Communication

Blog ini diperuntukkan bagi para peminat komunikasi, sosial, dan budaya. Dilarang berpolitik sektarian, korupsi juga nggak boleh. Itu dosa lho. Selamat menikmati.

Social

Let's share your story about communication.

Article

In here, you can find my original article.

Selasa, 28 Agustus 2007

ADA APA DENGAN SKRIPSI KUALITATIF KITA?

ADA APA DENGAN SKRIPSI KUALITATIF KITA?
Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si.[1]

I. Pendahuluan

Menelaah skripsi sesungguhnya pekerjaan mengasyikkan. Kita bisa tercerahkan berkat informasi terkini yang didapatkan di lapangan. Kita mendapatkan ulasan mengenai pemikiran-pemikiran mutakhir dalam disiplin yang kita tekuni untuk menjawab isu-isu kontemporer. Atau, setidaknya, menikmati keliaran pemikiran dan elaborasi teori yang kreatif dan imajinatif dari penulisnya. Seraya, mengintip rujukan-rujukan yang mungkin belum tentu ada di rak-rak perpustakaan pribadi kita. Itu kalau kita mendapatkan skripsi yang betul-betul bermutu. Masalahnya, mendapatkan skripsi yang berkualitas bukan perkara gampang. Realitasnya, kita lebih sering berhadapan dengan skripsi-skripsi yang dibuat hanya demi memenuhi syarat formal lulus sebagai sarjana komunikasi. Akibatnya, beribu maaf, skripsi disusun asal-asalan dengan kualitas isi yang terkategori ‘mencemaskan’.
Ketika metode kualitatif mulai diterima dalam disiplin komunikasi, banyak mahasiswa maupun dosen mulai melirik metode ini sebagai alternatif riset. Kondisi ini, di satu pihak, menggembirakan. Di sisi lain, bikin deg-degan. Pasalnya, dalam banyak kasus, keputusan melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif tidak dilandasi oleh alur penalaran yang logis berdasarkan nature permasalahan yang dihadapi.
Sejujurnya, berdasarkan pengakuan rekan-rekan mahasiswa yang penelitian kualitatifnya bermasalah, keputusan menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian diakibatkan oleh lemahnya penguasaan statistik. “Takut berhadapan dengan angka-angka,” “malas menghitung,” “tidak hafal rumus,” begitulah jawaban klasik yang acap dilontarkan. Ketakutan pada matematika dan keengganan berurusan dengan format penelitian yang rigid dan ketat membuat para peneliti ini beralih pada metode kualitatif yang dianggap ‘lebih ramah’ dan ‘lebih gampang’ karena tak bertabur angka, tak menuntut rumus-rumus statistik yang panjang, rumit, dan njelimet! [2]
Lebih gampang? Betulkah metode kualitatif ‘lebih ramah’ bagi mahasiswa? Mari kita telusuri bersama sejumlah masalah yang diakibatkan oleh sesat pikir semacam ini.

II. Data: Temuan dari Pengalaman Mahasiswa

Guna mendapatkan data yang lebih rinci, valid, dan bisa dipertanggungjawabkan mengenai topik ini, penulis melakukan penelitian berskala kecil terhadap para kandidat sarjana peserta sidang skripsi di lingkungan Fikom Unisba, periode 20-23 Agustus 2007. Periode ini mencetak rekor peserta sidang skripsi, yaitu sebanyak 86 orang.
Penelitian ini bermaksud menjaring tanggapan terhadap latarbelakang memilih metode kualitatif, kapabilitas pengajar MPK dan dosen pembimbing dalam penguasaan metode kualitatif, tingkat kesulitan mengerjakan metode kualitatif, serta isu-isu lain yang perlu dicermati. Penelitian ini, perlu ditekankan, sama sekali tidak dimaksudkan untuk membaca sejauhmana penguasaan penggarap skripsi maupun dosen dalam metode kualitatif, atau menilai kualitas skripsi metode kualitatif. Kuesioner yang dibagikan semata-mata merupakan upaya untuk mengeksplorasi tanggapan awal terhadap penggunaan metode kualitatif dalam menyusun skripsi.
Dari 20-an angket yang dibagikan[3], 18 di antaranya dikembalikan pada akademik. Inilah data yang diolah dari jawaban angket tersebut.

1. Faktor Alasan
Pertanyaan yang diajukan pada pengisi angket adalah apa alasan utama menggunakan metode kualitatif dalam penggarapan skripsi. Tabel 1 menunjukkan jawabannya.

Tabel 1. Alasan Penggunaan Metode Kualitatif Dalam Skripsi
No.
Alasan
f
%
1
Sesuai dengan permasalahan
15
83.33
2
Hasil diskusi dengan pembimbing/kolega
1
5.55
3
Sesuai dengan rujukan skripsi lain
2
11.11
4
Lain-lain
0
0

Total
18
100

Alasan dominan mengerjakan skripsi, menurut responden, adalah karena metode kualitatif memang sesuai dengan permasalahannya (83.33%). Seorang responden (5.55%) memilih metode kualitatif setelah berdiskusi dengan pembimbing dan koleganya. Sementara, dua responden lainnya (11.11%) menyatakan bahwa pemilihan metode tersebut didasari hasil pembacaan terhadap skripsi lain, yang kebetulan meneliti konsep atau gagasan yang sama. Temuan yang menunjukkan dominannya alasan ‘a’ bisa dibilang melegakan, andai memang ini jawaban jujur. Karena, temuan tersebut memperlihatkan bahwa mahasiswa sudah memiliki dasar pijakan yang kuat untuk memilih penelitian dengan metode kualitatif, bukan asal-asalan saja.

2. Faktor Durasi
Menarik sekali mengamati jawaban responden mengenai durasi pengerjaan skripsinya, yang menggunakan metode kualitatif. Simak dalam Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Durasi Riset
No.
Durasi Pengerjaan Skripsi
f
%
1
< = 4 bulan
9
50
2
5 – 8 bulan
4
27.78
3
9 – 12 bulan
3
16.67
4
> 12 bulan
2
5.55

Total
18
100

Tidak pernah ada ketentuan menyangkut berapa lama waktu yang harus dihabiskan untuk menyusun skripsi kualitatif. Namun, lazimnya, penelitian skripsi yang serius cukup makan waktu. Karena, peneliti tidak hanya mengobservasi dan melaporkan temuannya, tetapi juga dituntut melakukan bobot analisis yang lebih mendalam daripada penelitian kuantitatif. Hasil angket menunjukkan, 50% responden menyusun skripsi dalam jangka waktu yang sangat singkat untuk kategori skripsi kualitatit, yaitu kurang dari 4 bulan saja! Inikah salah satu penyebab skripsi kualitatif tidak bermutu dan kurang matang? Sementara itu, dua mahasiswa makan waktu lebih dari setahun untuk menyusun skripsinya (12.5 bulan dan 18 bulan). Masalah utamanya, menurut ybs., adalah karena tingkat kesulitan skripsinya (dengan metode interaksionisme simbolik) dan gangguan pekerjaan. Tetapi, sepengamatan dosen ybs., mahasiswa ybs. walau pun cukup ambisius untuk meneliti sesuatu yang baru, dengan perspektif yang ‘keren/canggih’, ternyata tak punya bekal memadai untuk melakukan penelitiannya sesuai dengan prosedurnya. Bekal memadai itu a.l. adalah pola pikir yang konsisten dan tidak acakadut, serta konduite mahasiswa sendiri yang on-off (lebih sering off-nya), dalam proses bimbingan.
Dalam sidang skripsi, penulis sendiri menemukan skripsi-skripsi asal jadi yang tampaknya ditulis untuk mengejar target waktu. Selain disusun dengan sangat tidak rapi, asal jadi, dalam satu kasus, penulis bahkan berhadapan dengan seorang mahasiswa yang mengaku hanya butuh waktu kurang dari 6 bulan untuk menyusun skripsi. Dalam skripsinya, penulis menemukan 17 copy paste—sebuah pelanggaran etika akademik yang mengerikan. Mahasiswa itu lulus walau pun penulis hanya memberi nilai 1. Dia diselamatkan oleh nilai kolektif.

3. Sumber Pertama Mengenal Metode Kualitatif
Beberapa tahun silam, penelitian kualitatif tidak sepopuler sekarang. Sedikit sekali mahasiswa yang memilih metode kualitatif dalam skripsinya. Mata kuliah MPK Kualitatif sendiri baru ada dua tahun belakangan ini, berkat ‘pemekaran SKS’ MPK yang pernah dibahas penulis sekitar 3-4 tahun silam—juga dalam forum SII lewat judul makalah “Mengimbangi Positivisme Dalam Pengajaran MPK” (2004). Sekarang, dalam setiap periode sidang skripsi mau pun UP, selalu ada penelitian (atau UP) berdimensi kualitatif. Ini menunjukkan tingginya minat meneliti dengan metode kualitatif. Dari mana mahasiswa mengetahui metode kualitatif pertama kali?

Tabel 3. Sumber Pertama Mengenal Metode Kualitatif
No.
Sumber Pertama
f
%
1
Teman
1
5.55
2
Skripsi lain
0
0
3
Dosen wali
1
5.55
4
Dosen pembimbing
0
0
5
Dosen mata kuliah metode riset
15
83.33
6
Dosen mata kuliah lainnya
0
0
7
Lingkungan di luar kampus
1
5.55

Total
18
100

Dosen mata kuliah metode riset (MPK) menjadi sumber pertama bagi mahasiswa dalam mengenal metode kualitatif (83.33%). Dosen mata kuliah lainnya, dosen wali, teman, dan lingkungan lain, sangat sedikit berperan. Sayang sekali, tradisi, minat, dan stamina membaca mahasiswa kita begitu rendah (bagaimana dengan dosennya? Ehm...). Maka tak heran jika hanya seorang mahasiswa yang mengaku tahu metode kualitatif pertama kali dari bacaan—yaitu skripsi di perpustakaan.

4. Keistimewaan Metode Kualitatif.
Seabreg handbook riset kualitatif produksi dalam dan luar negeri—lepas dari seperti apa kualitasnya—merinci keistimewaan metode kualitatif. Tetapi, inilah pendapat para ‘sarjana’ kita ihwal ‘keistimewaan’ metode kualitatif.

Tabel 4. Keistimewaan Metode Kualitatif
No.
Keistimewaan Metode Kualitatif
f
%
1
Tidak perlu menggunakan angka dan rumus
15
83.33
2
Dapat mengeksplorasi masalah lebih mendalam
14
77.78
3
Ada tantangan baru
6
33.33

Pilihan bahwa metode kualitatif itu istimewa karena tidak perlu menggunakan angka dan rumus nyaris ada dalam setiap jawaban! Ini sudah bisa ditebak. Bahwa metode kualitatif dianggap istimewa karena dapat mengeksplorasi permasalahan lebih mendalam—ya. Tapi, tampaknya, biarpun kualitas ini dianggap istimewa, hasil skripsi kualitatif sarjana kita jauh dari mencerminkan kemendalaman eksplorasi permasalahan.

5. Kesulitan Metode Kualitatif
Minat menggunakan metode kualitatif dalam penelitian/skripsi, ternyata tidak ditunjang oleh sarana yang memadai. Semua opsi mendapatkan jawaban yang frekuensinya hampir sama.

Tabel 5. Kesulitan Metode Kualitatif
No.
Kesulitan Metode Kualitatif
f
%
1
Literatur sedikit, banyak berbahasa Inggris
6
33.33
2
Literatur sulit dipahami/diterapkan
5
27.78
3
Tidak punya teman diskusi
7
38.88
4
Tidak ada/sedikit sekali contoh penelitian yang relevan
7
38.88
5
Tidak ada format penelitian yang baku
8
44.44
6
Dosen pembimbing tidak banyak berperan
6
33.33

Yang cukup menonjol, mahasiswa mengeluhkan tidak adanya format penelitian yang baku. Ini memang kekurangan Fikom Unisba—sejak dulu tidak punya panduan format skripsi yang baku. Padahal, Fikom Unisba sudah berdiri 20 tahun-an. Mestinya, panduan format skripsi ini sudah dimiliki sedari dulu. Kalau masalah literatur yang sedikit dan banyak yang berbahasa asing, memang itu sebuah kesulitan, tapi penulis melihat mahasiswa sendiri tampaknya manja dan tak punya stamina baca yang memadai untuk kategori seorang mahasiswa. Demikian pula alasan nomor 4, sebenarnya contoh penelitian skripsi itu banyak, tapi lagi-lagi semua ini berpulang pada kerajinan dan inisiatif mahasiswa sendiri untuk mencari literatur dari sumber-sumber di luar kampus. Literatur yang ada sulit diterapkan, karena itu, penggarapan metode kualitatif memerlukan banyak diskusi dengan kolega (sayangnya, sulit menemukan rekan diskusi yang menguasai permasalahan), sementara, dosen pembimbing sendiri dinilai tidak banyak berperan. Ini menjadi refleksi bagi kita semua. Tapi, lebih jauh tentang relasi antara dosen pembimbing dan mahasiswa penggarap skripsi metode kualitatif bisa dilihat dari data berikut ini.

