ADA APA DENGAN SKRIPSI KUALITATIF KITA?
Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si.[1]
I. Pendahuluan
Menelaah skripsi sesungguhnya pekerjaan mengasyikkan. Kita bisa tercerahkan berkat informasi terkini yang didapatkan di lapangan. Kita mendapatkan ulasan mengenai pemikiran-pemikiran mutakhir dalam disiplin yang kita tekuni untuk menjawab isu-isu kontemporer. Atau, setidaknya, menikmati keliaran pemikiran dan elaborasi teori yang kreatif dan imajinatif dari penulisnya. Seraya, mengintip rujukan-rujukan yang mungkin belum tentu ada di rak-rak perpustakaan pribadi kita. Itu kalau kita mendapatkan skripsi yang betul-betul bermutu. Masalahnya, mendapatkan skripsi yang berkualitas bukan perkara gampang. Realitasnya, kita lebih sering berhadapan dengan skripsi-skripsi yang dibuat hanya demi memenuhi syarat formal lulus sebagai sarjana komunikasi. Akibatnya, beribu maaf, skripsi disusun asal-asalan dengan kualitas isi yang terkategori ‘mencemaskan’.
Ketika metode kualitatif mulai diterima dalam disiplin komunikasi, banyak mahasiswa maupun dosen mulai melirik metode ini sebagai alternatif riset. Kondisi ini, di satu pihak, menggembirakan. Di sisi lain, bikin deg-degan. Pasalnya, dalam banyak kasus, keputusan melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif tidak dilandasi oleh alur penalaran yang logis berdasarkan nature permasalahan yang dihadapi.
Sejujurnya, berdasarkan pengakuan rekan-rekan mahasiswa yang penelitian kualitatifnya bermasalah, keputusan menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian diakibatkan oleh lemahnya penguasaan statistik. “Takut berhadapan dengan angka-angka,” “malas menghitung,” “tidak hafal rumus,” begitulah jawaban klasik yang acap dilontarkan. Ketakutan pada matematika dan keengganan berurusan dengan format penelitian yang rigid dan ketat membuat para peneliti ini beralih pada metode kualitatif yang dianggap ‘lebih ramah’ dan ‘lebih gampang’ karena tak bertabur angka, tak menuntut rumus-rumus statistik yang panjang, rumit, dan njelimet! [2]
Lebih gampang? Betulkah metode kualitatif ‘lebih ramah’ bagi mahasiswa? Mari kita telusuri bersama sejumlah masalah yang diakibatkan oleh sesat pikir semacam ini.
II. Data: Temuan dari Pengalaman Mahasiswa
Guna mendapatkan data yang lebih rinci, valid, dan bisa dipertanggungjawabkan mengenai topik ini, penulis melakukan penelitian berskala kecil terhadap para kandidat sarjana peserta sidang skripsi di lingkungan Fikom Unisba, periode 20-23 Agustus 2007. Periode ini mencetak rekor peserta sidang skripsi, yaitu sebanyak 86 orang.
Penelitian ini bermaksud menjaring tanggapan terhadap latarbelakang memilih metode kualitatif, kapabilitas pengajar MPK dan dosen pembimbing dalam penguasaan metode kualitatif, tingkat kesulitan mengerjakan metode kualitatif, serta isu-isu lain yang perlu dicermati. Penelitian ini, perlu ditekankan, sama sekali tidak dimaksudkan untuk membaca sejauhmana penguasaan penggarap skripsi maupun dosen dalam metode kualitatif, atau menilai kualitas skripsi metode kualitatif. Kuesioner yang dibagikan semata-mata merupakan upaya untuk mengeksplorasi tanggapan awal terhadap penggunaan metode kualitatif dalam menyusun skripsi.
Dari 20-an angket yang dibagikan[3], 18 di antaranya dikembalikan pada akademik. Inilah data yang diolah dari jawaban angket tersebut.
1. Faktor Alasan
Pertanyaan yang diajukan pada pengisi angket adalah apa alasan utama menggunakan metode kualitatif dalam penggarapan skripsi. Tabel 1 menunjukkan jawabannya.
Tabel 1. Alasan Penggunaan Metode Kualitatif Dalam Skripsi
No.
Alasan
f
%
1
Sesuai dengan permasalahan
15
83.33
2
Hasil diskusi dengan pembimbing/kolega
1
5.55
3
Sesuai dengan rujukan skripsi lain
2
11.11
4
Lain-lain
0
0
Total
18
100
Alasan dominan mengerjakan skripsi, menurut responden, adalah karena metode kualitatif memang sesuai dengan permasalahannya (83.33%). Seorang responden (5.55%) memilih metode kualitatif setelah berdiskusi dengan pembimbing dan koleganya. Sementara, dua responden lainnya (11.11%) menyatakan bahwa pemilihan metode tersebut didasari hasil pembacaan terhadap skripsi lain, yang kebetulan meneliti konsep atau gagasan yang sama. Temuan yang menunjukkan dominannya alasan ‘a’ bisa dibilang melegakan, andai memang ini jawaban jujur. Karena, temuan tersebut memperlihatkan bahwa mahasiswa sudah memiliki dasar pijakan yang kuat untuk memilih penelitian dengan metode kualitatif, bukan asal-asalan saja.
2. Faktor Durasi
Menarik sekali mengamati jawaban responden mengenai durasi pengerjaan skripsinya, yang menggunakan metode kualitatif. Simak dalam Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Durasi Riset
No.
Durasi Pengerjaan Skripsi
f
%
1
< = 4 bulan
9
50
2
5 – 8 bulan
4
27.78
3
9 – 12 bulan
3
16.67
4
> 12 bulan
2
5.55
Total
18
100
Tidak pernah ada ketentuan menyangkut berapa lama waktu yang harus dihabiskan untuk menyusun skripsi kualitatif. Namun, lazimnya, penelitian skripsi yang serius cukup makan waktu. Karena, peneliti tidak hanya mengobservasi dan melaporkan temuannya, tetapi juga dituntut melakukan bobot analisis yang lebih mendalam daripada penelitian kuantitatif. Hasil angket menunjukkan, 50% responden menyusun skripsi dalam jangka waktu yang sangat singkat untuk kategori skripsi kualitatit, yaitu kurang dari 4 bulan saja! Inikah salah satu penyebab skripsi kualitatif tidak bermutu dan kurang matang? Sementara itu, dua mahasiswa makan waktu lebih dari setahun untuk menyusun skripsinya (12.5 bulan dan 18 bulan). Masalah utamanya, menurut ybs., adalah karena tingkat kesulitan skripsinya (dengan metode interaksionisme simbolik) dan gangguan pekerjaan. Tetapi, sepengamatan dosen ybs., mahasiswa ybs. walau pun cukup ambisius untuk meneliti sesuatu yang baru, dengan perspektif yang ‘keren/canggih’, ternyata tak punya bekal memadai untuk melakukan penelitiannya sesuai dengan prosedurnya. Bekal memadai itu a.l. adalah pola pikir yang konsisten dan tidak acakadut, serta konduite mahasiswa sendiri yang on-off (lebih sering off-nya), dalam proses bimbingan.
Dalam sidang skripsi, penulis sendiri menemukan skripsi-skripsi asal jadi yang tampaknya ditulis untuk mengejar target waktu. Selain disusun dengan sangat tidak rapi, asal jadi, dalam satu kasus, penulis bahkan berhadapan dengan seorang mahasiswa yang mengaku hanya butuh waktu kurang dari 6 bulan untuk menyusun skripsi. Dalam skripsinya, penulis menemukan 17 copy paste—sebuah pelanggaran etika akademik yang mengerikan. Mahasiswa itu lulus walau pun penulis hanya memberi nilai 1. Dia diselamatkan oleh nilai kolektif.
3. Sumber Pertama Mengenal Metode Kualitatif
Beberapa tahun silam, penelitian kualitatif tidak sepopuler sekarang. Sedikit sekali mahasiswa yang memilih metode kualitatif dalam skripsinya. Mata kuliah MPK Kualitatif sendiri baru ada dua tahun belakangan ini, berkat ‘pemekaran SKS’ MPK yang pernah dibahas penulis sekitar 3-4 tahun silam—juga dalam forum SII lewat judul makalah “Mengimbangi Positivisme Dalam Pengajaran MPK” (2004). Sekarang, dalam setiap periode sidang skripsi mau pun UP, selalu ada penelitian (atau UP) berdimensi kualitatif. Ini menunjukkan tingginya minat meneliti dengan metode kualitatif. Dari mana mahasiswa mengetahui metode kualitatif pertama kali?
Tabel 3. Sumber Pertama Mengenal Metode Kualitatif
No.
Sumber Pertama
f
%
1
Teman
1
5.55
2
Skripsi lain
0
0
3
Dosen wali
1
5.55
4
Dosen pembimbing
0
0
5
Dosen mata kuliah metode riset
15
83.33
6
Dosen mata kuliah lainnya
0
0
7
Lingkungan di luar kampus
1
5.55
Total
18
100
Dosen mata kuliah metode riset (MPK) menjadi sumber pertama bagi mahasiswa dalam mengenal metode kualitatif (83.33%). Dosen mata kuliah lainnya, dosen wali, teman, dan lingkungan lain, sangat sedikit berperan. Sayang sekali, tradisi, minat, dan stamina membaca mahasiswa kita begitu rendah (bagaimana dengan dosennya? Ehm...). Maka tak heran jika hanya seorang mahasiswa yang mengaku tahu metode kualitatif pertama kali dari bacaan—yaitu skripsi di perpustakaan.
4. Keistimewaan Metode Kualitatif.
Seabreg handbook riset kualitatif produksi dalam dan luar negeri—lepas dari seperti apa kualitasnya—merinci keistimewaan metode kualitatif. Tetapi, inilah pendapat para ‘sarjana’ kita ihwal ‘keistimewaan’ metode kualitatif.
Tabel 4. Keistimewaan Metode Kualitatif
No.
Keistimewaan Metode Kualitatif
f
%
1
Tidak perlu menggunakan angka dan rumus
15
83.33
2
Dapat mengeksplorasi masalah lebih mendalam
14
77.78
3
Ada tantangan baru
6
33.33
Pilihan bahwa metode kualitatif itu istimewa karena tidak perlu menggunakan angka dan rumus nyaris ada dalam setiap jawaban! Ini sudah bisa ditebak. Bahwa metode kualitatif dianggap istimewa karena dapat mengeksplorasi permasalahan lebih mendalam—ya. Tapi, tampaknya, biarpun kualitas ini dianggap istimewa, hasil skripsi kualitatif sarjana kita jauh dari mencerminkan kemendalaman eksplorasi permasalahan.
5. Kesulitan Metode Kualitatif
Minat menggunakan metode kualitatif dalam penelitian/skripsi, ternyata tidak ditunjang oleh sarana yang memadai. Semua opsi mendapatkan jawaban yang frekuensinya hampir sama.
Tabel 5. Kesulitan Metode Kualitatif
No.
Kesulitan Metode Kualitatif
f
%
1
Literatur sedikit, banyak berbahasa Inggris
6
33.33
2
Literatur sulit dipahami/diterapkan
5
27.78
3
Tidak punya teman diskusi
7
38.88
4
Tidak ada/sedikit sekali contoh penelitian yang relevan
7
38.88
5
Tidak ada format penelitian yang baku
8
44.44
6
Dosen pembimbing tidak banyak berperan
6
33.33
Yang cukup menonjol, mahasiswa mengeluhkan tidak adanya format penelitian yang baku. Ini memang kekurangan Fikom Unisba—sejak dulu tidak punya panduan format skripsi yang baku. Padahal, Fikom Unisba sudah berdiri 20 tahun-an. Mestinya, panduan format skripsi ini sudah dimiliki sedari dulu. Kalau masalah literatur yang sedikit dan banyak yang berbahasa asing, memang itu sebuah kesulitan, tapi penulis melihat mahasiswa sendiri tampaknya manja dan tak punya stamina baca yang memadai untuk kategori seorang mahasiswa. Demikian pula alasan nomor 4, sebenarnya contoh penelitian skripsi itu banyak, tapi lagi-lagi semua ini berpulang pada kerajinan dan inisiatif mahasiswa sendiri untuk mencari literatur dari sumber-sumber di luar kampus. Literatur yang ada sulit diterapkan, karena itu, penggarapan metode kualitatif memerlukan banyak diskusi dengan kolega (sayangnya, sulit menemukan rekan diskusi yang menguasai permasalahan), sementara, dosen pembimbing sendiri dinilai tidak banyak berperan. Ini menjadi refleksi bagi kita semua. Tapi, lebih jauh tentang relasi antara dosen pembimbing dan mahasiswa penggarap skripsi metode kualitatif bisa dilihat dari data berikut ini.
6. Tentang Dosen Pembimbing
Dalam penyusunan skripsi, dosen pembimbing bertugas membantu dan mendampingi sebagai mentor, tutor, teman diskusi, instruktor, apalah. Tapi, semua upaya sampai pada eksekusi terakhir, sudah barang tentu menjadi tanggungjawab mahasiswa ybs. Di ruang sidang, skripsi sepenuhnya menjadi tanggungjawab mahasiswa, bukan lagi pembimbing. Bagaimana peran dosen pembimbing dalam penyusunan skripsi? Hasilnya bisa dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Peran Dosen Pembimbing
No.
Peran Dosen Pembimbing
f
%
1
Sangat membantu
11
61.11
2
Biasa-biasa saja
4
22.22
3
Kurang membantu
3
16.67
4
Tidak membantu
0
0
Total
18
100
Hasil Tabel 6, apabila dikontraskan dengan Tabel 5, tampak kontradiktif. Pada Tabel 5, dosen pembimbing dinilai tidak banyak berperan sehingga menimbulkan kesulitan dalam penggarapan skripsi dengan metode kualitatif. Namun dalam Tabel 6, mahasiswa justru sangat mengapresiasi peran dosen pembimbing. Menurut sebagian besar mahasiswa, dosen pembimbing masing-masing sangat membantu proses penggarapan skripsi. Sangat membantu di sini beragam tipenya: memberikan sumber literatur yang bisa digunakan, meminjamkan buku-buku, bahkan ada yang menghadiahkan bukunya pada mahasiswa bimbingannya! Sementara itu, ada pula yang menilai dosen pembimbing kurang membantu. Alasannya, “... dosen pembimbingku sibuk, sulit ketemunya, kalau janji molor melulu, tidak pernah ditepati.” Maaf, atas nama etika akademik, saya tidak mau mengeksplorasi fakta yang sudah kita ketahui bersama dalam penelitian skala kecil ini (bagi yang merasa, silakan berefleksi saja). Berita bagusnya adalah, (tampaknya) tidak ada dosen pembimbing yang dinilai galak dan tidak bersahabat oleh responden.
Bagaimana kapabilitas dosen pembimbing? Simak dalam tabel berikut ini.
Tabel 7. Kapabilitas dosen pembimbing
No.
Kapabilitas Dosen Pembimbing
f
%
1
Menguasai permasalahan dan penerapan metode kualitatif
8
44.44
2
Hanya menguasai salah satu aspek metode kualitatif
4
22.22
3
Tidak memahami metode kualitatif
0
0
4
Kelihatannya memahami, tapi tidak mampu mengomunikasikan
6
33.33
Total
18
100
Apabila peran dosen pembimbing dalam Tabel 6 dinilai baik, maka jawaban untuk kapabilitas dosen pembimbing berbeda-beda. Berita bagusnya adalah, opsi 2 tidak ada yang mengisi. Artinya, tidak ada dosen yang dianggap tidak capable. Tetapi, memahami belum tentu bisa mengomunikasikan—demikianlah rupanya pendapat responden bagi dosen pembimbingnya, yang notabene adalah pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi. Itulah salah satu pangkal soal sulitnya mengerjakan skripsi dengan metode kualitatif.
7. Tentang Dosen MPK
Penyusunan skripsi, hakikatnya, adalah mata rantai yang menghubungkan kemampuan analisa mahasiswa dengan semua matakuliah yang pernah diajarkan sebelumnya. Secara teknis-formal, pengenalan metode kualitatif dilakukan pertama kali dalam mata kuliah MPK Kuantitatif. Pendalaman dan praktiknya diperluas dalam mata kuliah MPK Kualitatif. Bagaimana peran dosen MPK di Fikom Unisba dalam memperkenalkan dan mengajarkan metode kualitatif? Inilah pendapat para responden.
Tabel 8. Peran Dosen MPK
No.
Peran Dosen MPK
f
%
1
Sangat membantu
4
22.22
2
Biasa-biasa saja
9
50
3
Kurang membantu
4
22.22
4
Tidak membantu
1
5.55
Total
18
100
Inilah tanggapan jujur mahasiswa kita—yang sekarang sudah jadi alumni itu. Hanya 4 responden (22.22%) yang merasa dosen pengajar MPK sangat membantu memperkenalkan metode kualitatif! Setengah lainnya (9 responden), menganggap ‘biasa-biasa’ saja perannya. Bahkan ada jawaban ‘kurang membantu’ (22.22%) dan ‘tidak membantu’ 5.55%). Kalau jawaban ‘biasa-biasa’ saja kita masukkan dalam kontinum negatif, maka sebagian besar jawaban responden mengisyaratkan bahwa mk. MPK ternyata tidak banyak membantu dalam pengajaran metode kualitatif. Ini masukan yang sangat berharga bagi para dosen MPK, khususnya yang mengajarkan metode kualitatif.
Fakta di atas menghantarkan penulis pada pertanyaan lain: di mana letak masalahnya jika dosen MPK dianggap tidak banyak berperan dalam memperkenalkan metode kualitatif? Apakah ini masalah kapabilitas mengajar, ketidakmampuan dosen berkomunikasi, kekurangan waktu untuk mengevaluasi, atau jangan-jangan berpulang pada kondisi alamiah mahasiswa sendiri yang harus diakui tidak punya—lagi-lagi—semangat dan stamina belajar yang tinggi? Mari kita simak Tabel 9 berikut ini.
Tabel 9. Kapabilitas Dosen MPK
No.
Kapabilitas Dosen MPK
f
%
1
Menguasai permasalahan dan penerapan metode kualitatif
3
16.67
2
Hanya menguasai salah satu aspek metode kualitatif
2
11.11
3
Tidak memahami metode kualitatif
0
0
4
Kelihatannya memahami, tapi tidak mampu mengomunikasikan
3
16.67
5
Memahami, mampu mengomunikasikan tapi waktu perkuli
ahannya tidak cukup
10
55.56
Total
18
100
Berita baiknya adalah, Tabel 9 memperlihatkan tidak ada responden yang menganggap dosen pengajar MPK tidak memahami metode kualitatif (lega dehh...:). Tapi, memahami belum tentu menguasai, atau mungkin saja menguasai namun cuma salah satu aspek saja, misalnya, “.. beliau cuma tahu teorinya doang,” tutur seorang respoden yang memilih opsi 2 (lagi-lagi, untuk menghormati etika akademik, saya tidak mau mengeksplorasi data responden maupun dosen yang dimaksud. Bisi saya sendiri, hehe...). Isu ketidakmampuan berkomunikasi di antara civitas academica Fikom Unisba, ironisnya, selalu jadi permasalahan. Tiga responden (16.67%) menganggap dosen MPK-nya memahami apa yang diajarkan, tapi tidak mampu mengomunikasikan. Selanjutnya, ini masukan yang bagus: jawaban dominan responden menunjukkan kurangnya waktu perkuliahan MPK yang berlangsung secara formal selama 6 bulan, tapi waktu efektifnya kurang dari 6 bulan! Minat untuk menggeluti metode kualitatif dari kedua belah pihak ada—baik dari pengajar maupun pembelajar—sayangnya, waktu yang diberikan dalam perkuliahan berasa sempit. Disinilah letak urgensi bagi para dosen MPK yang selama ini mengajar sendiri-sendiri, dengan kurikulum/silabi dan style mengajar sendiri-sendiri, untuk duduk bersama merumuskan kurikulum, SAP, dan model belajar MPK yang paling pas—tentu lewat ujicoba-ujicoba yang memadai!
8. Mengerjakan Skripsi Dengan Metode Kualitatif: Sulit....
Research is about to research. Researching means doing research. Penelitian adalah pengalaman. Tidak cuma hapal teorinya, tapi mendapatkan pemahaman lewat penelitian di lapangan. Pengalaman menerapkan metode penelitian kualitatif baru benar-benar bisa diperoleh mahasiswa secara intens, ketika menggarap skripsi dengan metode kualitatif. Sulit mendapatkan pengalaman melakukan penelitian kualitatif dalam kelas pengajaran MPK, karena ruang waktunya begitu terbatas. Berkaca dari pengalaman selama menggarap skripsi kualitatif, inilah bagian yang menurut responden paling sulit ketika dikerjakan.
Tabel 10. Bagian Tersulit Dalam Penggarapan Skripsi Metode Kualitatif
No.
Bagian Tersulit
f
%
1
Judul dan subjudul
0
0
2
Latar belakang
3
16.67
3
Perumusan masalah
0
0
4
Kerangka pemikiran
4
22.22
5
Metodologi
1
5.55
6
Pengumpulan data
1
5.55
7
Analisis
2
11.11
8
Kesimpulan
2
11.11
9
Menyusun laporan (skripsi)
1
5.55
10
Tidak mengisi
3
16.67
Total
15
100
Tingkat kesulitan responden tampaknya berbeda-beda, demikian pula bagian yang menurut responden paling sulit. Tapi membangun kerangka pemikiran dipilih paling banyak sebagai bagian skripsi yang paling sulit digarap (22.22%). Tiga responden memilih perumusan latar belakang sebagai bagian tersulit (16.67%). Dua responden tersandung pada ‘analisis’ dan ‘penyimpulan’, sisanya mengaku bagian tersulit adalah pada metodologi, pengumpulan data, dan penyusunan laporan penelitian (dalam bentuk skripsi).
Berkaca pada pengalaman pribadi dalam membimbing mau pun menguji skripsi, kerangka pemikiran memang bagian yang paling lemah dalam skripsi mahasiswa. Banyak mahasiswa—bahkan dalam ruang sidang sekalipun—yang tidak memahami apa sesungguhnya pengertian dari kerangka pemikiran, dan mengapa kerangka pemikiran perlu ada dalam setiap penelitian. Banyak pula yang menyalahkaprahkannya dengan ‘anggapan dasar’—sebuah istilah antah-berantah yang sejauh ini tak juga saya dapati penjelasan ilmiahnya—atau mencukupkan kerangka penelitian hanya pada ‘pengertian istilah’ yang bakal diulang-ulang lagi pada bab 2.
Perumusan latar belakang juga kerap menjadi sumber masalah dalam sidang skripsi maupun proses bimbingan, karena latar belakang permasalahan responden tidak seutuhnya memunculkan permasalahan penelitian. Banyak mahasiswa berfokus pada deskripsi seputar fenomena, disusul pendapat pribadi atas fenomena tersebut yang tidak didukung oleh pelacakan literatur yang memadai, lantas menutupnya sebatas dengan ‘oleh karena itu saya berkeinginan untuk meneliti aspek abc dari PT Abrakadabra’, misalnya, tanpa memunculkan signifikansi penelitian: buat apa masalah itu diteliti? Masalahnya sendiri apa, kenapa mesti meneliti aspek abc? Urgensi penelitian tidak muncul di sini, dan ketika dimintai pertanggungjawabannya di ruang sidang, penguji berhadapan dengan peserta sidang yang gelagapan dan bolak-balik melirik Ketua Sidang alias pembimbingnya!
Apakah bagian yang paling sulit dikerjakan, juga makan waktu paling banyak untuk dikerjakan? Atau mungkin ini adalah dua hal berbeda? Inilah jawaban responden ketika ditanyai “Bagian mana dari skripsi Anda yang paling makan waktu untuk dikerjakan?”
Tabel 11. Bagian Skripsi Yang Paling Makan Waktu
No.
Waktu Pengerjaan Terbanyak
f
%
1
Judul dan subjudul
0
0
2
Latar belakang
4
22.22
3
Perumusan masalah
1
5.55
4
Kerangka pemikiran
2
11.11
5
Metodologi
1
5.55
6
Pengumpulan data
1
5.55
7
Analisis
4
22.22
8
Kesimpulan
1
5.55
9
Menyusun laporan (skripsi)
1
5.55
10
Tidak mengisi
3
16.67
Total
18
100
Tabel 11 memperlihatkan data yang berbeda. Kalau dalam tabel sebelumnya, bagian tersulit adalah menyusun kerangka pemikiran, ternyata data Tabel 10 memperlihatkan bagian latar belakang dan analisis-lah yang paling makan waktu untuk dikerjakan. Latar belakang cukup makan waktu, masuk akal, karena dianggap yang paling sulit dikerjakan. Pada tahapan analisis yang tersaji dalam bab 4, peneliti berhadapan dengan timbunan data yang harus disortir, diolah, disajikan, kemudian diinterpretasikan. Tiga langkah pertama, yaitu mendeskripsikan temuan penelitian tampaknya cukup makan waktu. Tahapan selanjutnya setelah temuan disajikan adalah menganalisis hasilnya dengan mengelaborasi temuan dengan teori yang ada atau data-data penunjang yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data lainnya. Ini juga makan waktu, terutama kalau mahasiswa sendiri tidak ngeh datanya harus diapakan... Berkaca pada pengalaman pribadi sebagai dosen pembimbing, selama sejarah membimbing mahasiswa menyusun skripsi, tidak pernah ada analisis yang sekali jadi. Banyak hal yang harus diperbaiki, dan itu wajar saja. Namun pada tahap pertama biasanya dosen pembimbing harus mengajarkan dulu pada mahasiswa bimbingannya: apa yang harus dianalisis dan bagaimana menganalisisnya. Masukan lagi buat pengajar MPK: perkara menganalisis tampaknya harus dapat bobot lebih dalam pengajaran!
9. Manfaat Meneliti Dengan Metode Kualitatif
Pertanyaan selanjutnya yang diajukan pada responden merupakan jenis pertanyaan terbuka. Dalam pertanyaan ini, responden diminta untuk menuliskan refleksi pribadi mereka, berdasarkan pengalamannya menyusun skripsi dengan metode kualitatif. Jawabannya cukup beragam, walau tidak semuanya mengisi. Dilihat dari ragam jawabannya, secara umum terbagi menjadi dua kategori:
a. Manfaat metodologis
Peneliti yang mendapatkan manfaat metodologis umumnya mengaku menjadi lebih memahami seluk-beluk penelitian kualitatif baik dalam tataran praktik maupun teoritik. Ini, misalnya, terungkap dari tulisan salah seorang responden “... mengetahui jelas (penelitian kualitatif) dalam penyusunan laporan penelitian yang baik, cara-cara pengumpulan data, wawancara, dll.” Jawaban lain berfokus pada tema: “... Jadi lebih memahami permasalahan dari tema penelitian. Selain itu, hasil penelitian dapat menjadi informasi yang berguna bagi pembacanya.” Ada jawaban menarik yang sangat menukik, “... subyektivitas peneliti dalam menganalisa masalah cukup menarik perhatian. Seandainya saya mempelajarinya dengan serius, saya tidak akan kerepotan...” Bagi penulis, jawaban secanggih ini memperlihatkan intensitas pergumulan responden dengan persoalan metodologi pada tingkat yang serius.
b. Manfaat personal
Manfaat personal umumnya tertuju pada pengalaman yang diperoleh pengembangan pribadi. Jawaban menarik diberikan oleh responden berikut: “... lebih banyak mempertanyakan fenomena kehidupan, lebih memahami eksistensi saya dalam segala aspek.” Jawaban yang sangat dalam, jawaban yang secara filosofis bersifat eksistensial. Lagi-lagi, ini menunjukkan intensitas tinggi responden dalam menggarap penelitiannya. Intensitas bergelut dengan objek penelitian juga menimbulkan minat lain, seperti terungkap dalam pernyataan berikut: “Saya jadi tertarik dengan tempat (objek) penelitian sehingga ingin melamar (kerja di sana—pen.)”. Seorang responden mengaku sangat menikmati prosesnya, karena “... jadi berasa kuliah di luar negeri....” Hal lain yang tidak kalah unik, meneliti skripsi dengan penelitian kualitatif memungkinkan responden “... menggali kreativitas mengarang indah.” Kita bisa memaknainya sebagai pengalaman positif, atau, di sisi lain, sebuah sindiran! Apapun itu, tentu ini adalah masukan yang berharga bagi kita semua.
Terakhir, penelitian ini ingin mengetahui apakah metode kualitatif memang layak untuk terus diajarkan, dan perlu diberi tambahan porsi waktu. Hasilnya tidak perlu saya tabelkan, karena 100 persen menjawab perlu.
III. Refleksi: Temuan Dari Ruang Sidang
Data penelitian menunjukkan temuan-temuan menarik yang perlu ditindaklanjuti. Inilah beberapa kelemahan penelitian/skripsi kualitatif:
a) Permasalahan: tidak jelas!
· research problem menjadi masalah karena nature problemnya ternyata memang bukan untuk diteliti dengan pendekatan kualitatif. Contoh. “Peran Penyiar Dalam Menarik Minat Pendengar Radio Otomotif” (Windia Sari, 2007). Penelitian yang berfokus pada ‘peran’, lazimnya mengeksplorasi tanggapan dari orang lain. Bukan dari objek yang diteliti. Judul penelitian seperti memunculkan pertanyaan, tepatkah jika penelitian ini dilacak dengan metode kualitatif?
· Identifikasi masalah diturunkan dengan semena-mena, tanpa memandang nature penelitian itu. Pertanyaan analisis wacana kritis, misalnya, tidak ditujukan untuk membongkar ideologi di balik teks, tapi semata-mata untuk “mengetahui ikon, indeks, simbol”. Lantas, kalau semua itu sudah terjawab, so what? Yang harusnya menjadi rumusan permasalahan adalah alasan mengapa menggunakan analisis kritis: ingin mengetahui bagaimana operasi media memengaruhi ruang publik-kah, ingin membuktikan bagaimana ruang media mengubah pendefinisian konsep-konsep agama, ingin memahami bagaimana mitos abc mengejawantah dalam budaya X, dll. Ikon, indeks, simbol, analisis tematik, analisis skematik, dan lain-lain, sesungguhnya merupakan pertanyaan teknis penelitian yang tidak muncul dalam research problems, baik pada level permasalahan umum mau pun identifikasi permasalahan.
b) Logika Penelitian : kedodoran!
· Logika penelitian tecermin dari kerangka pemikiran (atau theoretical framework) yang disusun penelitian. Kelemahan penelitian kualitatif di Unisba adalah kerangka pemikiran yang tidak kuat, tidak memperlihatkan bagaimana masalah akan diteliti (dan apa rationale-nya). Intinya satu, kurang eksplorasi. Kalaupun kerangka pemikiran itu ada, lazimnya tidak memperlihatkan logika penelitian, namun sekadar menyampaikan kumpulan definisi atau istilah konsep yang dipakai dalam riset ybs. Tentu saja yang seperti itu bukan kerangka penelitian.
c) Metodologi: lemah!
· Kelemahan penguasaan metodologi terlihat dari skripsi yang penyusunnya tidak memahami esensi dan fungsi metodologi, kurang kaya referensi, kurang ‘berani’ berimprovisasi (dan berimajinasi). Masih terdapat kerancuan memahami kualitatif pada tataran teknis-metodologis dan kualitatif pada tataran paradigmatik. Jawaban lazim mengapa memilih metode penelitian tertentu adalah karena “... berdasarkan skripsi terdahulu.” Skripsi terdahulu, walau pun pembuatnya lolos dari sidang skripsi, belum tentu layak untuk dikutip. Sekali lagi, sistem nilai kolektif yang diberlakukan di Fikom Unisba membuat banyak skripsi asal-asalan bisa lolos, padahal skripsi semacam ini sangat berbahaya untuk dikutip, atau dipublish!
· Erat kaitannya dengan metodologi, penulis sering sekali menemukan skripsi-skripsi yang tidak berani mengambil metode spesifik dalam kajian kualitatif. Misalnya, seorang mahasiswa yang meneliti “Kegiatan Pameran Fotografi Anu” menyebut studinya merupakan Penelitian Deskriptif dengan Data Kualitatif. Mengapa tidak sekalian saja ‘studi kasus’? Atau, apa bedanya penelitian deskriptif dengan data kualitatif dengan penelitian kualitatif? Kalau ketakutannya adalah karena penelitian ini menggunakan teori-teori linier satu arah yang acap diklaim bersifat klasik positivis, itu menunjukkan belum adanya pemahaman ybs mengenai istilah kualitatif itu sendiri. Pendekatan kualitatif sebenarnya sah-sah saja digunakan untuk penelitian yang mengoperasionalkan teori-teori linier. Pada sub bab metodologi, peneliti dapat mempertanggungjawabkan apa paradigma yang digunakan dalam penelitian ini: positivis, kritis, atau konstruktivis (isu paradigmatis!). Sayang sekali, penggarapan skripsi pada aspek metodologis jarang sekali memperkuat diri pada sub bab ini. Selalu, penelitian puas hanya sampai pada level teknis, mengutip bahwa metode deskriptif adalah bla-bla-bla, setelah itu langsung pada teknik pengumpulan data. Lucunya, dalam sidang, pernah ditemukan pula metode penelitian disempitkan menjadi sekadar teknik pengumpulan data: ini skripsi kualitatif karena teknik pengumpulan datanya adalah wawancara....
· Di sisi lain, kadang ditemukan penelitian yang menggunakan metode yang keliru karena overgeneralization. Misalnya, mentang-mentang semua realitas dimaknai sebagai fenomena, maka mahasiswa menggunakan metode penelitian fenomenologi. Ya, segala sesuatu adalah fenomena, tapi fenomenologi adalah penelitian yang dimaksudkan untuk mengupas serta menjelaskan terbentuknya kesadaran berdasarkan pengalaman empirik. Kalau yang akan dijelaskan adalah proses digital imaging yang baru dalam industri fotografi, ngapain repot-repot memakai fenomenologi? Apakah akan meneliti bagaimana menganalisis masuknya proses digital imaging dalam struktur dan arus kesadaran? Please, dehh... Penelitian ini bisa menggunakan studi kasus, tentu dengan catatan bahwa ada ‘kasus’ yang layak diteliti dengan pendekatan studi kasus (jangan, lagi-lagi, mentang-mentang semua itu kasus, maka diterapkan penelitian studi kasus!)
d) Operasionalisasi Variabel: rancu!
· Apakah penelitian kualitatif harus menggunakan istilah operasionalisasi variabel? Pada dasarnya, semua penelitian harus mengoperasionalkan variabel penelitiannya—yaitu membreakdown konsep-konsep penelitian menjadi variabel yang memungkinkan untuk diteliti. Jika dalam kuantitatif istilahnya adalah ‘mengoperasionalkan variabel menjadi indikator dan alat ukur’—itu dikarenakan logika kuantitatif adalah logika mengukur, dengan hasil berupa angka atau ukuran tertentu, untuk disimpulkan lewat logika matematis. Bagaimana dengan penelitian kualitatif? Operasionalisasi variabel, mau istilahnya fokus penelitian, atau apalah, logikanya bukan logika pengukuran. Karena itu, aneh sekali jika dalam penelitian kualitatif acap ditemukan istilah ‘alat ukur’ setelah indikator. Apanya yang mau diukur? Penelitian kualitatif menggunakan indikator tertentu untuk menilai, mendeskripsikan, atau mengamati konsep/objek yang diteliti. Tapi, sekali lagi, tidak mengukur!
e) Pengumpulan Data: salah objek!
· Teknis saja, tapi layak dipersoalkan. Dalam sub bab ini, kasusnya ada dua. Keliru menerapkan tatacara tertentu dalam proses pengumpulan data. Atau keliru menetapkan mana yang menjadi objek penelitian, subjek penelitian, dan unit analisis. Antara subjek, objek, dan unit analisis juga sering terjadi kerancuan. Sesungguhnya, penelitian yang keliru dalam salah satu atau salah dua hal di atas tidak boleh diluluskan, karena data yang diperoleh tidak bisa dipertanggungjawabkan. Validitas dan reliabilitasnya bagaimana?
f) Analisis: tidak berbobot!
· Bab 4 sebenarnya berisi 2 aspek. Pertama, melaporkan temuan penelitian. Kedua, menganalisis atau menafsirkan temuan penelitian tersebut. Skripsi mahasiswa kita lemah karena acap berhenti hanya pada laporan temuan penelitian. Sesudah itu, skripsi dianggap selesai. Padahal, ini masih jauh dari selesai. Karena, bobot sebuah skripsi justru terletak pada analisisnya. Jika diskusinya, atau interpretasinya lemah, skripsi itu bisa dinilai miskin analisis. Jika diskusinya atau analisisnya mendalam, maka analisisnya top! Jika tanpa analisis, skripsi berhenti pada pemaparan temuan saja, so what? Apa yang mau dinilai? Menurut penulis, ini skripsi yang belum jadi dan tidak layak untuk disidangkan!
· Melaporkan temuan penelitian tidak sembarangan. Peneliti harus menyortir datanya, lantas menyusun datanya sedemikian rupa, sehingga masuk akal. Untuk itulah diterapkan berbagai teknik dan strategi: classifying, clustering, cathegorizing, dll. Perkara menyusun data sebagai temuan penelitian tampaknya dianggap sepele, sehingga susunan data tidak sistematis dan sulit dibaca ke mana arahnya. Bahkan, acap tidak nyambung pula dengan kesimpulannya! Kalau mahasiswa mengeluhkan sulitnya menganalisis atau mengambil kesimpulan penelitian kualitatif, mesti dilihat dulu benar tidak cara mendisplay datanya.
· Analisis lemah dan terlihat mahasiswa kurang berani mengelaborasi pemikirannya dengan teori dan data-data yang diperoleh. Mahasiswa juga sedikit sekali memanfaatkan kekayaan data yang diperoleh dari teknik pengumpulan data yang seharusnya menunjang penelitiannya. Buat apa mewawancarai kalau hasilnya tidak digunakan untuk mendiskusikan temuannya? Pada taraf ini, layak dipersoalkan apakah mahasiswa memang melakukan observasi? Kalau ya, mengapa hasil observasi tidak dimanfaatkan dalam analisis? Kemungkinannya ada 2: mahasiswa bohong, tidak mengobservasi; atau mengobservasi, tapi yang diobservasi tidak jelas dan tidak nyambung dengan apa yang diteliti!
g) Format: Tidak baku!
· Format penelitian skripsi menunjukkan logika penelitian. Sekian tahun Fikom Unisba berdiri, fakultas tidak pernah berhasil menyusun satu panduan penelitian dan penyusunan skripsi. Karena itu, mahasiswa dibolehkan menggunakan format penelitian manapun, asal jelas rujukan atau referensinya. Sayangnya, mahasiswa dan dosen pembimbing acap abai, cukup merujuk pada skripsi sebelumnya, yang belum tentu layak untuk dikutip atau dipublish karena persoalan nilai kolektif tadi. Akibatnya format penelitian amburadul, asal kutip, mahasiswa sendiri ketika sidang gelagapan tak bisa mempertanggungjawabkan tulisannya secara ilmiah.
· Format pengutipan perlu mendapat perhatian khusus karena berkait dengan isu etika akademis dan plagiarisme. Batas antara kutipan dan bukan kutipan tidak ada atau tidak jelas, sering sekali bahkan mahasiswa mengklaim kutipan orang lain sebagai kalimat yang dirangkainya sendiri. Sebuah sub bab sering berisi rangkaian kutipan semata, tanpa ada narasi orisinil dari penggarap skripsi. Ini salah dan seharusnya dipersoalkan, jangan didiamkan atau dibudayakan! Dalam sistem penulisan skripsi apapun, mau Harvard system atau American Psychology Association (APA), pengutipan harus ditegaskan. Mengklaim kutipan sebagai tulisan sendiri—lebih dari 30 kata—sudah merupakan pelanggaran etika akademik dan penyusunnya dianggap melakukan dosa plagiarisme! Di Fikom Unisba, copy paste 17 kali saja masih bisa lolos. Kalau masalahnya adalah analisis yang miskin, mahasiswa layak diberi kesempatan memperbaiki atau memperkaya analisisnya. Tapi kalau masalahnya adalah plagiarisme, maka sesedikit apa pun, mahasiswa ini tidak layak diluluskan karena melakukan pelanggaran etika akademik. Plagiarisme bukan sekadar masalah menyontek, ini adalah masalah mencuri pikiran orang lain! Integritas intelektual kita dipertaruhkan di sini ...
h) Istilah/Diksi/Masalah Bahasa
· Manfaat meneliti dengan penelitian kualitatif adalah “ ... dapat menuangkan pikiran ke dalam tulisan”, dan “ ... menggali kreativitas mengarang indah”. Ini manfaat sampingan yang patut dirayakan, tapi intinya, meneliti kualitatif menghasilkan penjelasan bersifat kualitatif. Karena itu, mengherankan mendapati penelitian kualitatif begitu miskin penjelasan, ditulis dengan bahasa yang strukturnya payah, kosa katanya sempit, salah ejaan di sana-sini, sudah begitu, formatnya tidak rapi. Kalau menghadapi skripsi seperti ini, penulis langsung merasa ill feeling. Buntut-buntutnya jadi bertanya, “Kalau punya kesulitan menulis, ngapain juga meneliti dengan metode kualitatif?” Ini, lagi-lagi, cermin mahasiswa yang tidak siap meneliti, dan sekadar meneliti karena menghindari angka serta rumus-rumus statistik. Tapi, persoalan mampu mendeskripsikan dengan baik tidak boleh disempitkan dalam penelitian kualitatif saja. Penelitian apa pun, mau kualitatif atau kuantitatif, harus disusun dengan bahasa yang baik, benar, dan masuk akal!
i) Validitas dan Relialibitas
· Inilah isu yang paling jarang disentuh—baik dalam kuantitatif mau pun (apalagi) kualitatif. Ada salah kaprah yang beredar (atau ketidaktahuan?) bahwa kualitatif tidak memerlukan pertanggungjawaban validitas dan reliabilitas penelitian. Salah besar. Penelitian apapun harus punya kriteria validitas dan reliabilitas. Dalam kualitatif, validitas dan kriterianya berbeda-beda tergantung pada metode yang dioperasionalkan. Dalam setiap buku metode kualitatif, isu ini selalu dimunculkan. Mengapa dalam skripsi kita, baik dalam penyusunan maupun pengujian, isu ini sering diabaikan?
j) Lain-lain
· Setiap dosen mau pun pembimbing skripsi pasti mengalami suka-duka ketika membimbing mahasiswa dengan penelitian kualitatif. Sub bab ini dipersembahkan bagi para dosen yang sudah pasti punya pengalaman berbeda dengan penulis. Lewat sharing dan diskusi seputar pengalaman tersebut, niscaya niat baik kita untuk memperbaiki kualitas pengajaran MPK mau pun penyusunan dan pertanggungjawaban skripsi dapat tercapai.
IV. Abstraksi: Dimensi-Dimensi Permasalahan
Penelitian ini memperlihatkan, permasalahan dengan skripsi kualitatif kita sangat-sangat kompleks. Secara umum, permasalahan pada akhirnya terbagi menjadi dua dimensi:
a) Dimensi formal akademik
Dalam lingkup formal akademik, penulisan skripsi belum didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Ketiadaan format penelitian yang baku, misalnya, menyebabkan kerancuan dalam penyusunan skripsi. Mahasiswa tidak bisa sepenuhnya disalahkan dalam hal ini. Kita juga belum punya semacam blueprint silabus pengajaran MPK maupun proses bimbingan yang menggariskan aturan main dan kriteria pengujian atau kelayakan skripsi. Akibatnya, semua berjalan sendiri-sendiri. Aturan yang tegas secara formal perlu diadakan, dan diberlakukan. Ini kalau kita memang serius mau menjadikan Fikom Unisba sebagai fakultas yang bermutu. Neumann (2000:17) mengingatkan bahayanya misuse or abuse of social research—use sloppy research techniques, misinterpret findings, rig studies to find previously decided results, and so on. Selai itu, ketiadaan aturan main secara formal dalam pengajaran metodologi bisa membuka peluang ‘kekejian’ terhadap sendi-sendi akademik dan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip ilmiah.
b) Dimensi attitude dan personality
Ini masalah mental, yang bersumber dari semua pihak yang terlibat dalam penggarapan skripsi. Mulai dari dosen yang mengajarkan MPK, dosen pembimbing, sampai penguji. Dari segi pengajaran, MPK mesti dipahami sebagai mata kuliah yang harusnya memberi pengalaman meneliti, jadi tidak bermain dalam tataran konsep belaka. Pengajaran MPK yang berkutat hanya pada teori-teori dan tidak memberi tantangan meneliti pada mahasiswa, diragukan bisa memberi bekal memadai bagi mahasiswa untuk melakukan riset lapangan secara mandiri. Dari segi bimbingan, peran dosen pembimbing jelas sangat krusial. Dosen pembimbing adalah mentor diskusi yang semestinya bisa memantau sejauhmana perkembangan anak bimbingannya, mengevaluasi analisisnya, mengingatkan mahasiswa bimbingan agar konsisten dengan penelitiannya, tanpa harus mencekoki, menyuapi, atau menjadi rezim tersendiri bagi sang mahasiswa dengan memaksa mereka untuk bergerak dalam koridor permasalahan yang disukai dosen itu sendiri. Dosen pembimbing yang tidak bisa mengatur waktu hingga sulit ditemui mahasiswa bimbingannya, perlu memanage waktunya lebih baik lagi. Dari segi pengujian, para penguji perlu membekali diri dengan pemahaman mengenai kriteria pengujian skripsi yang oke. Setiap metode dan pendekatan punya kriteria pengujian tersendiri. Berbagi tugas menguji adalah masalah teknis dalam ruang sidang. Tapi pemahaman akan kriteria pengujian is a must for everybody! Dari segi penggarap skripsi, mahasiswa sering tidak punya bekal mental dan wawasan yang cukup ketika akan melakukan studi kualitatif. Sekadar menghindari angka-angka, atau karena kemungkinan lulusnya lebih banyak berhubung dalam ruang sidang tidak ada kriteria pengujian yang jelas. Ketidakdisiplinan mahasiswa dalam belajar mau pun menjalankan instruksi dosen pembimbing, dalam penelitian O’Connor dan O’Brien (2004), ternyata menjadi salah satu penyebab kegagalan mahasiswa mengerjakan skripsi kualitatif (tepatnya, di peringkat ketiga, setelah faktor kekurangan biaya). Termasuk dalam faktor ketidakdisiplinan adalah kemalasan dan ketergantungan mahasiswa yang sering mengesalkan kita.
V. Solusi
Pengajaran riset kualitatif sudah lama menjadi concern para ilmuwan. Sebab, riset yang bermutu menjadi pondasi pengembangan sebuah disiplin ilmu. Mengajarkan dan mempraktikkan penelitian kualitatif, bagi mahasiswa, pada dasarnya adalah “a continuous cycle of workshops rather than discreet sessions, in order for them to consolidate their learning and to develop at their own pace” (Featherstone, Barbour, dan Garner, 2007). Mengingat kompleksitas permasalahan yang terkait dengan mutu skripsi dan proses penggarapannya, penulis dalam kesempatan ini hanya mampu mengajukan beberapa solusi yang baiknya dieksplorasi bersama dalam diskusi ini. Tawaran solusi ini dimunculkan berdasarkan hasil angket dan permasalahan yang timbul dalam proses bimbingan mau pun pengujian skripsi kualitatif.
a. Model pengajaran MPK Kualitatif yang oke.
Perlu ada silabi dan disain pengajaran MPK Kualitatif yang mencakup banyak hal: mulai dari teori hingga praktik. Sekali lagi, mata kuliah MPK bertujuan tidak hanya memberi wejangan teori, tapi juga memberi pengalaman praktik pada mahasiswa. “Practical exercises reflecting the qualitative research process were considered very conducive to learning,” demikian dituturkan oleh Featherstone, Barbour, dan Garner dalam tulisan mereka yang menarik, A Reflection on Ten Years Experience of Providing Qualitative Research Training in Primary Care (2007). Poulin (2007), berdasarkan pengalamannya mengajarkan riset kualitatif pada mahasiswa psikologi menegaskan, “… graduate students need routine access to adequate and appropriate coursework…” Karena itu, dibutuhkan “… a design and rationale for an introductory course in qualitative research, describes typical challenges faced by students, and offers strategies for fostering student learning and success” (ibid.) Ada tiga hal penting yang bisa diekstraksi dari kutipan di atas. Pertama, mahasiswa perlu memiliki akses langsung pada coursework yang memadai dan tepat. Artinya, pengajaran MPK harus menyediakan tugas-tugas bagi mahasiswa. Kedua, disain dan rationale penting diperkenalkan pada mahasiswa, dan itu tercakup dalam pengantar perkuliahan atau introductory course. Ketiga, introductory course menjadi sangat-sangat penting, bukan hanya karena memaparkan disain dan rationale pengajaran MPK, tetapi juga karena menjelaskan tantangan-tantangan tipikal yang bakal dihadapi oleh mahasiswa, serta strategi-strategi untuk membantu mahasiswa agar menguasai aspek metode kualitatif yang dipelajarinya. Intinya, pengajaran MPK memang harus memungkinkan apa yang diungkapkan oleh Kwan (2007) “... allow the iterative, creative, and reflective practices required for effective qualitative research to develop.”
