Dimuat di Ruang Baca Koran TEMPO, 11 Desember 2005
Dalam rubrik Ulasan. Judulnya, “Aksi Seru Detektif Feng Shui”
Dari Singapura sampai Botswana:
Aksi Seru Para Detektif Kontemporer
Di atas kertas, detektif paling hebat di dunia bukanlah James Bond nan ganteng dan sexy. Pun bukan intel-intel Indonesia yang berhasil mengungkap jaringan Bom Bali I hanya dalam hitungan hari. Detektif paling hebat dalam sastra populer yang pernah ada adalah Sherlock Holmes, Hercule Poirot, dan Miss Marple. Detektif-detektif ‘tua’ ini tak terkalahkan reputasi dan popularitasnya jika disandingkan dengan rekan seprofesinya yang relatif lebih muda, gaya, dan necis yang direka oleh John Grisham dan Tom Clancy. Selama beberapa dekade, pembaca novel detektif dihibur oleh aksi mereka cermat dan serius. Pembaca juga dibuat terpesona dengan teknologi yang dilibatkan dalam aksi tersebut. Mulai piranti sederhana seperti suryakanta legendaris Sherlock Holmes, hingga yang canggih-canggih seperti kamera mikro, mobil amfibi, bahkan rakitan bom yang dikendalikan lewat laptop dan pelacak satelit!
Belakangan, ketika popularitas detektif-detektif ini mulai menyurut, genre novel detektif diramaikan dengan kehadiran pendatang-pendatang baru. Menariknya, para pendatang baru tersebut bukanlah sosok-sosok yang biasa diakrabi pembaca novel detektif selama ini. Maklum, pendatang ini tidak datang dari Barat, tidak beroperasi dengan teknologi dan metode ilmiah ala Barat, pun tidak memiliki figur Adonis yang serba sempurna seperti rekan seprofesinya dari Amerika dan Eropa. Mereka berasal dari negara dunia ketiga, dengan cara berpikir khas dunia ketiga, lengkap membawa elemen-elemen etnis kultural yang begitu kental. Inilah C.F. Wong dari Singapura dan Mma. Ramotswe dari Botswana.
Perspektif Barat vs. Perspektif Timur
C.F. Wong, dalam serial Feng Shui Detective, adalah rekaan Nury Vittachi. Penulis kelahiran Ceylon yang kini bermukim di Singapura ini lumayan produktif menuliskan petualangan C.F. Wong bersama sekondannya, Joyce McQuinnie. Sebutan Feng Shui Detective merujuk pada cara kerja mereka yang unik, yaitu menggunakan feng shui serta unsur non ilmiah lainnya untuk membongkar kasus-kasus misteri. Kendati tak pernah disengaja dan menyengajakan diri terlibat dalam dunia detektif dan petualangan, C.F. Wong yang sejatinya adalah seorang konsultan feng shui sudah tampil dalam 3 episode buku yang baru-baru ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Bentang Pustaka.
Daya tarik Feng Shui Detective bukan sekadar terletak pada cara pandang persoalan yang tidak lazim, yaitu dari perspektif feng shui. Masalah yang disajikan pun sangat kontekstual, sesuai dengan tipe kasus yang biasa dihadapi oleh para konsultan feng shui. Misalnya saja, menetralisir ‘hawa negatif’ di tempat-tempat yang pernah menjadi lokasi kematian. Atau, mengusir ‘hantu-hantu’ yang memperburuk citra dan hoki sebuah lokasi bisnis. Terkadang permasalahannya begitu lazim: memecahkan misteri penipuan asuransi. Tapi tak jarang begitu rumit, seperti kasus kriminalitas berselimut cinta-cintaan yang menghadapkan C.F. Wong dengan seorang bomoh Malaysia. Sebuah kasus membawa persoalan lain yang tidak terduga. Sementara runtutan investigasinya sendiri mendapatkan ending penyelesaian yang tidak biasa, layaknya sebuah cerita detektif.
Setiap detektif punya metode dan ciri khas tersendiri. Poirot selalu menekankan pentingnya membaca motif sebagai titik awal untuk mencari kemungkinan tersangka. Pandangannya khas behavioristik-mekanistik: sesuatu tak mungkin muncul tanpa penyebab. Ada stimulus, ada respons. Stimulus berupa motif menjadi pemicu dorongan untuk bertindak. Motif menjadi titik utama, lantaran tak sesuatu pun terjadi tanpa alasan-alasan psikologis tertentu. Entah itu berupa ketamakan nafsu, hasrat filantropis yang kompulsif, heroisme yang kebablasan, atau ilusi moralitas yang obsesif. Poirot, atau tepatnya Agatha Christie, di sisi lain memang memiliki imajinasi Freudian nan kental. Tokoh detektif lain, Sherlock Holmes, selalu mencereweti pasangannya Watson ihwal pentingnya bukti fisik: sidik jari, tapak kaki—biar cuma seujung kuku, sehelai benang atau rambut. Hal ini memberi petunjuk ihwal cara kerja detektif ala Sir Arthur Conan Doyle yang rupa-rupanya sangat dipengaruhi oleh tatanan prosedur metode ilmiah yang empiris-positivistik. Bukti empiris menjadi sesuatu yang penting—awal bagi pengungkapan misteri. Lewat bukti empiris yang tersisa dari sebuah kasus kejahatan, sang detektif lantas menyusun hipotesis-hipotesis yang bakal diverifikasi dalam alur-alur yang logis dan konsisten. Cara kerja detektif bagi Doyle adalah cara kerja peneliti yang bersifat instrumental—bukti fisik menjadi alat bukti yang harus diverifikasi lewat penyelidikan ilmiah, layaknya peneliti mengamati sampel materi dengan mikroskop di laboratorium. Inilah cara berpikir partikularistik yang khas Barat.
Dibandingkan mereka, Feng Shui Detective menawarkan sesuatu yang lain. Berbekal perangkat pembacaan feng shui seperti pat kwa, C.F. Wong mendekati permasalahan dari perspektif kesetimbangan struktural—bahwa permasalahan timbul karena struktur yang terganggu keselarasannya, dan harus dipecahkan dengan mencari penyebab gangguan kesetimbangan itu sehingga chi negatif ternetralisir, sementara chi positif mengalir masuk. Ini merupakan cara berpikir khas Timur, khas Asia—mengutamakan harmoni semesta di atas segalanya. Dalam perspektif feng shui, gangguan keselarasan menjadi penyebab ekses-ekses negatif. Manusia di sini juga diposisikan bukan sebagai sentral dunia dalam wujud sosok serba sempurna, ia hanya bagian dari elemen semesta yang harmonis.
Kekuatan cerita-cerita detektif umumnya terletak pada kompleksitas kasus dan ending yang niscaya tidak terduga. Pakem seperti ini tetap ditaati oleh Nury Vittacchi. Sebagaimana cerita detektif lain, ending Detective Feng Shui kerap mengejutkan. Bagaimana tidak, setelah pembaca digiring untuk menyelami kasus dari perspektif feng shui, ternyata penuntasannya sama sekali tidak berbau feng shui! Nury Vitacchi punya selera humor yang baik. Ia mengajak pembaca menertawakan kekonyolan dan ketololan sang pakar feng shui, setelah sebelumnya digiring untuk terkagum-kagum dengan logika feng shui yang begitu fasih dikuasai oleh C.F. Wong.
Sarat Budaya, Kental Humor
C.F. Wong tidak sendirian berkelana dalam dunia novel detektif saat ini. Dari Afrika, tepatnya Botswana, seorang detektif perempuan hadir. Precious Ramotswe, atau Mma Ramotswe, tampil dengan pernak-pernik khas perempuan Afrika setengah baya: gemuk, berkulit gelap, naif, sekaligus keras hati dan keras kepala. Mma Ramotswe yang direka oleh Alexander McCall (seorang kulit putih!) adalah tokoh sentral dalam serial No. 1 Lady’s Detective Agency yang edisi aslinya saat ini sudah mencapai enam judul. Dalam edisi Indonesia, buku best seller international ini dijuduli Kantor Detektif Wanita Nomor 1. Berkali-kali meraih predikat international best seller membuktikan betapa detektif baru ini telah menjadi tokoh yang dicintai pembacanya.