6. Tentang Dosen Pembimbing
Dalam penyusunan skripsi, dosen pembimbing bertugas membantu dan mendampingi sebagai mentor, tutor, teman diskusi, instruktor, apalah. Tapi, semua upaya sampai pada eksekusi terakhir, sudah barang tentu menjadi tanggungjawab mahasiswa ybs. Di ruang sidang, skripsi sepenuhnya menjadi tanggungjawab mahasiswa, bukan lagi pembimbing. Bagaimana peran dosen pembimbing dalam penyusunan skripsi? Hasilnya bisa dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Peran Dosen Pembimbing
No.
Peran Dosen Pembimbing
f
%
1
Sangat membantu
11
61.11
2
Biasa-biasa saja
4
22.22
3
Kurang membantu
3
16.67
4
Tidak membantu
0
0

Total
18
100

Hasil Tabel 6, apabila dikontraskan dengan Tabel 5, tampak kontradiktif. Pada Tabel 5, dosen pembimbing dinilai tidak banyak berperan sehingga menimbulkan kesulitan dalam penggarapan skripsi dengan metode kualitatif. Namun dalam Tabel 6, mahasiswa justru sangat mengapresiasi peran dosen pembimbing. Menurut sebagian besar mahasiswa, dosen pembimbing masing-masing sangat membantu proses penggarapan skripsi. Sangat membantu di sini beragam tipenya: memberikan sumber literatur yang bisa digunakan, meminjamkan buku-buku, bahkan ada yang menghadiahkan bukunya pada mahasiswa bimbingannya! Sementara itu, ada pula yang menilai dosen pembimbing kurang membantu. Alasannya, “... dosen pembimbingku sibuk, sulit ketemunya, kalau janji molor melulu, tidak pernah ditepati.” Maaf, atas nama etika akademik, saya tidak mau mengeksplorasi fakta yang sudah kita ketahui bersama dalam penelitian skala kecil ini (bagi yang merasa, silakan berefleksi saja). Berita bagusnya adalah, (tampaknya) tidak ada dosen pembimbing yang dinilai galak dan tidak bersahabat oleh responden.
Bagaimana kapabilitas dosen pembimbing? Simak dalam tabel berikut ini.

Tabel 7. Kapabilitas dosen pembimbing
No.
Kapabilitas Dosen Pembimbing
f
%
1
Menguasai permasalahan dan penerapan metode kualitatif
8
44.44
2
Hanya menguasai salah satu aspek metode kualitatif
4
22.22
3
Tidak memahami metode kualitatif
0
0
4
Kelihatannya memahami, tapi tidak mampu mengomunikasikan
6

33.33

Total
18
100

Apabila peran dosen pembimbing dalam Tabel 6 dinilai baik, maka jawaban untuk kapabilitas dosen pembimbing berbeda-beda. Berita bagusnya adalah, opsi 2 tidak ada yang mengisi. Artinya, tidak ada dosen yang dianggap tidak capable. Tetapi, memahami belum tentu bisa mengomunikasikan—demikianlah rupanya pendapat responden bagi dosen pembimbingnya, yang notabene adalah pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi. Itulah salah satu pangkal soal sulitnya mengerjakan skripsi dengan metode kualitatif.

7. Tentang Dosen MPK
Penyusunan skripsi, hakikatnya, adalah mata rantai yang menghubungkan kemampuan analisa mahasiswa dengan semua matakuliah yang pernah diajarkan sebelumnya. Secara teknis-formal, pengenalan metode kualitatif dilakukan pertama kali dalam mata kuliah MPK Kuantitatif. Pendalaman dan praktiknya diperluas dalam mata kuliah MPK Kualitatif. Bagaimana peran dosen MPK di Fikom Unisba dalam memperkenalkan dan mengajarkan metode kualitatif? Inilah pendapat para responden.

Tabel 8. Peran Dosen MPK
No.
Peran Dosen MPK
f
%
1
Sangat membantu
4
22.22
2
Biasa-biasa saja
9
50
3
Kurang membantu
4
22.22
4
Tidak membantu
1
5.55

Total
18
100

Inilah tanggapan jujur mahasiswa kita—yang sekarang sudah jadi alumni itu. Hanya 4 responden (22.22%) yang merasa dosen pengajar MPK sangat membantu memperkenalkan metode kualitatif! Setengah lainnya (9 responden), menganggap ‘biasa-biasa’ saja perannya. Bahkan ada jawaban ‘kurang membantu’ (22.22%) dan ‘tidak membantu’ 5.55%). Kalau jawaban ‘biasa-biasa’ saja kita masukkan dalam kontinum negatif, maka sebagian besar jawaban responden mengisyaratkan bahwa mk. MPK ternyata tidak banyak membantu dalam pengajaran metode kualitatif. Ini masukan yang sangat berharga bagi para dosen MPK, khususnya yang mengajarkan metode kualitatif.
Fakta di atas menghantarkan penulis pada pertanyaan lain: di mana letak masalahnya jika dosen MPK dianggap tidak banyak berperan dalam memperkenalkan metode kualitatif? Apakah ini masalah kapabilitas mengajar, ketidakmampuan dosen berkomunikasi, kekurangan waktu untuk mengevaluasi, atau jangan-jangan berpulang pada kondisi alamiah mahasiswa sendiri yang harus diakui tidak punya—lagi-lagi—semangat dan stamina belajar yang tinggi? Mari kita simak Tabel 9 berikut ini.

Tabel 9. Kapabilitas Dosen MPK
No.
Kapabilitas Dosen MPK
f
%
1
Menguasai permasalahan dan penerapan metode kualitatif
3
16.67
2
Hanya menguasai salah satu aspek metode kualitatif
2
11.11
3
Tidak memahami metode kualitatif
0
0
4
Kelihatannya memahami, tapi tidak mampu mengomunikasikan
3
16.67
5
Memahami, mampu mengomunikasikan tapi waktu perkuli
ahannya tidak cukup
10
55.56

Total
18
100

Berita baiknya adalah, Tabel 9 memperlihatkan tidak ada responden yang menganggap dosen pengajar MPK tidak memahami metode kualitatif (lega dehh...:). Tapi, memahami belum tentu menguasai, atau mungkin saja menguasai namun cuma salah satu aspek saja, misalnya, “.. beliau cuma tahu teorinya doang,” tutur seorang respoden yang memilih opsi 2 (lagi-lagi, untuk menghormati etika akademik, saya tidak mau mengeksplorasi data responden maupun dosen yang dimaksud. Bisi saya sendiri, hehe...). Isu ketidakmampuan berkomunikasi di antara civitas academica Fikom Unisba, ironisnya, selalu jadi permasalahan. Tiga responden (16.67%) menganggap dosen MPK-nya memahami apa yang diajarkan, tapi tidak mampu mengomunikasikan. Selanjutnya, ini masukan yang bagus: jawaban dominan responden menunjukkan kurangnya waktu perkuliahan MPK yang berlangsung secara formal selama 6 bulan, tapi waktu efektifnya kurang dari 6 bulan! Minat untuk menggeluti metode kualitatif dari kedua belah pihak ada—baik dari pengajar maupun pembelajar—sayangnya, waktu yang diberikan dalam perkuliahan berasa sempit. Disinilah letak urgensi bagi para dosen MPK yang selama ini mengajar sendiri-sendiri, dengan kurikulum/silabi dan style mengajar sendiri-sendiri, untuk duduk bersama merumuskan kurikulum, SAP, dan model belajar MPK yang paling pas—tentu lewat ujicoba-ujicoba yang memadai!

8. Mengerjakan Skripsi Dengan Metode Kualitatif: Sulit....
Research is about to research. Researching means doing research. Penelitian adalah pengalaman. Tidak cuma hapal teorinya, tapi mendapatkan pemahaman lewat penelitian di lapangan. Pengalaman menerapkan metode penelitian kualitatif baru benar-benar bisa diperoleh mahasiswa secara intens, ketika menggarap skripsi dengan metode kualitatif. Sulit mendapatkan pengalaman melakukan penelitian kualitatif dalam kelas pengajaran MPK, karena ruang waktunya begitu terbatas. Berkaca dari pengalaman selama menggarap skripsi kualitatif, inilah bagian yang menurut responden paling sulit ketika dikerjakan.

Tabel 10. Bagian Tersulit Dalam Penggarapan Skripsi Metode Kualitatif

No.
Bagian Tersulit
f
%
1
Judul dan subjudul
0
0
2
Latar belakang
3
16.67
3
Perumusan masalah
0
0
4
Kerangka pemikiran
4
22.22
5
Metodologi
1
5.55
6
Pengumpulan data
1
5.55
7
Analisis
2
11.11
8
Kesimpulan
2
11.11
9
Menyusun laporan (skripsi)
1
5.55
10
Tidak mengisi
3
16.67

Total
15
100

Tingkat kesulitan responden tampaknya berbeda-beda, demikian pula bagian yang menurut responden paling sulit. Tapi membangun kerangka pemikiran dipilih paling banyak sebagai bagian skripsi yang paling sulit digarap (22.22%). Tiga responden memilih perumusan latar belakang sebagai bagian tersulit (16.67%). Dua responden tersandung pada ‘analisis’ dan ‘penyimpulan’, sisanya mengaku bagian tersulit adalah pada metodologi, pengumpulan data, dan penyusunan laporan penelitian (dalam bentuk skripsi).
Berkaca pada pengalaman pribadi dalam membimbing mau pun menguji skripsi, kerangka pemikiran memang bagian yang paling lemah dalam skripsi mahasiswa. Banyak mahasiswa—bahkan dalam ruang sidang sekalipun—yang tidak memahami apa sesungguhnya pengertian dari kerangka pemikiran, dan mengapa kerangka pemikiran perlu ada dalam setiap penelitian. Banyak pula yang menyalahkaprahkannya dengan ‘anggapan dasar’—sebuah istilah antah-berantah yang sejauh ini tak juga saya dapati penjelasan ilmiahnya—atau mencukupkan kerangka penelitian hanya pada ‘pengertian istilah’ yang bakal diulang-ulang lagi pada bab 2.
Perumusan latar belakang juga kerap menjadi sumber masalah dalam sidang skripsi maupun proses bimbingan, karena latar belakang permasalahan responden tidak seutuhnya memunculkan permasalahan penelitian. Banyak mahasiswa berfokus pada deskripsi seputar fenomena, disusul pendapat pribadi atas fenomena tersebut yang tidak didukung oleh pelacakan literatur yang memadai, lantas menutupnya sebatas dengan ‘oleh karena itu saya berkeinginan untuk meneliti aspek abc dari PT Abrakadabra’, misalnya, tanpa memunculkan signifikansi penelitian: buat apa masalah itu diteliti? Masalahnya sendiri apa, kenapa mesti meneliti aspek abc? Urgensi penelitian tidak muncul di sini, dan ketika dimintai pertanggungjawabannya di ruang sidang, penguji berhadapan dengan peserta sidang yang gelagapan dan bolak-balik melirik Ketua Sidang alias pembimbingnya!
Apakah bagian yang paling sulit dikerjakan, juga makan waktu paling banyak untuk dikerjakan? Atau mungkin ini adalah dua hal berbeda? Inilah jawaban responden ketika ditanyai “Bagian mana dari skripsi Anda yang paling makan waktu untuk dikerjakan?”

Tabel 11. Bagian Skripsi Yang Paling Makan Waktu
No.
Waktu Pengerjaan Terbanyak
f
%
1
Judul dan subjudul
0
0
2
Latar belakang
4
22.22
3
Perumusan masalah
1
5.55
4
Kerangka pemikiran
2
11.11
5
Metodologi
1
5.55
6
Pengumpulan data
1
5.55
7
Analisis
4
22.22
8
Kesimpulan
1
5.55
9
Menyusun laporan (skripsi)
1
5.55
10
Tidak mengisi
3
16.67

Total
18
100

Tabel 11 memperlihatkan data yang berbeda. Kalau dalam tabel sebelumnya, bagian tersulit adalah menyusun kerangka pemikiran, ternyata data Tabel 10 memperlihatkan bagian latar belakang dan analisis-lah yang paling makan waktu untuk dikerjakan. Latar belakang cukup makan waktu, masuk akal, karena dianggap yang paling sulit dikerjakan. Pada tahapan analisis yang tersaji dalam bab 4, peneliti berhadapan dengan timbunan data yang harus disortir, diolah, disajikan, kemudian diinterpretasikan. Tiga langkah pertama, yaitu mendeskripsikan temuan penelitian tampaknya cukup makan waktu. Tahapan selanjutnya setelah temuan disajikan adalah menganalisis hasilnya dengan mengelaborasi temuan dengan teori yang ada atau data-data penunjang yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data lainnya. Ini juga makan waktu, terutama kalau mahasiswa sendiri tidak ngeh datanya harus diapakan... Berkaca pada pengalaman pribadi sebagai dosen pembimbing, selama sejarah membimbing mahasiswa menyusun skripsi, tidak pernah ada analisis yang sekali jadi. Banyak hal yang harus diperbaiki, dan itu wajar saja. Namun pada tahap pertama biasanya dosen pembimbing harus mengajarkan dulu pada mahasiswa bimbingannya: apa yang harus dianalisis dan bagaimana menganalisisnya. Masukan lagi buat pengajar MPK: perkara menganalisis tampaknya harus dapat bobot lebih dalam pengajaran!

9. Manfaat Meneliti Dengan Metode Kualitatif
Pertanyaan selanjutnya yang diajukan pada responden merupakan jenis pertanyaan terbuka. Dalam pertanyaan ini, responden diminta untuk menuliskan refleksi pribadi mereka, berdasarkan pengalamannya menyusun skripsi dengan metode kualitatif. Jawabannya cukup beragam, walau tidak semuanya mengisi. Dilihat dari ragam jawabannya, secara umum terbagi menjadi dua kategori:
a. Manfaat metodologis
Peneliti yang mendapatkan manfaat metodologis umumnya mengaku menjadi lebih memahami seluk-beluk penelitian kualitatif baik dalam tataran praktik maupun teoritik. Ini, misalnya, terungkap dari tulisan salah seorang responden “... mengetahui jelas (penelitian kualitatif) dalam penyusunan laporan penelitian yang baik, cara-cara pengumpulan data, wawancara, dll.” Jawaban lain berfokus pada tema: “... Jadi lebih memahami permasalahan dari tema penelitian. Selain itu, hasil penelitian dapat menjadi informasi yang berguna bagi pembacanya.” Ada jawaban menarik yang sangat menukik, “... subyektivitas peneliti dalam menganalisa masalah cukup menarik perhatian. Seandainya saya mempelajarinya dengan serius, saya tidak akan kerepotan...” Bagi penulis, jawaban secanggih ini memperlihatkan intensitas pergumulan responden dengan persoalan metodologi pada tingkat yang serius.
b. Manfaat personal
Manfaat personal umumnya tertuju pada pengalaman yang diperoleh pengembangan pribadi. Jawaban menarik diberikan oleh responden berikut: “... lebih banyak mempertanyakan fenomena kehidupan, lebih memahami eksistensi saya dalam segala aspek.” Jawaban yang sangat dalam, jawaban yang secara filosofis bersifat eksistensial. Lagi-lagi, ini menunjukkan intensitas tinggi responden dalam menggarap penelitiannya. Intensitas bergelut dengan objek penelitian juga menimbulkan minat lain, seperti terungkap dalam pernyataan berikut: “Saya jadi tertarik dengan tempat (objek) penelitian sehingga ingin melamar (kerja di sana—pen.)”. Seorang responden mengaku sangat menikmati prosesnya, karena “... jadi berasa kuliah di luar negeri....” Hal lain yang tidak kalah unik, meneliti skripsi dengan penelitian kualitatif memungkinkan responden “... menggali kreativitas mengarang indah.” Kita bisa memaknainya sebagai pengalaman positif, atau, di sisi lain, sebuah sindiran! Apapun itu, tentu ini adalah masukan yang berharga bagi kita semua.
Terakhir, penelitian ini ingin mengetahui apakah metode kualitatif memang layak untuk terus diajarkan, dan perlu diberi tambahan porsi waktu. Hasilnya tidak perlu saya tabelkan, karena 100 persen menjawab perlu.

