum dalam tayangan infotainment kita. Inikah hiburan? Maka, tak heran kalau Haryanto mengawali salah satu tulisannya dengan pertanyaan menghentak:
“Sejak kapan kita harus menerima diktum baru: Infotainment ... Sejak kapan informasi harus dibuat menghibur, dan harus dipadukan sedemikian, terutama dengan mengobok-obok kehidupan pribadi para tokoh yang sebenarnya juga punya wilayah privasi yang hendak dilindungi mereka sendiri? Apakah mengobok-obok kehidupan pribadi seseorang adalah sesuatu yang menghibur? Bukannya sesuatu yang malah membuat kita prihatin?” (h. 10).
Atas dasar penalaran semacam ini, Haryanto menegaskan bahwa infotainment merupakan pengingkaran fungsi informasi. Mengapa? Karena hakekatnya, masyarakat berhak menerima informasi yang mereka butuhkan. Sementara, sulit mengategorikan kandungan infotainment sebagai informasi yang memang dibutuhkan khalayak. Dari sisi jurnalistik sendiri, konsep infotainment sulit diterima sebagai bagian praktik kerja wartawan. Konsep berita dan nilai-nilai berita tidak bisa dikacaukan begitu saja dengan ‘hiburan’. “Inilah penyakit lama jurnalisme kita ... talking journalism (jurnalisme omongan), seolah kalau si tokoh sudah berucap sesuatu, maka itulah kenyataannya ...” (h.13).

Cultural Studies?
Banyak hal lain yang disinggung Haryanto. Infotainment, yang banyak ditonton tapi jarang dianggap sebagai berita serius, ternyata menyimpan persoalan-persoalan amat sangat serius. Selain problem profesionalisme dan etika pekerja infotainment (Haryanto tampak alergi menyebutnya sebagai ‘wartawan’), dibahas juga permasalahan industri hiburan dan budaya pop pada umumnya. Popularitas Harry Potter, komodifikasi Disney, globalisasi hiburan, nasionalisme ala ‘Republik’ MTV, sampai perbandingan konseptualisasi sukarnoisme ala Guruh Sukarnoputra dan Ahmad Dhani. Lengkap. Ada permasalahan representasi teks, produksi wacana, konteks sosiokultural dan ideologi. Tak heran jika Muji Sutrisno, pada pengantar buku ini, menuturkan perdebatan seputar posisi cultural studies—agaknya, kumpulan esei Haryanto ini dimaksudkan agar dibaca sebagai kajian berwajah cultural studies.
Tapi justru itu, saya jadi mempertanyakan mengapa buku ini tidak disusun saja sekalian dalam komposisi ala cultural studies? Pada bagian pertama, misalnya, bisa dikumpulkan tulisan-tulisan menyoal representasi teks, seperti Junk Food News, Komik Jepang vs. Komik Amerika, Salam Dangdut MTV, dan Tafsir Ahmad Dhani vs. Guruh Soekarnoputera untuk Soekarno. Pada bagian kedua, bisa ditampilkan kelompok tulisan tentang produksi wacana. Di sinilah tempat bagi tulisan-tulisan mengenai pekerja infotainment, propaganda Amerika abad 21, dan lain-lain. Sementara bagian terakhir menyoal latar sosiokultural dan ideologi yang melahirkan fenomena-fenomena industri budaya. Tulisan “Budaya Populer: Komersialisasi dan Imperialisme Kultural?” merupakan salah satu teks penting yang bisa dimasukkan dalam kategori terakhir ini.

***
Bagi para pekerja industri budaya, khususnya media, “Aku Selebriti maka Aku Penting” adalah sebuah buku wajib. Banyak sekali pertanyaan kritis yang perlu direfleksikan. Pun banyak informasi penting menyangkut permasalahan industri budaya yang perlu diketahui. Siapa pun yang ingin berkarir di media massa juga harus membaca buku ini. Jangan cuma terpikat oleh iming-iming dunia gemerlap media massa. Sudah semestinya mereka menimbang serius pilihan mengambil studi komunikasi atau bekerja di media, dengan memikirkan konsekuensi di balik kompleksitas industri budaya yang sangat powerful membius khalayak. Buku ini membuka mata ihwal jejaring dunia industri budaya media massa serta ilusi-ilusi di balik gemerlap mimpi yang dihadirkannya. Bagi para aktivis media literacy, inilah buku yang menunjang upaya advokasi memberdayakan dan mendidik masyarakat agar menjadi khalayak yang kritis terhadap media massa! (000)

DATA BUKU
Judul : Aku Selebriti Maka Aku Penting
Pengarang : Ignatius Haryanto
Penyunting : Aris Darmawan
Penerbit : Bentang (Yogyakarta)
Cetakan Pertama, Mei 2006, xxiv + 220 hlm
[1] Santi Indra Astuti, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Bidang Kajian Jurnalistik, Universitas Islam Bandung (UNISBA).

0 komentar: