PENDIDIKAN DI AMERIKA: SEKOLAH YANG MEMANUSIAKAN MURIDNYA
Oleh: Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si.[1]
Education is not filling a bucket but lighting a fire
(Pendidikan bukan sekadar mengisi ember, tapi perkara menyalakan api)
Inilah kata-kata mutiara yang saya dapatkan di cuilan kertas dalam fortune cookies (kue keberuntungan), bonus nasi goreng seafood yang saya beli di rumah makan China di Chicago, awal Mei lalu. Pas betul dengan perjalanan yang tengah saya lakukan: meninjau pendidikan menengah di Amerika. Sebuah perjalanan yang mencerahkan karena membuka mata saya ihwal pendidikan yang sesungguhnya!
Pendidikan: Sebuah Mosaik
Saya adalah bagian dari serombongan pendidik dan pemerhati masalah pendidikan, yang diundang oleh Heartland International yang bermarkas di Chicago dan Center for Civic Education (CCE) di Jakarta, lewat Community Leadership Program (CLP). Selama menjadi warga Chicago, kami berkunjung ke berbagai sekolah mulai dari SD hingga SMU. Sekolah-sekolah tersebut memiliki kekhasan tersendiri, sehingga memperlihatkan mosaik pendidikan yang unik!
Sekolah pertama yang kami kunjungi adalah Universal School di 93rd Street, Bridgeview, Chicago. Kami terkaget-kaget berjumpa dengan serombongan siswi berbusana muslim lengkap dengan jilbab. Ternyata, Universal School adalah sekolah setingkat SD hingga SMU yang berbasis Islam! Where Islam and Education Come Together—itulah persisnya motto sekolah ini. Duh, kalau tidak melihat sendiri, rasanya sulit dipercaya ada sekolah Islam di Chicago yang lebih ‘Islami’ dibandingkan Universitas Islam Bandung tempat saya mengajar, yang masih ‘menoleransi’ mahasiswinya berbusana ketat. Namun, begitulah kenyataannya. Kepala Sekolah Universal School, Ny. Farhat Siddiqui yang enerjik, menyatakan, semua dimungkinkan berkat sistem pendidikan yang fleksibel. “Perguruan kami punya misi mendidik siswa menjadi warga negara beragama Islam yang memiliki nasionalisme Amerika,” tuturnya. Maka, guna mendukung misi tersebut, dibuka kelas wajib Bahasa Arab dan Tarbiyah. Sementara untuk mempraktikkan pendidikan kewarganegaraan, siswa-siswi dikerahkan menjadi relawan di berbagai TPS pada saat pemilu. Mereka mendata calon pemilih, bahkan mengetuk pintu-pintu tetangga di lingkungan rumah maupun sekolah untuk mengingatkan penghuninya agar segera mendatangi TPS. Sungguh mengesankan!
Suasana sebuah kelas TK di Universal Schools, Chicago. Guru perempuan berjilbab, sementara siswi-siswinya sendiri baru diwajibkan berjilbab di kelas enam (Dok. Pribadi).
Adalah fleksibilitas sistem pendidikan pula yang memungkinkan Community High School di 326 Joliet Street, West Chicago, menekankan kurikulumnya pada mata pelajaran yang berhubungan dengan kewarganegaraan dan kepemimpinan—soft skill, maupun hard skill—guna mendukung tujuan akhirnya: Excellence. “Kami menyiapkan murid-murid agar menjadi pemimpin bangsa di masa depan. Tidak sekadar pandai, mereka harus bisa menjadi pemimpin yang peka akan kebutuhan komunitas, dan mampu melayani masyarakatnya,” tutur Mary Ellen Daneels, guru civic education. Sebagaimana kita ketahui, Amerika Serikat menghadapi masalah sehubungan dengan rendahnya partisipasi warganegara dalam pemilu. Karena itu, SMU ini menggodok kurikulum yang antara lain ditekankan pada civic alias kewarganegaraan.
Pelajaran civic dikelola di kelas, maupun di laboratorium. Laboratorium? Ya, terletak satu lantai dengan perpustakaan, sebuah ruangan yang nyaman diisi dengan meja-meja bundar tempat berdiskusi. Itulah laboratorium civic education. Di atas meja bundar diletakkan 5-6 komputer untuk setiap anak. Komputer-komputer tersebut menjadi penghubung siswa ketika mendiskusikan pelbagai isu lewat milis khusus, sesuai dengan topik yang dilontarkan oleh guru. Acap, milis digunakan untuk ‘memutuskan undang-undang’ yang dibuat sendiri oleh siswa. Dengan cara ini, mereka belajar bahwa setiap suara bisa membuat perbedaan, dan bahwa nasib ‘warganegara’ dalam ‘republik’ masing-masing ditentukan oleh partisipasi setiap anggota kelas!
Kami juga berkesempatan mengunjungi Little Village Lawndale High School di 3120 South Kostner, Chicago. Sekolah ini memiliki empat ‘konsentrasi’, yaitu Social Justice, Multicultural Arts, World Language, dan Infinity untuk peminat matematika, sains, dan teknologi. Uniknya, masing-masing konsentrasi dipimpin oleh seorang kepala sekolah. Jadi, ada empat kepala sekolah di SMU ini, yang dikoordinir oleh seorang manajer!
Namanya konsentrasi, tentu ada kekhususan dari setiap program. World Language yang kebetulan paling banyak siswanya, membekali murid dengan kemampuan berbahasa yang komplet, sehingga siswanya kelak bisa hidup sebagai warga dunia yang mengglobal. Siswa-siswa yang memilih konsentrasi World Language diwajibkan mempelajari setidaknya dua bahasa lain selain Inggris! Pilihan terbanyak jatuh pada bahasa Meksiko, lalu bahasa-bahasa Asia dan Eropa. Siswa-siswa Multicultural Arts punya kekhususan dalam seni—macam-macam seni. Sementara konsentrasi Infinity menekankan penguasaan iptek bagi siswanya. Uniknya, kerap terjadi kolaborasi antar-konsentrasi. Pada saat saya berkunjung ke sana, siswa Arts dan Sains sedang punya garapan bersama: Arts and Multimedia. Jadi, ditampilkan ‘seni’ yang dimungkinkan berkat kecanggihan teknologi, seperti digital imaging dan digital photography. Saya juga sempat menyaksikan sisa pameran kelas-kelas Multicultural Arts yang memajang karya siswa berupa iklan-iklan layanan masyarakat. Mengejutkan, iklan-iklan itu sebagian besar bertema pesan-pesan antikapitalisme dan antiglobalisasi. Saya curiga, kelas Social Justice turut berperan di sini karena isu semacam itu adalah ‘makanan’ mereka.
Kunjungan ke berbagai sekolah dengan beragam kurikulum itu tak pelak membuat kami bertanya-tanya: kok bisa ya tiap sekolah mengajarkan kurikulum yang berbeda-beda? Memangnya, di Amerika Serikat tidak ada kurikulum nasional? Susan Marks dari Public School System of Chicago yang mendampingi kami menjelaskan, istilah kurikulum nasional memang tidak dikenal di Amerika Serikat. Yang ada core curriculum—isinya mata pelajaran yang diujikan dalam national test atau semacam UAN di Amerika Serikat. Materi national test adalah Reading, Civic, English, dan Basic Math. Nah, inilah pelajaran ‘wajib’ yang harus diajarkan sekolah pada murid-muridnya. Selebihnya, terserah sekolah masing-masing mau ‘mengisi’ muridnya dengan apa.
Pendidikan Sebagai Hak Asasi
Di Indonesia, pelaksanaan UAN menjadi kontroversi karena dinilai ‘memasung’ dan ‘memancung’ siswa-siswa yang tidak lulus. Selain itu, UAN sebagai syarat kelulusan menjadi hantu yang mengerikan siapa saja: siswa, orangtua, dan guru. Saya masih penasaran ihwal national test di Amerika. Kalau anak tidak naik kelas, lantas bagaimana? Susan Marks agak bingung mencerna pertanyaan ini. Karena itu saya ubah pertanyaannya menjadi begini, bagaimana kalau siswa tidak mencapai standar nilai terendah untuk hal yang harus dikuasainya, terkait dengan subyek yang diujikan? Ternyata, sejak beberapa tahun silam, Amerika Serikat meloloskan Undang-Undang No Child Left Behind. Di bawah UU ini, tak boleh ada anak-anak yang ‘ditinggalkan.’ Kalau nilai sang anak tidak mencapai skor minimum, sekolah tidak boleh menjadikan hal tersebut sebagai alasan bagi sang anak sehingga tidak naik kelas, atau tidak lulus. Anak tetap boleh mengambil tingkat selanjutnya. Tapi, mau tidak mau, anak maupun gurunya harus meluangkan waktu tambahan untuk mengejar kekurangan skor tersebut.
Kebijakan ini sejalan dengan konsistensi Amerika Serikat menjadikan pendidikan sebagai hak asasi. Saya berkesempatan mengunjungi sebuah sekolah dasar di kawasan Suite, Chicago. Sekolah ini memiliki program kerjasama dengan Changing Worlds, sebuah LSM yang mengkhususkan diri pada ‘pembinaan’ siswa-siswi agar menerapkan nilai-nilai multikultural dan mutual understanding dengan pendekatan art. Kami berkunjung ke sebuah kelas yang dihuni oleh anak-anak kelas 2 hingga kelas 6 yang berasal dari berbagai bangsa: Rusia, Korea, Afghanistan, dan lain-lain. Wujud multikulturalisme dan upaya membina mutual understanding benar-benar kentara di sini. Di sebuah meja, entah sengaja atau tidak, anak yang berasal dari Suriah didudukkan dengan anak dari Israel! Dan ternyata, situasinya damai-damai saja di sana.
Di meja ini, anak-anak dari Rusia, Suriah, Israel, dan berbagai bangsa lain duduk bersama. Dan ternyata, damai-damai saja di sini... (Dok. Pribadi)
Iseng saja saya bertanya, siapa sih orangtua anak-anak ini? Jawabannya membuat saya terhenyak. Orangtua anak-anak ini terdiri dari bermacam-macam latarbelakang dan profesi, mulai dari konsultan, pegawai negeri, pengusaha, sampai imigran gelap, pelarian atau pengungsi perang, stateless! Lho, memangnya anak imigran gelap boleh sekolah di sini? Kay Robertson, salah satu guru, menjelaskan. “Begini, ini sekolah publik, kami tak boleh menolak murid. Bahwa bapaknya imigran gelap atau stateless, itu masalah politik. Mereka jadi tak punya hak pilih, tak boleh kerja di pemerintahan. Tapi pendidikan adalah masalah hak asasi—hak asasi anak-anak. Itu tidak ada kaitannya dengan status kewarganegaraan orangtuanya. Kami bisa dituntut ke pengadilan kalau sampai menolak anak-anak mereka bersekolah di sini. ”
Wah! Beginilah rupanya wujud pendidikan sebagai hak asasi manusia... (000)
[1] Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA), Bidang Kajian Ilmu Jurnalistik.
1 komentar:
Tulisan yang sangat menggugah. Terima kasih.
Kayaknya kita masih perlu belajar untuk pembenahan sistem pendidikan kita.
Kadang saya sampai heran lihat materi sekolah SD kita. Isinya menurut saya belum perlu untuk anak-anak SD.
Seingat saya waktu saya kecil dulu, masa sekolah dari SD - SMA adalah masa yang sungguh menyenangkan. Kalau sekarang, sepertinya beban materi-nya terlalu banyak dan luas.
Semoga pendidikan kita semakin baik.
Posting Komentar