III. Refleksi: Temuan Dari Ruang Sidang
Data penelitian menunjukkan temuan-temuan menarik yang perlu ditindaklanjuti. Inilah beberapa kelemahan penelitian/skripsi kualitatif:
a) Permasalahan: tidak jelas!
· research problem menjadi masalah karena nature problemnya ternyata memang bukan untuk diteliti dengan pendekatan kualitatif. Contoh. “Peran Penyiar Dalam Menarik Minat Pendengar Radio Otomotif” (Windia Sari, 2007). Penelitian yang berfokus pada ‘peran’, lazimnya mengeksplorasi tanggapan dari orang lain. Bukan dari objek yang diteliti. Judul penelitian seperti memunculkan pertanyaan, tepatkah jika penelitian ini dilacak dengan metode kualitatif?
· Identifikasi masalah diturunkan dengan semena-mena, tanpa memandang nature penelitian itu. Pertanyaan analisis wacana kritis, misalnya, tidak ditujukan untuk membongkar ideologi di balik teks, tapi semata-mata untuk “mengetahui ikon, indeks, simbol”. Lantas, kalau semua itu sudah terjawab, so what? Yang harusnya menjadi rumusan permasalahan adalah alasan mengapa menggunakan analisis kritis: ingin mengetahui bagaimana operasi media memengaruhi ruang publik-kah, ingin membuktikan bagaimana ruang media mengubah pendefinisian konsep-konsep agama, ingin memahami bagaimana mitos abc mengejawantah dalam budaya X, dll. Ikon, indeks, simbol, analisis tematik, analisis skematik, dan lain-lain, sesungguhnya merupakan pertanyaan teknis penelitian yang tidak muncul dalam research problems, baik pada level permasalahan umum mau pun identifikasi permasalahan.
b) Logika Penelitian : kedodoran!
· Logika penelitian tecermin dari kerangka pemikiran (atau theoretical framework) yang disusun penelitian. Kelemahan penelitian kualitatif di Unisba adalah kerangka pemikiran yang tidak kuat, tidak memperlihatkan bagaimana masalah akan diteliti (dan apa rationale­-nya). Intinya satu, kurang eksplorasi. Kalaupun kerangka pemikiran itu ada, lazimnya tidak memperlihatkan logika penelitian, namun sekadar menyampaikan kumpulan definisi atau istilah konsep yang dipakai dalam riset ybs. Tentu saja yang seperti itu bukan kerangka penelitian.
c) Metodologi: lemah!
· Kelemahan penguasaan metodologi terlihat dari skripsi yang penyusunnya tidak memahami esensi dan fungsi metodologi, kurang kaya referensi, kurang ‘berani’ berimprovisasi (dan berimajinasi). Masih terdapat kerancuan memahami kualitatif pada tataran teknis-metodologis dan kualitatif pada tataran paradigmatik. Jawaban lazim mengapa memilih metode penelitian tertentu adalah karena “... berdasarkan skripsi terdahulu.” Skripsi terdahulu, walau pun pembuatnya lolos dari sidang skripsi, belum tentu layak untuk dikutip. Sekali lagi, sistem nilai kolektif yang diberlakukan di Fikom Unisba membuat banyak skripsi asal-asalan bisa lolos, padahal skripsi semacam ini sangat berbahaya untuk dikutip, atau dipublish!
· Erat kaitannya dengan metodologi, penulis sering sekali menemukan skripsi-skripsi yang tidak berani mengambil metode spesifik dalam kajian kualitatif. Misalnya, seorang mahasiswa yang meneliti “Kegiatan Pameran Fotografi Anu” menyebut studinya merupakan Penelitian Deskriptif dengan Data Kualitatif. Mengapa tidak sekalian saja ‘studi kasus’? Atau, apa bedanya penelitian deskriptif dengan data kualitatif dengan penelitian kualitatif? Kalau ketakutannya adalah karena penelitian ini menggunakan teori-teori linier satu arah yang acap diklaim bersifat klasik positivis, itu menunjukkan belum adanya pemahaman ybs mengenai istilah kualitatif itu sendiri. Pendekatan kualitatif sebenarnya sah-sah saja digunakan untuk penelitian yang mengoperasionalkan teori-teori linier. Pada sub bab metodologi, peneliti dapat mempertanggungjawabkan apa paradigma yang digunakan dalam penelitian ini: positivis, kritis, atau konstruktivis (isu paradigmatis!). Sayang sekali, penggarapan skripsi pada aspek metodologis jarang sekali memperkuat diri pada sub bab ini. Selalu, penelitian puas hanya sampai pada level teknis, mengutip bahwa metode deskriptif adalah bla-bla-bla, setelah itu langsung pada teknik pengumpulan data. Lucunya, dalam sidang, pernah ditemukan pula metode penelitian disempitkan menjadi sekadar teknik pengumpulan data: ini skripsi kualitatif karena teknik pengumpulan datanya adalah wawancara....
· Di sisi lain, kadang ditemukan penelitian yang menggunakan metode yang keliru karena overgeneralization. Misalnya, mentang-mentang semua realitas dimaknai sebagai fenomena, maka mahasiswa menggunakan metode penelitian fenomenologi. Ya, segala sesuatu adalah fenomena, tapi fenomenologi adalah penelitian yang dimaksudkan untuk mengupas serta menjelaskan terbentuknya kesadaran berdasarkan pengalaman empirik. Kalau yang akan dijelaskan adalah proses digital imaging yang baru dalam industri fotografi, ngapain repot-repot memakai fenomenologi? Apakah akan meneliti bagaimana menganalisis masuknya proses digital imaging dalam struktur dan arus kesadaran? Please, dehh... Penelitian ini bisa menggunakan studi kasus, tentu dengan catatan bahwa ada ‘kasus’ yang layak diteliti dengan pendekatan studi kasus (jangan, lagi-lagi, mentang-mentang semua itu kasus, maka diterapkan penelitian studi kasus!)
d) Operasionalisasi Variabel: rancu!
· Apakah penelitian kualitatif harus menggunakan istilah operasionalisasi variabel? Pada dasarnya, semua penelitian harus mengoperasionalkan variabel penelitiannya—yaitu membreakdown konsep-konsep penelitian menjadi variabel yang memungkinkan untuk diteliti. Jika dalam kuantitatif istilahnya adalah ‘mengoperasionalkan variabel menjadi indikator dan alat ukur’—itu dikarenakan logika kuantitatif adalah logika mengukur, dengan hasil berupa angka atau ukuran tertentu, untuk disimpulkan lewat logika matematis. Bagaimana dengan penelitian kualitatif? Operasionalisasi variabel, mau istilahnya fokus penelitian, atau apalah, logikanya bukan logika pengukuran. Karena itu, aneh sekali jika dalam penelitian kualitatif acap ditemukan istilah ‘alat ukur’ setelah indikator. Apanya yang mau diukur? Penelitian kualitatif menggunakan indikator tertentu untuk menilai, mendeskripsikan, atau mengamati konsep/objek yang diteliti. Tapi, sekali lagi, tidak mengukur!
e) Pengumpulan Data: salah objek!
· Teknis saja, tapi layak dipersoalkan. Dalam sub bab ini, kasusnya ada dua. Keliru menerapkan tatacara tertentu dalam proses pengumpulan data. Atau keliru menetapkan mana yang menjadi objek penelitian, subjek penelitian, dan unit analisis. Antara subjek, objek, dan unit analisis juga sering terjadi kerancuan. Sesungguhnya, penelitian yang keliru dalam salah satu atau salah dua hal di atas tidak boleh diluluskan, karena data yang diperoleh tidak bisa dipertanggungjawabkan. Validitas dan reliabilitasnya bagaimana?
f) Analisis: tidak berbobot!
· Bab 4 sebenarnya berisi 2 aspek. Pertama, melaporkan temuan penelitian. Kedua, menganalisis atau menafsirkan temuan penelitian tersebut. Skripsi mahasiswa kita lemah karena acap berhenti hanya pada laporan temuan penelitian. Sesudah itu, skripsi dianggap selesai. Padahal, ini masih jauh dari selesai. Karena, bobot sebuah skripsi justru terletak pada analisisnya. Jika diskusinya, atau interpretasinya lemah, skripsi itu bisa dinilai miskin analisis. Jika diskusinya atau analisisnya mendalam, maka analisisnya top! Jika tanpa analisis, skripsi berhenti pada pemaparan temuan saja, so what? Apa yang mau dinilai? Menurut penulis, ini skripsi yang belum jadi dan tidak layak untuk disidangkan!
· Melaporkan temuan penelitian tidak sembarangan. Peneliti harus menyortir datanya, lantas menyusun datanya sedemikian rupa, sehingga masuk akal. Untuk itulah diterapkan berbagai teknik dan strategi: classifying, clustering, cathegorizing, dll. Perkara menyusun data sebagai temuan penelitian tampaknya dianggap sepele, sehingga susunan data tidak sistematis dan sulit dibaca ke mana arahnya. Bahkan, acap tidak nyambung pula dengan kesimpulannya! Kalau mahasiswa mengeluhkan sulitnya menganalisis atau mengambil kesimpulan penelitian kualitatif, mesti dilihat dulu benar tidak cara mendisplay datanya.
· Analisis lemah dan terlihat mahasiswa kurang berani mengelaborasi pemikirannya dengan teori dan data-data yang diperoleh. Mahasiswa juga sedikit sekali memanfaatkan kekayaan data yang diperoleh dari teknik pengumpulan data yang seharusnya menunjang penelitiannya. Buat apa mewawancarai kalau hasilnya tidak digunakan untuk mendiskusikan temuannya? Pada taraf ini, layak dipersoalkan apakah mahasiswa memang melakukan observasi? Kalau ya, mengapa hasil observasi tidak dimanfaatkan dalam analisis? Kemungkinannya ada 2: mahasiswa bohong, tidak mengobservasi; atau mengobservasi, tapi yang diobservasi tidak jelas dan tidak nyambung dengan apa yang diteliti!
g) Format: Tidak baku!
· Format penelitian skripsi menunjukkan logika penelitian. Sekian tahun Fikom Unisba berdiri, fakultas tidak pernah berhasil menyusun satu panduan penelitian dan penyusunan skripsi. Karena itu, mahasiswa dibolehkan menggunakan format penelitian manapun, asal jelas rujukan atau referensinya. Sayangnya, mahasiswa dan dosen pembimbing acap abai, cukup merujuk pada skripsi sebelumnya, yang belum tentu layak untuk dikutip atau dipublish karena persoalan nilai kolektif tadi. Akibatnya format penelitian amburadul, asal kutip, mahasiswa sendiri ketika sidang gelagapan tak bisa mempertanggungjawabkan tulisannya secara ilmiah.
· Format pengutipan perlu mendapat perhatian khusus karena berkait dengan isu etika akademis dan plagiarisme. Batas antara kutipan dan bukan kutipan tidak ada atau tidak jelas, sering sekali bahkan mahasiswa mengklaim kutipan orang lain sebagai kalimat yang dirangkainya sendiri. Sebuah sub bab sering berisi rangkaian kutipan semata, tanpa ada narasi orisinil dari penggarap skripsi. Ini salah dan seharusnya dipersoalkan, jangan didiamkan atau dibudayakan! Dalam sistem penulisan skripsi apapun, mau Harvard system atau American Psychology Association (APA), pengutipan harus ditegaskan. Mengklaim kutipan sebagai tulisan sendiri—lebih dari 30 kata—sudah merupakan pelanggaran etika akademik dan penyusunnya dianggap melakukan dosa plagiarisme! Di Fikom Unisba, copy paste 17 kali saja masih bisa lolos. Kalau masalahnya adalah analisis yang miskin, mahasiswa layak diberi kesempatan memperbaiki atau memperkaya analisisnya. Tapi kalau masalahnya adalah plagiarisme, maka sesedikit apa pun, mahasiswa ini tidak layak diluluskan karena melakukan pelanggaran etika akademik. Plagiarisme bukan sekadar masalah menyontek, ini adalah masalah mencuri pikiran orang lain! Integritas intelektual kita dipertaruhkan di sini ...
h) Istilah/Diksi/Masalah Bahasa
· Manfaat meneliti dengan penelitian kualitatif adalah “ ... dapat menuangkan pikiran ke dalam tulisan”, dan “ ... menggali kreativitas mengarang indah”. Ini manfaat sampingan yang patut dirayakan, tapi intinya, meneliti kualitatif menghasilkan penjelasan bersifat kualitatif. Karena itu, mengherankan mendapati penelitian kualitatif begitu miskin penjelasan, ditulis dengan bahasa yang strukturnya payah, kosa katanya sempit, salah ejaan di sana-sini, sudah begitu, formatnya tidak rapi. Kalau menghadapi skripsi seperti ini, penulis langsung merasa ill feeling. Buntut-buntutnya jadi bertanya, “Kalau punya kesulitan menulis, ngapain juga meneliti dengan metode kualitatif?” Ini, lagi-lagi, cermin mahasiswa yang tidak siap meneliti, dan sekadar meneliti karena menghindari angka serta rumus-rumus statistik. Tapi, persoalan mampu mendeskripsikan dengan baik tidak boleh disempitkan dalam penelitian kualitatif saja. Penelitian apa pun, mau kualitatif atau kuantitatif, harus disusun dengan bahasa yang baik, benar, dan masuk akal!
i) Validitas dan Relialibitas
· Inilah isu yang paling jarang disentuh—baik dalam kuantitatif mau pun (apalagi) kualitatif. Ada salah kaprah yang beredar (atau ketidaktahuan?) bahwa kualitatif tidak memerlukan pertanggungjawaban validitas dan reliabilitas penelitian. Salah besar. Penelitian apapun harus punya kriteria validitas dan reliabilitas. Dalam kualitatif, validitas dan kriterianya berbeda-beda tergantung pada metode yang dioperasionalkan. Dalam setiap buku metode kualitatif, isu ini selalu dimunculkan. Mengapa dalam skripsi kita, baik dalam penyusunan maupun pengujian, isu ini sering diabaikan?
j) Lain-lain
· Setiap dosen mau pun pembimbing skripsi pasti mengalami suka-duka ketika membimbing mahasiswa dengan penelitian kualitatif. Sub bab ini dipersembahkan bagi para dosen yang sudah pasti punya pengalaman berbeda dengan penulis. Lewat sharing dan diskusi seputar pengalaman tersebut, niscaya niat baik kita untuk memperbaiki kualitas pengajaran MPK mau pun penyusunan dan pertanggungjawaban skripsi dapat tercapai.

IV. Abstraksi: Dimensi-Dimensi Permasalahan

Penelitian ini memperlihatkan, permasalahan dengan skripsi kualitatif kita sangat-sangat kompleks. Secara umum, permasalahan pada akhirnya terbagi menjadi dua dimensi:
a) Dimensi formal akademik
Dalam lingkup formal akademik, penulisan skripsi belum didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Ketiadaan format penelitian yang baku, misalnya, menyebabkan kerancuan dalam penyusunan skripsi. Mahasiswa tidak bisa sepenuhnya disalahkan dalam hal ini. Kita juga belum punya semacam blueprint silabus pengajaran MPK maupun proses bimbingan yang menggariskan aturan main dan kriteria pengujian atau kelayakan skripsi. Akibatnya, semua berjalan sendiri-sendiri. Aturan yang tegas secara formal perlu diadakan, dan diberlakukan. Ini kalau kita memang serius mau menjadikan Fikom Unisba sebagai fakultas yang bermutu. Neumann (2000:17) mengingatkan bahayanya misuse or abuse of social research—use sloppy research techniques, misinterpret findings, rig studies to find previously decided results, and so on. Selai itu, ketiadaan aturan main secara formal dalam pengajaran metodologi bisa membuka peluang ‘kekejian’ terhadap sendi-sendi akademik dan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip ilmiah.
b) Dimensi attitude dan personality
Ini masalah mental, yang bersumber dari semua pihak yang terlibat dalam penggarapan skripsi. Mulai dari dosen yang mengajarkan MPK, dosen pembimbing, sampai penguji. Dari segi pengajaran, MPK mesti dipahami sebagai mata kuliah yang harusnya memberi pengalaman meneliti, jadi tidak bermain dalam tataran konsep belaka. Pengajaran MPK yang berkutat hanya pada teori-teori dan tidak memberi tantangan meneliti pada mahasiswa, diragukan bisa memberi bekal memadai bagi mahasiswa untuk melakukan riset lapangan secara mandiri. Dari segi bimbingan, peran dosen pembimbing jelas sangat krusial. Dosen pembimbing adalah mentor diskusi yang semestinya bisa memantau sejauhmana perkembangan anak bimbingannya, mengevaluasi analisisnya, mengingatkan mahasiswa bimbingan agar konsisten dengan penelitiannya, tanpa harus mencekoki, menyuapi, atau menjadi rezim tersendiri bagi sang mahasiswa dengan memaksa mereka untuk bergerak dalam koridor permasalahan yang disukai dosen itu sendiri. Dosen pembimbing yang tidak bisa mengatur waktu hingga sulit ditemui mahasiswa bimbingannya, perlu memanage waktunya lebih baik lagi. Dari segi pengujian, para penguji perlu membekali diri dengan pemahaman mengenai kriteria pengujian skripsi yang oke. Setiap metode dan pendekatan punya kriteria pengujian tersendiri. Berbagi tugas menguji adalah masalah teknis dalam ruang sidang. Tapi pemahaman akan kriteria pengujian is a must for everybody! Dari segi penggarap skripsi, mahasiswa sering tidak punya bekal mental dan wawasan yang cukup ketika akan melakukan studi kualitatif. Sekadar menghindari angka-angka, atau karena kemungkinan lulusnya lebih banyak berhubung dalam ruang sidang tidak ada kriteria pengujian yang jelas. Ketidakdisiplinan mahasiswa dalam belajar mau pun menjalankan instruksi dosen pembimbing, dalam penelitian O’Connor dan O’Brien (2004), ternyata menjadi salah satu penyebab kegagalan mahasiswa mengerjakan skripsi kualitatif (tepatnya, di peringkat ketiga, setelah faktor kekurangan biaya). Termasuk dalam faktor ketidakdisiplinan adalah kemalasan dan ketergantungan mahasiswa yang sering mengesalkan kita.

V. Solusi

Pengajaran riset kualitatif sudah lama menjadi concern para ilmuwan. Sebab, riset yang bermutu menjadi pondasi pengembangan sebuah disiplin ilmu. Mengajarkan dan mempraktikkan penelitian kualitatif, bagi mahasiswa, pada dasarnya adalah “a continuous cycle of workshops rather than discreet sessions, in order for them to consolidate their learning and to develop at their own pace” (Featherstone, Barbour, dan Garner, 2007). Mengingat kompleksitas permasalahan yang terkait dengan mutu skripsi dan proses penggarapannya, penulis dalam kesempatan ini hanya mampu mengajukan beberapa solusi yang baiknya dieksplorasi bersama dalam diskusi ini. Tawaran solusi ini dimunculkan berdasarkan hasil angket dan permasalahan yang timbul dalam proses bimbingan mau pun pengujian skripsi kualitatif.
a. Model pengajaran MPK Kualitatif yang oke.
Perlu ada silabi dan disain pengajaran MPK Kualitatif yang mencakup banyak hal: mulai dari teori hingga praktik. Sekali lagi, mata kuliah MPK bertujuan tidak hanya memberi wejangan teori, tapi juga memberi pengalaman praktik pada mahasiswa. “Practical exercises reflecting the qualitative research process were considered very conducive to learning,” demikian dituturkan oleh Featherstone, Barbour, dan Garner dalam tulisan mereka yang menarik, A Reflection on Ten Years Experience of Providing Qualitative Research Training in Primary Care (2007). Poulin (2007), berdasarkan pengalamannya mengajarkan riset kualitatif pada mahasiswa psikologi menegaskan, “… graduate students need routine access to adequate and appropriate coursework…” Karena itu, dibutuhkan “… a design and rationale for an introductory course in qualitative research, describes typical challenges faced by students, and offers strategies for fostering student learning and success” (ibid.) Ada tiga hal penting yang bisa diekstraksi dari kutipan di atas. Pertama, mahasiswa perlu memiliki akses langsung pada coursework yang memadai dan tepat. Artinya, pengajaran MPK harus menyediakan tugas-tugas bagi mahasiswa. Kedua, disain dan rationale penting diperkenalkan pada mahasiswa, dan itu tercakup dalam pengantar perkuliahan atau introductory course. Ketiga, introductory course menjadi sangat-sangat penting, bukan hanya karena memaparkan disain dan rationale pengajaran MPK, tetapi juga karena menjelaskan tantangan-tantangan tipikal yang bakal dihadapi oleh mahasiswa, serta strategi-strategi untuk membantu mahasiswa agar menguasai aspek metode kualitatif yang dipelajarinya. Intinya, pengajaran MPK memang harus memungkinkan apa yang diungkapkan oleh Kwan (2007) “... allow the iterative, creative, and reflective practices required for effective qualitative research to develop.”
Tentu saja, dengan beban seberat ini, muatan MPK di Fikom Unisba tidak bisa diliput hanya dalam mata kuliah selama satu semester sepanjang 3 sks. Penulis mengusulkan adanya praktik 1 sks tanpa perlu menambah beban sks yang sudah ada. Dengan memperlakukan mata kuliah MPK sebagai mata kuliah teori sekaligus praktik 1 sks, dosen punya kesempatan untuk mengeksplorasi pengajaran MPK dengan memberikan pengalaman praktik. Adanya praktik tentu berkonsekuensi pada pengadaan biaya praktik, dan ini wajar-wajar saja untuk sebuah mata kuliah yang tuntutannya demikian berat. Membimbing praktik itu sulit dan makan waktu, itu jelas. Apalagi praktik penelitian! Penulis sangat bisa memahami jika dosen-dosen MPK enggan memberikan pengalaman praktik. Maklum, capeknya luarbiasa, insentifnya tidak ada, atau diperlakukan sama saja dengan mata kuliah teoritik yang tuntutannya tidak seberat ini. Lantas, di mana aspek keadilannya? Dosen-dosen MPK juga perlu dipertemukan dalam sebuah forum khusus untuk menyusun silabi bersama. Gaya mengajar boleh beda-beda, tapi beban dan muatan yang diberikan pada mahasiswa mesti disamakan levelnya. Sehingga, tidak terjadi perbedaan output, yang biasanya baru terasa setelah mahasiswa mulai menggarap skripsi. Hendaknya, disain pengajaran ini tidak cuma untuk MPK Kualitatif saja, tapi juga untuk MPK Kuantitatif dan mata kuliah lain yang terkait dengan penelitian, seperti Metode Penelitian Jurnalistik.
b. Model Bimbingan
Perlu ditetapkan aturan bimbingan secara formal, kontrak bimbingan, dan tata cara bimbingan, sehingga proses bimbingan, meminjam istilah Neumann (2000), not abusing each other—tidak menganiaya mahasiswa bimbingan, mau pun dosen pembimbing, hehe.
Satu hal lagi, dalam penentuan siapa membimbing siapa, yang selama ini ditentukan oleh bidang kajian, tampaknya kini perlu mempertimbangkan pula masalah chemistry, di samping menimbang load atau beban tiap dosen pembimbing. Chemistry is important. Sebuah topik tidak akan tereksplorasi dengan baik jika tidak ada chemistry di antara dosen pembimbing, mahasiswa penggarap skripsi, dan masalah penelitiannya sendiri. Cara UI semasa penulis kuliah mungkin boleh ditiru: mahasiswa selain mengajukan proposal UP juga menuliskan dua nama calon pembimbing yang diinginkannya. Lalu diselenggarakan bursa UP di antara dosen-dosen. Sisa yang tidak terpilih, baru dikelola kembali oleh ketua bidang kajian.
c. Format/Panduan Penyusunan Skripsi
Tak perlu dijelaskan lagi, ini penting dan harus ada sesegera mungkin. Libatkan dosen-dosen MPK untuk penyusunan format/panduan skripsi. Fikom Unisba pernah punya tim penyusunan format/panduan skripsi, namun, mengherankan, tim ini tidak melibatkan dosen-dosen pengajar MPK.
d. Pelatihan dan Perbanyakan Riset.
Jangan cuma terpaku pada kesempatan yang diberikan LPPM (yang terbatas), mau pun lembaga lain. Berani tidak fakultas bikin pusat riset sendiri? Harus berani! Sisihkan dana khusus untuk riset yang dikelola PD 1, misalnya. Atau, dalam forum SII ini, tidak perlu semua dana dihabiskan untuk presentasi masalah secara bebas. Bagaimana, misalnya, jika ada dana yang disisihkan untuk membiayai riset. Ini bisa jadi salah satu ajang berlatih bagi para dosen, sekaligus menambah record portofolio ketika akan dilakukan quality assesment dalam bentuk apapun, seperti akreditasi.

Mengajar itu pekerjaan yang penuh tantangan. Mengajarkan penelitian kualitatif, lebih-lebih lagi. Idealnya, untuk keduakalinya saya kutip di sini, pengajaran kualitatif semestinya memungkinkan “ … the iterative, creative, and reflective practices required for effective qualitative research to develop” (Kwan, 2007). Tidak ada kata lain, let’s do it from now!! ***

Daftar Pustaka
Featherstone, Valerie A., Rosaline S. Barbour, dan Julie Garner. A reflection on ten years experience of providing qualitative research training in primary care. Dalam Cambridge Journal vol. 8/3 Juli 2007. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Kwan, Woo Tai. The Collecting and Gathering Data in Qualitative Research: The Eye and ‘I’. htttp.:/www.socialwork-primaryteaching/edu.org/html.
Neumann, W. Lawrence. 2000. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (4th ed.). Toronto: Allyn and Bacon.
O’Connor, Deborah L. Dan Brian J. O’Neill. 2004. Toward Social Justice: Teaching Qualitative Research. Dalam Journal of Teaching in Social Work vol. 24/issue 3/4, 2004. Vancouver: University of British Columbia.
Poulin, Karen. Teaching Qualitative Research: Lessons from Practice. Dalam Jurnal The Counseling Psychologist Vol. 35, No. 3, 431-458 (2007). Washington, DC.: Washington State University.



[1] Paper ini disampaikan dalam forum Seminar Ilmiah Intern (SII) Dosen Fikom Unisba, 29 Agustus 2007. SII edisi kali ini bertema “Menimbang Kualitatif”. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh tulisan ini tanpa seizin penulis. Kontak, saran, dan diskusi lebih lanjut mengenai topik ini dapat dilakukan melalui telepon 081584053900, atau melalui e-mail dyaning2001@yahoo.com.
[2] By the way, siapa suruh repot-repot menghitung rumus statistik! Kan sudah ada SPSS…
[3] Terimakasih penulis haturkan pada pak Enoh dan bu Nursidah yang membantu menyebarkan kuesioner ini selama sidang skripsi periode Agustus 2007 yang berlangsung tanggal 20 s.d. 23 Agustus. Terimakasih juga pada Pak Asep yang membantu memfotokopi kuesioner ini atas biaya Fakultas—penulis.

Selasa, 14 Agustus 2007

Krisna dan Bunda



Media Literacy: Memerdekakan Khalayak dari Kapitalisme Media

Oleh
Santi Indra Astuti[1]

ABSTRAK
22 Juli 2007 lalu menjadi momen yang mestinya sangat penting bagi kalangan peminat, praktisi, dan akademisi studi komunikasi. Di Indonesia, tanggal itu dipilih oleh para aktivis media literacy sebagai Hari Tanpa TV. Pada tanggal tersebut, berlangsung aksi secara serempak di 6 kota: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Makasar. Jauh-jauh hari sebelum aksi berlangsung, para aktivis di keenam kota menghimbau khalayak agar mematikan televisi pada tanggal tersebut. “Lakukan apa saja, kecuali menonton tivi.” Gerakan semacam ini ternyata bukanlah memusuhi (industri) televisi. Melainkan wujud dari aksi media literacy yang ditujukan bagi penguatan khalayak, yang bisa dimaknai pula sebagai upaya memerdekakan khalayak dari dominasi industri kapitalis yang menguasai bisnis media massa. Artikel berikut membahas media literacy lebih jauh lagi, sebagai alternatif kontribusi studi komunikasi guna menghadapi permasalahan kontemporer dalam masyarakat komunikasi dewasa ini.

Kata kunci: media imperialism, media effect, media literacy.

Media Literacy, Pada Mulanya
Di tengah peradaban yang sudah bertransformasi menjadi The Age of Media Society, tak seorang pun meragukan kedigjayaan media massa. Media massa bukan saja menjadi ikon zaman, tapi juga penanda dari setiap perikehidupan yang berlangsung dalam abad ini. Tak sedetik pun momen terlewatkan dari media massa. Tak secelah pun informasi terabaikan. Lebih-lebih lagi, bila kita bicara ihwal televisi.
Di antara media massa lainnya, televisi memang primadonanya. Televisi dianggap sebagai sarana yang relatif murah dan mudah diakses untuk mendapatkan hiburan dan informasi. Sebagai ilustrasi, di Amerika Serikat, terdapat 105.5 juta televisi—99.9% adalah televisi berwarna. Di setiap rumahtangga Amerika Serikat, televisi dinyalakan rata-rata selama 7.5 jam. Rata-rata laki-laki menonton televisi 4 jam 11 menit sehari, sedangkan perempuan menghabiskan waktu sedikit lebih banyak yaitu 4 jam 46 menit. Remaja rata-rata menonton televisi selama 3 jam 4 menit sehari, sementara anak-anak menonton rata-rata 3 jam 7 menit sehari. Sebuah keluarga terdiri dari tiga orang atau lebih menonton televisi setidaknya 60 jam per minggu (Baran, 2003:245).
Bagaimana dengan Indonesia? Jelas bahwa televisi merupakan benda yang bisa ditemukan nyaris di setiap rumahtangga. Rumah sempit berdesakan sekalipun masih menyisakan ruang untuk televisi. Dalam aspek penetrasi media, televisi mencapai angka rata-rata 90% atau lebih di setiap kelas. Anak-anak menonton televisi rata-rata 30-35 jam per minggu, atau 1560-1820 jam per tahun—melebihi jumlah jam belajar yang mencapai angka tak lebih dari 1100 jam per tahun (Guntarto, 2003). Ini seiring dengan data yang menunjukkan bahwa bagi anak-anak, media yang paling menghibur adalah televisi.[2] Ketika mencapai usia SMP, anak-anak setidaknya telah menghabiskan waktu untuk menonton televisi selama 15.000 jam dalam kehidupannya. Bandingkan dengan jumlah jam belajar yang hanya mencapai 11.000 jam saja.[3] Televisi rata-rata ditonton oleh 3-4 anggota keluarga dalam sebuah keluarga di Indonesia beranggotakan 5 orang. Dan ya, penonton perempuan jauh lebih banyak daripada penonton laki-laki. Ilustrasi ini memperlihatkan betapa dominannya posisi televisi baik dalam ruang-ruang keluarga maupun individu.
Namun, di balik kuatnya posisi tersebut, televisi—atau tepatnya, industri televisi—menghadirkan sederet permasalahan. Ini terutama disebabkan oleh content televisi yang acap mengabaikan fungsi pendidikan atau pencerdasan khalayak. Sebagian besar produk televisi adalah program yang bertema kekerasan, pornografi, dan hal-hal yang tidak rasional.[4] Yang jadi korban, lagi-lagi, adalah khalayak sendiri.
Kajian-kajian efek televisi memperlihatkan sejumlah dampak negatif akibat terlalu sering dan terlalu banyak mengonsumsi televisi. Bukan berita baru lagi, kalau siaran televisi mengakibatkan desensitisasi atau penumpulan kepekaan (Astuti, 2006:142). Yang tadinya takut melihat darah ayam disembelih, kini gara-gara keseringan nonton program kekerasan, jadi biasa-biasa saja melihat maling ayam dihakimi massa sampai berdarah-darah, terkencing-kencing. Menonton berita kriminalitas jadi kurang seru rasanya kalau tidak disertai rekonstruksi peristiwa.
Penumpulan kepekaan juga bisa mengakibatkan pergeseran norma. Simak saja layar kaca kita. Sinetron Heart, misalnya, dikeluhkan masyarakat karena memperlihatkan adegan pacaran di antara anak-anak SD, lengkap dengan cemburuan, intrik, dan strategi merebut perhatian sang kecengan! Ini bukan sekadar masalah eksploitasi anak dalam adegan yang mengisahkan realitas orang dewasa, juga bukan sekadar masalah terbukanya kotak perlindungan bagi kepolosan anak yang selalu dijaga agar inosen selamanya. Bukan. Kasus ini memperlihatkan, ketika khalayak mengonsumsi dan ‘membeli’ ideologi kematangan para belia, telah terjadi pergeseran pendefinisian kelas ABG. Kalau dulu, ABG adalah anak-anak tanggung usia SMP, sekitar 14-16 tahun. Kini, yang dikategorikan ABG adalah anak-anak usia SD! Bukankah ini merupakan contoh kasus pergeseran norma, moral, dan kelas masyarakat?
Jane Cantor (1999) mengidentifikasi efek lain: fear effect. Inilah efek yang timbul ketika khalayak terlalu sering diterpa acara kekerasan hingga menganggap perang terjadi di mana-mana, dan bahwa “it’s a mean world to live in!” (Bryant & Zillmann, 2002:145). Di layar kaca, dunia tempat kita tinggal menjadi dunia nan kejam. Penjahat mengintip di mana-mana, sehingga slogan “Waspadalah!” terasa sangat nyata, bukan hanya menjadi sebentuk peringatan, tapi juga menjadi teror tersendiri. Realitasnya sendiri mungkin tidak sebegitunya. Namun, kesulitan membedakan realitas simbolik yang direpresentasikan televisi dengan realitas real yang benar-benar terjadi, mengakibatkan munculnya efek sedemikian.
Pada konteks yang lebih luas, tepatnya pada level sosiokultural, televisi dikeluhkan membawa dampak globalisasi yang menggerus budaya lokal. Ini dipertegas oleh teori media imperialism yang dilontarkan Fred Fejes (1981).

... a great deal of the concern over media imperialism is motivated by the fear of cultural consequences of the transnational media—of threat that such media poses to the integrity and the development of viable national cultures in Third World societies ... little progress has been achieved in understanding specifically the cultural impact of transnational media on Third World societies.
(Tomlinson, dalam Parks & Kumar, 2003:114)

Lewat teori ini, Fejes menyatakan bahwa media imperialism merupakan permasalahan negara-negara Dunia Ketiga tatkala berhadapan dengan kekuatan media transnasional. Isu seputar imperialisme media pada umumnya berkisar pada tantangan yang dihadapkan media pada integritas dan pelestarian budaya lokal/nasional. Glokalisasi, seperti yang dilakukan MTV dengan “Salam Dangdut”, misalnya, bukanlah jawaban atas permasalahan ini. Karena glokalisasi di sisi lain memunculkan, misalnya, adopsi budaya global dalam konteks lokal seperti kontes puteri-puterian meniru kontes Miss Universe dalam tingkat dunia. Atau, matinya kreativitas ketika sinetron-sinetron Indonesia ramai-ramai mencontek drama seri Korea. Nyontek abiss... bukan sekadar mengadaptasi atau menyadur.
Apa televisi tidak punya efek positif? Supaya tulisan ini tidak dikatakan memihak atau berat sebelah, harus dinyatakan bahwa televisi punya dampak positif. Televisi yang menyiarkan pesan-pesan prososial, misalnya, dapat menggugah orang untuk bertindak positif. Lihatlah sukses spektakuler Metro TV dalam memobilisasi dana publik ketika bencana tsunami melanda Aceh (Desember 2004). Atau cerita sukses Joan Ganz Cooney yang berada di balik produksi Sesame Street. Serial yang disebut terakhir ini berawal dari keprihatinan Ms. Cooney, berhubung “... existing shows for 3 through 5 year old children ... did not have education as a primary goal.” Melalui riset untuk mencari metode instruksional terbaik guna mendidik anak-anak prasekolah lewat televisi, lahirlah serial Sesame Street pada tahun 1969. Sesame Street yang menjadi sukses nasional dan model bagi program televisi pendidikan sesudahnya, tidak cuma berhasil meraih pelbagai award. Banyak riset menyimpulkan, serial ini berhasil meningkatkan ketrampilan personal dan sosial anak-anak prasekolah yang menjadi penonton tetapnya (diudarakan sejam setiap minggu di CBS)[5]. Tak heran jika akhirnya Sesame Street menjadi program nasional yang diudarakan pula di televisi-televisi publik. Sayangnya, wajah televisi sendiri secara umum tidak berubah—buktinya, tetap lebih banyak acara televisi yang tidak mencerdaskan. Tak heran jika korban-korban televisi tetap saja berjatuhan.
Bertitik tolak dari keprihatinan seputar dampak negatif televisi, juga media massa lainnya, pada tahun 1980-an, sejumlah aktivis media (kebanyakan dulunya adalah periset dan praktisi media) melahirkan gagasan media literacy. Media literacy pada awalnya dikonsepkan sebagai semacam ketrampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian. Dalam masyarakat media[6], di mana kontak dengan media menjadi sesuatu yang esensial dan tak terhindarkan, media literacy adalah sebuah ketrampilan yang diperlukan oleh warganegara guna berinteraksi dengan layak dengan media, dan menggunakannya dengan rasa percaya diri. Ketrampilan-ketrampilan ini sesungguhnya memang dianggap penting bagi siapa saja. Namun, target utama media literacy adalah kaum muda yang berada dalam proses peneguhan mental dan fisik.

Media Literacy: Upaya Memerdekakan Khalayak
Dalam perkembangannya, konsep media literacy mengalami perkembangan seiring dengan kian banyaknya ‘aktivis’ yang memasuki ranah ini. Tabel berikut ini memperlihatkan ragam konsep media literacy yang berkembang sejauh ini.

Tabel 1. Definisi Media Literacy
Teorisi/perumus
Definisi
Penekanan/fokus
National Leadership Conference on Media literacy (1998, h.3)
The ability to access, analyze, evaluate, and communicate messages.
Skill individu.
Paul Messaris, media scholar (1998, h. 3)
Knowledge about how media functions in society.
Pemahaman individu pada aspek makro (sosiokultural).
Justin Lewis dan Sut Jhally, periset komunikasi massa (1998, h. 3)
Understanding cultural, economic, political, and technological constraints on the creation, production, and transmission of messages.
Pemahaman individu pada aspek mikro (lembaga, pesan) dan aspek makro (sosiokultural).
Alan Rubin, periset media (1998, h. 3)
Media literacy, then, is about understanding the sources and technologies of communication, the codes that are used, the messages that are produced, and the selection, interpretation, and impact of those messages.
Penekanan lebih pada aspek mikro, walaupun ada tinjauan juga pada aspek makro.
William Christ dan James W. Potter, communication scholar (1998, h. 7-8)
Most conceptualizations (of media literacy) include the following elements: media are constructed and construct reality; media have commercial implications; media have ideological and political implications; form and content are related in each medium, each of which has a unique aesthetic, codes, and conventions; and receivers negotiate meaning in media.
Penekanan lebih pada aspek makro, walaupun ada tinjauan juga pada aspek mikro (form dan content).
The Cultural Environment Movement, public interest group (1996, h. 1)
The right to acquire information and skills necessary to participate fully in public deliberation and communication. This requires facility in reading, writing, and storytelling; critical media awareness; computer literacy; and education about the role of communication in society.
Advokasi hak publik, skill individu, perluasan media literacy pada literasi aksara, fungsi sosial media.
The National Communication Association, professional scholarly organization composed of university academics (1996)
Being a critical and reflective consumer of communication requires an understanding of how words, images, graphics, and sounds work together in ways that are subtle and profound. Mass media such as radio, television, and film and electronic media such as telephone, the Internet, and computer conferencing influence the way meanings are created and shared in contemporary society. So great is this impact that in choosing how to send a message and evaluate its effect, communicators need to be aware of the distinctive characteristics of each medium.
Posisi khalayak sebagai konsumen.
(Diolah dari Baran, 2004:51)

Seperti terlihat dalam Tabel 1, definisi media literacy dalam praktiknya akhirnya dipakai dalam berbagai konteks dengan penekanan pada aspek yang berbeda-beda. Mulai dari skill individu, advokasi hak publik, perubahan nilai dalam lingkup sosiokultural, penguatan khalayak sebagai konsumen, dan lain-lain. Sebagaimana diungkapkan Baran (2003), semua definisi benar adanya. Siapa pun dipersilakan menggunakannya sesuai dengan keperluannya.