Tentu saja, dengan beban seberat ini, muatan MPK di Fikom Unisba tidak bisa diliput hanya dalam mata kuliah selama satu semester sepanjang 3 sks. Penulis mengusulkan adanya praktik 1 sks tanpa perlu menambah beban sks yang sudah ada. Dengan memperlakukan mata kuliah MPK sebagai mata kuliah teori sekaligus praktik 1 sks, dosen punya kesempatan untuk mengeksplorasi pengajaran MPK dengan memberikan pengalaman praktik. Adanya praktik tentu berkonsekuensi pada pengadaan biaya praktik, dan ini wajar-wajar saja untuk sebuah mata kuliah yang tuntutannya demikian berat. Membimbing praktik itu sulit dan makan waktu, itu jelas. Apalagi praktik penelitian! Penulis sangat bisa memahami jika dosen-dosen MPK enggan memberikan pengalaman praktik. Maklum, capeknya luarbiasa, insentifnya tidak ada, atau diperlakukan sama saja dengan mata kuliah teoritik yang tuntutannya tidak seberat ini. Lantas, di mana aspek keadilannya? Dosen-dosen MPK juga perlu dipertemukan dalam sebuah forum khusus untuk menyusun silabi bersama. Gaya mengajar boleh beda-beda, tapi beban dan muatan yang diberikan pada mahasiswa mesti disamakan levelnya. Sehingga, tidak terjadi perbedaan output, yang biasanya baru terasa setelah mahasiswa mulai menggarap skripsi. Hendaknya, disain pengajaran ini tidak cuma untuk MPK Kualitatif saja, tapi juga untuk MPK Kuantitatif dan mata kuliah lain yang terkait dengan penelitian, seperti Metode Penelitian Jurnalistik.
b. Model Bimbingan
Perlu ditetapkan aturan bimbingan secara formal, kontrak bimbingan, dan tata cara bimbingan, sehingga proses bimbingan, meminjam istilah Neumann (2000), not abusing each other—tidak menganiaya mahasiswa bimbingan, mau pun dosen pembimbing, hehe.
Satu hal lagi, dalam penentuan siapa membimbing siapa, yang selama ini ditentukan oleh bidang kajian, tampaknya kini perlu mempertimbangkan pula masalah chemistry, di samping menimbang load atau beban tiap dosen pembimbing. Chemistry is important. Sebuah topik tidak akan tereksplorasi dengan baik jika tidak ada chemistry di antara dosen pembimbing, mahasiswa penggarap skripsi, dan masalah penelitiannya sendiri. Cara UI semasa penulis kuliah mungkin boleh ditiru: mahasiswa selain mengajukan proposal UP juga menuliskan dua nama calon pembimbing yang diinginkannya. Lalu diselenggarakan bursa UP di antara dosen-dosen. Sisa yang tidak terpilih, baru dikelola kembali oleh ketua bidang kajian.
c. Format/Panduan Penyusunan Skripsi
Tak perlu dijelaskan lagi, ini penting dan harus ada sesegera mungkin. Libatkan dosen-dosen MPK untuk penyusunan format/panduan skripsi. Fikom Unisba pernah punya tim penyusunan format/panduan skripsi, namun, mengherankan, tim ini tidak melibatkan dosen-dosen pengajar MPK.
d. Pelatihan dan Perbanyakan Riset.
Jangan cuma terpaku pada kesempatan yang diberikan LPPM (yang terbatas), mau pun lembaga lain. Berani tidak fakultas bikin pusat riset sendiri? Harus berani! Sisihkan dana khusus untuk riset yang dikelola PD 1, misalnya. Atau, dalam forum SII ini, tidak perlu semua dana dihabiskan untuk presentasi masalah secara bebas. Bagaimana, misalnya, jika ada dana yang disisihkan untuk membiayai riset. Ini bisa jadi salah satu ajang berlatih bagi para dosen, sekaligus menambah record portofolio ketika akan dilakukan quality assesment dalam bentuk apapun, seperti akreditasi.
Mengajar itu pekerjaan yang penuh tantangan. Mengajarkan penelitian kualitatif, lebih-lebih lagi. Idealnya, untuk keduakalinya saya kutip di sini, pengajaran kualitatif semestinya memungkinkan “ … the iterative, creative, and reflective practices required for effective qualitative research to develop” (Kwan, 2007). Tidak ada kata lain, let’s do it from now!! ***
Daftar Pustaka
Featherstone, Valerie A., Rosaline S. Barbour, dan Julie Garner. A reflection on ten years experience of providing qualitative research training in primary care. Dalam Cambridge Journal vol. 8/3 Juli 2007. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Kwan, Woo Tai. The Collecting and Gathering Data in Qualitative Research: The Eye and ‘I’. htttp.:/www.socialwork-primaryteaching/edu.org/html.
Neumann, W. Lawrence. 2000. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (4th ed.). Toronto: Allyn and Bacon.
O’Connor, Deborah L. Dan Brian J. O’Neill. 2004. Toward Social Justice: Teaching Qualitative Research. Dalam Journal of Teaching in Social Work vol. 24/issue 3/4, 2004. Vancouver: University of British Columbia.
Poulin, Karen. Teaching Qualitative Research: Lessons from Practice. Dalam Jurnal The Counseling Psychologist Vol. 35, No. 3, 431-458 (2007). Washington, DC.: Washington State University.
[1] Paper ini disampaikan dalam forum Seminar Ilmiah Intern (SII) Dosen Fikom Unisba, 29 Agustus 2007. SII edisi kali ini bertema “Menimbang Kualitatif”. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh tulisan ini tanpa seizin penulis. Kontak, saran, dan diskusi lebih lanjut mengenai topik ini dapat dilakukan melalui telepon 081584053900, atau melalui e-mail dyaning2001@yahoo.com.
[2] By the way, siapa suruh repot-repot menghitung rumus statistik! Kan sudah ada SPSS…
[3] Terimakasih penulis haturkan pada pak Enoh dan bu Nursidah yang membantu menyebarkan kuesioner ini selama sidang skripsi periode Agustus 2007 yang berlangsung tanggal 20 s.d. 23 Agustus. Terimakasih juga pada Pak Asep yang membantu memfotokopi kuesioner ini atas biaya Fakultas—penulis.
2 komentar:
Tolong kasih contoh format penulisan metode penelitian kualitatif donk mbak... biar lebih jelas gitu...
Terima Kasih.
ibu santi..saya ulfa,.mau nanya judul TANGGAPAN PEMBACA TENTANG RUBRIK “COVERSTORY” DI SURATKABAR HARIAN UMUM BANDUNG EKSPRES, itu pake metode dan teori apa bu?apakah itu harus kuantitatif?mksh bu
Posting Komentar