Sebagaimana C.F. Wong yang bergelimang dalam ketidaksempurnaan—tertatih-tatih mengikuti gaya gaul anak muda sambil terperangkap dalam romantisme dan kekikiran generasi tua, demikian pula Mma. Ramotswe yang kerap tampil apa adanya: polos, rewel, tapi juga cerdas dan keras kepala! Masalahnya, apa sih yang bisa diharapkan dari seorang janda menjelang usia empatpuluhan yang bercerai dari suaminya karena kekerasan domestik dalam rumah tangganya? Saat memutuskan menggunakan warisan ayahnya untuk mendirikan kantor detektif di negara yang penduduknya masih kolot dan miskin seperti Botswana, bayangkan saja kekonyolan-kekonyolan perlakuan yang harus ditelan Mma Ramotswe karena kengototannya sendiri menghadapi masyarakat tribal pre-industrial ala Botswana.
Namun, itulah kekuatan lain novel-novel Mma Ramotswe. Ia mengetengahkan masalah yang khas Afrika, terkadang bahkan khas perempuan: klenik-perdukunan, pemaksaan perjodohan, perselingkuhan, sampai belenggu tradisi kekeluargaan. Berbekal pendekatan kultural, ia juga menawarkan penyelesaian yang acap sederhana dan tak disangka-sangka. Maka, pembaca di sini tidak sekadar mendapatkan wawasan-wawasan budaya yang dituturkan dengan cara yang simpatik, tapi juga bisa terhibur lewat polah seru sang detektif, penjungkirbalikan stereotip-stereotip kultural, ditambah reaksi dan ulah lingkungan masyarakat Botswana yang tak pernah berhenti terkaget-kaget mendapati seorang nyonya gemuk berkeliaran membawa kartu nama yang dicetak dan disodorkan penuh kebanggaan: Mma Ramotswe, detektif swasta nomor satu!
Ya, humor memang banyak ditemui dalam novel-novel detektif berperspektif kultural ini. Berbeda dengan detektif-detektif Barat yang serius dan tampil dengan kerapian, kesempurnaan, serta kesejahteraan mereka, detektif-detektif baru ini tampil sangat manusiawi, lengkap dengan keterbatasan dan keunikan masing-masing. C.F. Wong yang separuh baya, kolot, kikir, serius, menjadi bulan-bulanan McQuinnie yang muda, gaul, anak orang kaya pula. Mma. Ramotswe yang berusaha modern dan bersikap progresif malah menjadi bulan-bulanan lingkungan yang tradisional dan patriarkis.
Pendekatan kultural yang dikemas dengan humor menjadikan genre novel detektif ala Feng Shui Detective dan No. 1 Lady’s Detective Agency begitu unik. Lagi-lagi, inilah yang membedakan genre detektif klasik ala Agatha Christie dengan detektif-detektif kontemporer macam C.F. Wong dan Mma. Ramotswe. Dalam genre detektif baru ini, model berpikir serius bergaya ilmiah ditinggalkan. Elemen lokal-kultural diperkenalkan, ditampilkan tidak cuma sebagai aksen, tapi mewarnai keseluruhan narasi—pendek kata, dirayakan! Makanya, tak salah jika bercuriga: jangan-jangan, novel-novel detektif baru ini merupakan refleksi protes ala postcolonial terhadap dominasi detektif-detektif Barat ... (000)
Santi Indra Astuti
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi UNISBA, Departemen Jurnalistik. Pernah bercita-cita menjadi detektif.
0 komentar:
Posting Komentar