Menerjemahkan Media Literacy dalam Level Aksi
Tidak disangsikan lagi, media literacy adalah perkara sekaligus pekerjaan besar yang tidak sederhana. Upaya memerdekakan khalayak melalui media literacy, agar efektif, harus dirumuskan lewat pelbagai strategi dan sasaran. Dalam praktiknya, ada yang memaknai gerakan media literacy sebagai bagian dari perjuangan mengubah industri media massa agar tidak kelewat bersifat kapitalis. Ada pula yang memaknai gerakan media literacy sebagai pergulatan kekuasaan[7] atau upaya mengimbangi kuasa ideologis—entah itu kuasa di bawah pengaruh hegemoni state, kelompok kapitalis, atau kekuatan kultural tertentu. Maka, gerakan media literacy pun diterjemahkan dalam berbagai level.
Pada level regulasi, perjuangan dilakukan dengan melakukan upaya-upaya untuk melahirkan perundang-undangan yang menjamin hak-hak publik ketika berhadapan dengan media. Di Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan salah satu wujud perjuangan untuk mengembalikan frekuensi penyiaran pada ranah publik, yang mesti dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Pada level produksi, advokasi dilakukan dengan sasaran para pekerja media. Sedangkan pada level masyarakat, digarap upaya untuk membekali khalayak dengan kemampuan dan kesadaran media literacy. Lebih lengkapnya, perhatikan tabel berikut ini.

Tabel 2. Ragam Gerakan Media Literacy
Level
Tujuan
Sasaran
Aksi Konkret
Regulasi
Menghasilkan perundang-undangan dan regulasi yang menjadi sistem media massa yang sehat, menyediakan payung hukum bagi pelanggaran terhadap hak publik yang dilakukan oleh media massa.
Lembaga legislatif, pemerintah dan organ-organnya, lembaga hukum
Melakukan advokasi lewat pressure group untuk membentuk undang-undang, regulasi, dan komisi-komisi guna mengawasi kinerja dan sistem media massa;
mengupayakan masuknya materi media literacy dalam kurikulum nasional, dll.
Produksi
Teks/
Wacana
Memberi perspektif media literacy pada pekerja media, lembaga, dan owner;
mengubah kebijakan media agar lebih berpihak pada upaya pencerdasan khalayak melalui program-program yang berkualitas;
membantu mengonstruksi pasar dan sistem media massa yang sehat demi kepentingan bersama.
Pekerja media, owner atau pemilik media, penentu kebijakan dalam institusi media.
Perguruan tinggi atau lembaga pendidikan yang memiliki studi komunikasi massa.
Melakukan advokasi pada penentu kebijakan atau owner guna mengubah kebijakan seputar media sehingga lebih berpihak pada kepentingan publik; melakukan pelatihan pada pekerja media untuk menghasilkan program yang berkualitas;
mengupayakan masuknya materi media literacy dalam kurikulum nasional.
Audience
Memberi penguatan pada khalayak agar cerdas, bijak, berdaya, ketika berhadapan dengan media massa.
Masyarakat dalam berbagai kelas dan level, siswa sekolah dalam berbagai tingkat pendidikan, perempuan, dll.
Mengampanyekan gerakan media literacy;
melakukan pelatihan media literacy pada elemen-elemen masyarakat.

Penelusuran literatur memperlihatkan, setiap negara ternyata mengadopsi konsep media literacy secara berbeda. Di Inggris dan Australia, media literacy menjadi bagian kurikulum yang diarahkan dan ditetapkan oleh pemerintah. Di Amerika Serikat, konsep media literacy tidak begitu tersebar meluas karena tidak ada departemen sentral yang mengurusi masalah kurikulum. Otonomi setiap negara bagian begitu besar hingga masing-masing punya kebijakan sendiri-sendiri. Gerakan media literacy di Prancis melibatkan lembaga-lembaga penyiaran publik, sementara di Jerman fungsi ini dilakukan oleh lembaga-lembaga penyiaran regional. Paling tidak, sejak 1992, Jepang menjadi wakil negara Asia yang menaruh kepedulian besar terhadap media literacy. Kementerian Pos dan Informasi (MPT), bersama sejumlah akademisi Universitas Tokyo, merancang skema upaya-upaya untuk mengintegrasikan konsep media literacy, baik dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah secara formal, maupun dalam advokasi pada seluruh elemen masyarakat. Ini meliputi gerakan-gerakan advokasi media literacy pada level pemerintah, media massa, dan LSM. Upaya ini dilakukan secara nasional. Namun, dari keseluruhan negara yang menerapkan media literacy, Kanada agaknya merupakan negara terdepan dalam menjalankan aktivitas media literacy.
Kanada adalah sebuah negara yang penduduknya memiliki kekritisan dan kesadaran kewarganegaraan yang tinggi dalam menyikapi isu-isu dunia, mulai dari isu konservasi lingkungan, hak asasi manusia, hingga perlawanan aktif terhadap kapitalisme neoliberal. Kanada, karenanya, memiliki tradisi aktivitas advokasi dan partisipasi aktif yang menyejarah. Dalam hal media literacy, selain melibatkan media penyiaran publik seperti The Canadian Radio-Television Telecommunications Commission (CRTC), sejak musim gugur 1999, setiap propinsi di Kanada diwajibkan untuk menyelenggarakan program pendidikan media literacy (terutama dalam pelajaran sastra). Ini belum termasuk aktivitas tak tercatat yang dilakukan oleh kelompok-kelompok komunitas di pelbagai pelosok. Keseriusan Kanada dalam ihwal media literacy secara politis juga diwujudkan pemerintah lewat sertifikasi lisensi media literacy—pengajar yang dibolehkan mengajarkan media literacy di sekolah-sekolah hanya mereka yang telah lolos uji sertifikasi lewat uji akademik maupun uji publik. Ada standar-standar kecakapan tertentu yang harus dimiliki, dan ditinjau ulang secara periodik untuk menyesuaikan kualifikasi pemegang lisensi dengan perkembangan zaman, sekaligus guna memastikan bahwa misi media literacy tidak bergeser.
Di Indonesia, gerakan media literacy mulai dilakukan kurang lebih pada tahun 1990-an, seiring dengan munculnya kesadaran dan keprihatinan sejumlah kalangan terhadap pengaruh negatif media massa, dan tidak adanya perubahan signifikan dari kalangan media biarpun sudah dihantam kritik di sana-sini. Berikut adalah peta sederhana sejumlah LSM yang melakukan gerakan media literacy dalam beberapa level di Indonesia.
Tabel 3. LSM yang Melibatkan Diri dalam
Gerakan Media Literacy di Indonesia
Nama Lembaga
Bidang Garapan
Regulasi
Teks/Wacana
Audience
LSPP
(Jakarta)
Pressure group
Penerbitan buku kumpulan riset tentang media, melakukan pelatihan bagi wartawan untuk meningkatkan profesionalisme
-
Kidia/YPMA
(Jakarta)
Pressure group
Riset, Penerbitan buletin tentang program anak (mediawatch), menyusun rating tandingan untuk program anak di televisi
Melakukan kampanye media literacy, mengorganisir kampanye media literacy di 6 kota
KIPPAS (Medan)

Pressure group
Riset, penerbitan buku riset tentang media, pelatihan konsep dan praktik jurnalisme damai bagi wartawan di kawasan konflik

ELSIM (Makasar)
Pressure group
Kajian media
Melakukan kampanye media literacy
LSPS (Surabaya)
Pressure group
Kajian media
Melakukan kampanye media literacy
LKM
(Surabaya)

Riset komunikasi
Melakukan kampanye media literacy
The Habibie Center
(Jakarta)
Pressure group
Menerbitkan buletin mediawatch secara teratur, melakukan diskusi-diskusi

Bandung School of Communication Studies/Bascomms
(Bandung)

Riset
Kampanye media literacy lewat aksi damai, melakukan advokasi ke masyarakat melalui seminar dan talk show, melakukan advokasi dengan sasaran remaja lewat workshop
Bandung Spirit (Bandung)
Pressure group

Kampanye media literacy lewat seminar

Tabel di atas memperlihatkan, tak banyak organisasi nonpemerintah yang melibatkan diri pada aktivitas media literacy.[8] LSM yang tercatat di sini didirikan atas inisiatif cendekiawan komunikasi, mahasiswa, dosen, periset, wartawan/pekerja media, atau peminat dari luar studi komunikasi. Sebagai jenis gerakan aktivisme yang relatif ‘baru’, media literacy di Indonesia menghadapi sejumlah kendala, di antaranya adalah:
Pemahaman seputar pentingnya media literacy masih sangat rendah, bahkan di kalangan kampus atau fakultas ilmu komunikasi sendiri. Padahal, gerakan-gerakan aktivisme biasanya berawal dari kampus. Ironisnya, belum ada satu pun studi komunikasi di Indonesia yang memiliki mata kuliah khusus berkenaan dengan media literacy. Istilah media literacy sendiri belum populer dalam studi komunikasi di Indonesia, bahkan di antara para dosen ilmu komunikasi (apalagi mahasiswanya!). Kemungkinan besar, ini disebabkan kurikulum program studi komunikasi kita masih terlalu berorientasi ‘pasar’ dan industri media massa.
Aktivisme media literacy sendiri dianggap kurang ‘seksi’. Media literacy dipahami secara sepihak sebagai gerakan memusuhi industri televisi, atau media massa pada umumnya. Padahal, lewat gerakan media literacy sesungguhnya masyarakat dapat membantu kalangan media guna membangun industri media yang sehat. Gerakan media literacy sejatinya berorientasi pada penguatan khalayak, bukan pada ‘penggembosan’ industri media.
Masih ada anggapan bahwa masalah media adalah urusan institusi yang berhubungan dengan komunikasi atau media massa. Padahal, mengingat penetrasi media yang luarbiasa, sesungguhnya rendahnya literasi media merupakan masalah siapa saja.
Gagasan media literacy bisa dipandang sebagai upaya mencerdaskan khalayak agar tidak mudah terpengaruh oleh dampak negatif televisi maupun media massa lainnya. Namun, gerakan ini juga dapat dikatakan sebagai perjuangan memerdekakan khalayak media. Di satu sisi, media literacy membekali khalayak dengan kemampuan dan kesadaran kritis ketika berhadapan dengan media massa. Sementara, di sisi lain, gerakan media literacy bermaksud memberdayakan khalayak dengan menanamkan kesadaran bahwa siapa pun di depan media adalah setara; bahwa menonton televisi adalah pilihan; bahwa sebagai konsumen media, mereka berhak menuntut yang terbaik dari produsennya; bahwa sebagai pemilik frekuensi, mereka berhak untuk mengawasi agar ranah publik digunakan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan publik. Inilah makna dari fungsi media literacy dalam memerdekakan khalayak media.

Daftar Pustaka
Astuti, Santi Indra. Mendidik Masyarakat Cerdas di Era Informasi. Dalam Jurnal Etos, Volume I/Th. I/2005.
Astuti, Santi Indra dan Rochmawati. Semarang Dalam Bayang-Bayang Dampak Tayangan Televisi Bertema Kekerasan, Pornografi, dan Mistik/Supranatural. Dalam Hanim, Masayu S. 2006. Dampak Tayangan Pornografi, Kekerasan & Mistik Di Televisi: Studi kasus Palembang dan Semarang. Jakarta: Puslit LIPI.
Baran, Stanley J. 2003. Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture (3rd Edition). New York: McGraw-Hill.
Sparks, Glenn & Cheri Sparks. Effects of Media Violence. Dalam Bryant, Jennings & Dolf Zillmann, 2002. Media Effects: Advances in Theory and Research (2nd Edition). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Guntarto, B. An Assesment of Children’s Television Programmes in Indonesia. Dalam Goonasekera, Anura et.al., 2000. Growing Up With TV: Asian Children’s Experience. Singapore: Asian Media Information and Communication Centre.
Tomlinson, John. Media Imperialism. Dalam Parks, Lisa dan Shanti Kumar. 2003. Planet TV: A Global Television Reader. New York: New York University Press.

Koran
Guntarto, B. Mengapa Hari Tanpa TV itu Penting? Kompas, 21 Juli 2006.







[1] Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si. adalah dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA). Aktif menulis di berbagai media massa seperti Kompas dan Pikiran Rakyat, mengajar di sejumlah lembaga pendidikan komunikasi dan menjadi trainer untuk beberapa lembaga seperti Depsos dan Litbang Kompas. Sejak tiga tahun lalu tercatat sebagai research fellow PMB-LIPI untuk penelitian bidang komunikasi dan kemasyarakatan. Pada tahun 2007 mendirikan Bandung School of Communication Studies (BASCOMMS), sebuah lembaga kajian dan advokasi media yang bergerak dalam lingkup media literacy dan pemberdayaan masyarakat untuk fungsi-fungsi komunikasi sosial.
[2] 91.8 persen anak-anak menganggap televisi lebih menghibur dibandingkan radio dan majalah (Guntarto dalam Goonasekera, 2000:141).
[3] Diungkapkan oleh praktisi creative learning Luna Setiati, Juli 2007, diolah dari Nielsen Media Index.
[4] Penelitian YPMA/Kidia memperlihatkan, dari sekian banyak program televisi untuk anak yang ditayangkan di layer kaca, hanya 15 persen yang aman dikonsumsi. Batasan ‘aman dikonsumsi’ adalah tidak mengandung unsur kekerasan, pornografi, dan hal-hal yang tak rasional (Guntarto, 2006).
[5] Satu-satunya kegagalan Sesame Street dikarenakan kesuksesannya juga: riset menyatakan bahwa semua anak mendapatkan manfaat sosial dan akademis setelah menyaksikan acara ini secara teratur. Namun, manfaat terbesar diperoleh anak-anak dari kelas menengah dan kelas atas. Padahal, target spesifik Sesame Street sesungguhnya anak-anak kelas menengah bawah yang tidak bersekolah formal karena benturan biaya, sehingga program ini diciptakan sebagai semacam sekolah non formal. Sesame Street yang bermaksud membantu menghilangkan kesenjangan pendidikan, ternyata malah memperbesar gap tersebut (Baran, 2003:248-249)

[6] Menarik sekali mengamati pelbagai istilah yang diberikan oleh para aktivis media literacy untuk dunia saat ini. Mereka tidak saja mengadopsi gagasan para futurology yang mengajukan konsep the age of Information dengan ‘masyarakat informasi’ sebagai ikonnya. Istilah lain untuk menggambarkan dunia masa kini adalah media society dan media-saturated environment—sebuah lingkungan yang jenuh dengan media. Baca Teaching Media Society: Yo! Are You Hip to This? yang ditulis oleh Rene Hobbs
[7] Media literacy as the struggle for power dirumuskan dalam The People’s Communication Charter (1996) yang dideklarasikan oleh the Founding Convention of the Cultural Environment Movement (CEM) di St. Louis (Baran, 2003:54).
[8] Tabel ini disusun dengan maksud lain: memancing organisasi yang punya misi serupa untuk turut mengisi entri dalam daftar ini.

Minggu, 05 Agustus 2007

PENDIDIKAN DI AMERIKA: Sekolah yang Memanusiakan Muridnya

PENDIDIKAN DI AMERIKA: SEKOLAH YANG MEMANUSIAKAN MURIDNYA
Oleh: Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si.[1]

Education is not filling a bucket but lighting a fire
(Pendidikan bukan sekadar mengisi ember, tapi perkara menyalakan api)

Inilah kata-kata mutiara yang saya dapatkan di cuilan kertas dalam fortune cookies (kue keberuntungan), bonus nasi goreng seafood yang saya beli di rumah makan China di Chicago, awal Mei lalu. Pas betul dengan perjalanan yang tengah saya lakukan: meninjau pendidikan menengah di Amerika. Sebuah perjalanan yang mencerahkan karena membuka mata saya ihwal pendidikan yang sesungguhnya!

Pendidikan: Sebuah Mosaik
Saya adalah bagian dari serombongan pendidik dan pemerhati masalah pendidikan, yang diundang oleh Heartland International yang bermarkas di Chicago dan Center for Civic Education (CCE) di Jakarta, lewat Community Leadership Program (CLP). Selama menjadi warga Chicago, kami berkunjung ke berbagai sekolah mulai dari SD hingga SMU. Sekolah-sekolah tersebut memiliki kekhasan tersendiri, sehingga memperlihatkan mosaik pendidikan yang unik!
Sekolah pertama yang kami kunjungi adalah Universal School di 93rd Street, Bridgeview, Chicago. Kami terkaget-kaget berjumpa dengan serombongan siswi berbusana muslim lengkap dengan jilbab. Ternyata, Universal School adalah sekolah setingkat SD hingga SMU yang berbasis Islam! Where Islam and Education Come Together—itulah persisnya motto sekolah ini. Duh, kalau tidak melihat sendiri, rasanya sulit dipercaya ada sekolah Islam di Chicago yang lebih ‘Islami’ dibandingkan Universitas Islam Bandung tempat saya mengajar, yang masih ‘menoleransi’ mahasiswinya berbusana ketat. Namun, begitulah kenyataannya. Kepala Sekolah Universal School, Ny. Farhat Siddiqui yang enerjik, menyatakan, semua dimungkinkan berkat sistem pendidikan yang fleksibel. “Perguruan kami punya misi mendidik siswa menjadi warga negara beragama Islam yang memiliki nasionalisme Amerika,” tuturnya. Maka, guna mendukung misi tersebut, dibuka kelas wajib Bahasa Arab dan Tarbiyah. Sementara untuk mempraktikkan pendidikan kewarganegaraan, siswa-siswi dikerahkan menjadi relawan di berbagai TPS pada saat pemilu. Mereka mendata calon pemilih, bahkan mengetuk pintu-pintu tetangga di lingkungan rumah maupun sekolah untuk mengingatkan penghuninya agar segera mendatangi TPS. Sungguh mengesankan!
Suasana sebuah kelas TK di Universal Schools, Chicago. Guru perempuan berjilbab, sementara siswi-siswinya sendiri baru diwajibkan berjilbab di kelas enam (Dok. Pribadi).

Adalah fleksibilitas sistem pendidikan pula yang memungkinkan Community High School di 326 Joliet Street, West Chicago, menekankan kurikulumnya pada mata pelajaran yang berhubungan dengan kewarganegaraan dan kepemimpinan—soft skill, maupun hard skill—guna mendukung tujuan akhirnya: Excellence. “Kami menyiapkan murid-murid agar menjadi pemimpin bangsa di masa depan. Tidak sekadar pandai, mereka harus bisa menjadi pemimpin yang peka akan kebutuhan komunitas, dan mampu melayani masyarakatnya,” tutur Mary Ellen Daneels, guru civic education. Sebagaimana kita ketahui, Amerika Serikat menghadapi masalah sehubungan dengan rendahnya partisipasi warganegara dalam pemilu. Karena itu, SMU ini menggodok kurikulum yang antara lain ditekankan pada civic alias kewarganegaraan.
Pelajaran civic dikelola di kelas, maupun di laboratorium. Laboratorium? Ya, terletak satu lantai dengan perpustakaan, sebuah ruangan yang nyaman diisi dengan meja-meja bundar tempat berdiskusi. Itulah laboratorium civic education. Di atas meja bundar diletakkan 5-6 komputer untuk setiap anak. Komputer-komputer tersebut menjadi penghubung siswa ketika mendiskusikan pelbagai isu lewat milis khusus, sesuai dengan topik yang dilontarkan oleh guru. Acap, milis digunakan untuk ‘memutuskan undang-undang’ yang dibuat sendiri oleh siswa. Dengan cara ini, mereka belajar bahwa setiap suara bisa membuat perbedaan, dan bahwa nasib ‘warganegara’ dalam ‘republik’ masing-masing ditentukan oleh partisipasi setiap anggota kelas!
Kami juga berkesempatan mengunjungi Little Village Lawndale High School di 3120 South Kostner, Chicago. Sekolah ini memiliki empat ‘konsentrasi’, yaitu Social Justice, Multicultural Arts, World Language, dan Infinity untuk peminat matematika, sains, dan teknologi. Uniknya, masing-masing konsentrasi dipimpin oleh seorang kepala sekolah. Jadi, ada empat kepala sekolah di SMU ini, yang dikoordinir oleh seorang manajer!
Namanya konsentrasi, tentu ada kekhususan dari setiap program. World Language yang kebetulan paling banyak siswanya, membekali murid dengan kemampuan berbahasa yang komplet, sehingga siswanya kelak bisa hidup sebagai warga dunia yang mengglobal. Siswa-siswa yang memilih konsentrasi World Language diwajibkan mempelajari setidaknya dua bahasa lain selain Inggris! Pilihan terbanyak jatuh pada bahasa Meksiko, lalu bahasa-bahasa Asia dan Eropa. Siswa-siswa Multicultural Arts punya kekhususan dalam seni—macam-macam seni. Sementara konsentrasi Infinity menekankan penguasaan iptek bagi siswanya. Uniknya, kerap terjadi kolaborasi antar-konsentrasi. Pada saat saya berkunjung ke sana, siswa Arts dan Sains sedang punya garapan bersama: Arts and Multimedia. Jadi, ditampilkan ‘seni’ yang dimungkinkan berkat kecanggihan teknologi, seperti digital imaging dan digital photography. Saya juga sempat menyaksikan sisa pameran kelas-kelas Multicultural Arts yang memajang karya siswa berupa iklan-iklan layanan masyarakat. Mengejutkan, iklan-iklan itu sebagian besar bertema pesan-pesan antikapitalisme dan antiglobalisasi. Saya curiga, kelas Social Justice turut berperan di sini karena isu semacam itu adalah ‘makanan’ mereka.
Kunjungan ke berbagai sekolah dengan beragam kurikulum itu tak pelak membuat kami bertanya-tanya: kok bisa ya tiap sekolah mengajarkan kurikulum yang berbeda-beda? Memangnya, di Amerika Serikat tidak ada kurikulum nasional? Susan Marks dari Public School System of Chicago yang mendampingi kami menjelaskan, istilah kurikulum nasional memang tidak dikenal di Amerika Serikat. Yang ada core curriculum—isinya mata pelajaran yang diujikan dalam national test atau semacam UAN di Amerika Serikat. Materi national test adalah Reading, Civic, English, dan Basic Math. Nah, inilah pelajaran ‘wajib’ yang harus diajarkan sekolah pada murid-muridnya. Selebihnya, terserah sekolah masing-masing mau ‘mengisi’ muridnya dengan apa.

Pendidikan Sebagai Hak Asasi
Di Indonesia, pelaksanaan UAN menjadi kontroversi karena dinilai ‘memasung’ dan ‘memancung’ siswa-siswa yang tidak lulus. Selain itu, UAN sebagai syarat kelulusan menjadi hantu yang mengerikan siapa saja: siswa, orangtua, dan guru. Saya masih penasaran ihwal national test di Amerika. Kalau anak tidak naik kelas, lantas bagaimana? Susan Marks agak bingung mencerna pertanyaan ini. Karena itu saya ubah pertanyaannya menjadi begini, bagaimana kalau siswa tidak mencapai standar nilai terendah untuk hal yang harus dikuasainya, terkait dengan subyek yang diujikan? Ternyata, sejak beberapa tahun silam, Amerika Serikat meloloskan Undang-Undang No Child Left Behind. Di bawah UU ini, tak boleh ada anak-anak yang ‘ditinggalkan.’ Kalau nilai sang anak tidak mencapai skor minimum, sekolah tidak boleh menjadikan hal tersebut sebagai alasan bagi sang anak sehingga tidak naik kelas, atau tidak lulus. Anak tetap boleh mengambil tingkat selanjutnya. Tapi, mau tidak mau, anak maupun gurunya harus meluangkan waktu tambahan untuk mengejar kekurangan skor tersebut.
Kebijakan ini sejalan dengan konsistensi Amerika Serikat menjadikan pendidikan sebagai hak asasi. Saya berkesempatan mengunjungi sebuah sekolah dasar di kawasan Suite, Chicago. Sekolah ini memiliki program kerjasama dengan Changing Worlds, sebuah LSM yang mengkhususkan diri pada ‘pembinaan’ siswa-siswi agar menerapkan nilai-nilai multikultural dan mutual understanding dengan pendekatan art. Kami berkunjung ke sebuah kelas yang dihuni oleh anak-anak kelas 2 hingga kelas 6 yang berasal dari berbagai bangsa: Rusia, Korea, Afghanistan, dan lain-lain. Wujud multikulturalisme dan upaya membina mutual understanding benar-benar kentara di sini. Di sebuah meja, entah sengaja atau tidak, anak yang berasal dari Suriah didudukkan dengan anak dari Israel! Dan ternyata, situasinya damai-damai saja di sana.

Di meja ini, anak-anak dari Rusia, Suriah, Israel, dan berbagai bangsa lain duduk bersama. Dan ternyata, damai-damai saja di sini... (Dok. Pribadi)

Iseng saja saya bertanya, siapa sih orangtua anak-anak ini? Jawabannya membuat saya terhenyak. Orangtua anak-anak ini terdiri dari bermacam-macam latarbelakang dan profesi, mulai dari konsultan, pegawai negeri, pengusaha, sampai imigran gelap, pelarian atau pengungsi perang, stateless! Lho, memangnya anak imigran gelap boleh sekolah di sini? Kay Robertson, salah satu guru, menjelaskan. “Begini, ini sekolah publik, kami tak boleh menolak murid. Bahwa bapaknya imigran gelap atau stateless, itu masalah politik. Mereka jadi tak punya hak pilih, tak boleh kerja di pemerintahan. Tapi pendidikan adalah masalah hak asasi—hak asasi anak-anak. Itu tidak ada kaitannya dengan status kewarganegaraan orangtuanya. Kami bisa dituntut ke pengadilan kalau sampai menolak anak-anak mereka bersekolah di sini. ”
Wah! Beginilah rupanya wujud pendidikan sebagai hak asasi manusia... (000)




[1] Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (UNISBA), Bidang Kajian Ilmu Jurnalistik.

Oxford, Kota Pendidikan yang Memuliakan Novelis Kebanggaannya

Oxford: Kota Pendidikan yang Memuliakan Novelis Kebanggaannya
Oleh : Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si.

Ada dua Oxford, setidaknya, yang tercantum dalam peta dunia. Pertama, Oxford di Inggris. Sebuah kota dengan perguruan tinggi kelas dunia yang terkenal angker saking tingginya standar pendidikannya. Oxford kedua terletak di negara bagian Mississippi, Amerika Serikat. Menariknya, sebagaimana diakui oleh Mayor Richard Howorth, sang walikota, nama Oxford memang dipilih oleh para pendiri kota ini lantaran disemangati oleh nama besar Oxford di Inggris. Inginnya, Oxford di Mississippi juga menjadi kota pendidikan sebagaimana ‘kembarannya’ di Tanah Britania.

Saya berkesempatan mengunjungi Oxford di Mississippi bersama rombongan peserta Community Leadership Program (CLP), sebuah program kerjasama penguatan leadership dan secondary education yang digagas oleh Heartland International yang bermarkas di Chicago, dan Center for Civic Education di Jakarta. Saat tiba di Oxford, cuaca sangat bersahabat. Maklum, saat itu pertengahan bulan Mei, saatnya spring alias musim semi tiba. Di sana-sini kami melihat petak-petak yang ditumbuhi bunga-bunga aneka warna: daffodil, daisy, mawar, bluebell... sungguh meriah. Oxford sendiri tergolong kota tua di Mississippi. Kotanya kecil saja, penduduknya sekitar 13.000 orang, sebagian besar adalah mahasiswa. Walaupun kini sudah berkembang, secara keseluruhan, Oxford yang dibangun pada tahun 1835 lewat kolaborasi tiga pemilik toko kelontong, tampak mungil dan cantik, dengan bangunan tua semasa Perang Sipil yang masih dipertahankan. Kantor walikota sendiri, yang terletak di muka alun-alun, merupakan bangunan konfederat berbata merah, bertembok tebal, dengan pintu-pintu dan jendela melengkung. Tapi, jangan tanya fasilitasnya. Tak kalah dengan apartemen modern.

City Hall alias Kantor Walikota di Oxford. Bangunan kuno yang masih dipertahankan (www.squarebooks.com)

Kota Pendidikan dan Ole Miss
Kota Oxford di Mississippi pada akhirnya memang berhasil mewujudkan impian para pendirinya, yang menginginkan kota ini tenar sebagai ikon pendidikan. Oxford menjadi tempat University of Mississippi, atau “Ole Miss”, salah satu universitas tertua di Amerika Serikat. Selain berdialog dengan Major Richard Howorth, kami berkesempatan untuk mengunjungi University of Mississippi, sebagai bagian dari pembelajaran mengenai sejarah perjuangan penghapusan politik segregasi di Amerika Serikat. Ya, Ole Miss di tahun 60-an ternyata banyak menyimpan cerita heroik tentang pergolakan anti diskriminasi rasial. Tapi, saya simpan dulu cerita ini berhubung ada hal menarik yang menyambut kami di Ole Miss.

Kami tiba di Ole Miss pada pukul 2 siang. Rerumputan nan hijau terawat, dan pepohonan yang teduh tampak begitu menyejukkan. Gedung-gedung berarsitektur kuno menjadi bangunan tempat perkuliahan di Ole Miss. Biarpun mahasiswanya banyak, ribuan, kampus tampak sepi, kemungkinan karena menjelang libur musim panas. Park, alias taman, terhampar di sana-sini. Di kampus ini jelas tak ada istilah kampus sumpek karena kekurangan ruang publik yang terbuka.

Dua orang menyambut kami di Lyceum—gedung administrasi kampus yang menjadi ikon Ole Miss dan diabadikan sebagai simbol kampus. Annette dan Ray menjadi pemandu tur mengelilingi kampus Ole Miss. Annette adalah mahasiswi semester 3 Fakultas Hukum, sementara Ray adalah pengurus kampus. Yang mengejutkan, kami disambut oleh Sang Dwiwarna yang berkibar di depan Gedung Program Internasional di depan Lyceum! Duh, tak terkira bangganya hati ini. Panitia penyambutan kami memang sengaja mengibarkan Merah Putih untuk menyambut kami. Dari mana Ole Miss punya bendera Indonesia, dalam ukuran formal pula? “Oh, kami punya mahasiswa Indonesia yang bersekolah di sini, program pascasarjana. Setiap mahasiswa yang bukan dari Amerika pasti kami mintai benderanya,” Ray menjelaskan. Saat ini, Ole Miss sudah punya koleksi sekitar 130 bendera asing! Banyakkah warga Indonesia yang bersekolah di sini? “Cukupan... kalau dihitung dengan istri dan anaknya jadi 3 orang,” jawab Ray. Kami tergelak. Bagi yang berminat untuk bersekolah ke sini, masih banyak peluang untuk orang Indonesia!

Annette dan Ray, pemandu kami. Pada latar belakang terlihat Lyceum yang megah, gedung yang menjadi saksi sejarah perjuangan warga Afro-Amerika menuntut persamaan hak dan menghapuskan diskriminasi rasial. (Dok. Pribadi).

Ole Miss atau University of Mississippi menjadi bagian penting sejarah pergolakan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Ketika politik segregasi mulai mendapat tentangan di mana-mana, Ole Miss menjadi salah satu lokasi ‘perjuangan.’ Maklum, ketika itu universitas tersebut menjadi lambang supremasi warga kulit putih, karena memegang kuat tradisi pendidikan yang hanya diperuntukkan bagi kaum kulit putih saja. Ketika pemerintah federal di bawah presiden Lyndon B. Johnson menghapuskan undang-undang segregasi, yang antara lain mendesegregasi pendidikan, otomatis Ole Miss harus membuka diri bagi warga Afro-Amerika yang akan menuntut ilmu di sana. Pada titik inilah terjadi pergolakan yang sangat dramatis.

Pergolakan diawali ketika James Meredith, seorang guru Afro-Amerika, mendaftarkan diri ke Ole Miss. Kehadiran Meredith disambut demonstrasi besar-besaran warga kulit putih. Ia diancam akan dibunuh. Bertentangan dengan instruksi Presiden yang menghapuskan politik segregasi, Gubernur Mississippi dan walikota Oxford malah turun tangan secara langsung untuk memerintahkan aparatnya agar menghalangi upaya Meredith dengan membentuk barikade. Akibatnya, selama dua hari Meredith ‘gagal’ menembus Ole Miss. Mendengar insiden ini, Presiden Johnson kemudian mengirimkan National Guard untuk membuka barikade itu. Maka pada hari ketiga, hari terakhir pendaftaran mahasiswa di Ole Miss, terjadilah adegan yang sangat dramatis. Meredith memasuki lorong pendaftaran—di Lyceum!—kanan kirinya dikawal oleh National Guard dengan senapan siap dikokang. Di sekelilingnya, massa yang marah mengamuk nyaris tak terkendali. Bentrok pun tak terhindarkan ketika sniper berdesingan menghantam Lyceum. Syukurlah, singkat cerita, Meredith berhasil mendaftarkan diri. Sejak saat itu, Ole Miss harus membuka pintu lebar-lebar bagi warga kulit hitam. Dan berakhirlah dominasi warga kulit putih dan diskriminasi rasial dalam pendidikan tinggi di University of Mississippi.

Guna mengenang kenekadan James Meredith, di halaman belakang Lyceum, tahun lalu diresmikan patung James Meredith yang melangkah mantap memasuki Ole Miss, menghadap gapura bertuliskan “Courage (keberanian).” Ya, tanpa keberanian dan ketegaran Meredith, mungkin warga kulit berwarna harus menanti lebih lama lagi untuk bisa menjangkau pendidikan tinggi. Tak heran jika James Meredith dan Ole Miss menjadi simbol desegregasi pendidikan tinggi.

Di sinilah James Meredith melangkahkan kaki untuk memasuki University of Mississippi, guna mendobrak politik segregasi dalam pendidikan. Gerbang ini didirikan untuk mengenang tekad dan keberaniannya yang menginspirasi perjuangan warga Afro-Amerika menuntut persamaan hak dengan warga kulit putih. Lihat tulisan di atas gapura: COURAGE. (Dokumentasi: pribadi).

Selain menyimpan cerita heroik seperti tadi, ikon sebagai kota pendidikan agaknya memang dipelihara betul oleh Oxford. Di alun-alun, atau Square yang merupakan pusat kota, ada empat toko buku di setiap sudut. Lainnya adalah restoran, toko baju, toko kartu, toko kelontong. Trotoar maupun toko tidak berjubel dengan barang-barang dagangan, sehingga orang nyaman berjalan-jalan di sepanjang Main Street. Yang mengejutkan, saya tidak menemukan toko cenderamata, atau toko yang menjual cenderamata—tak seperti kota-kota lain yang saya kunjungi di Amerika Serikat. Ketika saya tanya pada pemilik toko buku yang ramah, di mana saya bisa mendapatkan cenderamata khas Oxford, ia agak ragu menjawab, “I’m afraid you can’t find any. Di sini banyak toko buku. Tapi sayang sekali, tampaknya toko yang Anda cari tidak ada,” katanya. Waduh! Saya jadi malu sendiri. Pesan gamblangnya adalah: Oxford ini kota pendidikan, bukan kota turis. Carilah buku di sini, bukan souvenir!

William Faulkner dan Rowan Oak
Oxford yang asri ternyata juga menjadi pilihan tempat bermukim William Faulkner, novelis Amerika Serikat pemenang Nobel Sastra tahun 1949. Faulkner, yang leluhurnya memang asli dari wilayah sekitar Oxford, membeli rumah kayu bergaya Yunani kuno pada tahun 1930, di atas tanah seluas empat acre yang dikelilingi cedar dan pohon kayu keras. Rumah itu kemudian dinamakannya “The Rowan Oak.”

Pohon rowan adalah simbol perlindungan dan perdamaian. Rowan Oak didiami oleh Faulkner bersama isterinya, Estelle, dan dua anak dari pernikahannya terdahulu. Seorang anak, Jill, lahir di rumah ini. Di Rowan Oak, lahir karya-karya terkenal Faulkner. Sebagian besar karya Faulkner konon diilhami oleh kisah-kisah lokal masyarakat Indian, budak-budak yang kabur, kolonel-kolonel tua, dan perawan-perawan uzur yang memberi kursus melukis keramik. Semua ini dipadukannya dengan memori dan kesannya sendiri sebagai seseorang yang beranjak matang di kawasan Selatan yang terbelah oleh perikehidupan tradisional dan perkembangan modern yang tak bisa dihindari. “Absalom! Absalom!”, “The Unvanquished”, dan “Knight’s Gambit” adalah beberapa karya yang dihasilkannya di rumah bersejarah ini. Faulkner, yang lahir pada tahun 1897, meninggal dunia di Rowan Oak pada tahun 1962. Sepuluh tahun kemudian, puterinya Jill menjual rumah tersebut ke University of Mississippi, dengan harapan agar tempat itu dikelola sehingga bisa dikunjungi orang dari seluruh dunia untuk mempelajari ayahnya dan karya-karya sang ayah.

Novelis kebanggaan Amerika, William Faulkner (1897-1962) (www.breezeofsouthern.com)

Gerald Strom, profesor politik dari Chicago yang menemani kami berkomentar bahwa karya-karya Faulkner sulit dipahaminya. Nah, kalau seorang profesor saja mengaku sulit, apalagi masyarakat biasa. Namun, fakta ini justru membuat saya jadi terkesan dan mengagumi Oxford. Biarpun karyanya sulit dipahami, William Faulkner bagaimanapun adalah warga kebanggaan Oxford. Karena itu, masyarakat dan pemerintah setempat berupaya menjadikan Oxford sebagai kotanya William Faulkner. Upaya ini tidak cuma dilakukan dengan merawat dan mengelola Rowan Oak. Tetapi juga mempromosikan tempat tersebut. Berkunjung ke Oxford, tidak lengkap kalau tidak mampir ke Rowan Oak. Persis seperti Chicago memamerkan Sears Tower sebagai ikonnya. Di Oxford, setiap tahun diadakan bermacam-macam simposium yang mendiskusikan William Faulkner maupun karya-karyanya. Salah satunya, saya baca di katalog, “Seks dalam Kehidupan dan Novel William Faulkner”! Salah satu bukti kecintaan warga Oxford pada William Faulkner juga terlihat dari banyaknya lukisan atau foto bagian depan Rowan Oak yang bergaya Yunani, dengan jalan kecil yang diteduhi pohon-pohon besar. Di Downtown Inn tempat saya menginap, baru saya sadari bahwa dua lukisan dalam kamar saya adalah sketsa tampak depan Rowan Oak dari pelukis-pelukis yang berbeda! Di ruang makan, bar, lobi hotel, lukisan serupa juga terpampang. Coba saja Anda berkunjung ke Oxford, di mana-mana Anda akan temukan lukisan atau foto Rowan Oak!

Rowan Oak. Lukisan atau foto semacam ini menjadi ikon kebanggaan Oxford, dan bisa Anda jumpai di mana-mana (www.squarebooks.com)

Tapi, sebenarnya, seperti apa sih Rowan Oak yang dibangga-banggakan Oxford? Rumah ini berlantai dua, terdiri dari 7 ruangan di lantai bawah dan 8 ruangan di lantai dua. Ruangan yang dibuka untuk umum adalah kamar William Faulkner, kamar isterinya (rupanya mereka tinggal tidak sekamar, namun ada penghubung antara kedua kamar), kamar putera-puterinya, perpustakaan, parlor (tempat Faulkner mengadakan acara-acara istimewa, termasuk pernikahan puteri dan keponakannya serta tempat persemayaman jenazah Faulkner sendiri), ruang makan, dan ruang kerja Faulkner.

Mesin ketik kuno yang dipakai Faulkner untuk menulis karya-karyanya. Termasuk barang-barang yang dipamerkan di Rowan Oak (www.olemiss.edu)

Kita boleh menyaksikan kamar-kamar itu dari pintu, tapi ada pembatas yang tak boleh dilalui pengunjung. Barang-barangnya tertata rapi, perabotannya kebanyakan kayu, antik, demikian juga taplak dan hiasannya. Yah, bayangkan saja rumah zaman kuno khas Selatan. Buku-buku Faulkner ditumpuk di atas rak, lukisan cat air isterinya (kebanyakan kuntum-kuntum bunga) dipajang di lorong dan kamar-kamar, bahkan sepatu berkuda Faulkner juga dipajang. Rumah ini tampak ‘hidup’—seolah-olah hanya ditinggalkan penghuninya barang sebulan-dua bulan untuk berlibur ke luar kota. Selain rumah Faulkner, rumah kecil Callie, pembantu keluarga Faulkner yang turun-temurun mengabdi juga termasuk yang dijadikan lokasi wisata. Plus kandang kuda dan taman kecil di belakang rumah.

Penulis berfoto di pintu masuk ruang kerja William Faulkner di lantai satu. Rak buku, foto-foto hitam putih leluhur Faulkner, stoples tembakau, kursi kesayangan, mesin tik bahkan tas kulit kuno mengisi ruangan ini (Dokumentasi: pribadi).

Seorang rekan berkomentar, tempat ini sebenarnya biasa saja—rumah neneknya lebih antik lagi karena dibangun di zaman Belanda, dan masih ditempati cucu-cicitnya. Kalau bukan karena William Faulkner yang menempatinya, Rowan Oak tidak bakal seistimewa ini. Saya setuju. Tapi, lagi-lagi, di situlah saya melihat profil sebuah masyarakat yang begitu menghargai salah satu warganya, karena telah mengharumkan nama wilayahnya. Duh, dapatkah kita yang di Indonesia ini menghargai sastrawan kita dengan cara seperti ini? Saya tinggalkan Rowan Oak, sekaligus Oxford, dengan perasaan bersalah pada Pram, Rendra, Taufik Ismail, HB Jassin ... (000)