Sabtu, 04 Agustus 2007

Mengapa Ibu Harus Kembali ke Rumah? (Tanggapan atas "Gerakan Kembali ke Rumah")

Mengapa Ibu Harus Kembali ke Rumah?
(Tanggapan atas “Gerakan Kembali ke Rumah”)
oleh
Santi Indra Astuti

Dalam momen Hari Ibu tahun lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyerukan Gerakan Kembali ke Rumah bagi Ibu. Seruan ini mendapatkan banyak dukungan, di antaranya dari Forum Studi Pemberdayaan Keluarga. Lewat advokasi di sejumlah media, forum ini menyatakan bahwa Gerakan Keluar Rumah adalah tren usang yang sudah ditinggalkan perempuan Barat. Forum ini juga mengutip hasil penelitian yang menunjukkan kecenderungan kemerosotan kualitas mental emosional anak-anak akibat Ibunya bekerja di luar rumah.
Sebagai perempuan, yang juga seorang Ibu, saya ingin menanggapi hal ini dengan mengkritisi premis dasar Gerakan Kembali ke Rumah. Pertama, soal kiprah perempuan di ruang publik. Kedua, mempertanyakan legitimasi atas Gerakan ke Luar Rumah yang dinyatakan sebagai tren usang di Barat sana. Ketiga, saya ingin mengajak pembaca lain untuk melihat kenyataan kemerosotan keluarga –khususnya anak—dari sisi yang berbeda.

Perempuan Bekerja, bukan Hura-hura
Mengapa terjadi peningkatan pekerja perempuan di luar rumah?
Mari kita cermati. Sebagian besar perempuan bekerja di luar rumah karena masalah ekonomi—mereka terpaksa bekerja di luar rumah untuk menghidupi keluarga. Golongan ini terdiri dari ibu-ibu yang penghasilan suaminya tidak mencukupi untuk keluarga, janda-janda yang membesarkan putranya sendirian, gadis-gadis yang harus membantu nafkah keluarganya... Mereka tak sempat memikirkan bagaimana menguatkan posisi tawar berhadapan dengan angkatan kerja laki-laki. Mereka tak memahami sosialisasi kemandirian yang dikaitkan dengan hak-hak perempuan. Yang mereka pikirkan semata-mata bagaimana memperoleh upah agar bisa memberi makan keluarga di esok hari! Tentu saja mereka ingin seperti Ibu-Ibu ‘berpunya’ di sinetron-sinetron. Namun kenyataan yang dihadapi perempuan-perempuan tercinta ini adalah ekonomi morat-marit, penghasilan suami nan tak menentu, anak yang terancam masa depannya. Jadi, apalagi yang bisa dilakukan selain ikut berkiprah di luar rumah untuk mencari nafkah? Itulah realitas aktual sehubungan dengan tingginya partisipasi angkatan kerja perempuan.
Tentu saja, di perkotaan, terjadi pergeseran pemaknaan peran Ibu ditambah gengsi bekerja di sektor non domestik. Tapi lihatlah gambaran yang lebih utuh. Persoalan perempuan bekerja di luar rumah di Indonesia adalah persoalan ekonomi, bukan ego aktualisasi eksistensi perempuan sektor publik. Ketika Gerakan Kembali ke Rumah dicanangkan, sudahkah konsekuensi ekonomi yang bakal menimpa rumah tangga dipikirkan secara arif?

Tren Usang?
Dunia Barat memang kerap kita jadikan acuan sebagai model peradaban masa depan. Termasuk, barangkali, tren bekerja di luar rumah. Maka, ketika perempuan Barat beramai-ramai kembali ke rumah, sementara perempuan kita justru tengah getol-getolnya bekerja di sektor publik, lantas muncul klaim bahwa kita ini cuma ikut-ikutan tren usang.
Yang mengherankan adalah kenapa kita masih saja terpola dan memolakan persoalan dengan pengotakan Barat-Timur seperti ini. Mungkin saja, bekerja di luar rumah jadi tren perempuan masa kini. Tapi, kalau masalahnya adalah himpitan ekonomi, bisakah itu dikatakan ikut-ikutan tren usang? Lagipula, gerakan perempuan kembali ke rumah terjadi di negara-negara yang relatif mapan ekonominya. Tanpa bekerja di luar rumah, kesejahteraan keluarga di negara Barat sudah mencukupi. Jadi, apalagi yang harus dipikirkan kecuali meningkatkan kualitas keluarga?
Ini berbeda dengan kenyataan keluarga di Indonesia. Persoalan ekonomi menjadi pemicu perempuan bekerja di luar rumah. Maka, solusinya tidak bisa disederhanakan begitu saja: bahwa persoalan kemerosotan kualitas emosional anak bakal terselesaikan jika Ibu kembali ke rumah. Moral gerakan Ibu kembali ke rumah, seperti digagas gerakan Mothers at Home, sesungguhnya bisa dibaca sebagai pentingnya memerhatikan pendidikan dini bagi anak-anak. Nah, jika aspek ini tidak terabaikan, dan bisa dipenuhi dengan memuaskan, mestinya tidak masalah jika Ibu bekerja di luar rumah.
Ibu-Ibu bekerja di Indonesia kiranya juga tidak akan senaif itu—bekerja dan berkiprah di luar rumah tanpa memikirkan anak-anaknya. Mereka memang tidak bisa hadir setiap saat ketika anak membutuhkan. Namun, anak bisa diajari menegosiasikan waktu untuk menikmati kebersamaan secara maksimal. Ibu-ibu yang tidak keluar rumah sendiri juga sesungguhnya disibukkan timbunan pekerjaan. Mereka pun harus bernegosiasi dengan anak. Ketika anak membutuhkan sesuatu, sementara Ibu tengah menyelesaikan suatu pekerjaan, katakanlah, memasak, bukankah proses negosiasi serupa juga akhirnya dilakukan?
Lebih dari itu, apakah perawatan keluarga dan pendidikan anak semata-mata persoalan yang selalu ditimpakan pada Ibu? Hillary Clinton dalam bukunya It Takes A Village (1996) mengingatkan bahwa merawat keluarga, membesarkan anak, merupakan tugas satu kampung! Mulai dari institusi besar seperti negara, institusi formal seperti sekolah, pranata sosial seperti lingkungan ketetanggaan, sampai keluarga, yang di dalamnya ada Nenek, Kakek, Paman, Bibi, Kakak, Adik, Ayah ... pendek kata, tak cuma Ibu!
***
Isu yang dikedepankan MUI lewat Gerakan Kembali ke Rumah bagi Ibu adalah keprihatinan seputar kemerosotan kualitas anak. Ini masalah mahapenting. Karena itu, lebih baik pusatkan perhatian pada hal tersebut, yang niscaya jauh lebih substansial ketimbang secara semena-mena mempersoalkan Ibu yang bekerja di luar rumah. Dengan demikian, kita bisa membuat alternatif solusi yang adil bagi setiap pihak—adil bagi anak-anak yang kita cintai, juga adil bagi Ibu tersayang, yang punya hak serta kewajiban untuk mengembangkan dirinya di dalam maupun di luar rumah. Selamat Hari Ibu...


Santi Indra Astuti
(Dosen bidang kajian Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung. Saat ini bergiat sebagai peneliti tamu LIPI dalam kajian-kajian seputar media dan khalayak)

Dikirim untuk HU Kompas, rubrik SWARA, 2 Des 2005

0 komentar: